Batombe(Tradisi Masyarakat di Daerah Abai, Kecamatan Sangir Batang Hari, Kabupaten Solok Selatan

(1)

BATOMBE

(TRADISI MASYARAKAT DI NAGARI ABAI, KEC. SANGIR BATANG HARI, KAB. SOLOK SELATAN)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar Sarjana Departemen Antropologi Sosial

Disusun Oleh:

HARI AFANDI VALENTINO

100905066

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PERNYATAAN ORIGINALITAS

BATOMBE

(Tradisi Masyarakat di Nagari Abai, Kec. Sangir Batang Hari, Kab. Solok Selatan)

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan di sini, saya bersedia diproses secara hokum dan siap meninggalkan gelar sarjana saya.

Medan, Juni 2015 Penulis


(3)

ABSTRAK

Hari Afandi Valentino 2015, judul skripsi: BATOMBE (Tradisi Masyarakat di Nagari Abai, Kec. Sangir Batang Hari, Kab. Solok Selatan). Skripsi ini terdiri dari 7 bab, 155 Halaman, 8 daftar foto, 5 daftar table, 21 daftar pustaka, serta lampiran

Batombe adalah tradisi kesenian berbalas pantun yang disampaikan dengan mendendangkan pantun antara kaum laki-laki dan kaum perempuan.

Batombe sejenis pantun yang dimainkan sebagai ungkapan perasaan hati yang terdalam masyarakat Abai. Batombe dijadikan ajang pemeratu masyarakat Abai.

Penulis meneliti tradisi kesenian Batombe di Nagari Abai, melihat bagaimana tata cara pertunjukan tradisi kesenian Batombe, pemain Batombe,

waktu dan tempat pertunjukan, alat musik pengiring yang digunakan untuk melakukan pertunjukan Batombe, serta mengetahui arti dan makna dari Batombe

yang disampaikan pada saat pertunjukan.

Pertunjukan tradisi kesenian Batombe dilakukan di Rumah Gadang, sehari sebelum dilangsungkan pertunjukan, diadakan “duduak nan tu” yaitu musyawarah yang dilakukan oleh orang terhormat seperti: Rajo, Pangulu, Niniak Mamak, Alim Ulama, Cadiak Pandai, Bundo Kanduang dan Tokoh mayarakat lainnya. Pada saat musyawarah tersebutlah ditentukan lama waktu dan syarat pertunjukan Batombe dilakukan. Batombe didendangkan oleh pemain

Batombesecara spontan, tanpa menghafal teks sebelum pertunjukan. Pertunjukan

Batombe diiringi dengen alat musik Rabab atau Rebab dan juga Gandang atau Gendang. Batombe yang didendangkan dengan diiringi dengan alat musik merupakan pengungkapan perasaan, suasana hati yang paling dalam yang dirasakan pada saat itu oleh pemain Batombe.Batombe yang disampaikan mengandung arti dan makna pada setiap kata-kata yang diucapkannya.

Tradisi kesenian Batombe merupakan kesenian leluhur masyarakat Abai yang harus dilestarikan, agar supaya generasi penerus mengetahui kebudayaan dari leluhurnya. Serta dapat menjadi suguhan yang menarik semua penonton yang menyaksikannya, dan di jadikan objek wisata budaya.


(4)

UCAPAN TERIMA KASIH

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan Maka apabila kamu telah selesai(dari sesuatu urusan)

Kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain dan hanya kepada tuhanlah kamu berharap

(Q. S Alam Nasyrah 5-8)

Puji dan Syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya lah saya dapat menyelesaikan Skripsi ini. Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana S-1 bidang Antropologi Sosial di Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini merupakan akhir dari perkuliahan saya dan merupakan awal untuk saya mulai belajar hal yang baru kembali. Saya ucapakan terima kasih dan penghargaan terbesar kepada kedua orangtua saya, H. Danas Bahar, SH dan Aida Sofiati, yang telah banyak berjuang dan berusaha baik dengan Do‘a dan kerja giat agar saya bisa tetap kuliah, belajar dan menempuh pendidikan yang baik. Mereka bekerja tanpa ingat lelah dan pamrih akan keberhasilan saya. Mereka hanya berharap saya bisa menjadi harta yang paling berharga untuk hidup dan akhiratnya. Tidak lupa juga saya berterima kasih kepada Pakwo H. M. Yunan Sirhan, yang telah segenap hati menyambut dan memberi perlindungan diawal kuliah sampai saat sekarang ini, kalau tidak ada beliau entah bagai mana nasib saya di kota Medan ini. Terima kasih juga saya ucapkan untuk kakak dan adik kandung saya yang selalu membantu saya dengan memberikan bimbingan dan support selama penelitian saya di kampung. Saya sangat bersyukur dilahirkan dikeluarga ini, yang selalu memberikan saya cinta kasih sayang yang


(5)

berlimpah.Tanpa mengurangi rasa hormat saya, merekalah pemeran utama dalam hidup saya barulah guru-guru saya.

Penuh dengan rasa hormat yang saya junjung tinggi, terima kasih saya ucapkan untuk seluruh guru saya sedari TK hingga saya di bangku perkuliahan. Tanpa mereka tentu saja masa pendidikan saya tidak sempurna. Saya ucapakan terimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Kepada Bapak Dr. Fikarwin Zuska, sebagai KetuaDepartemen Antropologi Sosial FISIP Universitas Sumatera Utara.

Terkhusus saya mengucapkan terima kasih banyak kepada Bapak Agustrisno, M.SP, sebagai Sekretaris Departemen Antropologi Sosial FISIP USU dan yang sekaligus sebagai Dosen Pembimbing Skripsi saya, yang telah banyak mencurahkan waktu dan ilmu untuk membantu saya menyelesaikan masalah perkuliahan dan skripsi. Di mulai dari pengajuan judul proposal dan seminar, hingga pembekalan untuk saya menulis hasil penelitian skripsi. Sungguh sebuah pengalaman yang berharga untuk saya. Semoga Bapak dan keluarga diberikan kesehatan dan kebahagiaan.

Tidak lupa saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Nita Savitri selaku dosen Pembimbing Akademik yang telah memberi pengajaran dari awal pengisian KRS, bimbingan dalam pemilihan mata kuliah, dan memandu saya dalam pengajuan judul skripsi. Selanjutnya terimakasih saya diaturkan kepada seluruh Dosen yang sudah memberikan ilmunya kepada saya selama perkuliahan dari semester awal hingga akhir seperti Bapak Yance yang mengajarkan saya sebuah ilmu Disiplin yang dimulai dari diri sendiri. Seorang guru yang mengajarkan saya banyak hal dari perspektif yang tak biasa, belajar jujur dan mengalahkan rasa takut. Bapak Hermansyah, Bapak Nurman, Ibu Alem, Ibu, Bapak Lister Berutu, Ibu Mariana Makmur, Ibu Rhita Tambuanan, Ibu Sabaria Bangun, Prof. Chalida danlainnya. Saya mohon maaf jika tidak menyebutkan keseluruhannya.

Kepada kak Nur sebagai Staf Departemen Antropologi FISIP USU dan Ibu Sofi saya ucapkan terima kasih. Tanpa beliau urusan administrasi saya pasti akan terganggu. Terima kasih juga selalu membantu dan mempermudah segala


(6)

informasi dan urusan perkuliahan saya.. tentu juga banyak terima kasih kepada seluruh Staf FISIP USU pegawai dan pengajar yang telah membekali saya dengan pengetahuan yang baik. Semoga Tuhan membalas kebaikan Bapak dan Ibu sekalian.

Terima kasih untuk seluruh Informan, terkhusus kepada keluarga Rudi Hendri, Amak Rudi, Da Junus, Da Ap, yang telah membantu, menemani dan memberi tempat tinggal selama saya penelitian di Nagari Abai, Kebaikan kalian tidak akan saya lupakan, dan semoga kalian diberi kesehatan, serta imbalan pahala atas kebaikan kalian terhadap saya oleh Allah SWT. Dan tidak lupa juga kepada informan yang lainnya seperti:Datuak Sati Nan Panjang, Datuak Bandaro Kayo, Datuak Nan Tuo, izul, rudi, Radison. Terimakasih juga kepada Bapak Camat Sangir Batang Hari besrta Staf, dan kepada Bapak Wali Nagari Abai, beserta Staf yang sangat baik menerima saya di Kenagarian Abai. Terima kasih juga untuk seluruh Informan yang tidak bisa saya ucapakan satu-per-satu.

Untuk Kerabat dekat saya di Antropologi Sosial Angkatan 2010 seperti Andi Sasongko, Zulham Rusdi, Eki Gunawan, Muhammad Nasir Lubis, Deni Suhendar Nasution, Reza Mayendra, Kamal Arif, Fandy A Harahap, Desi Iriana, Elisa, Dina, Selly Andriani. Terima kasih banyak sudah menjadi teman saya berbagi kepenatan selama menulis skripsi. Untuk teman lainnya yaitu Leonar Ginting, Candra Silalahi, Simson, Gintarius Ginting, Iyan P Sinuraya,Jop Martinus, Mario Andel, Gorat Siahaan, Efendi (ucok), Dapot, Ramot, Sabam, Mega Natalia, Elpiana Simatupang,Rina Berutu, Tati Samarinda, Roida Silaban, Niki, Nuri, Amy, Rini,dan soraya.Tidak lupa juga buat dua janda Fany Purba dan Cory, dan kawan-kawan kerabat lainnya. Untuk abang dan kakak kerabat Antropologi USU yang sudah membantu saya. Terima kasih untuk abang Badai, yang sudah membantu memberi support dalam pembuatan skripsi saya. Juga untuk Kerabat lainnya seperti angkatan 2011, 2012 dan angkatan 2013. Semoga kuliahnya cepat selesai dan sehat selalu.

Saya juga berterima kasih kepada sahabat dekat saya, My BroLala (Radatul Jannah) farmasi USU yang senantiasa membantu saya dalam menyemangati dan memberi bantuan dalam merevisi skripsi saya, dan sahabat lainnya seperti Ihwan Al Azhari Daulay (Ilmu Perpustakaan USU), Indra Fahmi


(7)

(Administrasi Negara USU), Isti Meri Handayani (Administrasi Negara USU) Debi Pratama (Agrobisnis USU), Fezi Ezia Dwi Sister (Kedokteran USU), Elza Zikriani (Phisikologi UNAND), atas bantuan dan semangat yang kalian berikan.

Terspesial saya mengucapkan terima kasih kepada Lora Yantika Nilta, Amd, Mik, yang telah menemani dan mendampingi saya selama ini, dan selalu memberi dukungan, mengingatkan, dan memberi semangat dari jauh dalam pembuatan skripsi. Jangan malas-malasan lagi kerjaannya ya.

Medan, Juni 2015 Penulis


(8)

RIWAYAT HIDUP

Hari Afandi Valentino, lahir pada tanggal 24 Februari 1992 di Desa Sungai Aro, Kenagarian Lubag Gadang Timur, Kecamatan Sangir, Kabupaten Solok Selatan, Provinsi Sumatera barat. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Anak dari pasangan H. Danas Bahar, SH dan Aida Sofiati. Penulis memulai pendidikannya di Taman Kanak-Kanak Durian Tarung, tidak dapat menyelesaikannya dan akhirnya tahun 1998 masuk ke Sekolah Dasar (SDN 09) Sungai Aro, Solok Selatan dan selesai pada tahun 2004. Melanjutkan Sekolah Tingkat Pertama di SMPN 3 Solok Selatan dan selesai pada tahun 2007. Dan pada tahun 2010 menyelesaikan Sekolah Menengah Atas di SMAN 3 Solok Selatan. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi Negeri di Departemen Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara pada tahun 2010.


(9)

Selama pendidikan di Antropologi USU, penulis juga mengikuti berbagai kegiatan seperti kepanitiaan Inisiasi, seminar di kampus, pengalaman organisasi primordial kedaerahan dan sebagai kepanitiaan dalam organisasi dan lainnya, berikut penjabarannya:

1. TOEFL Prediction, USU Language Center, Medan (2010)

2. Peserta Inisiasi Antropologi Sosial Fisip USU tahun 2010, Danau Toba Parapat, Sumatera Utara (2010)

3. Panitia Inisiasi 2011, Sebagai Sek. PTT, Sibolangit (2011)

4. Peserta Peluncur Buku & Diskusi Publik “Kota-Kota di Sumatera: Enam Kisah Kewarganegaraan & Demokrasi” di Ruang Sidang FISIP USU (2012)

5. Panitia Inisiasi Antropologi Sosial FISIP USU 2012 “Peace In Diversity” (2012)

6. Panitia acara Malam kesenian “ Pegelaran tari-tari Minangkabau” di Rumah Gadang BM3 Sumatra Utara (Badan Musyawarah Masyarakat Minang Sumatera Utara) Taman Budaya Medan Jln. Adinegoro Medan (2011)

7. Anggota Bidang Minat dan Bakat Organisasi Primordial IMIB USU Periode 2010-2011, Medan (2011)

8. Panitia Sek. PTT Acara Penyambutan Mahasiswa Baru Minang, IMIB USU (2011) dan tahun (2012)

9. Ketua Bidang Minat dan Bakat IMIB USU Periode 2011-2012, Medan (2012)


(10)

11.Panitia acara “Baralek Gadang di Parantauan” Anniversary IMIB USU 2013, Hotel Garuda Plaza, Medan (2013)

12.Mengikuti Magang di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Prov. Sumatera Barat, Padang (2014)

13.Panitia PJ. Carnaval Dewasa Pada Acara Minang Kabau Fashion Carnival 2014, Padang (2014)

14.Panitia acara Tour de Singkarak 2014, Padang (2014)

15.Peneliti Lapangan (Surveyor) SAIFULMUJANI Research & Consulting (SMRC) “Sosial Masyarakat” di Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatra Utara (2015)

Email

Facebook : Harry Afandy Valentino Instagram : @afandyvalen24

Tweet : @afandy_valen Path : @afandy_valen


(11)

Kata Pengantar

Syukur alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, Shalawat dan salam semoga tercurah ke haribaan Rasulullah s.a.w., keluarganya serta para sahabatnya, Wa Ba’du, yang telah berjuang dan membawa kita kepada jalan yang benar.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang berjudul Batombe(Tradisi Masyarakat di Daerah Abai, Kecamatan Sangir Batang Hari, Kabupaten Solok Selatan)”.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa dukungan dari semua pihak mustahil skripsi ini akan selesai. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu dengan sepenuh hati, baik moril maupun materil sehingga skripsi ini dapat dirampungkan. Untuk itu izinkanlah penulis menyampaikan penghargaan yang tulus dan terima kasih yang mendalam kepada pihak-pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini.

Seperti kata pepatah, Tak ada Gading yang Tak Retak, demikian pula dengan skripsi ini yang penuh dengan kekurangan dan kesalahan, oleh karena itu dengan tangan terbuka penulis menerima koreksi serta saran-saran yang konstruktif dari pembaca.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.


(12)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ORIGINALITA ... i

ABSTRAK ... ii

UCAPAN TERIMAKASIH ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vii

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalahan ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Lokasi Penelitian ... 9

1.5 Kajian Pustaka ... 9

1.6 Metode Penelitian ... 17

1.6.1 Jenis Penelitian ... 17

BAB II DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN ... 19

2.1 Kabupaten Solok Selatan ... 19

2.2 Kecamatan Sangir Batang Hari ... 20

2.3 Kenagarian Abai ... 21

2.3.1 Penduduk ... 24

2.3.2 Agama ... 26

2.3.3 Kultur ... 27

2.3.4 Sarana Peribadatan ... 28

2.3.5 Pemuda dan Olahraga ... 28

BAB III BATOMBE ... 30

3.1 Sejarah Tradisi Kesenian Batombe ... 30

3.2 Tata Cara Pelakanaan Tradisi Kesenian Batombe ... 33

3.2.1 Waktu Pertunjukan Kesenian Batombe ... 38


(13)

3.2.3 Tempat Pertunjukan Tradisi Kesenian Batombe... 42

3.2.4 Alat Musik Pengiring Tradisi Kesenian Batombe ... 43

3.2.5 Pakaian Pada Saat Pertunjukan Tradisi Kesenian Batombe 46 3.2.6 Makanan dan minuman ... 47

3.2.7 Penonton ... 47

3.3 Fungi Pertunjukan Batombe ... 48

3.4 Jenis Batombe ... 49

BAB IV ARTI DAN MAKNA BATOMBE PERCINTAAN ... 51

BAB V ARTI DAN MAKNA BATOMBE NASEHAT ... 58

BAB VI ARTI DAN MAKNA BATOMBE RATAPAN ... 74

BAB VII PENUTUP………. ... 111

DAFTAR PUTAKA………. ... 114


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Persentase Luas Lahan Menurut Jenis Penggunaannya ... 20

Tabel 2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 23

Tabel 3 Jumlah Penduduk Berdaarkan Kelompok Umur ... 24

Tabel 4 Jumlah penduduk berdasarkan Pekerjaan / Usaha ... 25


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Pertunjukan Batombe di Rumah Gadang ... 37

Gambar 2 Pertunjukan Batombe di Rumah Gadang ... 38

Gambar 3 Pertunjukan Batombe di Rumah Gadang ... 41

Gambar 4 Pemain Kesenian Tradisi Batombe di Rumah Gadang ... 42

Gambar 5 Pemain Kesenian Tradisi Batombe di Rumah Gadang ... 42

Gambar 6 Bagian-Bagian Dari Alat Musik Rabab ... 44

Gambar 7 Alat Musik Rabab atau Rebab ... 45


(16)

ABSTRAK

Hari Afandi Valentino 2015, judul skripsi: BATOMBE (Tradisi Masyarakat di Nagari Abai, Kec. Sangir Batang Hari, Kab. Solok Selatan). Skripsi ini terdiri dari 7 bab, 155 Halaman, 8 daftar foto, 5 daftar table, 21 daftar pustaka, serta lampiran

Batombe adalah tradisi kesenian berbalas pantun yang disampaikan dengan mendendangkan pantun antara kaum laki-laki dan kaum perempuan.

Batombe sejenis pantun yang dimainkan sebagai ungkapan perasaan hati yang terdalam masyarakat Abai. Batombe dijadikan ajang pemeratu masyarakat Abai.

Penulis meneliti tradisi kesenian Batombe di Nagari Abai, melihat bagaimana tata cara pertunjukan tradisi kesenian Batombe, pemain Batombe,

waktu dan tempat pertunjukan, alat musik pengiring yang digunakan untuk melakukan pertunjukan Batombe, serta mengetahui arti dan makna dari Batombe

yang disampaikan pada saat pertunjukan.

Pertunjukan tradisi kesenian Batombe dilakukan di Rumah Gadang, sehari sebelum dilangsungkan pertunjukan, diadakan “duduak nan tu” yaitu musyawarah yang dilakukan oleh orang terhormat seperti: Rajo, Pangulu, Niniak Mamak, Alim Ulama, Cadiak Pandai, Bundo Kanduang dan Tokoh mayarakat lainnya. Pada saat musyawarah tersebutlah ditentukan lama waktu dan syarat pertunjukan Batombe dilakukan. Batombe didendangkan oleh pemain

Batombesecara spontan, tanpa menghafal teks sebelum pertunjukan. Pertunjukan

Batombe diiringi dengen alat musik Rabab atau Rebab dan juga Gandang atau Gendang. Batombe yang didendangkan dengan diiringi dengan alat musik merupakan pengungkapan perasaan, suasana hati yang paling dalam yang dirasakan pada saat itu oleh pemain Batombe.Batombe yang disampaikan mengandung arti dan makna pada setiap kata-kata yang diucapkannya.

Tradisi kesenian Batombe merupakan kesenian leluhur masyarakat Abai yang harus dilestarikan, agar supaya generasi penerus mengetahui kebudayaan dari leluhurnya. Serta dapat menjadi suguhan yang menarik semua penonton yang menyaksikannya, dan di jadikan objek wisata budaya.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Indonesia memiliki kekayaan tradisi lisan yang tersebar pada tiap-tiap daerah. Tradisi lisan sebagai kekayaan budaya bangsa tersebut merupakan salah satu bentuk ekspresi kebudayaan daerah yang sangat berharga, bukan saja menyimpan nilai-nilai budaya dari suatu masyarakat tradisional, melainkan juga bisa menjadi akar budaya dari suatu masyarakat baru. Dalam arti, tradisi lisan bisa menjadi sumber bagi suatu penciptaan budaya baru (Esten, 1999:105).

Usaha pelestarian tradisi lisan sebagai kekayaan budaya bangsa perlu dilaksanakan secara terus-menerus dan berkelanjutan. Kenyataan menunjukkan bahwa banyak tradisi lisan di Indonesia yang telah hilang karena tidak dilestarikan oleh masyarakat pendukungnya dan tidak sempat pula didokumentasikan. Padahal, hilangnya suatu tradisi lisan tersebut sesungguhnya merupakan kerugian besar bagi bangsa Indonesia. Walaupun ada tradisi lisan yang telah hilang, namun masih banyak tradisi lisan yang bertahan dan mengalami perubahan sesuai dengan dinamika masyarakat pemiliknya. Dari banyak tradisi lisan yang masih hidup, sebagian kecil telah “diselamatkan” dalam bentuk rekaman tape recorder, transkripsi, dan rekaman video (audio-visual). Pada negara-negara yang sudah maju, tradisi lisan dicatat dan kemudian disebarkan lewat media cetak dalam bentuk buku (Rosidi, 1995:125-126).

Diantara tradisi lisan yang masih bertahan, salah satunya ada dalam kebudayaan Minangkabau. Menurut Anwar (1995:117-118), budayaMinangkabau


(18)

pada dasarnya adalah budaya lisan. Bahasa yang diucapkan, seperti ajaran, nasihat, perbincangan, rundingan, bahkan hukum dan peraturan, terdapat dalam bahasa lisan. Budaya Minangkabau juga terlihat kekuatannya pada saat dilakukan secara lisan, namun hal itu sangat berpengaruh terhadap ragam dan gaya bahasa yang digunakan. Bahkan, ragam tradisi lisan ini juga terlihat dalam komunikasi sehari-hari. Hal tersebut juga dinyatakan oleh (Navis, 1984:231) bahwa dalam percakapan sehari-hari orang Minangkabau lazim menggunakan ungkapan. Kebiasaan menggunakan ungkapan dalam percakapan bertolak dari landasan sosial dan struktur kekerabatan yang berkaitan sehingga menyebabkan setiap orang saling menyegani.

Tradisi lisan ini merupakan suatu kebiasaan yang mengakar dengan kuat dalam suatu kelompok masyarakat di Minangkabau. Pola komunikasi yang dibangun adalah komunikasi lisan, yaitu suatu perilaku komunikasi yang mengandalkan kemampuan berbicara dan menyimak atau mendengarkan. Pada umumnya, tradisi lisan tersebut dianggap sebagai milik kolektif suatu kelompok masyarakat. Dikatakan milik kolektif karena tradisi tersebut tidak jelas siapa yang menciptakannya (anonim) sehingga timbul anggapan bahwa tradisi tersebut dihasilkan secara kolektif oleh masyarakat yang bersangkutan. Di samping itu, dinamika tradisi lisan tersebut lahir, hidup dan berkembang mengikuti dinamika kolektif masyarakat yang bersangkutan (Suryadi, 1993: 21)

Lanjut Suryadi menjelaskan bahwa, salah satu hasil dari tradisi lisan adalah sastra lisan. Sastra lisan tersebut dapat berupa cerita rakyat, ungkapan-ungkapan tradisional, dan lain-lain. Penyampaian cerita pada sastra lisan dapat dilakukan dengan cara berdendang (berkesenian, seni suara) dan diiringi oleh


(19)

musik tradisional seperti rebab, kecapi, puput, bansi, talempong, dan lain-lain. Selain dengan cara berdendang, sastra lisan ini juga dapat disampaikan dalam bentuk seni teater (randai). Penataan dan penggunaan bahasa dengan sedemikian rupa merupakan salah satu kunci utama keberhasilan bersastra lisan tersebut, misalnya dengan cara berpantun, berperibahasa, bermantera, berpepatah petitih, dan lain-lain.

Adapun bentuk dari sastra lisan, seperti (1) pepatah-petitih (suatu kalimat atau ungkapan yang mengandung pengertian yang dalam, luas, tepat, halus, dan kiasan), (2) pantun (puisi yang banyak jumlahnya dan sering diucapkan dalam berbagai kesempatan), (3) mantra (puisi tertua dalam sastra Minangkabau dan berbagai bahasa daerah lainnya), (4) pasambahan (merupakan pembicaraan dua pihak, dialog antara si pangka1dan si alek2untuk menyampaikan maksud dan tujuan dengan hormat), (5) prosa liris atau kaba3

Menurut Sibarani (2012:11) tradisi lisan tentu tidak hanya menyangkut kelisanan belaka seperti tuturan yang dibedakan dengan tulisan, tetapi sebuah kelisanan yang memiliki bentuk berpola, hidup sebagai pengetahuan bersama sebuah komunitas, diturunkan secara turun-temurundengan berbagai versi. Lebih lanjut Pundentia (dalam Sibarani, 2012:11) menyebutkan tradisi lisan tidak sekedar penuturan, melainkan konsep pewarisan sebuah budaya dan bagian dari diri manusia sendiri sebagai makhluk sosial. Dengan demikian, membicarakan . Bentuk-bentuk sastra lisan semacam itu juga merupakan produk masyarakat tradisional Minangkabau (Esten, 1999:106)

1

Si pangka adalah tuan rumah

2

Si alek adalah tamu

3


(20)

tradisi lisan masyarakat Minangkabau juga langsung berhadapan dengan nilai-nilai dan aturan-aturan yang sudah dilaksanakan secara turun-temurun oleh suatu masyarakat tersebut.

Mengingat fungsinya dalam masyarakat, tradisi lisan Minangkabau dari segi keberadaannya dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, ragam tradisi lisan yang terancam punah karena perkembangan dari masyarakat hingga kehilangan fungsi dan perannya. Kedua,ragam tradisi lisan yang bertahan dari kepunahan dengan jalan melakukan penyesuaian dan perkembangan sehingga mendapat sambutan dari masyarakatnya. Ketiga, ragam tradisi lisan yang tidak mengalami perubahan sama sekali karena berkaitan dengan upacara adat, seperti pantun adat4dan pasambahan5

4

Pantun adat adalah pantun yang penuh pesan bermakna atas adat istiadat yang dijunjung

5

Pasambahan adalahsalah satu acara adat di Minangkabau berbentuk pidato, dapat juga disebut dengan pidato adat. Di dalam pasambahan ini digunakan bahasa halus berkualitas tinggi yang sarat dengan perumpamaan dan nilai-nilai budaya

,yang biasa ditemukan dalam upacara perhelatan, kematian, dan penyambutan tamu (Amir, 1990:25).

Salah satu tradisi lisan di Minangkabau yang belum terdokumentasi secara baik adalah tradisiBatombe, Menurut buku profil Budaya dan Pariwisata Kabupaten Solok Selatan, hasil kerjasama Bapedda Solsel dan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisi Padang (dalam Koran “Haluan”, 2013:6), Batombe

merupakan salah satu tradisi lisan yang tumbuh dan berkembang dalam kebudayaan masyarakat Minangkabau, yaitu di Nagari Abai, Solok Selatan. Arti dari kata Batombe itu sendiri yaitu sejenis pantun, dengan kata lain Batombe

merupakan tradisi berbalas pantun yang dimainkan oleh dua orang yang saling berbalas pantun, biasanya tradisi Batombe dilakukan dengan berpasangan dan berkelompok.


(21)

Tradisi lisan Batombe yang dimainkan oleh masyarakat Kanagarian Abai memiliki kontribusi positif terhadap masyarakatnya. Bagi masyarakat pendukungnya, tradisi lisan Batombe megandung nilai, makna, dan fungsi tersendiri dalam kehidupan. Nilai Batombe mengandung nilai-nilai budaya, sosial dan nilai moral. Makna Batombe, misalnya bertema percintaan, ratapan, dan nasehat, serta berfungsi di masyarakat untuk mengekpresikan perasaan dan sikap penutur, misalnya mengekpresikan perasaan cinta/kasih sayang, rasa senang/bahagia, kesedihan, nasehat/mendidik, dan juga hiburan.

Sejalan dengan hal itu (Tim Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1980:66) menyebutkan, tradisi lisan adalah pantun yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain secara lisan. Orang yang berpantun pada dasarnya ingin menyampaikan pesan, amanat, dan pendidikan yang dapat bermanfaat bagi perkembangan watak dan kepribadian para pendengarnya. Dapat dipahami bahwa setiap masyarakat yang mendengarkan Batombe tidak hanya terhibur dengan isi pantunnya tetapi juga memperoleh pendidikan langsung, terutama melalui amanat dan pesan-pesan dari pantun yang disampaikannya. Selain itu, tradisi lisan

Batombe juga sebagai ajang pencarian jodoh bagi pemain Batombe itu sendiri. Selama tradisi itu masih berfungsi dalam masyarakat pendukungnya, maka selama itu pula tradisi akan terus bertahan dalam masyarakatnya. Pada masa lalu, tradisi lisan Batombe di Nagari Abai, berfungsi sebagai penyemangat bagi orang-orang yang mengambil kayu di hutan untuk membangun rumah gadang pertama di Abai. Namun kini Batombe mengalami perubahan makna. Maklum semenjak tahun 60-an, sudah tidak ada lagi pembangunan rumah gadang di daerah ini. Kendati begitu tradisi Batombe tetap dilestarikan, namun dipakai untuk hiburan


(22)

pada pesta perkawinan dan upacara-upacara adat lainnya. Dalam penyelenggaraannya minimal memotong seekor kabau (kerbau). Dan adapun sekarang ini,Batombe sudah menjadi suguhan khas kesenian lokal untuk para wisatawan yang berkunjung ke Nagari Abai. (Koran haluan, 2013:6)

Pada saat memainkan tradisi lisan Batombe, kalau pemain laki-laki melantunkan pantunnya, maka pemain perempuan mendengarkan dan memikirkan kira-kira jawaban apa yang nantinya mereka persiapkan. Untuk menemukan jawaban yang mereka pikirkan, persiapan dapat dibantu formula6

Batombetersebut tumbuh dan berkembang di daerah Abai, pantun Batombe

tersebut menggunakan gaya bahasa atau dialeg daerah itu sendiri, dilihat dari segi isinya maupun cara penyampaian yang khas, juga merupakan visualisasi atau penjelmaan dari sejarah hidup dan kehidupan masyarakat di daerah Abai itu sendiri. Senada dengan pendapat Clifford Geertz (dalam Saifuddin, 2005:288) yang mengemukakan suatu defenisi tipe kebudayaan sebagai berikut: (1) suatu sisitem keteraturan dari makna dan simbol-simbol, yang dengan makna dan simbol tersebut individu-individu mendefinisikan dunia mereka, mengekspresikan

. Formula dapat membantu pemain Batombe dalam membawakan karyanya. Seorang pemain

Batombe dalam membawakan karyanya tidaklah menghafal namun mengingat sebagian besar formula. Lord (dalam Sibarani, 2012:8) menyatakan bahwa pemain-pemain itu tidak menghafalkan pantunnya lewat naskah atau tulisan tetapi setiap penyair tradisional membawakan ceritanya dengan menciptakan kembali secara spontan dan memakai sejumlah unsur bahasa (kata, kata majemuk, frasa) yang siap tersedia baginya untuk dipakai.

6

Formula adalah menetapkan bentuk kata-kata atau simbol untuk digunakan, dalam arti luas yaitu bunyi, kata, atau peristiwa yang digunakan untuk mengungkapkan gagasan


(23)

persaan-perasaan mereka, dan membuat penilaian; (2) suatu pola makna-makna yang ditransmisikan secara historis yang terkandung dalam bentuk-bentuk simbolik, yang melalui bentuk-bentuk simbolik tersebut manusia berkomunikasi, memantapkan, dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap terhadap kehidupan; (3) suatu peralatan simbolik bagi pengontrol perilaku, sumber-sumber ekstrasomatik dari informasi; dan (4) oleh karena kebudayaan adalah suatu sistem simbol, maka proses kebudayaan harus dipahami, diterjemahkan, dan diinterpretasi.

Menurut Littlejohn (2009:53) Perkembangan pola pikir manusia merupakan sebuah bentuk perkembangan yang mendasari terbentuknya suatu pemahaman yang merujuk pada terbentuknya sebuah makna. Semiotik menjadi salah satu kajian yang bahkan menjadi tradisi dalam teori komunikasi dalam berbahasa. Sulitnya menafsirkan pantun Batombe terletak pada watak bahasa yang digunakan yang sangat samar dan susah dipahami. Orang harus memahami konteks sosial dan budaya pantun tersebut secara keseluruhan untuk menafsirkan pantun tertentu, dan orang perlu tahu apakah arti pantun itu secara umum. Pantun

Batombe sangat pekat dengan berbagai perlambangan dan metafora. Baik perempuan maupun laki-laki dilambangkan dengan berbagai jenis burung/unggas, benda langit dan jenis-jenis logam mulia dan jenis-jenis kain.Metafora7 dan makna konotatif8

7

metafora adalah suatu peletakan kedua dari makna asalnya, yaitu makna yang bukan mengunakan kata dalam arti sesungguhnya, melainkan sebagai kiasan yang berdasarkan persamaan dan perbandingan.

adalah suatu keharusan dalam pantun Minangkabau Suryadi (dalam Koran harian Padang Ekspres, 2010:7)


(24)

Berdasarkan hal-hal diatas itulah tradisi lisan Batombe yang terdapat di Nagari Abai, Kec. Sangir Batang Hari, Kab Solok Selatan, Sumatera Barat tersebut perlu untuk di teliti. Halini dilakukan untuk dapat menjelaskan hal-hal penting dan untuk mengetahui segala sesuatu mengenai bentuk pertunjukan

Batombe tersebut. Diantaranya untuk mengetahui makna dan arti dari isi pantun pada tradisi lisan Batombe yang terdapat di Kenagarian Abai, Kec. Sangir Batang Hari, Kab. Solok Selatan, Sumatera Barat.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya makapermasalahan yang dapat diajukan adalah Apa makna dan arti dari isi pantun dalam tradisi lisan Batombe tersebut?. Penelitian ini akan dipermudah dengan perumusanmasalah yang bertujuan untuk mendapatkan fokus objek kajian dan sekaligus juga sebagai pembatas bagi permasalahan yang diteliti agar tidak meluas. Rumusanmasalah ini diuraikan ke dalam 2 (dua) pertanyaan penelitian yaitu :

1. Bagaimana tata cara pelaksanaan tradisi lisan Batombe saat ini 2. Apa makna dan arti dari isi pantun yang disampaikan pemain dalam

tradisi lisan Batombe 1.3Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana tradisi lisan

Batombe tersebut dilaksanakan, selain itu juga untuk mengetahui makna dan arti isi pantun dari tradisi lisan Batombe dan melihat perubahan apa yang terjadi dalam tradisi lisan Batombeyang terdapat di Nagari Abai, Kec. Sangir Batang Hari, Kab. Solok Selatan, Sumatera Barat.


(25)

1.4Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Kanagarian Abai, Kec. Sangir Batang Hari, Kab. Solok Selatan, Sumatra Barat. Hal ini didasari karena di daerah tersebut terdapat tradisi lisan batombe.

1.5Kajian Pustaka

Tradisi yaitu berasal dari kata traditium yang berarti segala sesuatu yangdiwarisi dari masa lalu (Murgiyanto, 2004:2). Selain itu, menurut Finnegan (dalam La Sudu 2012:8) tradisi merupakan istilah umum yang biasa digunakan dalam ujaran keseharian dan juga istilah yang digunakan oleh antropolog, peneliti folklor, dan sejarahwan lisan. Ada perbedaan-perbedaan makna mengenai tradisi itu sendiri, misalnya dimaknai sebagai kebudayaan, sebagai keseluruhan; berbagai cara melakukan sesuatu berdasar cara yang telah ditentukan; proses pewarisan praktik, ide atau nilai; produk yang diwariskan; dan sesuatu dengan konotasi lampau. Sesuatu yang disebut dengan tradisi pada umumnya menjadi kepemilikan keseluruhan komunitas dibanding individu atau kelompok tertentu. Tradisi tidak ditulis dan merupakan pemarkah identitas kelompok.

Menurut Sibarani (2012:123) tradisi lisan adalah kegiatan budaya tradisional suatu masyarakat yang diwariskan secara turun temurun dengan media lisan dari satu generasi ke generasi lain baik tradisi itu berupa susunan kata-kata lisan (verbal) maupun tradisi lain yang bukan lisan (non-verbal). Selanjutnya Hoed (dalam sudu 2012:8) mendefenisikan tradisi lisan adalah berbagai pengetahuan dan adat istiadat yang secara turun temurun disampaikan secara lisan.


(26)

Lord (dalam sudu 2012:8) memberikan batasan tradisi lisan sebagai sesuatu yang dituturkan dalam masyarakat. Hal ini berarti bahwa unsur melisankan bagi penutur dan unsur mendengarkan bagi penerima menjadi kata kuncinya. Roger Tol dan Pudentia (dalam sudu 2012:8) mengemukakan bahwa tradisi lisan tidak hanya mencakup cerita rakyat, mitos, legenda dan dongeng, tetapi juga mengandung berbagai hal yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya,misalnya kearifan lokal, sistem nilai, pengetahuan tradisional, sejarah, hukum adat, pengobatan, sistem kepercayaan dan religi, astrologi, dan berbagai hal seni.

Batombe termasuk salah satu cakupan tradisi lisan yang berbentuk puisi rakyat yang dapat dituturkan atau disampaikan secara lisan.Tradisi lisan dalam masyarakat pasti memiliki wujud. Selanjutnya Sibarani (2012:48-49) mengemukakan wujud tradisi lisan itu dapat berupa:

1) tradisi berkesusastraan lisan seperti tradisi menggunakan bahasa rakyat,tradisi penyebutan ungkapan tradisional, tradisi pertanyaan tradisional atauteka-teki, berpuisi rakyat, melantunkan nyanyian rakyat, dan menabalkangelar bangsawan;

2) tradisi pertunjukan dan permainan rakyat seperti kepercayaan rakyat,teater rakyat, permainan rakyat, tari rakyat, adat istiadat, upacara atauritual, dan pesta rakyat;

3) tradisi teknologi tradisional seperti arsitektur rakyat, ukiran rakyat,pembuatan pupuk tradisional, kerajinan tangan rakyat, keterampilanjahitan pakaian, keterampilan perhiasan adat, pengolahan makanan danminuman rakyat, dan peramuan obat-obatan tradisional;


(27)

4) tradisi pelambangan atau simbolisasi seperti tradisi gerak isyarattradisonal, bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat; dan

5) tradisi musik rakyat seperti tradisi mempertunjukkan permainan gendang,seruling, dan alat-alat musik lainnya.

Apa itu tradisi Batombe? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, telah dijelaskan bahwa Batombe tersebut merupakan kesenian tradisi lisan berbalas pantun. Menurut buku profil Budaya dan Pariwisata Kabupaten Solok Selatan, hasil kerjasama Bapedda Solok Selatan dan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisi Padang (dalam Koran “Haluan” 2013:6) Batombe adalah salah satu bentuk kesastraan Minangkabau yang dimiliki oleh masyarakat Abai. Batombe ini adalah sejenis pantun yang berfungsi sebagai sebuah ungkapan rasa dan perasaan hati yang memiliki makna yang sangat mendalam bagi masyarakat Abai. Dengan kata lain, Batombe merupakan tradisi lisan berbalas pantun antara pria dan perempuan yang sudah menjadi budaya Minangkabau.

Batombe yaitu tradisi lisan berbalas pantun, memurut Djamaris (2001:18) pantun merupakan bentuk tradisi lisan yang paling sering digunakan dalam tradisi minangkabau, pantun dalam masyarkat Minangkabau biasanya disebut puisi Minangkabau, Pantun merupakan bentuk puisi tradisional Indonesia yang paling tua. Tiap bait (kuplet) pantun biasanya terdiri dari empat baris yang bersajak ab-ab. Umumnya tiap baris terdiri dari 4-8 kata. Baris pertama dan kedua disebut sampiran dan baris ketiga dan keempat disebut isi pantun.

Lebih lanjut Djamaris(dalam ensiklopedia Indonesia) di jelaskan bahwa pantun adalah puisi rakyat yang paling tua dan paling umum di Indonesia. Pantun


(28)

merupakan bentuk sastra rakyat yang tidak tertulis. Isi pantun biasanya berkaitan dengan perasaan rindu dendam, kesedihan, gurauan, pengajaran, norma-norma, dan lain-lain. Pantun mempunyai bait yang terdiri dari empat baris atau lebih (sampai dua belas baris) dengan delapan sampai dua belas suku kata pada tiap-tiap barisnya. Baris pertama bersajak dengan baris ketiga dan baris kedua dengan baris keempat. Bagian pertama pantun (baris pertama dan kedua) disebut dengan sampiran dan bagian kedua (baris ketiga dan keempat) disebut dengan bagian isi.

Pembeda antara pantun Minangkabau dengan pantun dalam pandangan yang umum dapat kita lihat dari ciri-ciri pantun Minangkabau menurut (Navis, 1984:235) yaitu ciri pertama, sebuah pantun dapat dikatakan sebagai pantun Minangkabau jika pantun tersebut lahir dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Minangkabau. Keberadaan pantun tersebut terletak dalam koridor dari, oleh, dan untuk masyarakat Minangkabau. Dengan pantun tersebut, masyarakat Minangkabau menyatakan pikiran dan perasaannya, serta membangun komunikasi antara sesamanya. Dengan cara tersebut pula, seseorang akan pengetahui maksud dan kehendak lawan bicaranya, sehigga terjadilah perilaku komunikasi yang diinginkan. Navis juga menjelaskan bahwa pantun termasuk salah satu bentuk tradisi lisan yang terpenting bagi masyarakat Minangkabau. Pantun sering menjadi buah bibir, bunga kabar, dan hiasan dalam berpidato (pasambahan). tradisi lisan berupa pantun sudah sejak lama dikenal oleh masyarakat Minangkabau. Pada umumnya masyarakat Minangkabau mengenal dan dapat berpantun, terutama masyarakat yang belum kuat pengaruh budaya lain, atau masyarakat yang kuat mempertahankan adat istiadatnya. Bagi masyarakat yang seperti itu, pantun merupakan bagian dari hidup mereka. Pantun telah


(29)

mendarah daging bagi mereka. Akan terasa aneh atau cando (janggal) apabila mereka tidak mengenal dan memahami pesan yang terdapat dalam sebuah pantun.

Kedua, sebuah pantun dapat dikatakan sebagai pantun Minangkabau jika bahasa yang digunakan adalah bahasa Minangkabau. Dan yang ketiga, sebuah pantun dapat dikatakan sebagai pantun Minangkabau jika benda-benda, peristiwa-peristiwa, lokasi, dan lain-lain yang dikemukakan dalam bagian sampiran atau bagian isi pantun diambil atau berasal dari alam Minangkabau, atau sesuatu yang bernuansa Minangkabau. Metafor-metafor yang dipakai tersebut pada umumnya sudah dikenal dengan baik dan sangat familiar dengan orang Minangkabau. Mereka tidak akan mengambil sesuatu perlambang yang tidak mereka ketahui atau yang bukan berasal dari alam mereka. Pengambilan metafor yang demikian akan memudahkan mereka memahami kandungan isi pantun. Melalui pemahaman tersebut, akan dapat diketahui maksud dan tujuan sebuah pantun, sehingga komunikasi yang diinginkan dapat diwujudkan.

Keempat, Pantun Minangkabau diyakini oleh masyarakat Minangkabau sebagai miliknya, milik bersama sebagai bagian dari kebudayaan mereka. Rasa kepemilikan ini disebabkan oleh karena pantun dan berpantun merupakan sesuatu yang telah mentadisi bagi mereka (tradisi lisan). Tradisi lisan tersebut selalu mereka pertahankan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Pantun Minangkabau bukan milik orang per orang, akan tetapi merupakan milik kolektif masyarakat Minangkabau atau milik bersama, pantun terdapat pada hampir setiap perilaku berbahasa, baik pada penggunaan bahasa dalam hal


(30)

berkesenian (rabab9, batombe10, randai11, selawat dulang12, saluang13

Formula menurut Sweeney (dalam sudu 2001:11) dimaksudkan dalam arti luas yaitubunyi, kata, atau peristiwa yang digunakan untuk mengungkapkan

, dan lain-lain), pasambahan(pidato adat), maupun dalam perilaku berbahasa sehari-hari.

Dari penjelasan Navis sebelumnya dapat ditarik kesimpulan bahwa pantun dalam tradisi lisan Batombeadalah pantun Minangkabau yang berasal dari tradisi lisan masyarakat abai, kec. Sangir Batang Hari kab. Solok Selatan dan dijadikan tradisi milik bersama, bahasa yang digunakan dalam tradisi Batombe yaitu bahasa asli Minangkabau dan bahasa asli masyarakat abai itu sendiri, dalam isi pantunnyaBatombe menggunakan metafora atau penyimbolan dari benda-benda, peristiwa, lokasi yang terdapat di alam Minangkabau.

Di dalam memainkan tradisi lisan Batombe, Seorang pemain Batombe

dalam membawakan karyanya tersebut tidaklah menghafal namun mengingat sebagian besar formula. (Teeuw, 1994: 4) mengatakan bahwa tuturan lisan seorang pemain Batombe dengan menciptakankembali tuturan tersebut yang akan dibawakannya dengan secara spontan tanpa menghafal setiap bait pantun yang akan dibawakannya. Sehingga masing-masing pemain Batombe memiliki gaya dan ciri khas dalam pertunjukannya. Dengan demikian, setiap pemain tradisi lisan

Batombe jarang ada penghafalan, tetapi faktor ingatan manusia amatbereperan dalam hal tersebut.

9

Rabab adalah alat musik gesek tradisional khas Minangkabau, bentuknya seperti biola

10

Batombe adalah tradisi kesenian berbalas pantun

11

Randai adalah salah satu permainan tradisional di Minangkabau yang dimainkan secara berkelompok dengan membentuk lingkaran, kemudian melangkahkan kaki secara perlahan, sambil menyampaikan cerita dalam bentuk nyanyian secara berganti-gantian. Randai menggabungkan seni lagu, musik, tari, drama dan silat menjadi satu.

12

Selawat dulang adalah tradisi lisan Minangkabau, pertunjukkan dua orang membacakan hafalan teks diiringi tabuhan dulang atau gendang lebar terbuat dari kulit sapi

13


(31)

gagasan.Senada dengan hal itu, Achadiati (dalam sudu 2001:11) mengatakan bahwa formula merupakan alat yang membantu orang untuk menemukan kembalipikiran yang tersimpan dalam ingatan, diantaranya rima, paralelisme, aliterasi,ansonasi, strukutur-struktur tetap yang digunakan dalam tradisi lisan.

Formula memiliki fungsi yang penting bagi pemain Batombe

dalammembawakan karyanya. Tuloli (1994: 21) memaparkan fungsi formula adalah (1)mempermudah daya ingat tukang cerita terhadap garis besar cerita yang akandirakit menjadi cerita yang utuh pada saat penampilan atau yang disebut skemacerita, (2) mempermudah pencerita untuk menyusun baris-barisyang sama polanya dalam waktu yang singkat pada saat bercerita, (3)memperindah cara penceritaan karena irama akan teratur oleh adanya perulanganformula-formula pada pola-pola baris yang sama, dan (4) pencerita melahirkanarti atau makna cerita secara tepat dalam baris.

Formula yang digunakan dalam isi pantun Batombe mengandung metafora, setiap metafora diungkapkan melalui simbol-simbol yang terdapat dalam isi pantun Batombe. Hal-hal tersebut diungkapkan dalam simbol-simbol tertentu, tiap simbol mengandung makna yang bertujuan mengekspresikan perasaan-perasaan, suasana hati dari pemain Batombe. Sebagai mana penjelasan tersebut diungkapkan oleh Clifford Geertz (dalam Saifuddin 2005:288) dengan definisi kebudayaan sebagai: (1) suatu sistem keteraturan dari makna dan simbol-simbol, yang dengan makna dan simbol tersebut individu-individu mendefinisikan dunia mereka, mengekspresikan perasaan-perasaan mereka, dan membuat penilaian mereka; (2) suatu pola makna-makna yang ditransmisikan secara historis yang terkandung dalam bentuk-bentuk simbolik, yang melalui bentuk-bentuk


(32)

simbolik tersebut manusia berkomunikasi, memantapkan, dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap terhadap kehidupan; (3) suatu peralatan simbolik bagi pengontrol perilaku, sumber-sumber ekstrasomatik dari informasi; dan (4) oleh karena kebudayaan adalah suatu sistem simbol, maka proses kebudayaan harus dipahami, diterjemahkan, dan diinterpretasi.

Menurut Saifuddin (2005:289-290) Simbol adalah objek, kejadian, bunyi bicara, atau bentuk-bentuk tertulis yang diberi makna oleh manusia. Bentuk primer dari simbolisasi oleh manusia adalah melalui bahasa. Tetapi manusia juga berkomunikasi dengan menggunakan tanda dan simbol dalam lukisan, tarian, musik, arsitektur, mimik wajah, gerak-gerik, postur tubuh, perhiasan, pakaian, ritus, agama, kekerabatan, nasionalitas, tata ruang, pemilikan barang, dan banyak lagi lainnya. Manusia dapat memberikan makna kepada setiap kejadian tindakan, atau objek yang berkaitan dengan pikiran, gagasan dan emosi.

Kajiankeilmuan yang meneliti mengenai simbol atau tanda dan konstruksi makna yang terkandung dalam simbol tersebut dinamakan dengan Semiotik. Menurut Littlejohn (2009:53) teori semiotik terdiri atas sekumpulan teori tentang bagaimanatanda-tanda merepresentasikan benda, ide, keadaan, situasi, perasaan dan kondisidi luar tanda-tanda atau simbol itu sendiri.Semiotik bertujuan untuk mengetahui makna-makna yang terkandung dalam sebuah simbol atau menafsirkanmakna tersebut sehingga diketahui bagaimana komunikator mengkonstruksi pesan.Konsep pemaknaan ini tidak terlepas dari perspektif atau nilai-nilai ideologistertentu serta konsep kultural yang menjadi ranah pemikiran masyarakat di manasimbol tersebut diciptakan. Kode kultural yang menjadi salah satu faktor konstruksi makna dalam sebuah simbol menjadi aspek yang penting


(33)

untuk mengetahui konstruksi pesan dalam tanda tersebut. Konstruksi makna yangterbentuk inilah yang kemudian menjadi dasar terbentuknya ideologi dalam sebuah simbol. Sebagai salah satu kajian pemikiran dalam cultural studies, semiotik tentunya melihat bagaimana budaya menjadi landasan pemikiran dari pembentukanmakna dalam suatu tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan,konvensi-konvensi yang memungkinkan simbol-simbol tersebut mempunyai arti.

Dalam Kamus Linguistik, pengertian makna dijabarkan menjadi : 1. maksud pembicara;

2. pengaruh penerapan bahasa dalam pemakaian persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia;

3. hubungan dalam arti kesepadanan atau ketidak sepadanan antara bahasa atau antara ujaran dan semua hal yang ditunjukkannya, dan

4. cara menggunakan lambang-lambang bahasa (Harimurti Kridalaksana, 2001: 132).

1.6.Metode Penelitian 1.6.1.Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang didasarkan pada data-data yang diperoleh di lapangan. Sebelum terjun ke lapangan, peneliti terlebih dahulu dibekali dengan seperangkat teori yang berkaitan dengan objek supaya kendala di lapangan tidak mempengaruhi terhadap hasil yang didapatkan. Penelitian dilakukan dengan dilengkapi handycame, recorder, dan wawancara dengan penonton, baik yang terlibat langsung dalam pertunjukan maupun yang tidak. Hal ini dilakukan supaya data yang didapat betul-betul akurat dan hidup.


(34)

Pertunjukan dan perekaman dilakukan secara alami, baik terhadap pemain, penonton maupun orang-orang yang paham dengan tradisi kesenian Batombe. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan bagaimana pertunjukan tersebut dilakukan dengan apa adanya.

Penelitian ini juga dilakukan dengan menggunakan metode etnografi, teknik wawancara dan observasi. Penelitian ini mengambil objek tradisi kesenian

Batombeyang dilaksanakan di Kenagarian Abai, Kecamatan Sangir Batang Hari, Kabupaten Solok Selatan, karena tradisi lisan Batombe lahir, tumbuh dan berkembang di daerah tersebut. Wawancara dilakukan setelah pertunjukan usai atau ketika narasumber dalam waktu luang. Selain itu peneliti juga mewancarai tokoh adat dan orang yang mengerti tentang Batombe. Penentuan informan didasarkan atas pengetahuan dan pengalamannya terhadap pertunjukan Batombe. Para informan tersebut terdiri atas pemain Batombe, penontonyang diwawancarai adalah yang sudah sering, jarang, atau belum sama sekali menonton pertunjukan

Batombe.Penonton akan memberikan suasana tertentu dalam pertunjukan. Tanggapan juga diminta kepada niniak mamak14, cadiak pandai15

Setelah data terkumpul, dilakukan transkripsi dan analisis. Data ditranskipsikan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan disesuaikan dengan konteks masyarakat pendukungnya. Setelah itu baru data dianalisis dengan

, tokoh agama, dan pejabat pemerintah setempat tentang pengetahuannya terhadap pertunjukan

Batombe.

14

Niniak mamak adalah seorang laki-laki dari suatu kaum yang dituakan. Bisa juga disebut penghulu adat

15

Cadiak pandai adalah pemimpin masyarakat yang memiliki pengetahuan dan wawasan ynag luas serta pemikiranyang dapat mencari jalan keluar dari setiap masalah yang sedang


(35)

menggunakan pendekatan simbolik untuk melihat makna, nilai-nilai, pesan dan amanat yang terkandung dalam pantun Batombe itu sendiri.


(36)

BAB II

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 2.1 Kabupaten Solok Selatan

Kabupaten Solok Selatan merupakan hasil dari perjuangan panjang yang dimulai sejak tahun 1950-an yang ditandai dengan diadakannya Konferensi Timbulun. Pada Konferensi Timbulun saat itu digagas rencana pembentukan sebuah Kabupaten dengan nama Kabupaten Solok Selatan yang memasukan wilayah Kecamatan Pantai Cermin (Surian), Sungai Pagu (Muaro Labuh) dan Sangir (Lubuk Gadang) yang di resmikan pada tanggal 7 januari 2004.

Kabupaten Solok Selatan berada pada jajaran Pegunungan Bukit Barisan yang termasuk dalam daerah Patahan Semangka. Posisi daerah secara geografis berada pada 01° 17’ 13” - 01° 46’ 45” Lintang Selatan dan 100° 53’ 24”- 101° 26’ 27” Bujur Timur. Dengan luas wilayah lebih kurang 3.590 Km²,Tepatnya berada di bagian Selatan Provinsi Sumatera Barat. Batas-batas wilayah Kabupaten Solok Selatan adalah: Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Solok, Sebelah Selatan dengan Kabupaten Kerinci (Provinsi Jambi), Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Pesisir Selatan, Sebelah Timur dengan wilayah Kabupaten Dharmasraya, dengan Ibu Kotanya Padang Aro dengan jumlah Penduduk saat ini tercatat sebanyak 133.861 jiwa, terdiri dari 65.826 jiwa laki-laki dan 68.035 jiwa perempuan.

Di kabupaten Solok Selatan terdapat 7 kecamatan yaitu, Sangir, Sangir Jujuan, Sangir Balai Janggo, Sangir Batang Hari, Sungai Pagu, Pauh Duo dan Koto Parik Gadang Diateh. Secara keseluruhan Kabupaten ini terdiri dari 39 nagari dan 215 jorong. Tiap Kecamatan ini memiliki luas yang bervariasi.


(37)

Kecamatan terluas adalah Kecamatan Sangir Batang Hari dengan luas 752 km2 dan Kecamatan Koto Parik Gadang Diateh dengan luas 673 km2. Kecamatan terkecil adalah Kecamatan Sangir Jujuan dengan luas 279 km2 dan Kecamatan Pauh Duo dengan luas 265 km2. Beberapa objek wisata yang terdapat di Kabupaten Solok Selatan seperti gunung kerinci, air terjun, arung jeram batang liki, air malanca, pemandian air panas, tugu PDRI, Kebun teh, rumah gadang Istana Rajo Balun, dan lain-lain.

2.2 Kecamatan Sangir Batang Hari

Kecamatan Sangir Batang Hari berdasarkan letak geografis berada pada 01° 00’ 59” - 01° 22’ 24” Lintang Selatan dan 101° 11’ 04”- 101° 38’ 09” Bujur Timur, berada pada ketinggian 350 meter dari perukaan laut,dengan curah hujan 230.96 mm/bln. Luas daerah Kecamatan Sangir Batang Hari Adalah 279 km2dan batas daerahnya:

Sebelah Utara : Kabupaten Dharmasraya Sebelah Selatan : Kecamatan Sangir Jujuan Sebelah Barat : Kabupaten Dharmasraya Sebelah Timur : Kabupaten Dharmasraya

Kecamatan Sangir Batang Hari terbagi dalam 7 (Tujuh) Nagari yaitu: Nagari Ranah Pantai cermin (RPC), Nagari Abai, Nagari Sitapus, Nagari Susun Tangah, Nagari Lubuk Ulang Aling Selatan, Nagari Lubuk Ulang Aling Tengah, dan Nagari Lubuk Ulang Aling.

Tabel 1: Persentase Luas Lahan Menurut Jenis Penggunaannya No Jenis Penggunaan Luas (Ha) Persentase (%)

1 Lahan Sawah 136.66 0.49


(38)

3 Tegal/Kebun 288.82 1.03

4 Ladang/Huma 95.40 0.34

5 Sementara Tidak Diusahakan 38.54 0.14 6 Hutan Negara 20.482 71.31 7 Perkebunan 4.694.9 16.77 8 Lahan Kering Lainnya 174.28 0.62

9 Rawa-Rawa 0 0

10 Padang Rumput 0 0

Jumlah 28 001 100.00

Sumber: Kantor UPTD Pertanian Kec. Sangir Batang Hari Nagari Abai

Menurut tambo Minangkabau, orang Minangkabau adalah keturunanIskandar Zulkarnain yang pernah berkuasa sampai ke India abad ketigasebelum Masehi. Mereka datang ke Selatan dan kandas di Gunung Merapitepatnya di suatu tempat yang bernama Pariangan. Dari sanalah merekaberkembang dan menyebar ke sekitar Gunung Merapi yang dikenaldengan

Luhak Nan Tigo yaitu, Luhak Tanah Agam, Luhak Tanah Datar danLuhak Lima Puluh Koto. Dari ketiga luhak inilah mereka menyebar lagike daerah lainnya seperti Solok, Pasaman, Pesisir Selatan, Pariaman, danSawah Lunto Sijunjung.

2.3 Kenagarian Abai

Kenagarian Abai adalah salah satu nagari yang ada di Kecamatan SangirBatang Hari Kabupaten Solok Selatan. Daerah ini dilalui oleh Sungai BatangHari dengan lingkungan berbukit yang membentang. Pada masa OrdeBaru, Nagari Abai merupakan daerah IDT (Inpres Daerah Tertinggal) danterisolir. Tertinggal pada bidang pendidikan, informasi, maupun kualitassumber daya manusia. Akses untuk sampai di Nagari Abai begitu sulit.

Menurut riwayat yang diterima oleh penghulu-penghulu yang adasekarang yakni Niniak Nan Batigo yaitu Inyiak Pintu Basa, Inyiak Talanainan Sati, dan


(39)

Inyiak Rajo Tuo, asal kata abai berasal dari obay atau ma obay yangartinya saling menghubungi atau saling peduli antara satu sama lainnya. Dan di sebelah barat Nagari Abai terdapat Sungai Batang Hari yang tumbuhsebatang kayu yang bernama Sangiu, dari nama kayu itulah maka diberilah nama Nagari Abai menjadi Abai Sangir.

Pada waktu itu Nagari Abai terdiri dari dua desa yaitu: Desa Tanjung Bungo dan Tanjung Puan yang kehidupan masyarakatnya sangat bersahaja. Seiring dengan semangat Reformasi tahun 1998 oleh mahasiswa dan disambut oleh segenap masyarakat secara Nasional dan kebijakan Pemerintahan Pusat yang melaksanakan Otonomi Daerah tersebut maka pada tahun 2003 dimekarkannya Kabupaten Solok Selatan dari Kabupaten Solok yang awalnya dipimpin oleh Pjs. Bupati Solok Selatan Alm. Bapak Aliman Salim yang kemudian berlanjut dengan di komandio oleh Bapak Bupati Syafrizal. J.M.Si dan Bapak Wakil Bupati Nurfirmanwansyah, kemudian melalui pesta demokrasi pada tahun 2010 Solok Selatan dipimpin oleh Bapak H. Muzni zakaria,M.Eng dan Drs. H. Abdul Rahman, SH. MH yang sampai sekarang ini masih menjabat sebagai Bupati dan Wakil Bupati.

Pada awal berdiri Kabupaten Solok Selatan pada Kecamatan Sangir Batang Hari hanya terdiri dari 3 Nagari, berdasarkan kerjakeras tokoh-tokoh masyarakat yang ada di Kecamatan Sangir Batang Hari Maka dimekarkannya:

1. Nagari RPC (Ranah Pantai Cermin) dari Abai 2. Nagari Sitapus dari Nagari Dusun Tangah 3. Nagari Lubug Ulang Aling Selatan


(40)

Proses pemekaran Nagari tersebut diatas bermula dari mausyawarah seluruh unsur Ninik Mamak, Alim Ulama, Cadiak Pandai, Pemuda dan Bundo Kanduang. Secara geografis Nagari Abai berbentuk miring (rencong) yang berjarak 32 km dari ibu Kota Solok Selatan. Jumlah penduduk saat ini berjumlah 4.933 jiwa dengan jumlah KK 1.411 yang secara pemerintahan dibagi kepada 8 jorong yaitu:

1. Jorong Kapalo Koto 2. Jorong Limo Suku 3. Jorong Simpang Ampek 4. Jorong Aur Duri

5. Jorong Pasa Lamo 6. Jorong Pasa Baru 7. Jorong Batu Nago

8. Jorong Batu Kadunduang.

Tabel 2:Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

No Jorong Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan

1 Limo Suku 150 143 2 Simpang Ampek 212 249 3 Aur Duri 473 490 4 Pasa Baru 394 391 5 Pasa Lamo 488 513 6 Batu Nago 221 218 7 Batu Kadunduang 97 85 8 Kapalo Koto 403 406

Jumlah 2.438 2.495

(Data Tahun 2013) 2.3.1 Penduduk


(41)

Jumlah penduduk Negari Abai terdiri dari 2.438 laki-laki dan 2.495 perempuan.

Tabel 3: Jumlah Penduduk Nagari Abai Berdasarkan Kelompok Umur No Umur Jumlah

1 0-12 bulan 124 2 1-5 tahun 354 3 5-6 tahun 138 4 7-15 tahun 911 5 16-21 tahun 396 6 22-59 tahun 2.536 8 60 tahun > 175

Bertitik tolak dari tabel di atas dapat diketahui bahwa 80% dari seluruh penduduk Nagari Abai terdiri dari kelompok usia yang produktif.

Luas Kenagarian Abai setelah pemekaran lebih kurang 10.000 hektar. Daerah Abai tersebut pada awalnya merupakan sebuah Desa, dan pada tahun 2004 dimekarkan menjadi Kenagarian Abai dengan Kecamatan Sangir Batang Hari, Kabupaten Solok Selatan. Kenaagarian Abai Memiliki batas pemerintahan dengan kenagarian lainnya.

1. Sebalah utara berbatas dengan Nagari RPC 2. Sebalah selatan berbatas dengan Nagari Sitapus 3. Sebalah timur berbatas dengan Nagari Talanun maju 4. Sebalah barat berbatas dengan Nagari Lubuk Ulang Aliang

Sekitar 60% dari seluruh wilayah Kenagarian Abai terdiri dari hutan yang telah dimanfaatkan dalam bidang perkebunan yang dikelolah oleh perusahan. Sedangkan 40% dimanfaatkan untuk perumahan dan perkabunan-perkebuanan


(42)

milik masyarakat Kenagarian tersebut. Yang pada umumnya sebagian besar penduduk masyarakat Kenagarian Abai perekonomiannya bertani.

Karena itu mayoritas masyarakat Kenagarian Abai menggantungkan perekonomian dengan bertani terutama perkebunan kelapa sawit, karet, padi, kakao, serta kopi dan sebagainya. Sedangkan sebagian lagi dari masyarakat Abai bekerja sebagai pegawai sipil, pedagang/pengusaha dan karyawan.

Tabel 4: Jumlah Penduduk Berdasarkan Pekerjaan / Usaha No. Jenis Kelamin Jumlah Keterangan

1 PNS 35 Orang 2 TNI/POLRI 1 Orang 3 Pedagang 200 Orang 4 Karyawan 500 Orang 5 Tani 2.760 Orang 6 Lain-lain 850 Orang

(Data Tahun 2012)

Sebagian besar masyarakat Abai merupakan etnis Minangkabau yang terdiri dari 14 Suku yaitu: Melayu Rumah Dalam. Melayu Kampung Dalam, Melayu Gading, Melayu Rumah Baru, Melayu Sei. Baye, Melayu Sigintir, Panai Tangah, Panai Lundang, Caniago, Sikumbang, Kutianyir, Tigo Lareh, Melayu Durian, Melayu Palak Anau, Melayu, Kampai, Panai Andaleh, Panai Sinelo dan Panai. Yang mana tiap suku tersebut dipimpin oleh kepala.

Kamanakan barajo ka Mamak, Mamak barajo ka Panghulu, Panghulu barajo ka Bana, Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”16

16

Kamanakan barajo ka Mamak, Mamak barajo ka Panghulu, Panghulu barajo ka Bana, Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah artinya keponakan rajanya yaitu paman, paman rajanya penghulu adat atau raja adat, raja adat rajanya kebenaran, adat mempunyai aturan, aturan adat mengaju pada kitab suci al-qur’an


(43)

No Suku Ninik Mamak/Datuk

1 Melayu Rumah Dalam S. Tuanku Rajo Putih 2 Melayu Kampung Dalam I. Tuanku Rajo Lelo 3 Melayu Gading N. Tuanku Sutan Ibrahim 4 Melayu Rumah Baru L. DT. Rajo Panjang 5 Melayu Sei. Baye J. DT. Bandaro Kayo 6 Melayu Sigintir S. DT. Simajolelo 7 Panai Tangah Ismail DT. Lipati 8 Panai Lundang J. DT. Pahlawan 9 Caniago N. Inyik Talanan Sati 10 Sikumbang N. DT. Penghulu Sati 11 Kutianyir M. DT. Saribaso

12 Tigo Lareh STA. DT. Rajo Penghulu 13 Melayu Durian H. SH. Rajo Tuo

14 Melayu Palak Anau H. DT. Tanameh 15 Melayu M.DT. Labuan 16 Kampai M. DT. Saridano 17 Panai Andaleh Z. DT. Tahijar 18 Panai Sinelo Z. DT. Tahijar 19 Panai P. Majoindo

2.3.2 Agama

Agama yang dianut oleh masyarakat Nagari Abai 100% beragama Islam dengan paham Al-qur’an, Hadist serta Sunnah Rasull. Sebagai mana kebiasaan masyarakat Islam pada umumnya, setiap hari besar islam selalu diperingati oleh masyarakat di Mesjid-mesjid, ataupun di surau-surau yang ada di Nagari Abai, seperti Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya Idul Adha, selain itu yang tak pernah dilupakan adalah Maulid Nabi Muhammad SAW dan Isra’-Mi’raj.


(44)

Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Minangkabau, maka pelaksaan adat Minangkabau sangat kental dan masih dirasakan pada saat ini yang berpijakan ”Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah” yang masih sangat dijujung tinggi oleh masyarakat Kenagarian Abai. Kehidupan beradat dan beragama dengan catatan nilai-nilai adat ditopang oleh nilai-nilai agama. Sesuatu kegiatan menurut adat dapat dibenarkan, maka nilai-nilai yang terkandung di dalamnya otomatis sesuai dengan agama. Sehingga dalam pelaksanaan upacara-upacara yang berbentuk budaya di kenagarian Abai tak lepas dari nilai-nilai adat Minangkabau.

Dalam bidang seni tradisional, masyarakat Abai masih memakai kesenian tradisi Batombe di upacara-upacara tertentu, karena kesenian ini sangat erat hubungannya dengan adat-istiadat di kenagarian Abai. kesenian ini selalu ditampilkan pada upacara-upacara adat Nagari misalnya dalam bentuk pesta perkawinan, turun mandi, pengangkatan penghulu, dan alek Nagari lainnya.

Kesenian tradisi Batombe merupakan salah satu potensi seni budaya lokal yang menjunjung tinggi nilai-nilai atau norma adat di kenagarian tersebut. kesenian tradisi ini masih eksis di masyarakat tersebut karena bagi mereka kesenian tradisi ini merupakan bentuk atau cerminan pada kehidupan masyarakat sehari-hari. Hal ini masih terlihat dalam isi-isi pantun atau syair-syair yang terdapat pada kesenian tradisi Batombe.

2.3.4 Sarana Peribadatan

Untuk sarana ibadah bagi umat Islam, terdapat sebanyak 4 buah mesjid dan beberapa mushallah yang terbesar di 5 Jorong yang ada di Nagari Abai yaitu:


(45)

2. Mesjid Raya Abai

3. Mesjid Batu Kanduduang 4. Mesjid BPSJ

Pada masing-masing mesjid dan mushallah yang ada, telah berdiri TPA/TPSA dan BKMT sebagai wadah untuk memperdalam ilmu baca Al-qur’an dan Agama Islam dengan perkembangan cukup mengembirakan sehingga pada setiap hari rabu selalu diselenggarakan BKMT dan MTQ pada bulan Rahamdhan.

2.3.5 Pemuda dan Olahraga

Pembangunan disektor pemuda dan olahraga salah satu bidang yang cukup besar perhatian Pemerintah Nagari, dengan kesungguahan dan kerjasama yang baik dan kewenangan yang diberikan oleh Pemerintah Nagari yang sangat luas, Pemuda Nagari telah mampu untuk membangun Nagari kearah yang positif dan berkembang “Parik Paga Dalam Nagari”17

17

Parik paga dalam nagari adalah salah satu Lembaga Nagari yang mempunyai tugas sebagai

Dilihat dari segi olahraga sepakbola, Organisasi pemuda telah banyak menggalakan turnamen antar kampung maupun open turnamen yang mengundang daerah dalam kabupaten maupun dari luar kabupaten solok selatan. Kegiatan ini dilakukan 2 sampai 3 kali setahun, selain itu pemuda telah membentuk tim sepakbola yang dibina dari usia muda, yang kemudian hari akan biasa menjadi pesepak bola handal yang dimiliki Nagari Abai.


(46)

BAB III BATOMBE

3.1 Sejarah Tradisi Kesenian Batombe

Dahulu tradisi Batombe merupakan kesenian penyemangat orang-orang yang sedang bekerja mengambil kayu di hutan untuk membuat Rumah Gadang. Menurut Datuak Sati Nan Panjang, Batombe adalah nyanyian masyarakat yang syairnya merupakan pantun-pantun berbalasan yang berisikan pesan-pesan sosial, moral dan tingkah laku, kebiasaan ini dilakukan masyarakat ketika mereka mengangkat kayu dari hutan ke kampung, selain itu juga mereka lantunkan pada saat beristirahat kerja di hutan.

Jauh sebelum masa penjajahan Belanda, Kenagarian Abai masih begitu sunyi. Wilayahnya diselimuti hutan belantara berikut satwa liar yang hidup bebas didalamnya. Menurut Datuak Sati Nan Panjang, penduduk Kenagarian Abai ketika itu masih beberapa kepala keluarga dan beberapa suku “Kaum” yang keadaannya masih sepi dan sunyi.

Suatu hari, orang-orang terhormat seperti pemuka adat, agama, dan tokoh masyarakat Kenagarian Abai berkumpul dan melakukan musyawarah, mereka membicarakan sesuatu `proyek' besar, yakni membuat Rumah gadang (besar) yang pertama di Kenagarian Abai. Tujuan pembuatan Rumah gadang tersebut untuk menjaga keselamatan warga dari binatang buas, juga sebagai rumah tinggal, dan sekaligus tempat pertemuan, serta pusat seni dan budaya masyarakat Kenagarian Abai ketika itu.


(47)

Hasil musyawarah tersebut lalu diumumkan pada khalayak ramai agar bergotong-royong mempersiapkan pembangunan. Langkah pertama mencari bahan baku untuk bangunan, berupa kayu yang diambil dari hutan yang ada di sekitar mereka. Kaum ibu memberikan dukungan dengan menyiapkan makanan dan minuman bagi para pekerja.

Pagi itu ditepi hutan, masyarakat berkumpul. Ada orang tua, muda-mudi, dan anak-anak. Semua nampak sibuk dengan tugas masing-masing. Kaum pria dewasa membawa alat-alat untuk menebang kayu. Mereka menuju hutan untuk menebang pohon besar secara bergotong royong. Sebagian lagi membersihkan batang pohon untuk dijadikan tiang. Batang pohon lainnya dipotong-potong menjadi balok, papan, dan sebagainya. Sementara kaum perempuan menyiapkan makanan dan minuman. Ketika itulah beberapa muda-mudi termasuk orang tua berpantun irama seperti sedang melantunkan lagu. Ketika mereka mengangkat kayu tersebut, mereka baik (laki-laki dan perempuan) saling berbalas pantun, yang dimulai dari satu orang dan dibalas oleh orang lain. Apabila perempuan yang terlebih dahulu berpantun, maka laki-laki lah yang harus membalasnya. Pantun yang dilantunkan pada saat itu berbentuk pantun keceriaan untuk menimbulkan semangat pada saat mereka bekerja mengangkat kayu.

Tak terasa matahari sudah diatas kepala. Mereka pun beristirahat sejenak sambil menikmati makan siang bersama. pada saat makan tersebut masih ada juga yang masih melakukan balas pantun.Pantun yang mereka bawakan berisi kata-kata semangat. Pantun yang mereka bawakan itu kemudian dikenal dengan

Batombe. Mereka sengaja menampilkan Batombe agar setiap orang yang sedang bekerja membuat rumah gadang kembali bersemangat mengambil kayu di hutan.


(48)

Menurut Datuak Sati Nan Panjang, saat mengambil kayu di hutan, ada kejadian aneh. Sebatang kayu usai ditebang tidak bisa ditarik untuk dijadikan tiang Rumah gadang. Pada saat itu dibacakanlah ayat alqur’an supaya kayu dapat ditarik, akan tetapi kayu ini tidak bisa ditarik juga. Pada saat itu masyarakat berusaha dengan sedemikian rupa, sampai-sampai memohon kepada roh atau dewa yang ada dalam hutan tersebut, dengan menyembelih seekor kerbau, dan kemudian batang pohon tersebut dibasahi dengan darah kerbau sambil melantunkan Batombe, sehingga kayu tersebut bisa ditarik oleh warga Kenagarian Abai dengan menggunakan tali panjang dan kemudian diangkat ke perkampungan sambil berbalasan pantun.Sejak kejadian itulah dalam penyelenggaraan kesenian tradisi Batombe selalu menyembelih kerbau. Kalau tidak, akan dikenai denda adat. Dengan kata lain berhutang.

Setelah beberapa hari bekerja keras secara gotong royong, akhirnya rumah gadang yang diimpikan rampung. Masyarakat Kenagarian Abai pun bergembira dan bangga bisa menyelesaikan Rumah gadang pertama di kenagariannya. Dalam peremian Rumah Gadang tersebut diacara terakhirnya, kerbau yang sebelumnya disembelih dimakan bersama-sama oleh warga kampung di Rumah Gadang tersebut.

Itulah makna sejati, awal kesenian tradisi Batombe di Nagari Abai, yakni “Pambao baban nan barek”18

18

Pahelo baban nan barek adalah pendirian rumah gadang

, menyemangati orang-orang yang mengambil kayu di hutan untuk membangun Rumah gadang pertama di Abai. Sekarang Rumah gadang tersebut menjadi Rumah gadang terpanjang di Sumatera Barat yang dikenal dengan sebutan Rumah Gadang 21 Ruang.


(49)

3.2 Tata Cara Pelaksanaan Tradisi Kesenian Batombe

Pertunjukkan Batombe merupakan sebuah proses yang memerlukan waktu dan ruang. Proses pertunjukkan Batombe mempunyai bagian awal, bagian tengah, dan bagian akhir. Struktur dasar pertunjukkan Batombe meliputi tahapan sebagai berikut. Pertama, persiapan bagi pemain dan persiapan bagi penonton. Persiapan bagi pemain dimaksudkan bahwa para pemain yang akan tampil dalam setiap kali pertunjukkan harus benar fasih dan jelas intonasi suaranya dalam mendendangkan pantun sehingga penonton mengerti makna dari penyampaian pantun yang didendangkan oleh pemain. Yang harus diperhatikan lagi, pakaian pemain harus sopan agar jangan menimbulkan kesan negatif dari penontonnya. Persiapan bagi penonton dimaksudkan penonton sebagai orang yang menikmati pertunjukkan tersebut diharapkan supaya bisa diam selama pertunjukkan berlangsung sehingga penonton bisa menangkap pesan-pesan yang terkandung dalam pantun yang disampaikan pemain. Kedua, persiapan pementasan dimaksudkan tempat bagi pemain untuk tampil selama pertunjukkan berlangsung. Sebelum itu, dipersiapkan pula alat-alat pendukung pertunjukkan misalnya pengeras suara (mikrofon), tape, speaker dan lain-lain. Ketiga, apa-apa yang terjadi setelah pertunjukkan selesai dimaksudkan respon dari para penonton yang kadang gembira, sedih, bersorak setelah pertunjukkan selesai (Amir dkk, 1990: 5).

Pertunjukan kesenian tradisi Batombe ini direncanakan satu hari sebelumalek digelar, dan diadakan pada malam hari di rumah gadang. Perencanaan ini dilakukan dalam pertemuan adat duduak nan tuo atau duduak


(50)

ampekbaleh jinih19oleh rajo (raja), penghulu, niniak mamak20, sumando21, sumandan22, si pangka23, si alek24 dan tokoh masyarakat lainnya. Pertemuan tersebut membahas tentang prosesi alek25 yang akan diadakan, contohnya membicarakan lama pelaksanaan perhelatan tersebut. Biasanya lama pelaksanaan ini berlangsung selama 7 hari. Umumnya dimulai pada hari Jum’at. Pemilihan hari ini karena pada hari Kamis berlangsung pasar rakyat, sehingga semua kebutuhan untuk perhelatan dibeli dan disiapkan pada hari Kamis.Rencana ini disetujui jika telah ada kesepakatan dengan jalan musyawarah seluruh Niniak Mamak yang disesuaikan dengan permintaan si pangka(pihak yang mempunyai acara tersebut). Didalam musyawarah tersebut semua orang yang menghadiri memberikan sumbangan yang dimasukan kedalam carano26atau talam yang ditutup dengan tabia27

19

duduak nan tuo atau duduak ampek baleh jinih adalah muyawarah yang dilakukan oleh orang

tua-tua dari kaum atau raja-raja dari setiap kepala suku, dinamkan ampek baleh jinih yaitu suku-suku di Abai dengan 14 jenis raja

20

Niniak mamak adalah seorang laki-laki yang dituakan dan dipilih kusus di setiap suku

21

Sumando adalah menantu laki-laki

22

Sumandan adalah menantu perempuan 23

Si pangka adalah tuan rumah 24

Si alek adalah tamu

25

Alek adalah prosesi perkawinan, pesta perkawinan, kenduri 26

Carano adalah benda sakral berbentuk dulang berkaki dari kuningan. Di dalamnya berisi daun

sirih, kapur, gambir, pinang, dan tembakau.

27

Tabia adalah kain berarna merah yang di sulam dan ditambahkan tempelan pecahan kaca atau dijahitkan ke kain tersebut. Digunakan untuk penutup carano

. Carano tersebut digilir ke setiap orang yang ada didalam Rumah Gadang, yang dimulai dari Mamak Gadang (laki-laki tua dalam keluarga yang menyelenggarakan pesta atau alek).sumbangan tersebut dimaksudkan untuk membantu biaya perhelatan yang akan dilaksanakan. Selain itu,Si pangka harus menyembelih binatang kabau (kerbau) yang dianggap sebagai pusaka para penghulu. Dalam melakukan acara Batombe diwajibkan untuk memotong kerbau, pemotongan dilakukan satu hari sebelum alek dilaksanakan.


(51)

Setelah acara musyawarah tersebut diadakan, sumando menghidangkan makanan yang telah dimasak pada siang harinya, makanan tersebut berupa nasi, rendang, gulai ayam, samba lado dan sebagainya, yang sebagai minumanya berupa teh dan air putih, setelah semua terhidangkan, acara selanjutnya yaitu do’a bersama yang dipimpin oleh alim ulama untuk kesuksesan acara alek yang akan diadakan. Selesai berdo’a semua orang dipersilahkan untuk menikmati suguhan makanan yang di berikan oleh si pangka.

Ketika perhelatan alek tersebut diadakan, para ibu-ibu Kenagarian Abai mengantarkan Baban (seserahan) secara adat dengan panci maupun cawan, isi di dalampanci atau cawan tersebut terdiri dari; karambia (kelapa), minyak tanah, minyak goreng, gula pasir, garam dan lain sebagainya. Semua seserahan adat tadi diberikan ibu-ibu kepada pihak si pangka(tuan rumah) pada saat datang berkunjung ke Rumah gadang pihak yang menyelenggarakan alek. Seserahan yang dibawa dikumpulkan dan dipergunakan untuk kebutuhan pangan selama berlangsungnya perhelatan. Selanjutnya, pihak si pangkamemberikan balasan berupa makanan seperti; samba(sambal atau lauk), pinyaram (makanan khas minangkabau), kue talam(seperti agar-agar), dan sipuluik(pulut atau ketan) sebagai wujud baso-basi(basa-basi) tuan rumah kepada tamu yang berkunjung dan datang membantu.

Jika akan dilakukan pertunjukan Batombe, maka didalam rumah gadang, sudah dipenuhi masyarakat Abai, baik orang tua maupun anak-anak. Beberapa orang akan terlihat sibuk mempersiapkan alat pengeras suara yang dipergunakan untuk para pelantun Batombe. Seluruh ruangan rumah gadang dihiasi seindah mungkin, pada bagian dinding plafonnya dihiasi dengan kain bermotif kotak,


(52)

segitiga, dan garis berwarna merah, kuning, hijau, putih, biru, dan hitam. Pada bagian atapnya dihiasi dengan potongan kain yang menyuntai kebawah dengan warna-warna yang cerah. Sedangkan sebuah tiang kayu atau tongga yang ada di tengah ruangan itu, dihiasi juga dengan warna yang cerah, dan tiang-tiang yang lainnya di hiasi dengan kain panjang yang berwarna gelap.

Pertunjukan kesenian tradisi Batombe ini dipandu atau diawasi oleh

Mamak kepala kaum kedua pihak yang mengadakan Alek agar tidak menimbulkan nilai negatif yang melanggar nilai adat dan agama selama pertunjukan berlangsung. Pendendang laki-laki dan pendendang perempuan dibatasi jarak posisi duduknya dengan ditampilkan dalam ruangan Rumah Gadang dan disaksikan oleh masyarakat (penonton) secara beramai-ramai.

Pelaksanaan pertunjukan Batombe pada dulunya dilakukan 7 hari tujuh malam, Menurut Datuk nan panjang, Batombe dulunya memang dilakukan penuh 7 hari tujuh malam tampa berhenti, ini di karenakan kegiatan bekerja waktu belum ada yang sesibuk sekarang, dulunya orang hanya bertani, bertani tidak dilakukan setiap hari, jadi masih banyak waktu luang, dan untuk mengisi waktu luang tersebut, mereka memainkan Batombe bersama di Rumah Gadang.Pada saat sekarang ini telah jarang dilakukan pertunjukan Batombe seperti itu, Pertunjukan Batombe sekarang ini sering dilakukan pada malam hari,waktu pertunjukkannya tersebut dilakukan setelah shalat Isya sampai menjelang masuknya waktu subuh. Kira-kira dimulai pukul 21.00 WIB dan berakhir jam 04.00 WIB. Namun, ini bukan batasan waktu yang mutlak dalam setiap pertunjukan. Adakalanya waktu pertunjukkan menyesuaikan situasi dan kondisi acara perhelatan.


(53)

Selain itu, pada siang harinya kadang-kadang ada juga dari ibu-ibu yang lagi memasak memainkan Batombe dan dibalas oleh yang lainnya.Pada dasarnya, pertunjukan kesenian tradisi Batombe dianggap oleh masyarakat setempat sebagai salah satu alat pemersatu masyarakat Kenagarian Abai. Di samping itu juga sebagai hiburan untuk meramaikan prosesi alek yang dilaksanakan selama perhelatan berlangsuang.

Gambar 1.

Pertunjukan Batombe di Rumah gadang


(54)

Gambar 2.

Pertunjukan Batombe di Rumah Gadang

Pada hari penutupan pertunjukan tradisi kesenian Batombe dilakukan penyembelihan seekor sapi atau kerbau yang kemudian dimasak dan pada malam harinya dilaksankan do’a dan makan bersama, acaranya juga dilakukan oleh raja dan niniak mamak serta masyarakat lainnya, pada saat itulah semua acara alek atau pesta berakhir dan ditutup oleh raja atau datuk kembali.

3.2.1 Waktu Pertunjukan Kesenian Batombe

Pertunjukan kesenian tradisi Batombe ini biasanya diadakan pada saat upacara adat seperti Batagak Panghulu (pengangkatan gelar penghulu), Rajo mamacah galanggang (Penobatan gelar Raja), Alek Intan Babungo (Helat Perkawinan), Pahelo Baban Nan Barek (mendirikan rumah adat atau Rumah Gadang)

a. Batagak Pangulu (Pengangkatan Gelar Penghulu)

Biasanya pengangkatan gelar penghulu dilakukan untuk menggantipenghulu yang lama dengan penghulu yang baru. Di samping denganalasan mengganti penghulu yang lama, pengangkatan


(55)

penghulu bisa jugadilakukan untuk menambah jumlah penghulu. Jadi, dalam acara batagakgadang atau batagak penghulu diadakan seni pertunjukan batombe yangdihadiri oleh khalayak ramai.

b. Penobatan Gelar Raja (Rajo Mamacah Galanggang)

Upacara adat penobatan gelar raja merupakan baralek gadang di NagariAbai. Seluruh raja, penghulu atau datuk dalam Nagari Abai hadir dalamupacara ini. Oleh karenanya, diadakan kesenian yang meriah yaitu batombe.

c. Alek Intan Babungo (Helat perkawinan)

Kalau dilihat dari makna asal dari kata Alek Intan Babungo terdiriatas tiga kata yaitu, alek artinya helat, kenduri, perkawinan; intan artinyasejenis permata yang elok warnanya; babungo artinya berbunga, terjadinyaperkawinan. Alek ini berlangsung selama satu minggu di rumah gadangkedua belah pihak yang mengadakan alek perkawinan tersebut.

d. Pahelo Baban Nan Barek(Pendirian Rumah Gadang)

Dalam pendirian rumah gadang, masyarakat Nagari Abai sertakaum persukuan masing-masing rumah gadang bergotong-royong untukmengambil kayu dari hutan. Kayu dijadikan sebagai bahan baku pendiriantonggak maupun tiang rumah gadang. Untuk menumbuhkan semangatdalam mendirikan rumah gadang, mereka saling berbalasan pantun satusama lainnya secara berpasang-pasangan antara kaum laki-laki dan kaumperempuan.


(56)

3.2.2 Pemain Tradisi Kesenian Batombe

Pada umumnya masyarakat Abai pandai Batombe. Hal ini sudah menjadi kegemaran bagi masyarakatnya yang memiliki jiwa seni. Dalam kesenian tradisi Batombe tidak ditentukan secara mutlak jumlah pemainnya selama pertunjukannya berlangsuang, hanya saja jumlah pemain minimal dua orang pendendang yaitu laki-laki dan perempuan (kaum muda-mudi dan orang tua). Pemain juga bisa secara berkelompok, semuanya tergantung pada pemain dan peminat pertunjukan kesenian tradisi Batombe. Untuk menjadi seorang pendendang kesenian tradisi Batombe, mereka tidak mendapatkan pendidikan khusus, maksudnya mereka belajar dari menyaksikan pertunjukkan. Dari sini mereka akan melatih diri untuk bisa seperti pendendang dengan menyesuaikan irama dan pantun-pantun dalam dendang, ataupun pantun ciptaan maupun karangan mereka sendiri. Menurut Izul (25), dalam memain kan Batombe tampa latihanpun bisa, dalam memainkannya cukup dengan spontan apa yang rasanya cocok untuk dimainkan dan terbalas pantun yang disampaikan oleh lawannya, kami pemain batombe tidak ada belajar, kami pandai memainkan batombe dengan sering mendengarkannya, begitulah cara kami belajar. Selai, itu keluarga kami juga pandai memainkan Batombe, jadi saya dituntut untuk pandai memaikan

Batombe, factor keturunan itulah menjadikan saya pandai mamainkan tardisi kesenian batombe ini.


(1)

Qur’an dan hadist yang menyatakan ini. Cukup banyak contoh kehidupan sehari-hari yang terkait dengan ini, karena ingin berlagak memperturutkan hati besar, misalnya dalam mengadakan pesta perkawinan yang diadakan secara besar-besaran, mewah sekali, sedangkan sebenarnya kesanggupan tidak memadai untuk itu. Mungkin juga untuk melaksanakan maksudnya itu sebagian sudah meminjam duit lebih dulu, dan sebagian lagi belum dibayar, sehingga sesudah pesta banyak datang tagihan, akhirnya yang didapat kesukaran. Pantun ini sebenarnya dapat juga digolongkan kepada pantun nasehat, yang berisi petunjuk yang sangat berguna sebagai pedoman hidup. Jadi tetaplah dilestarikan pantun Minangkabau ini, jangan biarkan sampai hilang dari peredaran suatu masa nanti. Tetaplah dipertahankan dan dikaji serta dihayati maksudnya.

BATOMBE Dalam Bahasa Indonesia

Hari Salasa pukuah satu, Urang malapeh laying-layang. Lai sarawa indak babaju, Jo-a dilawan dunie urang.

Hari Selasa pukul satu, Orang melepas layang-layang. Ada celana tidak berbaju,

Dengan apa dilawan dunia orang. Makna sampiran :

Hari Selasa pukuah satu, urang malapeh layang-layang. Ini pengertiannya bahwa pada hari Selasa jam satu siang, banyak orang melepas layang-layang. Dikatakan jam satu siang sebab tak mungkin orang main laying-layang pada jam satu malam. Dan biasanya orang main layang-layang itu tidak hanya sendirian. Memang bermain layang–layang itu biasa dilakukan pada tengah hari, pada waktu ada gerakan udara yang cukup kuat. Lalu mengapa pada jam satu?, Sebab pada jam 12,30 orang Minangkabau biasanya shalat zuhur dulu, lalu makan, termasuk orang yang main layang-layang ini.


(2)

Makna isi pantun :

Lai sarawa tak babaju, joa dilawan dunie urang, pernyataan ini bukanlah arti yang sebenarnya, Cuma menyatakan orang ini miskin, sehingga dia tidak pantas berbaur dengan orang lain, karena ada kekurangannya. Dengan lain pengertian, pantun ini membuktikan adanya kelas dalam masyarakat. Ada golongan masyarakat yang lebih rendah derajadnya dari yang lain,sehingga sehingga tidak pantas berkumpul bersama. Akan tetapi pantun ini biasanya dialamatkan kepada seorang yang miskin, yang banyak kekurangannya, sehingga lebih memilih menyendiri dari pada bergaul dengan orang banyak. Bisa juga menggambarkan sifat cengeng sifat rendah diri dari orang lain dan lebih suka ber-iba hati.

BATOMBE Dalam Bahasa Indonesia

Urang Arab pai mangaji Mangaji wakatu subuah. Apo diharok dikayu mati,

Palieng-palieng cindawan tumbuah.

Orang Arab pergi mengaji, Mengaji diwaktu subuh. Apa diharap di kayu mati, Paling-paling cendawan tumbuh. Makna sampiran :

Orang Arab pergi mengaji, mengaji diwaktu subuh. Dalam pengertian orang Minangkabau, mengaji itu termasuk belajar membaca Al-Qur’an, mengikuti wirid-wirid, mendengarkan ceramah agama dan sebagainya. Waktu pengajian itu adalah waktu shubuh, tentunya sesudah shalat subuh. Kalau sekarang memang sedang pop[uler yang disebut kuliah subuh.


(3)

Apo diharok dikayu mati, paliang-paliang cindawan tumbuah. Pengertian harfiahnya adalah kayu yang telah mati, menag tidak banyak gunanya lagi, apalagi yang sudah mulai melapuk. Paling-paling untuk kayu bakar, tetapi sekarang sudah jarang orang yang memasak dengan kayu bakar. Kalau cendawan atau jamur memang suka tumbuh pada kayu yang sudah mati, yang sedang melapuk. Ini mengibaratkan orang yang miskin atau orang yang bodoh, yang hampir tidak ada yang akan diharapkan darinya. Minta Bantu soal keuangan, dia miskin, tak mungkin membantu, mau dimintai pendapatnya tentang sesuatu masalah, dia tidak cukup pintar untuk itu. Atau diminta membantu kerja yang memerlukan tenaga, dia lemah dsan cacat.Akan tetapi ungkapan ini biasa dikatakan oleh orang yang telah jatuh bangkrut, orang yang cacat dan sejenisnya, yang merasa minder dan suka bersedih hati. Orang ini beranggapan bahwa dia tidak ada gunanya lagi untuk orang lain, dia tidak akan dapat menyumbangkan sesuatu untuk orang lain. Dari pantun ini terlihat bahwa pada zaman dulu, cendawan atau jamur adalah termasuk barang yang tidak berharga, berbeda dengan sekarang ini, dimana cendawan itu termasuk barang mewah.


(4)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Analisis kesimpulan

Pada bagian penutup ini dapat disimpulkan bahwa Tradisi Kesenian Batombe. Pada mulanya pertunjukan ini digunakan untuk memberikan semangat kepada masyarakat bersama persukuannya untuk membangun rumah gadang dengan cara mengambil bahan bangunan kayu dari hutan. Kayu tersebut akan diolah menjadi tonggak, tiang dan papan untuk membangun rumah gadang di Nagari Abai, pembangunan rumah gadang tersebut berfungsi untuk menjaga keselamatan penduduk dari serbuan binatang buas serta digunakan untuk tempat tinggal persukuan setempat.

Pertunjukan Batombe ini dilaksanakan pada acara helat perkawinan, rajo mamacah galanggang (pengangkatan raja), pengangkatan penghulu, pahelo baban nan barek mamikua baban ringan(pendirian rumah gadang). Batombe dijadikan ajang pemersatu masyarakat Abai. Kegiatan ini didukung oleh unsur-unsur sebuah pertunjukan yang terdiri dari penampilan, tempat, waktu, pakaian yang digunakan, alat musik pengiring, dan makan dan minuman yang disajikan pada saat Batombeberlangsung. Unsur-unsur ini saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Teks Batombe yang digunakan dalam pertunjukan bercerita tentang percintaan, nasehat, ratapan atau kesedihan (nasib hidup keseharian masyarakatnya), dan teks pantun Batombe ini mengandung nilai budaya serta menggunakan bahasa Minangkabau yaitu bahasa sehari-hari masyarakat setempat. Pantun yang disampaikan oleh pemain Batombe adalah murni dari curahan hati


(5)

dengan spontanitas adanya, setiap pantun yang dilantunkan mengandung arti dan makna tersendiri untuk melukiskan perasaan dari satu pemain Batombe.

5.2 SARAN

Dengan memperhatikan hal-hal yang terdapat dalam kesimpulan di atas, maka perlu diperhatikan saran-saran sebagai berikut:

1. Kesenian Tradisional Batombemerupakan salah satu kebudayaan yang membentuk jati diri masyarakat Minangkabau pada umumnya dan khususnya masyarakat Abai. Untuk mempertahankan hal tersebut, diperlukan sosialisasi mengenai kesenian ini kepada semua lapisan masyarakat yang ada di Minangkabau agar dapat mengetahui bahwa ada satu tradisi berbalas pantun yang terdapat di Kenagarian Abai.

2. Saat sekarang ini pemain kesenian Batombe sudah sangat sedikit, kebanyakan dikalangan orang-orang tua saja, kurangnya minat remaja maupun anak-anak untuk menikmati kesenian Batombe. Untuk sekarang ini sangat jarang remaja yang memainkan Batombe, diharapkan adanya pembelajaran atau satu mata pelajaran kesenian yang diadakan di sekolah-sekolah. Dapat juga dilaksanakan pelatihan di sanggar daerah.

3. Kesenian Tradisional Batombemerupakan salah satu unsur kebudayan Minangkabau yang perlu dilestarikan. Pentingnya usaha untuk mempertahankan kesenian tradisional rabab sama halnya dengan mempertahankan unsur-unsur budaya lainnya, agar budaya Minangkabau yang kaya akan nilai-nilai kedaerahan dapat tetap lestari dan masih dapat dengar dan dinikmati oleh generasi mendatang.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Achadiati, Ikram 2008. Beraksara dalam Kelisanan (dalam Meteodologi KajianTradisi Lisan), Pudentia (editor). Jakarta: ATL.

Amir, Adriyetti. 1990. Sastra Lisan Minangkabau I. Padang: Universitas Andalas. Anwar, Khaidir. 1995. Beberapa Aspek Sosio-Kultural Masalah Bahasa.

Yogyakarta: Gajah Mada University Press

Esten, Mursal. 1999. Desetralisasi Kebudayaan. Bandung: Angkasa.

Febrinaldi. 2009. Rabab: Studi Deskriptif Mengenai Perubahan Kesenian Tradisional Rabab di Daerah Muaralabuh, Kec. Sungai Pagu, Kab. Solok Selatan, Sumatera Barat (Skripsi Antropologi Sosial FISIP USU). Medan: Tidak diterbitkan.

Hoed, B.H. 2008. Komunikasi Lisan sebagai Dasar Tradisi Lisan (dalamMeteodologi Kajian Tradisi Lisan), Pudentia (editor). Jakarta: ATL.

Kayam, Umar. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: PT Djaya Pirusa

La Sudu. 2012. Tradisi LisanKabhanti Gambusu padaMasyarakat Muna di Sulawesi Tenggara(Tesis ilmu SusastraPeminatan Budaya PertunjukanFakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia). Depok: Tidak diterbitkan

Littlejohn, Stephen, W. 2009. Teori Komunikasi Theories of Human Communication edisi 9. Jakarta. Salemba Humanika.

Murgiyanto, Sal. 2004. Tradisi dan Inovasi. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Navis, A,A. 1984. Alam Terkembang Jadi Guru Adat dan Kebudayaan

Minangkabau. Jakarta: Grafiti Pers.

Rosidi, Ajip. 1995. Sastra dan Budaya Kedaerahan dalam Keindonesiaan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Saifuddin, Ahmad Fedyani. 2005. Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Edisi pertama, cetakan ke-1. Jakarta: Kencana Prenada Media

Sibarani, Robert. 2012. Kearifan Lokal: Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi Lisan. Jakarta Selatan: Asosiasi Tradisi Lisan (ATL)