Sapi bali Prevalensi Infeksi Cacing Trichuris Spp Pada Sapi Bali (Bos Sondaicus) Berdasarkan Letak Geografis Provinsi Bali.

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keadaan Geografis Pulau Bali

Pulau bali mempunyai luas areal 5.621 km 2 yang terbagi menjadi dua bagian oleh rantai pegunungan yang melintang dari arah Timur ke arah Barat. Bentuk wilayah datar, berombak sampai bergelombang terdapat sepanjang pantai pada ketinggian letak 0-500 meter di atas permukaan laut. Akibat deretan gunung yang melintang dari arah Timur ke arah Barat, menyebabkan angin yang berhembus dari arah Tenggara ke Barat Daya menjatuhkan hujan sepanjang dataran sebelah Selatan Pulau Bali, sehingga dataran rendah Selatan Pulau Bali memiliki curah hujan tinggi dengan bulan basah hampir sepanjang tahun. Sedangkan di dataran rendah Utara Pulau Bali memiliki curah hujan per tahun yang rendah dengan bulan basah yang sangat pendek BMKG dalam Suweta, 1982. Dilihat dari variasi bentuk wilayah pada masing-masing wilayah tampak bahwa daerah dataran rendah pada elevasi 0-500 meter dari permukaan laut mempunyai suhu udara rata-rata bulanan sekitar 27,2 o C. Suhu dataran rendah Selatan Pulau Bali lebih rendah dari pada suhu dataran rendah pantai Utara Pulau Bali, hal ini disebabkan udara yang bertiup di pantai Utara merupakan angin kering yang sangat kurang mengandung uap air. Sedangkan pada daerah-daerah dataran tinggi pada elevasi 500 meter ke atas dari permukaan laut mempunyai suhu rata-rata bulanan sekitar 18,9 o C. Hal ini terjadi oleh karena setiap kenaikkan elevasi 100 meter pada ketinggian 0-1500 meter akan terjadi penurunan suhu udara sekitar 0,5 o C Oldeman, 1977; BMKG dalam Suweta, 1982.

2.2 Sapi bali

Sapi bali Bos sondaicus merupakan plasma nutfah sebagai sapi asli Indonesia yang berasal dari Pulau Bali hasil domestikasi banteng Bibos banteng yang kini sudah diakui potensinya sebagai sapi potong yang dapat memenuhi kebutuhan daging masyarakat Indonesia Batan 2006 ; Tim Pusat Kajian Sapi Bali, 2012. Sapi bali telah mengalami domestikasi 3.500 tahun SM di wilayah pulau Bali dan Jawa Bandini, 2004 ; Batan, 2006. 2 Sapi bali memiliki karakteristik yakni ukuran tubuh yang sedang, tidak berpunuk, kaki ramping, dada dalam, kulitnya berwarna merah bata. Memiliki cermin hidung, kuku, rambut ujung ekor switch berwarna hitam, kaki dibawah persendian karpal dan tarsal berwarna putih white stocking, kulit berwarna putih juga ditemukan pada bagian pantatnya dan pada paha bagian dalam berbentuk oval. Pada punggungnya selalu ditemukan rambut membentuk garis berwarna hitam garis belut memanjang dari gumba hingga panggkal ekor. Sapi bali jantan berwarna lebih gelap bila dibandingkan dengan sapi bali betina. Warna rambut sapi bali jantan biasanya berubah dari merah bata menjadi coklat tua atau hitam legam setelah sapi mencapai dewasa kelamin atau mulai umur 1,5 tahun dan berakhir pada umur 3 tahun. Warna hitam dapat berubah kembali menjadi coklat tua atau merah bata apabila sapi dikebiri setelah pubertas. Perubahan berlangsung sekitar 4 bulan dan sapi bali jantan tidak pernah menjadi hitam jika sapi dikebiri sebelum pubertas. Ciri-ciri sapi bali betina tidak jauh berbeda dari sapi bali jantan, perbedaannya adalah sapi bali betina tidak akan berwarna coklat tua atau hitam legam Batan, 2006. Manfaat dari memelihara sapi bali menurut masyarakat Bali adalah untuk membantu petani membajak sawah, kebutuhan upacara, sebagai tabungan untuk menambah sumber pendapatan keluarga tani dengan mengolah kotoran sapi bali untuk pupuk kandang, kulit sapi bali yang diolah menjadi kerupuk rambak, urin sapi yang diolah sebagai biourine Tim Pusat Kajian Sapi Bali, 2012. Penyebaran sapi bali saat ini meliputi berbagai daerah di Indonesia seperti Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan, Sulawesi dan Jawa Timur Batan, 2006. Jumlah sapi bali di Indonesia pada tahun 2011 berjumlah 4.789.777 ekor, di antaranya sapi bali jantan 1.493.290 ekor dan sapi bali betina 3.296.487 ekor. Sedangkan jumlah sapi bali di Provinsi Bali pada tahun 2011 adalah 639.793 ekor, dengan jumlah populasi terbanyak di Kabupaten Buleleng 136.337 ekor, disusul dengan Kabupaten Karangasem 135.561 ekor, Kabupaten Bangli 94.203 ekor, Kabupaten Tabanan 67.412 ekor, Kabupaten Jembrana 56.130 ekor, Kabupaten Badung 48.051 ekor, Kabupaten Gianyar 3 47.282 ekor, Kabupaten Klungkung 46.636 ekor dan Kota Denpasar 8.181 ekor Kementrian Pertanian, 2011. Tanduk pada sapi bali jantan tumbuh besar mengikuti pola-pola silak seperti silak congkok, silak bajeg, silak pendang dan sikak cono. Silak congkok dan silak bajeg lebih di sukai petani karena jenis tanduk ini membuat sapi tampak lebih gagah. Silak cono pada daerah tertentu diminati peternak karena lebih mudah diatur dan tanduknya sulit melukai petani. Tanduk sapi bali betina berukuran lebih ramping dibanding sapi bali jantan Batan, 2006. Menurut Blakely and Bade, 1992 dan Williamson and Payne 1993 sapi bali mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut : Filum : Chordata Sub filum : Vertebrata Kelas : Mamalia Sub kelas : Theria Infra Kelas : Eutheria Ordo : Artiodactyla Sub ordo : Ruminantia Infra ordo : Pecora Famili : Bovidae Genus : Bos Grup : Taurinae Spesies : Bos sondaicus Kandang sapi bali di pedesaan umumnya hanya cukup untuk memuat 2 ekor sapi, hal ini berkaitan erat dengan fungsi awal sapi sebagai penarik bajak di sawah atau di ladang. Sehingga kandang yang disediakan hanya cukup untuk memuat 2 ekor sapi. Kandang dibangun untuk melindungi sapi dari sengatan terik sinar matahari atau guyuran hujan yang dapat berpengaruh terhadap pertumbuhannya. Di daerah dataran rendah yang panas, atap kandang dibuat dari bahan yang sedikit menyerap panas, sedangkan di daerah pegunungan dataran tinggi atap kandang dipilih dari bahan yang berdaya serap panas tinggi seperti seng Batan, 2006. 4

2.3 Trichuris spp.