Aplikasi watermark pada citra digital menggunakan metode Singular Value Decomposition (SVD)

(1)

APLIKASI WATERMARK PADA CITRA DIGITAL

MENGGUNAKAN METODE SINGULAR VALUE

DECOMPOSITION (SVD)

YAYAN ADRIANSYAH

PROGRAM STUDI MATEMATIKA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

i

APLIKASI WATERMARK PADA CITRA DIGITAL

MENGGUNAKAN METODE SINGULAR VALUE

DECOMPOSITION (SVD)

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains

Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh:

YAYAN ADRIANSYAH

106094003193

PROGRAM STUDI MATEMATIKA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

(4)

iii

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI

BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN

SEBAGAI SKRIPSI PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA

MANAPUN.

Jakarta, Desember 2011

Yayan Adriansyah 106094003193


(5)

iv


(6)

vi

ABSTRAK

Penyalahgunaan hak cipta pada multimedia pada produk digital seperti citra tidak hanya mengenai penggandaan dan pendistribusiannya saja, tetapi juga mengenai label kepemilikan. Kebanyakan produk digital tersebut tidak mencantumkan pemegang hak ciptanya atau informasi pemiliknya. Seseorang yang telah mendapat produk digital dapat mengklaim bahwa produk tersebut adalah hasil karyanya.

Salah satu cara untuk melindungi hak cipta multimedia seperti citra adalah dengan menyisipkan informasi ke dalam citra tersebut dengan teknik watermarking. Watermarking pada citra dilakukan sedemikian sehingga informasi yang disisipkan tidak merusak citra yang dilindungi. Skripsi ini menghasilkan suatu sistem untuk menyisipkan watermark sebagai bukti kepemilikan dengan metode SVD (Singular Value Decomposition).


(7)

ABSTRACT

The abuse of copyright in the multimedia area such images is not just about multiplication and distributions, but about ownership labeling. Most of digital products do not give a copyright or ownership information. Someone who got a digital product can claim that those product is his/him creation.

One of ways to shelter multimedia copyright for example image is embeded the information into images with watermarking technique. Watermarking for images did be such that the informations which embedded not to demaged the protection images. This paper present a system for embedded watermark for copyright with SVD (Singular Value Decomposition) method.


(8)

vii

KATA PENGANTAR

ﻢﯿﺣ راا ﻦﻤﺣ راا ﷲا ﻢﺴﺑ

Segala puji dan syukur kepada Sumber dari suara-suara hati yang bersifat

mulia, Sumber ilmu pengetahuan, Sumber segala kebenaran, Sang Maha Cahaya,

Allah SWT sehingga penulis dapat senantiasa bersyukur dapat menyelesaikan

skripsi ini. Shalawat serta salam teruntuk Nabi Muhammad SAW, sumber

tauladan seluruh umat manusia, yang selalu menjadi sumber inspirasi penulis

untuk harus selalu bersifat rendah hati dan tidak takabur dalam penyelesaian

skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penyelesaian tulisan ini tidak terlepas dari

untaian do’a, dukungan, dan bantuan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan

dirahmati oleh Allah SWT ini, perkenankalah penulis mengucapakan banyak

terima kasih kepada :

1. Dr. Syopyansyah Jaya Putra, M.Sis. selaku Dekan Fakultas Sains dan

Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Yanne Irene, M.Si. selaku Ketua Program Studi (Prodi) Matematika Fakultas

Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta selaku Penguji I.

3. Ibu Suma’inna M.Si. Selaku Pembimbing I dan Bapak Hata Maulana,

S.Si.M.TI. Selaku Pembimbing II untuk semua waktu, semangat, dan nasehat

kepada penulis.

4. Ibu Gustina Elfiyanti selaku penguji II dan seluruh dosen dan staf Program

Studi (prodi) Matematika Fakultas Sains dan Teknologi atas waktu, ilmu, dan


(9)

viii

5. Orang yang kucintai, mamah dan ayahanda, kakaku, serta seluruh keluarga

besar penulis, untuk semua do’a, bimbingan, dan semangatnya.

6. Teman-teman seperjuangan Iif, Indra, Ela dan seluruh teman dari berbagai

angkatan prodi matemaika yang selalu memotivasi penulis untuk segera

menyelesaikan skripsinya.

7. Tak ketinggalan dan tak bisa di lupakan Teman-teman kosan sekaligus teman

tim basket UIN Jakarta, Qober, Zul, Gepeng, Cay, Oms, Away, Nana,

Mamang, Akew, Thifani Berkahandina pacar saya, dan teman-teman yang di

Bandung Simbau, Mail, Oghi, Badak, Rifi. Seluruh teman dimanapun kalian

berada yang tidak dapat disebutkan satu per satu, untuk do’a, dukungan, dan

candanya.

Harapan yang besar bahwa pembahasan dalam skripsi ini dapat

memberikan manfaat dan kontribusi yang berarti, baik bagi para pembaca pada

umumnya dan bagi penulis pada khususnya. Berkaitan dengan penyusunan skripsi

ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran kontruksif

sangat penulis harapkan.

Semoga kita selalu berada di jalan-Nya serta selalu mendapatkan rahmat

dan hidayah-Nya. Amin.

Jakarta, Desember 2011


(10)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...

i

PENGESAHAN ...

ii

PERNYATAAN ...

iii

PERSEMBAHAN ...

iv

ABSTRAK ... ...

v

ABSTRACT ...

vi

KATA PENGANTAR ...

vii

DAFTAR ISI ...

ix

DAFTAR GAMBAR ...

xii

DAFTAR TABEL ...

xiv

BAB I. PENDAHULUAN ...

1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 2

1.3. Pembatasan Masalah ... 3

1.4. Tujuan Penelitian ... 3

1.5. Manfaat Penelitian ... 3

BAB II. LANDASAN TEORI ...

4

2.1. Citra Digital ... 4


(11)

xi

2.3. Resolusi ... 6

2.4. Tipe Citra ... 7

2.5. Watermarking ... 11

2.5.1. Sejarah Watermarking ... 11

2.5.2. Pengertian Watermarking ... 11

2.5.3. Manfaat Watermarking ... 12

2.5.4. Kriteria Watermarking yang baik ... 14

2.5.5. Teknik Watermarking ... 15

2.6. Singular Value Decomposition (SVD) ... 16

2.7. Pembangkit Pseudorandom ... 19

2.8. Pseudorandom Aturan 2D ... 20

BAB III. METODE PENELITIAN .. ... 22

3.1. Data ... 22

3.2. Penyisipan Watermark ... 22

3.3. Alur Penyisipan Watermark ……….… . 23

3.3.1. Pengolahan Citra Berwarna ... 23

3.3.2. Digitalisasi Citra ... 23

3.3.3. Proses SVD Citra Sebagai Metode Watermark ... 24

BAB IV. PEMBAHASAN DAN APLIKASI ...

25

4.1. Aplikasi Pada Citra ... 25

4.1.1. Merepresentasikan citra ke Bentuk Matriks ... 25

4.2. Pembuatan Kunci Watermark ... 29


(12)

xi

4.3. Penempelan dan Watermark Pada Citra ... 30

4.3.1. Proses Penempelan Watermark ... 30

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ...

37

5.1. Kesimpulan ... 37

5.2. Saran ... 37

REFERENSI ...

38

LAMPIRAN


(13)

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Citra Digital ... ... 4

Gambar 2.2.Koordinat pixel dengan c merepresentasikan baris Dan r merepresentasikan kolom... 6

Gambar 2.3. Komponen RGB dan komposisinya ... 7

Gambar 2.4. Contoh penyimpanan citra berwarna didalam memori Komputer ... 8

Gambar 2.5. Koordinat warna RGB ... 9

Gambar 2.6. Skala keabuan citra grayscale menggunakan 8-bit ... 10

Gambar 2.7. Citra grayscale dengan sampel representasi numerik 8-bit .. 10

Gambar 2.8. Contoh citra biner dengan sample citra ukuran106 pixel.. . 11

Gambar 3.1. Alur Penyisipan Watermark ... 23

Gambar 4.1. Citra berwarna yang akan di- watermark ... 25

Gambar 4.2. Sampel citra yang akan di-watermark ... 27

Gambar 4.3. Representasi Numerik Matriks Red (R) ... 27

Gambar 4.4. Representasi Numerik Green (G) ... 28

Gambar 4.5. Representasi Numerik Blue (B) ... 28

Gambar 4.6. Kunci Watermark ... 29

Gambar 4.7. Nilai Singular S dari matriks Red (R) ... 30

Gambar 4.8. Nilai U dari matriks Red (R) ... 31

Gambar 4.9. Nilai V dari matriks Red (R) ... 31


(14)

xiii

Gambar 4.11. Nilai U dari matriks Green (G) ... 32

Gambar 4.12. Nilai V dari matriks Green (G) ... 33

Gambar 4.13. Nilai singularS dari matriks Blue (B) ... 33

Gambar 4.14. Nilai U dari matriks Blue (B) ... 34

Gambar 4.15. Nilai V dari matriks Blue (B) ... 34

Gambar 4.16. Citra ber-watermark dari matriks Red (R) ... 35

Gambar 4.17. Citra ber-watermark dari matriks Green (G) ... 35


(15)

xiv

DAFTAR TABEL


(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perkembangan produk digital seperti citra, audio dan video saat ini sangat

pesat dan dapat didistribusikan dengan mudah. Kemudahan distribusi media

digital di sisi lain dapat menimbulkan permasalahan ketika media tersebut

terlindungi hak cipta (copyright). Sesuai dengan sifatnya, media digital

memungkinkan tak terbatasnya salinan yang sulit dibedakan dengan aslinya, dan

dengan mudah didistribusikan maupun diperbanyak oleh pihak-pihak yang tidak

bertanggung jawab.

Penduplikasian atau penggandaan terhadap suatu citra digital sangatlah

merugikan kepemilikan (ownership). Masalah ini memang tak pernah selesai dan

menjadi rumit ketika kepemilikan citra digital dipertanyakan pemilik sebenarnya.

Oleh karena itu, keaslian suatu citra digital merupakan sesuatu yang harus dijaga

dan diperbaiki terus menerus, apabila distribusinya tidak dipantau dengan baik

dan proses penanganannya tidak berlangsung secara cepat dan aman maka

pengakuan dan pengubahan terhadap citradigital dapat dilakukan oleh orang lain.

Pemberian label kepemilikan pada citra merupakan salah satu solusi yang tepat

yakni dengan memberi watermark pada citra tersebut.

Watermarking merupakan suatu teknik penyembunyian suatu data atau

informasi “rahasia” ke dalam suatu data lainnya untuk ditumpangi (biasanya


(17)

2 data tambahan pada host-nya [1]. Jadi seolah-olah tidak ada perbedaan antara host

sebelumnya dan sesudah proses watermarking.

Ada beberapa teknik watermarking yang digunakan yaitu teknik

watermarking yang bekerja pada domain spasial dan domain transform frekuensi.

Pada domain spasial salah satunya adalah metode Singular Value Decomposition

(SVD) dan LSB sedangkan pada domain frekuensi ada beberapa transformasi

seperti Discrete Wavlete Transform (DWT), Discrete Fourier Transform (DFT),

dan Discrete Cosine Transform (DCT).

Teknik watermark dengan metode Singular Value Decomposition (SVD)

umumnya penyisipan dilakukan pada nilai-nilai singular berdasarkan

pertimbangan bahwa nilai singular tidak akan mengalami perubahan signifikan

jika terjadi sedikit gangguan pada citra (SVD). Metode Singular Value

Decomposition (SVD) merupakan teknik yang digunakan untuk merubah matriks

citra menjadi matriks SVD dengan cara mendekomposisikannya untuk

mendapatkan nilai singular dari citra. Dari penjelasan diatas maka diambil topik

untuk tugas akhir ini yaitu “Penyisipan Watermark Pada Citra Digital

Menggunakan Metode Singular Value Decomposition (SVD)”.

1.2. Permasalahan

Seorang tidak ingin dirugikan karena karya citranya dicuri dan digandakan

oleh orang lain. Biasanya jika seseorang memiliki benda, ia akan memberi tanda

kepemilikan agar tidak mudah dicuri oleh orang lain. Selain itu, manipulasi


(18)

3 dalam skripsi ini adalah bagaimana memberi watermark pada citra untuk

melindungi keasliannya dengan metode SVD.

1.3. Pembatasan Masalah

Dalam tugas akhir ini, penulis membatasi permasalahan dengan ruang

lingkup sebagai berikut :

1. Pembuatan watermark hanya pada citra berwarna yang berformat jpg.

2. Proses penyisipan watermark menggunakan metode Singular Value

Decomposition (SVD).

3. Citra yang diuji berukuran 50 x 50 pixel.

1.4. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah

Membangun aplikasi watermark pada citra untuk melindungi hak cipta pada citra

digital dengan menggunakan metode SVD.

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini antara lain:

1. Memberikan pengetahuan tentang proses pembuatan citra ber-watermark..

2. Bagi pemilik citra, aplikasi ini memberikan penanda untuk membuktikan


(19)

4

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Citra digital

Citra atau image merupakan istilah lain untuk gambar. Data atau informasi

tidak hanya disajikan dalam bentuk teks akan tetapi bisa juga berupa citra. Citra

digital adalah citra yang dapat diolah oleh komputer. Data berupa citra

mempunyai karakteristik yang berbeda dengan bentuk data yang lainnya, yakni

banyak informasi yang dapat diambil dari sebuah citra.

Gambar 2.1 Citra Digital

Secara matematis citra merupakan suatu fungsi intensitas cahaya pada

bidang 2-dimensi sehingga dapat disimbolkan dengan f(x,y), dengan (x,y)

merupakan titik koordinat pada bidang 2-dimensi dan f(x,y) merupakan nilai


(20)

5

2.2. Digitalisasi Citra

Komputer hanya bisa mengolah data yang bersifat numerik. Oleh karena

itu sebuah citra agar dapat diolah oleh komputer harus direpresentasikan secara

numerik menggunakan nilai-nilai diskrit. Representasi citra secara numerik inilah

yang disebut dengan digitalisasi yang pada dasarnya merupakan proses mengubah

nilai kontinu menjadi nilai-nilai diskrit. Alat-alat yang dapat mentransformasi

citra analog menjadi citra digital adalah kamera digital, kamera converter, scanner

dan lain-lain.

Citra yang berukuranmndinyatakan dengan matriks dengan m baris dan

n kolom sebagai berikut:

 

 

 

 

 

 

 

 

                1 , 1 1 , 1 0 , 1 , 1 1 , 1 0 , 1 , 0 1 , 0 0 , 0 , n m f m f m f n f f f n f f f y x f       

dengan f(x,y) merupakan sebuah citra dan f(i,j) yang merupakan elemen matriks

adalah intensitas cahaya pada titik (i,j) dengan i = 0, 1,2, ... m-1 dan j = 0, 1,2, ...

n-1.

Fungsi intensitas f dari citra hitam putih pada titik (x,y) disebut derajat

keabuan atau gray level yang mempunyai nilai antara Lmin sampai Lmax dengan Lmin

merupakan skala keabuan terkecil dan Lmax merupakan skala keabuan terbesar.

Skala keabuan seringkali menggunakan bilangan bulat yang besarnya 8-bit,

artinya skala keabuan tersebut mempunyai 28 atau 256 nilai yang berbeda dengan lebar skala 0 sampai 255. Nilai 0 untuk warna hitam, dan 255 untuk warna putih.


(21)

6 Ada dua macam proses digitalisasi yang pertama digitalisasi koordinat

(x,y) yaitu merepresentasikan citra menjadi sejumlah titik-titik yang terbatas,

proses ini disebut sampling, dan yang kedua digitalisasi skala keabuan yaitu

mengisi titik-titik tersebut dengan derajat keabuan yang sesuai dengan citra yang

digitalisasi, proses ini disebut kuantisasi.

2.3. Resolusi

Masing-masing elemen dari matriks yang tidak lain adalah elemen dari

citra digital yang merupakan bagian terkecil dari suatu citra disebut dengan

picture element atau pixel. Jadi jika sebuah citra mempunyai ukuran 125 x 96

pixel artinya citra tersebut mempunyai 125 baris dan 96 kolom dalam sebuah

matriks.

Sedangkan banyaknya pixel yang digunakan untuk membentuk suatu citra

digital disebut resolusi. Semakin tinggi resolusi maka citra yang terbentuk akan

semakin baik.

Gambar 2.2 Koordinat pixel dengan c merepresentasikan baris dan


(22)

7

2.4. Tipe Citra

Secara default, citra disimpan dalam bentuk data array bertipe double

yang membutuhkan memori penyimpanan sebesar 64-bit, namun tidak semua data

dalam tipe tersebut cocok untuk pemrosesan citra karena besarnya kebutuhan

memori [1]. Oleh karena itu disediakan pula penyimpanan data dalam tipe unit 8

dan unit 16. Data pada array ini hanya memerlukan seperdelapan dan seperempat

memori dari tipe double. Hal ini sangat baik untuk penyimpanan sebuah citra.

Tipe-tipe citra antara lain:

1. Citra Berwarna

Citra berwarna yang biasanya merupakan citra RGB disimpan dalam

matriks berukuran × yang masing-masing mendefinisikan warna merah,

warna hijau dan biru untuk setiap pixel-nya. Gambar 2.3 berikut merupakan

komponen RGB dan komposisi warnanya.

Gambar 2.3 Komponen RGB dan komposisinya

Citra berwarna umumnya lebih banyak dan disukai daripada citra

grayscale karena citra tersebut menampilkan warna objek seperti warna aslinya.


(23)

8 yang dipantulkan oleh objek tersebut. Warna sinar yang direspon oleh mata adalah

sinar tampak (visible spectrum) dengan panjang gelombang berkisar dari 400

nanometer (biru) sampai 700 nanometer (merah). Sebagai contoh, suatu objek

yang memantulkan sinar biru (panjang gelombang 450 – 490 nanometer) dan

menyerap sinar lain akan berwarna biru.

Gambar 2.4. Contoh penyimpanan citra berwarna di dalam memori komputer, yakni dalam satu pixel merepresentasikan tiga warna.

Kombinasi warna yang memberikan rentang yang paling lebar adalah red

(R), green (G), dan blue (B). Ketiga warna tersebut dinamakan warna pokok dan

sering disingkat sebagai warna dasar RGB. Warna-warna lain dapat diperoleh

dengan mencampurkan ketiga warna pokok tersebut dengan perbandingan

tertentu. Sesuai dengan teori Young yang menyatakan bahwa sembarang warna

R=109 R=96 R=233 R=255 R=255 R=255 R=255 R=255 R=255 R=255

G=142 G=166 G=246 G=255 G=255 G=255 G=255 G=255 G=255 G=255

B=111 B=106 B=235 B=255 B=255 B=255 B=255 B=255 B=255 B=255

R=188 R=187 R=246 R=255 R=255 R=255 R=255 R=255 R=255 R=255

G=216 G=218 G=250 G=255 G=255 G=255 G=255 G=255 G=255 G=255

B=187 B=186 B=247 B=255 B=255 B=255 B=255 B=255 B=255 B=255

R=255 R=255 R=255 R=255 R=255 R=255 R=255 R=255 R=255 R=255

G=255 G=255 G=255 G=255 G=255 G=255 G=255 G=255 G=255 G=255

B=255 B=255 B=255 B=255 B =255 B=255 B=255 B=255 B=255 B=255

R=255 R=255 R=255 R=255 R=255 R=255 R=255 R=255 R=255 R=255

G=255 G=255 G=255 G=255 G=255 G=255 G=255 G=255 G=255 G=255

B=255 B=255 B=255 B=255 B=255 B=255 B=255 B=255 B=255 B=255

R=255 R=255 R=255 R=255 R=255 R=255 R=255 R=255 R=255 R=255

G=255 G=255 G=255 G=255 G=255 G=255 G=255 G=255 G=255 G=255


(24)

9 dapat dihasilkan dari pencampuran warna-warna pokok R, G, dan B dengan

persentase tertentu.

Menurut pencampuran warna menjadi sebuah warna yang lain dirumuskan

sebagai:

W = a R + b G + c B,

Dengan

W = warna campuran

R = warna pokok pertama

G = wana pokok kedua

B = warna pokok ketiga

a, b, c = presentase masing-masing warna pokok.

Gambar 2.5 berikut merupakan koordinat warna RGB, jika komposisi R = 0,

G = 0 dan B = 0, maka akan menghasilkan warna hitam dan jika komposisi warna

R = 1,G = 1 dan B = 1, maka akan menghasilkan warna putih.

Gambar 2.5 Koordinat warna RGB


(25)

10

2. Citra Grayscale

Citra grayscale merupakan citra yang skala keabuannya menggunakan

8-bit, setiap pixel-nya mempunyai derajat keabuan antara 0 untuk warna hitam

dan 255 untuk warna putih. Nilai tersebut dihasilkan dari 28 yaitu 256 nilai keabuan. Angka 8 merupakan jumlah bit yang digunakan. Gambar 2.6 berikut

merupakan skala keabuan menggunakan 8-bit.

Gambar 2.6. Skala keabuan citra grayscale menggunakan 8-bit

Gambar 2.7. Citra grayscale dengan sampel representasi numerik 8-bit

3. Citra Biner

Citra biner merupakan citra yang hanya memiliki dua warna, yaitu hitam

dan putih. Citra biner membutuhkan satu bit di memori untuk menyimpan kedua

warna tersebut.

0 3 2 8 9 2 5 5 2 5 5 2 5 5 2 5 5 2 5 5 2 5 5 2 5 5 1 5 8 1 4 6 1 7 6 2 5 5 2 5 5 2 5 5 2 5 5 2 5 5 2 5 5 2 5 5 2 5 5 2 5 5 2 5 5 2 5 5 2 5 5 2 5 5 2 5 5 2 5 5 2 5 5 2 5 5 2 5 5 2 5 5 2 5 5 2 5 5 2 5 5 2 5 5 2 5 5 2 5 5 2 5 5 2 5 5 2 5 5 2 5 5 2 5 5 2 5 5 2 5 5 2 5 5 2 5 5 2 5 5 2 5 5 2 5 5 2 5 5 2 5 5 2 5 5 2 5 5 2 5 5 2 5 5 2 5 5 2 5 5 2 5 5 2 5 5


(26)

11

Gambar 2.8 Contoh citra biner dengan sample berukuran 106pixel

2.5. Watermarking

2.5.1. Sejarah Watermarking

Watermarking sudah ada sejak 700 tahun yang lalu. Pada akhir abad 13,

pabrik kertas di Fabriano, Italia, membuat kertas yang diberi watermark atau

tanda air dengan cara menekankan bentuk cetakan citra atau tulisan pada kertas

yang baru setengah jadi. Ketika kertas dikeringkan terbentuklah suatu kertas yang

ber-watermark. Kertas ini biasanya digunakan oleh seniman atau sastrawan untuk

menulis karya mereka. Kertas yang sudah dibubuhi tanda air tersebut sekaligus

dijadikan identifikasi bahwa karya seni di atasnya adalah milik mereka [9].

Ide watermarking pada citra digital dikembangkan di Jepang pada tahun

1990 dan di Swiss tahun 1993. Digital watermarking semakin berkembang seiring

semakin meluasnya penggunaan internet, objek digital seperti video, citra, dan

suara yang dapat dengan mudah digandakan dan disebarluaskan [9].

2.5.2. Pengertian Watermarking

Watermarking merupakan suatu cara untuk penyembunyian data atau

informasi rahasia ke dalam suatu data lainnya untuk ditumpangi (biasanya disebut

dengan host data), tetapi orang lain tidak menyadari kehadiran adanya data

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0


(27)

12 tambahan pada host-nya. Jadi seolah-olah tidak ada perbedaan antara data host

sebelum dan sesudah proses watermarking [1]. Informasi yang disisipkan dapat

berupa teks, citra bermakna seperti logo, data biner atau data acak.

Watermarking memanfaatkan kekurangan-kekurangan sistem indra

manusia seperti mata dan telinga. Jadi watermarking merupakan suatu cara untuk

penyembunyian atau penanaman data atau informasi tertentu (baik berupa catatan

umum maupun rahasia) ke dalam suatu data digital lainnya, tetapi tidak diketahui

oleh indra manusia (indra penglihatan atau indra pendengaran), mampu

menghadapi proses-proses pengolahan sinyal digital yang tidak merusak kualitas

data yang ter-watermark sampai pada tahap tertentu. Di samping itu data yang

ter-watermark harus tahan terhadap serangan-serangan baik secara sengaja maupun

tidak sengaja untuk menghilangkan data watermark yang terdapat di dalamnya.

2.5.3. Manfaat Watermarking

Ada beberapa manfaat watermarking dalam kehidupan sehari-hari :

1. Memberi label kepemilikan (ownership) atau copyright pada citra digital.

Watermark bisa mengandung identitas diri (nama, alamat, dan lainnya), atau

gambar yang menspesifikan pemilik citra atau pemegang hak penggandaan

(copyright).

2. Finger printing.

Pemilik citra mendistribusikan citra yang sama ke berbagai distributor.

Sebelum didistribusikan, setiap citra disisipkan watermark yang berbeda

untuk setiap distributor, seolah-olah cetak jari distributor terekam di dalam


(28)

13 terkait aturan bahwa ia tidak boleh menggandakan citra tersebut dan

menjualnya ke pihak lain.

3. Aplikasi medis.

Citra medis diberi watermark berupa ID pasien untuk memudahkan

identifikasi pasien, hasil diagnosis penyakit dan lain-lain. Informasi lain yang

dapat disisipkan adalah hasil diagnosis penyakit.

4. Covert communication.

Dalam hal ini watermarking digunakan untuk menyisipkan informasi rahasia

pada sistem komunikasi yang dikirim melalui saluran komunikasi.

5. Priracy protection.

Watermark digunakan untuk mencegah perangkat keras melakukan

penggandaan yang tidak berizin. Untuk keperluan ini watermark harus tidak

tampak dan fragile

6. Otentifikasi.

Pemilik citra menyisipkan watermark ke dalam citra untuk membuktikan

apakah citra yang disimpan sudah berubah. Jika watermark yang diekstraksi

tidak tepat sama dengan watermark asli, maka disimpulkan citra sudah tidak

otentik lagi. Keotentikan pemilik juga dapat ditunjukan karena hanya pemilik

yang mengetahui kunci. Kunci yang salah akan menghasilkan ekstraksi


(29)

14

2.5.4. Kriteria Watermarking yang Baik

Mutu dari teknik watermarking meliputi beberapa parameter-parameter

utama seperti:

a. Fragile:

Perubahan yang disebabkan oleh tanda semestinya tidak mempengaruhi nilai

isi, idealnya tanda harusnya tidak dapat dilihat, sehingga tidak dapat

dibedakan antara data yang ter-watermark dan data yang asli. Salah satu

trade-off antara karakteristik watermarking yang sangat kelihatan adalah

antara robustness dengan fragile. Dalam beberapa literatur fragile kadang

disebut dengan invisibility untuk jenis data citra dan video. Yang dimaksud

dengan fragile disini adalah derajat degradasi host data sesudah diberi

watermark dibandingkan dengan sebelum diberi watermark. Biasanya bila

robustness dari watermark tinggi maka memiliki fragile yang rendah,

sebaliknya robustness yang rendah dapat membuat fragile yang tinggi. Jadi

sebaiknya dipilih trade-off yang sesuai, sehingga keduanya dapat tercapai

sesuai dengan tujuan aplikasi. Untuk host data yang berkualitas tinggi maka

fragile dituntut setinggi mungkin sehingga tidak merusak data aslinya,

sedangkan host data yang memiliki noise (kualitas kurang) maka fragile bisa

rendah.

b. Robustness

Watermark di dalam host data harus tahan terhadap beberapa operasi

pemrosesan digital yang umum seperti pengkonversian dari digital ke analog


(30)

15 disisipkan dengan sangat kuat, sehingga jika ada yang berusaha

menghapusnya maka gambar atau suara yang disisipi akan ikut rusak dan

tidak punya nilai komersial lagi.

c. Security

Watermarking harus tahan terhadap usaha-usaha yang sengaja memindahkan

atau meng-copy watermark dari satu multimedia data ke multimedia data

lainnya.

2.5.5. Teknik Watermarking

Terdapat banyak metode watermarking untuk citra digital yang sudah

diteliti. Teknik watermarking pada citradigital dapat di klasifikasikan dalam tiga

kategori, yaitu:

1. Teknik DomainSpasial

Watermarking untuk citra yang dilakukan pada domain spasial,

penyisipannya dilakukan dengan sedikit mengubah nilai pixel tertentu.

Kebanyakan teknik spasial ini didasarkan pada penambahan barisan pseudo noise

(kunci watermark) pada sebuah citra. Barisan pseudo noise disebut sebagai kunci

watermark. Metode SVD dan LSB merupakan salah satu contoh teknik domain

spasial.

2. Teknik Domain Frekuensi

Teknik domain frekuensi dilakukan dengan cara terlebih dahulu mengubah

citra ke dalam domain transform, kemudian penyisipan data dilakukan dengan


(31)

16

transform yaitu DWT (Domain Wavelet Transform), DCT (Domain Cosine

Transform), DFT (Domain Fractal Transform)[4].

3. Teknik Domain Feature

Teknik domain feature disebut juga generasi kedua metode watermark.

Generasi pertama metode watermark fokus pada penggunaan watermark pada

citra dan video, namun tidak kompetibel dengan video maupun citra yang

dikompresi seperti JPEG 2000, MPEG4/7 dan lain-lain. Generasi kedua

berkembang untuk meningkatkan kekuatan dan ketahanan watermark, mencari

batas objek dan karakteristik untuk keuntungan deteksi, serta perbaikan terhadap

serangan. Tulisan pertama teknik domain feature di publish tahun 1999 oleh ICPP

menggunakan feature point extraction berdasarkan dekomposisi citra

menggunakan Mexican-Hat Wavalet [4].

Dari ketiga teknik diatas, penulis memakai teknik yang pertama yaitu

teknik domain spasial. Yang dimana penulis akan menggunakan metode Singular

Value Decomposition (SVD) sebagai metode watermark.

2.6. Singular Value Decomposition (SVD)

Metode Singular Value Decomposition (SVD) adalah salah satu teknik

dalam analisis numerik yang digunakan untuk “mendiagonalkan” matriks. Dalam

sudut pandang pengolahan citra, singular value dari suatu citra memiliki stabilitas

yang baik, dimana ketika ada sedikit gangguan diberikan pada citra tersebut,

singular value tidak berubah secara signifikan. Keuntungan lain adalah ukuran


(32)

17 Kemudian singular value mengandung informasi properti persamaan linear

citra.

Dekomposisi nilai singular atau yang lebih dikenal sebagai Singular Value

Decomposition (SVD) adalah salah satu teknik dekomposisi yang cukup terkenal.

SVD berkaitan erat dengan nilai singular dari sebuah matriks yang merupakan

salah satu karakteristik matriks [8].

Suatu matriks misalkan kita namai matriks A dengan nilai eigen dari

matriks ATA

yaitu iuntuk setiap 1in dengan n yaitu banyak nilai eigen, maka nilai singular matriks A yaitu 2

i

i

 dan vi merupakan vektor eigen

matriks ATAyang bersesuaian dengan nilai i.

Secara umum algoritma Singular Value Decomposition (SVD) adalah

sebagai berikut: [8]

input : matriks A

output : matriks ortogonal U, V dan matriks singular S

sehingga A = T

USV

1. Dibentuk matriks ATAdengan nilai eigen iuntuk setiap 1in maka

nilai singular matriks ATA

yaitu 2

i

i

2. Dibentuk matriks diagonal S =

          n ... 0 0 ... 1   


(33)

18 3. Dicari himpunan vektor eigen dari matriks ATA misalkan {v1,v2,...vn}

merupakan vektor-vektor eigen matriks ATA dengan v1 merupakan vektor eigen yang bersesuaian dengan nilai i.

4. Dibentuk matriks ortogonal V = [v1,v2,...vn]

5. Dibentuk himpunan vektor U = {u1,u2,...un}dengan u1= untuk

setiap 1in

6. Dibentuk matriks orthogonal U = [u1,u2,...un]

7. Bentuk dekomposisi SVD

A = T USV

Dekomposisi tersebut disebut sebagai Singular Value Decomposition

(SVD). Nilai … dari S disebut nilai-nilai singular dari A, kolom-kolom dari

U merupakan vektor-vektor singular kiri dari A dan kolom-kolom dari V

merupakan Vektor-vektor singular kanan dari A. Jika A adalah sebuah citra maka

pengubahan sedikit pada nilai-nilai singular tidak mempengaruhi kualitas citra dan

nilai-nilai singular tidak berubah banyak setelah citra diserang [8]. Setelah citra A

diproses menjadi matriks SVD, untuk menjadikan citra A menjadi citra yang

ber-watermark dibutuhkan adanya kunci watermark. Kunci yang akan dibangkitkan

oleh penulis menggunakan pembangkit pseudorandom yaitu pseudorandom dari


(34)

19

2.7. Pembangkit Pseudorandom

Pseudorandom adalah algoritma yang menghasilkan nilai random

berdasarkan fungsi matematik. Nilai random adalah himpunan sederhana yang

memenuhi uji statistik kerandoman dan tidak dapat di ulang. Pada suatu keadaan

jika seseorang tahu apa bilangan sekarang dari random, hal itu memungkinkan

seseorang untuk memprediksi bilangan selanjutnya [1].

Untuk melihat apakah suatu bilangan random atau tidak dapat dilakukan

dengan melihat pola bilangan tersebut apakah berpola atau tidak. Jika berpola

berarti bilangan tersebut tidak random.

Hal yang membedakan suatu bilangan pseudorandom dengan random

adalah apakah bilangan tersebut dapat diulang. Jika kita install pseudorandom

pada komputer lain, kita akan mendapatkan hasil yang sama. Jika kita run lagi

program pseudorandom tersebut dua minggu mendatang, kita akan mendapatkan

hasil yang sama pula. Jika bilangan dapat diulang, apa yang bagus dari

pseudorandom, jawabannya adalah kita dapat mengganti output dengan

menggunakan seed (dalam skripsi ini dinamakan kunci) [5].

Jika mengubah input maka output berubah, maka untuk mengubah output

pada suatu waktu kita dapat membangkitkan bilangan baru yang tidak dapat

diprediksi oleh siapapun. Pembuatan barisan pseudorandom pertama dilakukan

oleh Metropolis dan Von Neumann yang disebut metode midsquare yakni

bilangan dibangkitkan dengan lingkaran predecessor dan mengambil digit tengah


(35)

20

Pada tahun 1951, Lehmer membuat barisan pseudorandom yang dapat di

bangkitkan dengan hubungan rekursif, yaitu:

1   i

i ax

x (modulo m)

dan Persamaan (2.1) setelah di generalisasi menjadi:

xiaxi1+ c (modulo m)

Dengan m adalah bilangan bulat bernilai besar yang ditetapkan dan

didisain oleh komputer (biasanya berupa perpangkatan 2 atau 10) sedangkan a,i,c,

dan xi adalah bilangan bulat antara 0 dan m-i. Bilangan xi/m digunakan sebagai

barisan pseudorandom. Misalkan barisan akan berulang setelah iterasi ke-m, dan

akan menjadi berperiode. Jika m=16, a=3,c=1, dan x0=2 barisan x dibangkitkan

oleh Persamaan (2.2) adalah 2,7,6,3,10,15,14,11,2,7,…hingga periode ke-8. Perlu

diperhatikan bahwa periode harus lebih panjang dari pada bilangan random yang

dibutuhkan sehingga pola tidak dapat diprediksi [5].

2.8. Pseudorandom Aturan 2D

Pola noise bersifat pseudorandom dari aturan 2D (Dua Dimensi)

merupakan hasil operasi Boolean dari suatu nilai awal (dalam hal ini disebut

kunci) menghasilkan nilai Boolean yaitu berupa nilai 1 dan 0 saja. Persamaan

dinamik dari aturan 2D diberikan sebagai berikut :

) , ( ) 1 , ( ) , 1 ( ) 1 , ( ) , 1 ( ( ) , (

1 i j W i j W i j W i j W i j W i j

Wn  n   n   n   n   n …(2.9)

Dengan  dinotasikan sebagai exclusive -or (XOR) ,dan dinotasikan sebagai fungsi Boolean -OR dengan menggunakan empat templates pergeseran


(36)

21 yaitu satu baris keatas (Wn(i1,j), satu kolom ke kanan Wn(i, j1), satu baris ke bawah Wn(i1,j), satu kolom kekiri Wn(i,j1), serta barisan matriks awal

) , (i j Wn .

Semua pergeseran itu dioperasikan terhadap tiap cell nya (tiap baris dan

kolom matriks pada citra) dan melewati proses pengulangan (looping) sebanyak

yang ditentukan pembuat watermark, sehingga menghasilkan barisan

pseudorandom yang baru. Dalam hal ini penulis menggunakan looping sebanyak

tiga kali.

Barisan pseudorandom yang baru hasil operasi dinamik di atas disebut

pola noise pseudorandom dari aturan 2D. Selain menghasilkan barisan yang sama

dengan ukuran citra yang akan di-watermark, barisan ini juga menghasilkan

security (keamanan) pada citra ber-watermark karena mempunyai pola yang tidak


(37)

22

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Data

Data yang akan digunakan pada penulisan skripsi ini adalah citra logo UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta. Data terdiri dari satu citra yang mempunyai ukuran

200 x 200 pixel.

Dari ukuran 200 x 200 pixel kemudian penulis perkecil ukurannya

menjadi 50 x 50 pixel. Dengan tujuan untuk mempermudah dalam pengolahan

data.

3.2. Penyisipan Watermark.

Citra yang sudah diperoleh penulis, kemudian akan disisipi watermark

dengan tahapan sebagai berikut :

1. Memilih citra yang akan disisipi watermark.

2. Digitalisasi citra dengan tujuan citra terbaca oleh komputer.

3. Menganalisis citra menggunakan Singular Value Decomposition (SVD) sebagai

metode watermark.


(38)

23

3.3. Alur Penyisipan Watermark

Gambar 3.1 AlurPenyisipan Watermark 3.3.1. Pengolahan Citra Berwarna

Pengolahan citra berwarna berbeda dengan pengolahan pada citra tipe

lainnya. citra berwarna membentuk matriks tiga dimensi yaitu matriks R (red),

matriks G (green), dan matriks B (blue). Sehingga dalam mengolah citra berwarna

kita harus melibatkan dan memperhatikan ketiga matriks seluruhnya [1]. Penulis

menggunakan ketiga matriks tersebut untuk perhitungan dan penyisipan

watermark.

3.3.2. Digitalisasi Citra

Karena komputer hanya dapat mengolah data yang bersifat numerik, maka

sebuah citra agar dapat diolah oleh komputer harus direpresentasikan secara Citra Asli

Proses Penyisipan Membangkitkan Kunci

Pseudorandom

Proses SVD Pada Citra

Citra Ber-watermark


(39)

24

numerik menggunakan nilai-nilai diskrit yaitu berupa angka-angka yang

merepresentasikan jumlah intensitas warna pada suatu citra. Proses pengubahan

citra menjadi matriks yaitu citra disimpan oleh komputer dengan cara titik-titik

berupa koordinat yang dinamakan pixel.

3.3.3. Proses SVD Pada Citra Sebagai Metode Watermark

Misalkan suatu citra disajikan sebagai matriks A dan watermark yang akan

disisipkan disajikan sebagai matriks W, maka penyisipan watermarkW ke dalam

citra A dilakukan dengan terlebih dahulu mendekomposisi citra A menjadi matriks

U, S, dan V untuk mendapatkan nilai singular dari citra A [8]. Kemudian untuk

menyisipkan kunci watermark yang telah dibuat, nilai singular S kemudian

ditambahkan dengan hasil kali watermarkW dengan nilai alfa [1]. Dalam skripsi

ini W adalah Pseudorandom 2D dan nilai alfa bernilai k= 4

10 .

= + ∗

Sebagai langkah terakhir, yang diperoleh kemudian digunakan untuk

membentuk citra ber-watermark bersama dengan matriks U dan V dari citra asal.


(40)

25

BAB IV

PEMBAHASAN DAN APLIKASI

4.1. Aplikasi Pada Citra

Proses digitalisasi dari citra digital berwarna menghasilkan matriks tiga

dimensi. Dalam pengolahan citra pada pembahasan ini, citra yang digunakan

berukuran 50  50 pixel.

Gambar 4.1 Citra berwarna yang akan di-watermark 4.1.1. Merepresentasikan Citra Ke Bentuk Matriks

Karena komputer hanya dapat mengolah data yang bersifat numerik, maka

sebuah citra agar dapat diolah oleh komputer harus direpresentasikan secara

numerik menggunakan nilai-nilai diskrit yaitu berupa angka-angka yang

merepresentasikan jumlah intensitas warna pada suatu citra. Proses pengubahan

citra menjadi matriks, yaitu citra disimpan oleh komputer dengan cara titik-titik


(41)

26 dalam pengolahan citra. Dalam mengolah citra, proses kuantisasi pada Scilab

yaitu dengan cara Scilab membaca pixel-pixel saja sesuai perintah dengan

menggunakan penggolongan data seperti Tabel 4.1 dan melakukan digitalisasi

sesuai intensitas warna RGBpada citra.[10]

Tabel 4.1 Penggolongan data citra dalam Scilab

Klasifikasi Data Deskripsi

Double Presisi double, bilangan floating point dengan

hampiran10308hingga10308

Int8 Bilangan bulat 8 bit denganjarak -128 hingga 127

Int16 Bilangan bulat 16 bit dengan jarak -32768 hingga

32767

Int32 Bilangan bulat 32 bit dengan jarak -2147483648

hingga 2147483647

Single Presisi double, bilangan floating point dengan

hampiran1038hingga10 38 Char Karakter 2 bytes per element

Logical Nilai 0 dan 1 (satubytes per element)

Dalam pengolahan watermark menggunakan SVD ini, penulis

menggunakan tipe data atau klasifikasi data double. Karena citra yang digunakan

berformat citra berwarna, maka seperti yang telah dijelaskan di landasan teori


(42)

27

Gambar 4.2 Sampel citra yang akan di-watermark


(43)

28

Gambar 4.4 Representasi numerik matriks green (G).


(44)

29

4.2. Pembuatan Kunci Watermark

1. Tahap I

Penulis menggunakan kunci W0 berupa matriks yang setiap elemennya

berupa angka 0 dan 1. Matriks yang berupa angka 0 dan 1 ini ukuran dan ordonya

disamakan dengan matriks citra yang akan diberi watermark. Agar nilainya sama

maka panggil citra, ubah matriks citra tersebut menjadi 0 dan 1. Setelah berhasil,

selanjutnya dapat melanjutkan ketahap ke dua untuk mencari nilai SVD citra yang

akan diberi watermark.

2. Tahap II

Setelah mendapatkan matriks berupa nilai acak yang bernilai 0 dan 1,

selanjutnya lakukan iterasi untuk mendapatkan pola SVD hasil watermark

tersebut. A=USVT . Penyisipan pola watermark tersebut menggunakan PNPG 2D

(lampiran 4). Gambar 4.6 adalah hasil pembuatan kunci menggunakan PNPG 2D.


(45)

30

4.3. Penempelan Watermark Pada Citra 4.3.1. Proses Penempelan Watermark

Untuk proses perhitungan dan penempelan watermark, penulis

menggunakan tiga elemen matriks hasil dari representasi citra sampel, yaitu

matriks red (R), matriks green (G), dan matriks blue (B). Kemudian untuk

membuat citra ber-watermark , terlebih dahulu penulis mendekomposisi citra

menjadi matriks U, S, dan V dengan tujuan mendapatkan nilai singular dari citra.

Selanjutnya menyisipkan kunci yaitu pola pseudorandom PNPG 2D (W) di

kalikan bilangan kecil k selanjutnya ditambahkan ke host image .

= + ∗

Di bawah ini hasil SVD dengan menggunakan matriks R, G, dan B.


(46)

31

Gambar 4.8 Nilai U dari matriks red (R).


(47)

32

Gambar 4.10 Nilai singular S dari matriks green (G).


(48)

33

Gambar 4.12 Nilai V dari matriks green (G).


(49)

34

Gambar 4.14 Nilai U dari matriks blue (B).


(50)

35

Sebagai langkah terakhir, yang diperoleh kemudian digunakan untuk

membentuk citra ber-watermark bersama dengan matriks U dan V dari citra asal.

=

Gambar 4.16 Citra ber-watermark dari matriks red (R).


(51)

36

Gambar 4.18 Citra ber-watermark dari matriks blue (B).

Dari hasil citra ber-watermark di atas, citra yang di olah dari matriks R, G, dan B

tampak semuannya sama seperti citra asli. Sesuai dengan tujuan watermark yaitu

citra yang ber-watermark harus tampak sama seperti citra yang belum di

watermark. Dari pernyataan di atas, Metode SVD bisa digunakan untuk metode


(52)

37

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dalam skripsi ini citra yang ber-watermark dengan citra yang asli terlihat

sama sesuai dengan tujuan watermark, yaitu gambar asli dan gambar yang

ber-watermark harus terlihat sama. Dari pembahasan dapat disimpulkan bahwa

metode SVD dapat digunakan untuk me-watermark citra dan menjaga keaslian

citra.

5.2. Saran

Penulis menyarankan agar pada penelitian selanjutnya membuat

watermark pada produk digital yang lain seperti video, klip suara, rekaman dan

sebagainya. Karena jika hal tersebut dapat dilakukan maka akan lebih

memberikan manfaat pada keaslian produk digital. Disarankan juga untuk

mencoba metode watermark yang lain atau menambah ciri-ciri yang lain dalam


(53)

39

REFERENSI

[1] Nurlailah, Siti.2010. Aplikasi Fragile Watermarking untuk Melindungi

Keaslian Foto. Jakarta : UIN.

[2] Utari, Suci. 2007. Implementasi Watermarking Citra Digital menggunakan

DB4 dan SDV. Jakarta : STT-PLN.

[3] Putra, Darma. 2010. Pengolahan Citra Digital. Yogyakarta: penerbit

Andi.

[4] Akbar, Fazlur. 2009. Aplikasi Pengamanan Hak Cipta Untuk Gambar

Digital Dengan Teknik Watermarking Menggunakan Metode SVD.

Yogyakarta: Unikom.

[5] Cahyana, Basarudin, dkk. 2007. Teknik Watermarking Citra Berbasis

SVD. Depok: UI.

[6] E. Walpole, Ronald. 1992. Pengantar Statistika Edisi ke-3. Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama

[7] Khaeroni. 2011. Pemanfaatan Citra Menggunakan Dekomposisi Nilai

Singular. Jakarta : Penerbit Pusat Studi Matematika Fakultas Sains dan Teknologi UIN Jakarta.

[8] Tyas, Lia Ayuning, 2009. Watermarking Citra Digital Berbasis DWT-SVD Dengan Detektor Non-Blind.


(54)

39

[9] Yuningsih, Sri. 2010. Pendeteksian Speudorandom Pada Citra Digital Menggunakan Algoritma Barni. Jakarta : STT-PLN.


(55)

LAMPIRAN 1

Program Kunci PNPG 2D

function [w]=pnpg2ddes14(baris,kolom,pengulangan) w=zeros(baris,kolom);

%Compute normal uniform random Wo

for i=1:baris for j=1:kolom temp=rand; if temp>0.5 w(i,j)=1; else w(i,j)=0; end end end

% Iterasi Pseudorandom Noise Pattern

for i=2:baris-1 for j=2:kolom-1

temp1=w(i+1,j)|w(i,j+1); temp2=xor(temp1,w(i-1,j)); temp3=xor(temp2,w(i,j-1)); w(i,j)=xor(temp3,w(i,j)); end end

%check for zeros column

%sum123=[sum(w(:,:,1));sum(w(:,:,2));sum(w(:,:,3))]; %for j=1:3

% if min(sum123(j,:))==0

% lokasi=find(sum123(j,:)==0); % temp=size(lokasi,2); %for i=1:temp % temp2=round(baris*rand); % w(temp2,lokasi(i),j)=1; % end %end %end


(56)

LAMPIRAN 2

Program Penyisipan SVD Watermark

yayan=imread('uin3.jpg'); figure(1);

imshow(yayan); G=double(yayan);

disp(['Ukuran foto awal=']); size(G)

[U,S,V]=svd(G(:,:,1)) singuler=mat2gray(G); [baris,kolom,rgb]=size(G); w=pnpg2ddes14(baris,kolom,3); W=double(w);

kW=10^-4*W;

Iw=double(S)+double(kW)

akhir=double(U)*double(Iw)*V' watermark=mat2gray(akhir); figure(2);

imshow(watermark); watermark=yayan; figure(3);


(1)

36

Gambar 4.18 Citra ber-watermark dari matriks blue (B).

Dari hasil citra ber-watermark di atas, citra yang di olah dari matriks R, G, dan B tampak semuannya sama seperti citra asli. Sesuai dengan tujuan watermark yaitu citra yang ber-watermark harus tampak sama seperti citra yang belum di watermark. Dari pernyataan di atas, Metode SVD bisa digunakan untuk metode watermark pada citra.


(2)

37

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dalam skripsi ini citra yang ber-watermark dengan citra yang asli terlihat sama sesuai dengan tujuan watermark, yaitu gambar asli dan gambar yang ber-watermark harus terlihat sama. Dari pembahasan dapat disimpulkan bahwa metode SVD dapat digunakan untuk me-watermark citra dan menjaga keaslian citra.

5.2. Saran

Penulis menyarankan agar pada penelitian selanjutnya membuat watermark pada produk digital yang lain seperti video, klip suara, rekaman dan sebagainya. Karena jika hal tersebut dapat dilakukan maka akan lebih memberikan manfaat pada keaslian produk digital. Disarankan juga untuk mencoba metode watermark yang lain atau menambah ciri-ciri yang lain dalam membuat watermark khususnya pada pengembangan penelitian ini.


(3)

39

REFERENSI

[1] Nurlailah, Siti.2010. Aplikasi Fragile Watermarking untuk Melindungi Keaslian Foto. Jakarta : UIN.

[2] Utari, Suci. 2007. Implementasi Watermarking Citra Digital menggunakan DB4 dan SDV. Jakarta : STT-PLN.

[3] Putra, Darma. 2010. Pengolahan Citra Digital. Yogyakarta: penerbit Andi.

[4] Akbar, Fazlur. 2009. Aplikasi Pengamanan Hak Cipta Untuk Gambar Digital Dengan Teknik Watermarking Menggunakan Metode SVD. Yogyakarta: Unikom.

[5] Cahyana, Basarudin, dkk. 2007. Teknik Watermarking Citra Berbasis SVD. Depok: UI.

[6] E. Walpole, Ronald. 1992. Pengantar Statistika Edisi ke-3. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

[7] Khaeroni. 2011. Pemanfaatan Citra Menggunakan Dekomposisi Nilai Singular. Jakarta : Penerbit Pusat Studi Matematika Fakultas Sains dan Teknologi UIN Jakarta.

[8] Tyas, Lia Ayuning, 2009. Watermarking Citra Digital Berbasis DWT-SVD Dengan Detektor Non-Blind.


(4)

39

[9] Yuningsih, Sri. 2010. Pendeteksian Speudorandom Pada Citra Digital Menggunakan Algoritma Barni. Jakarta : STT-PLN.


(5)

LAMPIRAN 1

Program Kunci PNPG 2D

function [w]=pnpg2ddes14(baris,kolom,pengulangan) w=zeros(baris,kolom);

%Compute normal uniform random Wo for i=1:baris

for j=1:kolom temp=rand; if temp>0.5 w(i,j)=1; else w(i,j)=0; end end end

% Iterasi Pseudorandom Noise Pattern

for i=2:baris-1 for j=2:kolom-1

temp1=w(i+1,j)|w(i,j+1); temp2=xor(temp1,w(i-1,j)); temp3=xor(temp2,w(i,j-1)); w(i,j)=xor(temp3,w(i,j)); end end

%check for zeros column

%sum123=[sum(w(:,:,1));sum(w(:,:,2));sum(w(:,:,3))]; %for j=1:3

% if min(sum123(j,:))==0

% lokasi=find(sum123(j,:)==0); % temp=size(lokasi,2); %for i=1:temp % temp2=round(baris*rand); % w(temp2,lokasi(i),j)=1; % end %end %end


(6)

LAMPIRAN 2

Program Penyisipan SVD Watermark

yayan=imread('uin3.jpg'); figure(1);

imshow(yayan); G=double(yayan);

disp(['Ukuran foto awal=']); size(G)

[U,S,V]=svd(G(:,:,1)) singuler=mat2gray(G); [baris,kolom,rgb]=size(G); w=pnpg2ddes14(baris,kolom,3); W=double(w);

kW=10^-4*W;

Iw=double(S)+double(kW)

akhir=double(U)*double(Iw)*V' watermark=mat2gray(akhir); figure(2);

imshow(watermark); watermark=yayan; figure(3);