15
pemeluk baru.
27
Dengan demikian pendidikan bisa menjadi faktor seseorang untuk pindah agama, tetapi bukan merupakan hal yang mutlak.
3. Proses Pindah agama
Proses pindah agama menyangkut perubahan batin seseorang secara mendasar. Menurut Jalaluddin, proses ini diumpamakan seperti proses pemugaran sebuah
gedung bangunan lama dibongkar dan pada tempat yang sama didirikan bangunan baru yang lain sama sekali dari bangunan sebelumnya.
28
Terkait dengan analogi tersebut dijelaskan bahwa seseorang atau sekelompok orang yang mengalami proses
pindah agama, segala bentuk kehidupan batinnya yang semula mempunyai pola tersendiri berdasarkan pandangan hidup agama yang dianutnya, setelah pindah agama
pada dirinya secara spontan ditinggalkan sama sekali. Segala bentuk perasaan batin terhadap kepercayaan lama seperti harapan, rasa
bahagia, keselamatan, dan kemantapan berubah menjadi berlawanan arah.Timbullah gejala-gejala baru berupa perasaan tidak lengkap, tidak sempurna. Gejala ini
menimbulkan proses kejiwaan dalam bentuk merenung, timbul tekanan batin, penyesalan diri, rasa berdosa, cemas terhadap masa depan dan perasaan susah yang
ditimbulkan oleh kebimbangan. Sehubungan dengan proses pindah agama yang dialami individu, Lewis R.Rambo dalam jurnal ilmiahnya memberikan pendapatnya,
bahwapara ahli perlu untuk menelusuri pengalaman seseorang individu yang pindah agama, karena setiap orang mempunyai isu-isu tertentu yang perlu ditelusuri
mengenai perjalanan perubahan keagamaannya.
29
Pendapat tersebut perlu diapresiasi, dengan menelusuri proses pindah agama maka akan membantu seorang konselor
dalam memberikan bantuan konseling pastoral, sesuai dengan temuan melaui penlusuran terhadap konseli.
Terkait dengan proses pindah agama seseorang, Rambo juga mengatakan: konselor bisa memberikan gagasan-gagasan yang bernilai untuk melacak secara
mendalam mengenai proses pindah agama.
30
Pelacakan proses pindah agama oleh konselor dimaksudkan untuk memberikan bantuan pendampingan, dan menentukan
metode yang sesuai dengan yang dibutuhkan seseorang yang melakukan pindah
27
Hendropuspito, Sosiologi Agama, Kanisius, Yogyakarta, 1983, hlm. 83
28
Jalaluddin, 2911 Psikologi Agama, Raja Grasindo Persada, Jakarta, hlm.367-368
29
Rambo, Lewis, R, 2010, Conversion Studies, Pastoral Counseling and Cultural Studies Engaging and Embracing a New Paradigm, Journal of Pastoral Psychology, Vol.59,pp.433-443
30
Rambo, pp.436
16
agama. Perasaan yang berlawanan itu menimbulkan pertentangan dalam batin, pada saat itulah seseorang mengalami krisis, sehingga untuk mengatasi kesulitan tersebut
harus dicari jalan penyalurannya. Pada umumnya gejala tersebut apabila sudah dialami seseorang atau sekelompok orang, mereka menjadi lemah dan pasrah,
sehingga berusaha untuk menghindari diri dari pertentangan batin. Ketenangan batin akan terjadi dengan sendirinya apabila yang bersangkutan mampu memilih
pandangan hidup yang baru. Pandangan hidup yang dipilih tersebut merupakan petaruh bagi masa depannya, sehingga ia menjadi pegangan baru dalam kehidupan
selanjutnya. Proses pindah agama yang dianalogikan dengan membangun bangunan baru di
tempat yang sama, merupakan proses perubahan yang membutuhkan waktu yang relatif lama, membutuhkan pemikiran yang ekstra, serta perjuangan batin yang tidak
sederhana yang pada akhirnya sampai pada pengambilan keputusan untuk melakukan konversi agama. Sebagai hasil dari pemilihan terhadap pandangan hidup, maka
seseorang yang pindah agama bersedia dan mampu untuk membaktikan diri kepada tuntutan-tuntutan dan peraturan-peraturan yang ada dalam pandangan hidup yang
diplihnya itu, yaitu berupa partisipasinya secara penuh. Makin kuat keyakinannya terhadap kebenaran pandangan hidup yang baru, maka akan makin tinggi nilai
baktinya yang diberikan. Pindah agama bukanlah proses yang sederhana, seseorang yang melakukan
pindah agama telah melalui proses yang mendahuluinya, proses tersebut bisa membutuhkan waktu yang relatif lama, tetapi bisa juga dalam waktu yang relatif
pendek yang pada akhirnya mendorong seseorang untuk melakukan konversi agama, dan mereka yang melakukan konversi agama cenderung ada keyakinan yang kuat
terhadap kebenaran yang diperoleh atas konversi tersebut yang mendorong seseorang membaktikan diri pada agama baru yang dianutnya.
Herve Carrier,mengatakan, bahwa pindah agama mengandung dua unsur yaitu: Unsur dari dalam diri endogenos origin, yaitu proses perubahan yang terjadi
dalam diri seseorang atau kelompok
31
Pindah agama yang terjadi dalam batin ini membentuk suatu kesadaran untuk mengadakan transformasi disebabkan oleh krisis
yang terjadi, dan keputusan yang diambil seseorang berdasarkan pertimbangan pribadi. Proses ini terjadi menurut gejala psikologi yang beraksi dalam bentuk
31
H, Carrier.SJ, The Sosiology of Religious Belonging, Dalton, Longman and Todd, London, hlm.70
17
hancurnya struktur psikologi yang lama dan seiring dengan proses tersebut muncul pula struktur psikologi baru yang dipilih.
Unsur dari luar eksogenes origin , yaitu proses perubahan yang berasal dari luar diri atau kelompok, sehingga mampu menguasai kesadaran orang atau kelompok
yang bersangkutan.
32
Kekuatan yang datang dari luar ini kemudian menekan pengaruhnya terhadap kesadaran, mungkin berupa tekanan batin, sehingga
memerlukan penyelesaian oleh yang bersangkutan.Kedua unsur tersebut kemudian mempengaruhi kehidupan baru untuk aktif berperan memilih penyelesaian yang
mampu memberikan ketenangan batin kepada yang bersangkutan.Jadi di sini terlihat adanya pengaruh motivasi dari unsur tersebut terhadap batin. Jika pemilihan tersebut
sudah serasi dengan kehendak batin maka akan tercipta suatu ketenangan. Seiring dengan timbulnya ketenangan batin tersebut terjadilah semacam
perubahan total dalam struktur psikologis sehingga struktur lama terhapus dan digantikan dengan yang baru sebagai hasil pilihan yang dianggap baik dan benar.
Sebagai pertimbangan akan muncul motivasi baru untuk merealisasi kebenaran itu dalam bentuk tindakan atau perbuatan yang positif. Jika proses pindah agama ini
diteliti dengan seksama maka, baik itu terjadi oleh unsur dari luar ataupun unsur dari dalam ataupun terhadap individu ataupun kelompok, akan ditemui persamaan.
Perubahan yang terjadi tetap ada pentahapan yang sama dalam bentuk kerangka proses seperti pada umumnya. Terkait dengan hal ini beberapa ahli
membagi dalam tahapan seperti berikut: 1.
Herve Carrier, dalam bukunya yang berjudul The Sociology of Religious Belonging
33
, membagi proses tersebut dalam tahapan seperti berikut: 1 Akibat krisis terjadilah disintegrasi kognitif dan motivasi. 2 Reintegrasi kepribadian
berdasarkan konversi agama yang baru. Dengan adanya integrasi ini maka terciptalah kepribadian baru yang berlawanan dengan struktur lama. 3
Penerimaan peran sosial dari agama baru. 4 Kesadaran atas panggilan baru itu sebagai karya ilahi.
2. Zakiah Dradjat, dalam buku Ilmu Jiwa Agama,
34
menyatakan pendapatnya bahwa berdasarkan proses kejiwaan, konversi keagamaan melalui lima tahapan yaitu: 1
Masa tenang, pada tahap ini kondisi jiwa seseorang berada dalam keadaan tenang,
32
H. Carrier, The Sosiology of Religious Belonging, Dalton, Longman and Todd, London, hlm.70
33
H. Carrier, SJ hlm.74
34
Dradjat, Zakiah, 1970, Imu Jiwa Agama, Bulan Bintang, Jakarta, hlm,52
18
karena masalah agama belum mempengaruhi sikapnya. Terjadi sikap apriori terhadap agama. Keadaan yang demikian dengan sendirinya tidak akan
mengganggu keseimbangan batinnya, hingga ia berada dalam keadaan tenang dan tentram. 2 Masa ketidak tenangan, tahap ini berlangsung jika masalah agama
telah mempengaruhi batinnya. Kemungkinan dikarenakan suatu krisis, musibah atau perasaan berdosa, hal ini menimbulkan semacam keguncangan dalam
kehidupan batinnya, sehingga mengakibatkan terjadi keguncangan yang berkecambuk dalam bentuk rasa gelisah, panik, putus asa, ragu dan bimbang.
Perasaan seperti itu menyebabkan orang menjadi lebih sensitif dan sugesibel. Pada tahap ini terjadi proses pemilihan terhadap idea atau kepercayaan baru untuk
mengatasi konflik batinnya. 3 Masa pindah agama konversi, pada tahap ketiga ini terjadi setelah konflik batin mengalami keredaan, karena kemantapan batin
telah terpenuhi berupa kemampuan menentukan keputusan untuk memilih apa yang dianggap serasi ataupun timbulnya rasa pasrah. Keputusan ini memberikan
makna dalam menyelesaikan pertentangan batin yang terjadi, sehingga terciptalah ketenangan dalam bentuk kesediaan untuk menerima kondisi yang dialami sebagai
petunjuk ilahi. Pada saat ketenangan batin itu terjadi dilandaskan atas suatu perubahan sikap kepercayaan yang bertentangan dengan sikap kepercayaan
sebelumnya, maka terjadilah proses konversi agama. 3 Masa tenang dan tentram, masa tenang dan tentram yang kedua ini berbeda dengan tahap sebelumnya. Jika
pada tahap pertama keadaan itu dialami karena sikap acuh tak acuh, maka ketenangan dan ketentraman pada tahap ketiga ini ditimbulkan oleh kepuasan
terhadap keputusan yang sudah diambil. Ia timbul karena telah mampu membawa suasana batin menjadi mantap sebagai pernyataan menerima konsep baru. 4 Masa
ekspresi pindah agama, sebagai ungkapan menerima terhadap konsep baru dalam ajaran agama yang diyakini tadi, maka perilaku dan sikap hidupnya diselaraskan
dengan ajaran dan peraturan agama yang dipilihnya tersebut. Pencerminan ajaran dalam bentuk amal dan perbuatan yang serasi dan relevan sekaligus merupakan
pernyataan konversi agama itu dalam kehidupan. Proses pentahapan seseorang untuk pindah agama adalah proses dalam rangka
menuju keputusan untuk membuat komitmen, sehingga prosesnya tidak hanya melibatkan kekuatan kognitif tetapi juga afektif, tentu saja proses tersebut tidak
sederhana, dan polanya antara orang yang satu dengan yang lain bisa serupa, tetapi bisa juga berbeda.
19
Lewis R.Rambo dan Steven C.Bauman, keduanya juga menyampaikan tahapan konversi dalam sebuah jurnal Pastoral Psychology,
35
secara ringkas proses pentahapanpindah agama seperti berikut. 1 Tahap dinamika dalam kontek: pada
tahap ini seseorang mendapatkan pengaruh dari konteks makro dan konteks mikro. Konteks makro seperti keadaan masyarakat yang beragam kulturnya, agama
mayoritas penduduk, ideologi, kontek mikro, adalah pengaruh dari kondisi keadaan keluarga, 2 Tahap krisis, akibat pengaruh konteks makro dan mikro, individu
mengalami krisis, merasa tertekan, 3 tahap pencarian, pada tahap ini pada saat krisis maka berupaya untuk mencari sesuatu untuk keluar dari krisis, 4 Tahap perjumpaan,
pada tahap ini seseorang yang berpotensi untuk pindah agama, terlibat kontak dengan orang yang dianggap mampu membimbing. 5 tahap interaksi, sesudah menjalin
kontak pada tahap perjumpaan dilanjutkan dengan adanya interaksi yang intensif, pada tahap ini seseorang membuka diri untuk belajar, ajaran-ajarannya, gaya hidup
life style, serta harapan-harapan dalam kelompok agama yangbaru itu, 6, tahap komitmen, pada tahap ini seseorang yang telah berinteraksi dan belajar tentang agama
baru menguatkan diri dengan berkomitmen untuk konversi, komitmen untuk menerima yang baru. 7 Tahap menerima konsekwensi konversi, di tahap ini
seseorang dengan sadar menerima konsekwensi sebagai akibat logis dari komitmennya untuk meneruskan dalam kehidupan selanjutnya. adanya tahapan dari
Rambo tersebut menunjukkan bahwa seseorang yang melakukan konversi, secara psikologis telah melalui proses yang membutuhkan waktu yang relatif lama,
walaupun dimungkinkan juga terjadi dalam waktu yang relatif cepat. Dalam sebuah jurnal Pastoral Psikologiterkait dengan konversi keagamaan
yang ditulis oleh Linda A. Mercadante, memberikan catatan bahwa telah ada kesepakatan dasar diantara para sarjana mengenai konversi agama yang perlu ditelaah
yaitu: pertama, konversi agama sering terjadi diantara usia puber, remaja awal
adolescence ke masa dewasa. Kedua, setidaknya ada dua paradigma berkaitan dengan konversi agama yaitu adanya intensitas perubahan secara
bertahap atas kepercayaan yang mapan beralih ke denominasi lain, dan adanya metamorfosa keagamaan.Ketiga, konversi agama biasanya didahului oleh
adanya
krisis, bisa
krisis keagamaan,
politik, psikologis,
atau kebudayaan.Keempat, metanoia, yaitu ideologi atau pandangan yang
35
Rambo, Lewis,R, Bauman, Steven. C, 2012 Psychology of Conversion and Spiritual Transformation, Journal Pastoral Psychology, IV no.61, hlm. 881-889
20
mengakibatkan, hati seseorang menjadi terbuka, menghasilkan pertobatan, adanya perasaan yang kuat untuk berubah haluan dan bersikap
inklusif.Kelima, walaupun konversi agama tidak merubah temperamen seseorang, bisa menjadi hal profan, adanya transformasi serta perubahan arah
dan tujuan hidup, perilaku, dan makna kehidupan.
36
Berhubungan dengan catatan-catatan yang dikemukakan Linda Mercadante merupakan gejala umum yang terjadi pada proses konversi keagamaan, sehingga hal-
hal tersebut perlu penelitian lanjutan.
4. Pindah agama ditinjau dari Perspektif Konseling Pastoral