Teori Konflik Landasan Teori

27 27 Berdasarkan asumsi teori-teori rasionalitas dan teori tindakan individu rasional sebagaimana dipaparkan di atas, maka dapat pula diduga bahwa selain dilatari oleh tiga hal yang telah disebutkan di atas, ideologi kapitalisme dan rasio instrumental juga ikut bekerja di balik tindakan perlawanan atau resistensi masyarakat Desa Candikuning terhadap pihak manajemen objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali.

2.3.2 Teori Konflik

Sholihan 2007 : 6-7, memberikan penjelasan tentang konflik secara gamblang. Menurutnya, secara konseptual konflik dibedakan dengan kekerasan. “Konflik conflict adalah “hubungan antara dua pihak atau lebih individu atau kelompok yang memiliki, atau mereka menganggap memiliki tujuan yang bertentangan. Sedangkan kekerasan violence meliputi tindakan, kata-kata, dan sikap, struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan fisik, psikis, dan lingkungan, danatau menutup kemungkinan orang untuk mengembangkan potensinya”. Menurutnya, cakupan konflik amatlah luas, dari level konflik interpersonal hingga level kelompok, orgaisasi, komunitas dan lain-lain; dan meliputi hubungan sosial, ekonomi, dan kekuasaan. Konflik muncul akibat ketidakseimbangan pada hubungan-hubungan ini. Misalnya status sosial, kekayaan, dan akses terhadap sumber daya , serta kekuasaan yang tidak adil mengakibatkan berbagai persoalan seperti diskriminasi, pengangguran, kemiskinan, tekanan dan kejahatan. 28 28 Memang konflik dapat dibedakan dengan kekerasan, namun keduanya berkaitan. Keterkaitannya itu terlihat dari adanya kenyataan bahwa tidak jarang terjadi konflik yang disertasi dengan atau bernuansa kekerasan. Selain itu, keterkaitannya itu juga tercermin dari arti kata konflik dan kata kekerasan. Arti kata konflik sebagaimana dikemukakan oleh Pruitt dan Rubin 2004 : 9, yakni sebagai ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan, ide, dan lain-lain. Sedangkan kekerasan juga dapat diartikan sebagai berikut. “Semua hal yang mengarah pada sikap mengingkari keberadaan orang lain, yang ujung-ujungnya adalah kematian orang lain. Bukan hanya kematian fisik, melainkan juga kematian jati dirinya. Tidak lagi melihat orang itu sebagai seseorang, sebagai manusia, tetapi sebagai benda atau seekor binatang yang dapat diperlakukan semaunya, diperkosa akhirnya dibunuh” Smelin, 2003 : 9. Khusus mengenai sumber konflik antaretnis atau antargolonganumat agama, Koentjaraningrat 1989 : 337-338 menegaskan bahwa paling sedikit ada lima macam sumber untuk konflik, yakni sebagai berikut. 1 Konflik bisa terjadi, kalau warga dari dua suku-bangsa masing-masing bersaing dalam mendapatkan lapangan mata pencaharian hidup yang sama. 2 Konflik juga bisa terjadi kalau warga dari satu suku-bangsa mencoba memaksakan unsur-unsur kebudayaannya kepada warga dari suatu suku-bangsa lain. 3 Konflik yang sama dasarnya, tetapi lebih fanatik dalam wujudnya, bisa terjadi kalau warga dari suatu suku-bangsa mencoba memaksakan konsep-konsep agamanya terhadap warga dari suku-bangsa lain yang berbeda agama. 29 29 4 Konflik terang akan terjadi kalau satu suku bangsa berusaha mendominasi suatu suku bangsa lain secara politis. 5 Potensi konflik terpendam ada dalam hubungan antara suku-suku- bangsa yang telah bermusuhan secara adat. Menurut pendapat para ahli, masyarakat multikultural sarat dengan potensi konflik, bahkan di dalamnya kerap terjadi peristiwa konflik. Hal ini berkaitan dengan interaksi antara para anggota masyarakat multikultural yang mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda. Sebagaimana dikemukakan Leliweri 2001: 208 perbedaan kebudayaan menyangkut berbagai aspek, yakni “1 keyakinan; 2 perasaansentimen; 3 tujuan, sasaran, dan cita-cita; 4 norma; 5 kedudukan dan peranan; 6 tingkatan atau pangkat; 7 kekuasaan atau pengaruh; 8 sanksi; 9 sarana atau fasilitas; dan 10 tekanan-ketegangan”. Perbedaan- perbedaan ini bisa melahirkan sikap prasangka etnik ataupun prasangka kelompok, sebagaimana terlihat pada stereotip antaretnik ataupun antarkelompok sosial, jarak sosial, dan sikap diskriminasi. Hal ini bisa terjadi karena sebagaimana dikemukakan Geertz 1999 dan Kleden 1999, manusia selalu terikat pada kebudayaannya masing-masing, baik dalam arti kebudayaan sebagai aspek kognitif model of atau model tentang – atau kebudayaan sebagai sistem pengetahuan dan sistem makna, maupun kebudayaan sebagai aspek evaluatif model for atau model untuk – aspek evaluatif kebudayaan. Biasanya dalam interaksi antara anggota kelompok yang berbeda seperti itu bisa muncul penilaian antarkelompok secara subyektif. Dalam penilaian itu, secara tidak sadar suatu kelompok cenderung memandang orang dari kelompok 30 30 lain dengan menggunakan kelompok dan kebiasaannya sendiri sebagai kriteria Bennett, 1990 : 81. Dalam keadaan demikian orang biasanya memandang bahwa yang tinggi atau yang baik adalah diri sendiri dan kelompoknya Berry, 1999; Sudagung, 2001. Penilaian secara subjektif seperti itu dapat menguatkan paham kekitaan dan kemerekaan dan secara mudah dapat memunculkan eksklusivisme atas dasar kesukubangsaan, kedaerahan, dan keagamaan. Akibatnya, muncul aneka gejala sosial, yakni : Di kampung-kampung, desa-desa, di dalam suku-suku, etnik-etnik, umat- umat beragama, di antara para pendatang dan penduduk asli, dan bahkan di antara para mahasiswa di universitas-universitas ada orang yang tidak bersedia untuk menerima saudara sebangsa yang berbeda suku, agama, atau tempat kelahirannya. Kita saksikan kebencian antarkelompok, usaha memaksakan cita-cita kelompoknya sendiri kepada semua, penawaran solusi-solusi eksklusivistik, disertai dengan sikap intoleransi, marginalisasi, kekerasan hati, brutalitas, pengusiran mereka yang “lain” Magnis-Suseno, 2006: 215. Lebih lanjut penilaian seperti itu jelas tidak hanya berpotensi untuk menyulitkan atau menghambat upaya membangun persatuan dan kesatuan atau kerjasama, melainkan bisa juga berujung pada munculnya masalah konflik laten ataupun terbuka. Contohnya adalah konflik yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia, seperti di Poso, Ambon, dan lain-lain yang merupakan konflik berlatarkan eksklusivisme kesukubangsaan bercampur dengan persaingan memperebutkan modal ekonomi dan modal politik Trijono, 2001; Magnis-Suseno, 2006. Masalah konflik antara kelompok-kelompok seperti itu biasanya sulit diselesaikan meskipun dilakukan dengan berbagai upaya dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan. Contoh mengenai betapa sulitnya mengatasi 31 31 atau meniadakan masalah konflik seperti itu adalah sebagaimana yang telah terjadi dalam hubungan antaretnik di Indonesdia. Dengan pemberlakuan politik bhinneka tunggal ika berbeda tetapi tetap satu juga untuk memelihara persatuan dan kesatuan di Indonesia ternyata kehidupan masyarakat lebih banyak kebhinnekaannya daripada ketunggalikaannya Danandjaja,1988. Menurut Abdullah 2006, implikasi politik bhinneka tunggal ika di Indonesia justru menempatkan kebudayaan-kebudayaan yang beragam di berbagai tempat tidak mendapat tempat yang layak dan tidak memiliki ruang yang cukup untuk diekspresikan sehingga melahirkan berbagai akibat antara lain pemisahan diri, konflik, dan teror. Kemultikulturalan yang mengandung potensi konflik seperti itu bisa juga dilihat pada masyarakat Bali, antara lain karena masyarakat Bali biasanya memilah warga masyarakat menjadi dua macam, yaitu warga muwed, adalah warga asli, orang dalam atau kita in-group; dan warga tamiu, adalah orang lain, orang luar, mereka out-group. Berkenaan dengan pemilahan antara in-group dan out-group, Dayakisni dan Yuniardi 2004 menjelaskan bahwa dalam konteks in-group, maka familiaritas, keintiman, dan kepercayaan sangat tinggi; sebaliknya dalam konteks out-group, maka familiaritas, keintiman, dan kepercayaan sangat rendah sehingga kecurigaan orang-orang dari suatu kelompok tertentu terhadap orang-orang dari kelompok lain sangat besar, bahkan selalu menghantui hubungan mereka. Menurut Atmadja 2005 : 271, dengan pemilahan warga asli muwed dan pendatang tamiu itu, dalam masyarakat Bali terbentuk pemaknaan bahwa “warga muwed, orang dalam atau kita adalah baik, tidak jahat, 32 32 dan status sosial tinggi, sedangkan warga tamiu, orang luar atau mereka adalah buruk, jahat, dan status sosial rendah”. Selain itu, pemilahan orang Bali menurut wangsa menjadi empat kelompok klen brahmana, ksatria, wesya, dan jaba, pada dasarnya berpotensi konflik bahkan sudah pernah terjadi pertentangan atau konflik laten ataupun konflik terbuka, terutama antara anggota kelompok brahmana, ksatria, dan wesya tri wangsa dengan anggota kelompok jaba pada tahun 1920-an Bagus, 1969; Geertz, 1981; Atmadja, 1987. Latar belakang dan proses terjadinya konflik seperti itu perlu dicermati secara lebih mendalam agar dapat ditentukan strategi penanggulangannya melalui pengelolaan konflik secara profesional. Selain dengan mengacu pemikiran para ahli tentang konflik sebagaimana telah dipaparkan di atas, tampaknya teori konstruksi realitas sosial juga dapat digunakan untuk mencermati proses terjadinya konflik. Hamad 2004 : 12, secara ringkas dan jelas mengemukakan pemikiran Berger dan Thomas Luckmann tentang proses konstruksi realitas, yakni sebagai berikut. ”Proses konstruksi realitas dimulai ketika seorang konstruktor melakukan objektivikasi terhadap suatu kenyataan yakni melakukan persepsi terhadap suatu objek. Selanjutnya hasil dari pemaknaan melalui proses persepsi itu diinternalisasikan ke dalam diri seorang konstruktor. Dalam tahap inilah dilakukan konseptualisasi terhadap suatu objek yang dipersepsi. Langkah terakhir adalah melakukan eksternalisasi atas hasil dari proses perenungan secara internal tadi melalui pernyataan-pernyataan. Alat membuat pernyataan tersebut tiada lain adalah kata-kata atau konsep atau bahasa” Hamad, 2004 : 12. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa proses konstruksi realitas meliputi tiga tahapan. Pertama, objektivikasi yang menunjukkan adanya praktik pemaknaan melalui persepsi terhadap suatu objek. Kedua, internalisasi yang menunjukkan 33 33 adanya konseptualisasi terhadap suatu objek yang sebelumnya telah dipersepsikan. Ketiga, eksternalisasi yang menunjukkan pernyataan-pernyataan tentang hasil perenungan atas hasil pemaknaan suatu objek. Jika pemikiran mengenai proses konstruksi realitas tadi diacu dalam mencermati konflik maka konflik tersebut bisa tampak sebagai peristiwa yang dilatari kekeliruan dalam proses konstruksi realitas sosial yang yang berkaitan dengan konflik tersebut. Kekeliruan dalam hal ini bisa berawal ketika suatu pihak, melakukan pemaknaan melalui persepsinya terhadap sesamanya. Dikatakan bisa keliru karena sebagaimana dikatakan oleh Sears, Freedman, dan Peplau 1985 : 52, dalam melakukan persepsi orang cenderung membentuk kesan panjang lebar atas orang lain hanya berdasarkan informasi terbatas. Kesan panjang lebar berdasarkan informasi yang terbatas itulah berpeluang terjadinya kekeliruan. Oleh karena itu, pemaknaan dan hasilnya berupa makna yang diperoleh melalui proses persepsi itu juga bisa hanya berdasarkan pengetahuan yang terbatas mengenai objek yang dimaknai. Ini berarti makna atau pemahaman atas sesamanya itu tadi juga mengandung kekeliruan atau merupakan kesalahpahaman. Sedangkan sebagaimana dikemukakan oleh Barker 2014 : 168, “makna memandu tindakan kita atau kita gunakan sebagai penjelasan dan pembenaran atas tindakan kita tersebut”. Dengan demikian, kesalahpahaman tadi akan memandu tindakan dalam memperlakukan sesamanya. Dalam konteks inilah bisa terjadi konflik berbasis kesalahpahaman antara sesama warga masyarakat yang berbeda-bedas identitasnya. 34 34 Meskipun di satu sisi konflik dapat dilihat sebagai suatu masalah yang bisa mengganggu ketenangan, ternyata di sisi lainnya, konflik juga bisa bermanfaat. Menurut pendapat Weber sebagaimana dibahas oleh Laeyendecker 1983 : 324, konflik merupakan dasar atas integrasi sosial dan perubahan sosial, bahkan merupakan unsur dasar dan tidak dapat dilenyapkan dalam kehidupan budaya manusia. Dengan kata lain, konflik merupakan keniscayaan Sholihan, 2007 : 3, juga bisa dimanfaatkan untuk membangun suasana kehidupan damai melalui integrasi sosial. Oleh karena itu, dengan tepat Jamil 2007 : v menegaskan bahwa “kita nyata-nyata membutuhkan konflik. Banyak literatur, terutama dalam dunia bisnis yang memperhatikan efek yang menguntungkan dari konflik”.

2.3.3 Teori Semiotika