Prevalensi Infeksi Cacing Trichuris Spp Pada Sapi Bali (Bos Sondaicus) Berdasarkan Letak Geografis Provinsi Bali.

(1)

STRUKTUR HISTOLOGI DAN HISTOMORFOMETRI SEL GRANULOSIT SAPI BALI PASCA PEMBERIAN MINERAL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana Kedokteran Hewan

Oleh

Ni Luh Sri Sundari Rahayu NIM. 1109005009

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2015


(2)

STRUKTUR HISTOLOGI DAN HISTOMORFOMETRI SEL GRANULOSIT SAPI BALI PASCA PEMBERIAN MINERAL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana Kedokteran Hewan

Oleh

Ni Luh Sri Sundari Rahayu NIM. 1109005009

.

Menyetujui/Mengesahkan :

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. drh Ni Ketut Suwiti, M.Kes drh. Putu Suastika, M.Kes NIP. 19630716 198903 2 001 NIP. 19570818 198703 1 003

DEKAN FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS UDAYANA

Dr.drh. Nyoman Adi Suratma, MP NIP : 19600305 198403 1 001


(3)

Setelah mempelajari dan menguji dengan sungguh-sungguh kami berpendapat bahwa tulisan ini baik ruang lingkup maupun kualitasnya dapat diajukan sebagai skripsi untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan.

Ditetapkan di Denpasar, tanggal ...

Panitia Penguji :

Prof. Dr. drh Ni Ketut Suwiti, M.Kes Ketua

drh. Putu Suastika, M.Kes Dr.drh. Ni Luh Eka Setiasih, M.Si

Sekretaris Anggota

Prof. Dr. drh. Ida Bagus Komang Ardana, M.Kes Dr.Ir. I Putu Sampurna, MS


(4)

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan prevalensi Trichuris spp. pada sapi bali (Bos sondaicus) dan hubungan antara prevalensi dengan lokasi geografis di Bali. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel 400 kotoran dari empat lokasi geografis yang berbeda di Bali. Penelitian ini adalah studi cross-sectional untuk menentukan prevalensi Trichuris spp. pada sapi bali (Bos sondaicus) dengan lokasi geografis sebagai faktor risiko. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan metode mengambang di larutan garam jenuh. Identifikasi Trichuris spp berdasarkan morfologi telur dilakukan dengan kemegahan 400x di bawah mikroskop binokuler. Analisis prevalensi ini dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Sementara hubungan antara lokasi geografis dan prevalensi Trichuris spp. Dianalisis dengan menggunakan uji Chi square. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi Trichuris spp. pada sapi bali adalah 0,75%, dan tidak ada hubungan antara antara lokasi geografis dan prevalensi Trichuris spp (P>0,05).


(5)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas anugerah-Nya sehingga penulisan skripsi yang berjudul “Prevalensi Infeksi Cacing Trichuris spp. Pada Sapi Bali (Bos Sondaicus) Berdasarkan Letak Geografis Provinsi Bali” dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Penulisan Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Kedokteran Hewan di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu :

1. Bapak Dr. drh. Nyoman Adi Suratma, MP selaku Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, selaku dosen pembimbing yang telah membimbing, mengarahkan dan memberikan motivasi selama penelitian dan penyusunan skripsi ini, dan selaku Pembimbing Akademik yang telah dengan sabar memberikan motivasi, nasihat serta membimbing penulis selama menjadi mahasiswa beserta para Pembantu Dekan.

2. Bapak drh. Ida Bagus Made Oka, M.Kes selaku dosen pembimbing yang telah membimbing, mengarahkan dan memberikan motivasi selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.

3. Ibu Dr. drh. Ida Ayu Pasti Apsari, MP., bapak drh. I Made Dwinata, M.Kes, dan bapak drh. A. A. Gde Arjana, M.Kes yang telah menguji dan memberikan masukan untuk menyempurnakan skripsi ini.

4. Bapak/Ibu dosen beserta pegawai di lingkungan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.

5. Peternak sapi bali yang telah bersedia sapinya dijadikan sampel penelitian. 6. Kedua orang tua yaitu Bapak Anak Agung Gede Jagra, SH. dan Ibu Anak

Agung Ayu Mirah, saudaraku tercinta Anak Agung Reni Paramitha dan Anak Agung Rai Dibia Artawan. Terima kasih atas dukungan moral, materi dan doanya.

7. Terima kasih kepada Ni Luh Sri Sundari Rahayu atas dukungan, waktu, perhatian, dan doanya.


(6)

8. Rekan angkatan seperjuangan : Ayuk Sundari, Bulan, Widya, Wijaya, Dwicky, Rama (Ocrot Geng), Gunawan, Dewa Wid, Vindy, Mita, Nining, Melinda, Nova, Legot, Clara Dewinda, Arga, Ferbian, Wiwid, Epik, Ami, Citra, Niknom serta semua teman angkatan 2011 khususnya 2011B. Terima kasih atas saran dan bantuan yang telah diberikan.

9. Semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu-satu yang telah memberikan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.

Penulis mengharapkan segala saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan penulisan skripsi ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang Ilmu Kedokteran Hewan.

Denpasar, Pebruari 2015


(7)

DAFTAR ISI

RIWAYAT HIDUP ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keadaan Geografis Pulau Bali ... 4

2.2 Sapi Bali ... 4

2.3 Trichuris spp.... 7

2.3.1 TaksonomiTrichuris spp.... 7

2.3.2 Morfologi ... 7

2.3.3 Siklus hidup ... 8

` 2.4 Kerangka Konsep ... 9

2.5 Hipotesis ... 9

BAB III MATERI DAN METODE 3.1 Materi Penelitian ... 10

3.1.1 Bahan ... 10

3.1.2 Alat ... 10

3.2 Metode Penelitian ... 10

3.2.1 Rancangan penelitian ... 10

3.2.2 Sampel wilayah berdasarkan letak geografis Provinsi Bali ... 10


(8)

3.2.3 Sampel sapi ... 11

3.2.4 Jumlah sampel sapi ... 11

3.2.5 Prevalensi ... 11

3.3 Variabel Penelitian ... 12

3.3.1 Variabel bebas ... 12

3.3.2 Variabel tergantung ... 12

3.3.3 Variabel kendali ... 12

3.4 Prosedur Penelitian ... 12

3.4.1 Pengambilan sampel ... 12

3.4.2 Metode kerja ... 12

3.4.3 Identifikasi telur ... 13

3.5 Analisis Data ... 13

3.6 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 13

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 14

4.2 Pembahasan ... 16

4.3 Pengujian Hipotesis ... 17

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 18

5.2 Saran ... 18

DAFTAR PUSTAKA ... 19


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

4.1 Data kasus infeksiTrichuris sp.pada sapi bali dari

berbagai macam daerah dataran ... 14 4.2 Hasil analisisChi Square Testantara letak geografis dan


(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

4.1 Histogram prevalensi infeksiTrichuris sp.berdasarkan


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman


(12)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pulau Bali mempunyai luas areal 5.621 km2yang terbagi menjadi dua bagian oleh rantai pegunungan yang melintang dari arah Timur ke arah Barat. Bentuk wilayah datar, berombak sampai bergelombang terdapat sepanjang pantai pada ketinggian letak 0-500 meter di atas permukaan laut. Akibat deretan gunung yang melintang dari arah Timur ke arah Barat, dataran rendah Selatan Pulau Bali memiliki curah hujan tinggi dengan bulan basah sepanjang tahun. Sedangkan di dataran rendah Utara Pulau Bali memiliki curah hujan per tahun yang rendah dengan bulan basah yang sangat pendek. Suhu dataran rendah Selatan Pulau Bali lebih rendah dari pada suhu dataran rendah pantai Utara Pulau Bali, hal ini disebabkan udara yang bertiup dari pantai Utara merupakan angin kering yang sangat kurang mengandung uap air (BMKG dalam Suweta, 1982). Berdasarkan letak geografisnya, Pulau Bali dapat di bedakan menjadi 4 daerah dataran yaitu dataran tinggi kering, dataran tinggi basah, dataran rendah kering dan dataran rendah basah.

Daerah dataran tinggi kering memiliki suhu sekitar 18,9oC dengan curah hujan yang rendah dibandingkan dengan daerah dataran rendah basah yang memiliki suhu sekitar 27,2oC dengan curah hujan yang tinggi. Sedangkan dataran tinggi basah memiliki suhu sekitar 18,9oC dengan curah hujan yang tinggi dibandingkan dengan daerah dataran rendah kering yang memiliki suhu sekitar 27,2oC dengan curah hujan yang rendah (BMKG dalam Suweta, 1982). Letak ketinggian sangat berpengaruh terhadap perkembangan dari telur maupun cacing Trichuris spp. dari kelas nematoda, karena pada kelembaban dan suhu 27,2oC yang ada di daerah dataran rendah Provinsi Bali, telur cacing akan berkembang biak menjadi infektif lebih cepat (Wilford, 1986). Telur cacing Trichuris spp. juga dapat bertahan selama beberapa tahun (Soulsby, 1982 ; Urquhart et al., 1987 ; Tayloret al.,2007).


(13)

2

Sapi bali merupakan plasma nutfah sapi asli Indonesia yang berasal dari Pulau Bali hasil domestikasi banteng (Bibos banteng) yang kini sudah diakui potensinya sebagai sapi potong yang dapat memenuhi kebutuhan daging masyarakat Indonesia. Sapi bali (Bos sondaicus) telah mengalami domestikasi 3.500 tahun SM di wilayah pulau Bali dan Jawa (Bandini, 2004 ; Batan 2006 ; Tim Pusat Kajian Sapi Bali, 2012). Sapi bali merupakan aset nasional yang perlu dilestarikan, sehingga perlu dipertahankan keberadaannya (Bandini, 2004 ; Handiwirawan dan Subandriyo, 2004 ; Batan, 2006).

Keunggulan sapi bali dibandingkan sapi lain yaitu memiliki daya adaptasi sangat tinggi terhadap lingkungan yang kurang baik, dapat memanfaatkan pakan dengan kualitas rendah, mempunyai fertilitas dan tingkat keberhasilan dalam perkawinan (conception rate) yang sangat tinggi, persentase karkas yang tinggi dan memiliki daging berkualitas baik dengan kadar lemak rendah (Payne and Rollinson, 1973 ; Oka dan Darmadja, 1996 ; Payne and Hodges, 1997). Namun sapi bali sangat rentan terkena infeksi penyakit seperti parasit saluran pencernaan, karena sumber pakan dan lingkungan yang kurang bersih.

Hasil penelitian terhadap 290 sampel tinja sapi bali yang diperiksa di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, didapatkan 27 sampel (9.31%) positif terinfeksi cacing nematoda gastrointestinal, antara lain Bonustomum phlebotomum 2,07%, Strongyloides papillosus 2,41%, Trichostrongylus axei 3,45%, danTrichuris ovis 1.38%(Nur, 2009). Riza (2003) melaporkan bahwa prevalensi infeksi cacing nematoda saluran pencernaan pada sapi bali di Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar adalah sebesar 22,84% diantaranya tipe Strongyle 20,71%, Trihuris sp. 1,43%, dan Toxocara sp. 0,7%. Yasa (2011) melaporkan bahwa nematoda yang menginfeksi sapi bali di Desa Petang, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung adalah Haemonchus contortus (24,07%), Toxocara vitulorum (2,77%), Bonustomum phlebotomum (1,85%), Strongyloides papillosus (3,70%), Trichostrongylus axei (24,07%), Nematodirus filicollis (5,55%), Cooperia punctata (2,77%) dan Oesophagustomum radiatum (1,85%). Sedangkan hasil penelitian terhadap 1.432 sampel tinja pedet yang diperiksa di Provinsi Jawa Tengah didapatkan 800 sampel positif terinfeksi cacing


(14)

3

nematoda gastrointestinal, antara lain Strongyloides sp. 6,3%, Strongyle sp. 24,0%, Capillaria sp. 2,1%, Toxocara sp. 12,5%, dan Trichuris sp. 6,8% (Purwaningsih, 2012). Penelitian terkait dengan prevalensi infeksi cacing Trichuris spp. pada sapi bali (Bos sondaicus) berdasarkan letak geografis di Provinsi Bali belum pernah dilaporkan, maka penelitian ini menarik dan perlu dilakukan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah penelitian sebagai berikut :

1. Berapa besar prevalensi infeksi cacing Trichuris spp. pada sapi bali (Bos sondaicus) berdasarkan letak geografis Provinsi Bali?

2. Bagaimana hubungan letak geografis di Provinsi Bali dengan prevalensi infeksi cacingTrichuris spp.pada sapi bali (Bos sondaicus) Provinsi Bali? 1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

1. Mengetahui besarnya prevalensi infeksi cacing Trichuris spp. pada sapi bali (Bos sondaicus) berdasarkan letak geografis Provinsi Bali.

2. Mengetahui ada tidaknya hubungan letak geografis di Provinsi Bali dengan prevalensi infeksi cacing Trichuris spp. pada sapi bali (Bos sondaicus)Provinsi Bali.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai prevalensi infeksi dari cacing Trichuris spp. pada sapi bali (Bos sondaicus) berdasarkan letak geografis Provinsi Bali yang nantinya dapat dijadikan acuan dalam upaya mencegah dan pemberantasannya.


(15)

1 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keadaan Geografis Pulau Bali

Pulau bali mempunyai luas areal 5.621 km2 yang terbagi menjadi dua bagian oleh rantai pegunungan yang melintang dari arah Timur ke arah Barat. Bentuk wilayah datar, berombak sampai bergelombang terdapat sepanjang pantai pada ketinggian letak 0-500 meter di atas permukaan laut. Akibat deretan gunung yang melintang dari arah Timur ke arah Barat, menyebabkan angin yang berhembus dari arah Tenggara ke Barat Daya menjatuhkan hujan sepanjang dataran sebelah Selatan Pulau Bali, sehingga dataran rendah Selatan Pulau Bali memiliki curah hujan tinggi dengan bulan basah hampir sepanjang tahun. Sedangkan di dataran rendah Utara Pulau Bali memiliki curah hujan per tahun yang rendah dengan bulan basah yang sangat pendek (BMKG dalam Suweta, 1982).

Dilihat dari variasi bentuk wilayah pada masing-masing wilayah tampak bahwa daerah dataran rendah pada elevasi 0-500 meter dari permukaan laut mempunyai suhu udara rata-rata bulanan sekitar 27,2oC. Suhu dataran rendah Selatan Pulau Bali lebih rendah dari pada suhu dataran rendah pantai Utara Pulau Bali, hal ini disebabkan udara yang bertiup di pantai Utara merupakan angin kering yang sangat kurang mengandung uap air. Sedangkan pada daerah-daerah dataran tinggi pada elevasi 500 meter ke atas dari permukaan laut mempunyai suhu rata-rata bulanan sekitar 18,9oC. Hal ini terjadi oleh karena setiap kenaikkan elevasi 100 meter pada ketinggian 0-1500 meter akan terjadi penurunan suhu udara sekitar 0,5oC (Oldeman, 1977; BMKG dalam Suweta, 1982).

2.2 Sapi bali

Sapi bali (Bos sondaicus) merupakan plasma nutfah sebagai sapi asli Indonesia yang berasal dari Pulau Bali hasil domestikasi banteng (Bibos banteng) yang kini sudah diakui potensinya sebagai sapi potong yang dapat memenuhi kebutuhan daging masyarakat Indonesia (Batan 2006 ; Tim Pusat Kajian Sapi Bali, 2012). Sapi bali telah mengalami domestikasi 3.500 tahun SM di wilayah pulau Bali dan Jawa (Bandini, 2004 ; Batan, 2006).


(16)

2

Sapi bali memiliki karakteristik yakni ukuran tubuh yang sedang, tidak berpunuk, kaki ramping, dada dalam, kulitnya berwarna merah bata. Memiliki cermin hidung, kuku, rambut ujung ekor (switch) berwarna hitam, kaki dibawah persendian karpal dan tarsal berwarna putih (white stocking), kulit berwarna putih juga ditemukan pada bagian pantatnya dan pada paha bagian dalam berbentuk oval. Pada punggungnya selalu ditemukan rambut membentuk garis berwarna hitam (garis belut) memanjang dari gumba hingga panggkal ekor. Sapi bali jantan berwarna lebih gelap bila dibandingkan dengan sapi bali betina. Warna rambut sapi bali jantan biasanya berubah dari merah bata menjadi coklat tua atau hitam legam setelah sapi mencapai dewasa kelamin atau mulai umur 1,5 tahun dan berakhir pada umur 3 tahun. Warna hitam dapat berubah kembali menjadi coklat tua atau merah bata apabila sapi dikebiri setelah pubertas. Perubahan berlangsung sekitar 4 bulan dan sapi bali jantan tidak pernah menjadi hitam jika sapi dikebiri sebelum pubertas. Ciri-ciri sapi bali betina tidak jauh berbeda dari sapi bali jantan, perbedaannya adalah sapi bali betina tidak akan berwarna coklat tua atau hitam legam (Batan, 2006).

Manfaat dari memelihara sapi bali menurut masyarakat Bali adalah untuk membantu petani membajak sawah, kebutuhan upacara, sebagai tabungan untuk menambah sumber pendapatan keluarga tani dengan mengolah kotoran sapi bali untuk pupuk kandang, kulit sapi bali yang diolah menjadi kerupuk rambak, urin sapi yang diolah sebagai biourine (Tim Pusat Kajian Sapi Bali, 2012). Penyebaran sapi bali saat ini meliputi berbagai daerah di Indonesia seperti Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan, Sulawesi dan Jawa Timur (Batan, 2006). Jumlah sapi bali di Indonesia pada tahun 2011 berjumlah 4.789.777 ekor, di antaranya sapi bali jantan 1.493.290 ekor dan sapi bali betina 3.296.487 ekor. Sedangkan jumlah sapi bali di Provinsi Bali pada tahun 2011 adalah 639.793 ekor, dengan jumlah populasi terbanyak di Kabupaten Buleleng (136.337 ekor), disusul dengan Kabupaten Karangasem (135.561 ekor), Kabupaten Bangli (94.203 ekor), Kabupaten Tabanan (67.412 ekor), Kabupaten Jembrana (56.130 ekor), Kabupaten Badung (48.051 ekor), Kabupaten Gianyar


(17)

3

(47.282 ekor), Kabupaten Klungkung (46.636 ekor) dan Kota Denpasar (8.181 ekor) (Kementrian Pertanian, 2011).

Tanduk pada sapi bali jantan tumbuh besar mengikuti pola-pola (silak)seperti silak congkok, silak bajeg, silak pendangdansikak cono. Silak congkokdansilak bajeg lebih di sukai petani karena jenis tanduk ini membuat sapi tampak lebih gagah. Silak cono pada daerah tertentu diminati peternak karena lebih mudah diatur dan tanduknya sulit melukai petani. Tanduk sapi bali betina berukuran lebih ramping dibanding sapi bali jantan (Batan, 2006).

Menurut Blakely and Bade, (1992) dan Williamson and Payne (1993) sapi bali mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut :

Filum :Chordata

Sub filum :Vertebrata

Kelas :Mamalia

Sub kelas :Theria Infra Kelas :Eutheria Ordo :Artiodactyla Sub ordo :Ruminantia Infra ordo :Pecora Famili :Bovidae

Genus :Bos

Grup :Taurinae

Spesies :Bos sondaicus

Kandang sapi bali di pedesaan umumnya hanya cukup untuk memuat 2 ekor sapi, hal ini berkaitan erat dengan fungsi awal sapi sebagai penarik bajak di sawah atau di ladang. Sehingga kandang yang disediakan hanya cukup untuk memuat 2 ekor sapi. Kandang dibangun untuk melindungi sapi dari sengatan terik sinar matahari atau guyuran hujan yang dapat berpengaruh terhadap pertumbuhannya. Di daerah dataran rendah yang panas, atap kandang dibuat dari bahan yang sedikit menyerap panas, sedangkan di daerah pegunungan / dataran tinggi atap kandang dipilih dari bahan yang berdaya serap panas tinggi seperti seng (Batan, 2006).


(18)

4 2.3 Trichuris spp.

Nematoda berbentuk bulat pada potongan melintang, tidak bersegmen, dan ditutupi oleh kutikula yang disekresi oleh lapisan hipodermis yang berada di bawahnya. Nematoda mempunyai saluran usus dan rongga badan, tetapi rongga badan tersebut dilapisi oleh selaput seluler sehingga, disebut pseudosel atau pseudoseloma(Dunn, 1978 ; Soulsby, 1982 ; Urquhartet al.,1987 ; Levine, 1990 ; Tayloret al.,2007).

2.3.1 TaksonomiTrichuris spp.

Berdasarkan Soulsby (1982) klasifikasiTrichurissebagai berikut : Filum :Nemathelminthes

Kelas :Nematoda

Sub kelas :Adenophorea

Ordo :Enoplida

Super famili :Trichuroidea Famili :Trichuridae Genus :Trichuris

Spesies :Trichuris discolor, Trichuris ovis, Trichuris globulosa 2.3.2 Morfologi

Trichuris dikenal dengan cacing cambuk, karena bagian anterior tubuhnya panjang, berbentuk silinder, sedangkan ujung posteriornya lebih tebal dan melebar. Trichuris sp. ditemukan menancapkan ujung anteriornya ke dalam mukosa usus besar, cacing jantan dewasa berwarna putih dengan panjang sekitar 4,0 cm-7,0 cm tetapi cacing betina berwarna kuning-oranye (Dunn, 1978 ; Soulsby, 1982 ; Urquhart et al., 1987 ; Taylor et al., 2007). Cara membedakan jenis kelamin cacing sangat mudah dengan melihat ekornya, bagian ekor cacing jantan melingkar dan memiliki spikula tunggal yang berada dalam selubung, sedangkan bagian posterior cacing betina hanyalah berbentuk sedikit melengkung seperti busur (Dunn, 1978 ; Urquhart et al., 1987). Telur cacing Trichuris sp. berbentuk seperti lemon dengan sumbat (plug) yang mencolok pada kedua ujungnya, berwarna kekuningan sampai coklat, berukuran 60-73 x 25-35 µm (Soulsby, 1982 ; Urquhartet al.,1987 ; Levine, 1990 ; Tayloret al.,2007).


(19)

5 2.3.3 Siklus hidup

Stadium infektifnya adalah telur infektif (di dalam telur mengandung larva stadium 1) yang memerlukan waktu selama 1-2 bulan setelah keluar bersama tinja, tergantung pada kelembaban dan suhu. Telur infektif dapat bertahan selama beberapa tahun pada kondisi yang optimal, suhu optimum untuk telur Trichuris spp.cukup tinggi yaitu sekitar 28oC-32oC (Dunn, 1978 ; Soulsby, 1982 ; Urquhart et al.,1987 ; Tayloret al.,2007).

Sapi akan tertular karena makanan atau minumannya terkontaminasi oleh telur infektif, sumbat yang ada pada kedua ujung telur akan tercerna sehingga keluarlah L1, selanjutnya akan menembus usus halus bagian anterior selama 2-10 hari pindah ke dalam sekum untuk berkembang menjadi cacing dewasa. Di dalam usus, larva mengalami empat kali ekdisis sampai mencapai stadium dewasa muda (L4 dan bagian anteriornya akan tertanam masuk ke dalam mukosa). Periode prepaten berlangsung sekitar 7-10 minggu (Soulsby, 1982 ; Urquhartet al.,1987 ; Tayloret al.,2007).

Saat cacing ditemukan dalam jumlah banyak, menyebabkan peradangan difteri pada mukosa sekum sehingga memungkinkan mikroorganisme lain untuk menjadi patogen. Selain itu, difteri pada mukosa sekum akan menyebabkan penyerapan air berkurang sehingga sapi akan mengalami diare yang kemudian dehidrasi dan berujung pada kematian (Soulsby, 1982 ; Urquhart et al., 1987 ; Tayloret al.,2007).

Diagnosa ditetapkan berdasarkan ditemukannya telur cacing dengan karakteristik berbentuk seperti lemon dengan sumbat (plug) yang ada pada kedua ujungnya dalam pemeriksaan feses (Soulsby, 1982 ; Urquhartet al.,1987 ; Taylor et al.,2007).

Pengobatan pada sapi menggunakan benzimidazole, avermectin / milbemycin, atau levamisol dengan cara di injeksi sangat efektif terhadap Trichurisdewasa (Soulsby, 1982 ; Urquhartet al., 1987 ; Tayloret al.,2007).

Tindakan pencegahan terhadap infeksi cacing Trichuris sp. dengan cara lingkungan sekitar kandang dibersihkan dan disinfeksi atau di sterilkan dengan


(20)

6

pemanasan untuk mempercepat terbunuhnya telur cacing Trichuris (Soulsby, 1982 ; Urquhartet al.,1987 ; Tayloret al.,2007).

2.4 Kerangka Konsep

Sapi bali merupakan plasma nutfah sebagai sapi asli Indonesia yang berasal dari Pulau Bali hasil domestikasi banteng (Bibos banteng), yang sudah diakui potensinya sebagai sapi potong yang dapat memenuhi kebutuhan daging masyarakat Indonesia. Sapi bali merupakan aset nasional yang perlu dilestarikan, sehingga perlu dipertahankan keberadaannya (Bandini, 2004 ; Handiwirawan dan Subandriyo, 2004 ; Batan, 2006, Tim Pusat Kajian Sapi Bali, 2012).

Berdasarkan letak geografisnya, Provinsi Bali dapat dibedakkan menjadi empat daerah dataran yaitu daerah dataran tinggi kering, dataran tinggi basah memiliki tingkat kelembapan 84-85% dan suhu sekitar 23,45-26,15oC, sedangkan dataran rendah kering dan dataran rendah basah memiliki tingkat kelembapan 76-86% dan suhu sekitar 23,8-27,65oC. Dalam siklus hidupnya cacing Trichuris sangat dipengaruhi oleh kelembapan dan suhu di sekitarnya, karena ada perbedaan suhu dan tingkat kelembapan inilah maka, dapat ditarik hipotesis terdapat hubungan antara letak geografis dengan prevalensi infeksi cacing Trichuris spp. pada sapi bali (Bos sondaicus). Berdasarkan perbedaan tersebut, prevalensi infeksi cacingTrichurisakan berbeda.

2.5 Hipotesis

H1: Terdapat hubungan antara letak geografis dengan prevalensi infeksi cacingTrichuris spp.pada sapi bali (Bos sondaicus)di Provinsi Bali.


(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keadaan Geografis Pulau Bali

Pulau bali mempunyai luas areal 5.621 km2 yang terbagi menjadi dua bagian oleh rantai pegunungan yang melintang dari arah Timur ke arah Barat. Bentuk wilayah datar, berombak sampai bergelombang terdapat sepanjang pantai pada ketinggian letak 0-500 meter di atas permukaan laut. Akibat deretan gunung yang melintang dari arah Timur ke arah Barat, menyebabkan angin yang berhembus dari arah Tenggara ke Barat Daya menjatuhkan hujan sepanjang dataran sebelah Selatan Pulau Bali, sehingga dataran rendah Selatan Pulau Bali memiliki curah hujan tinggi dengan bulan basah hampir sepanjang tahun. Sedangkan di dataran rendah Utara Pulau Bali memiliki curah hujan per tahun yang rendah dengan bulan basah yang sangat pendek (BMKG dalam Suweta, 1982).

Dilihat dari variasi bentuk wilayah pada masing-masing wilayah tampak bahwa daerah dataran rendah pada elevasi 0-500 meter dari permukaan laut mempunyai suhu udara rata-rata bulanan sekitar 27,2oC. Suhu dataran rendah Selatan Pulau Bali lebih rendah dari pada suhu dataran rendah pantai Utara Pulau Bali, hal ini disebabkan udara yang bertiup di pantai Utara merupakan angin kering yang sangat kurang mengandung uap air. Sedangkan pada daerah-daerah dataran tinggi pada elevasi 500 meter ke atas dari permukaan laut mempunyai suhu rata-rata bulanan sekitar 18,9oC. Hal ini terjadi oleh karena setiap kenaikkan elevasi 100 meter pada ketinggian 0-1500 meter akan terjadi penurunan suhu udara sekitar 0,5oC (Oldeman, 1977; BMKG dalam Suweta, 1982).

2.2 Sapi bali

Sapi bali (Bos sondaicus) merupakan plasma nutfah sebagai sapi asli Indonesia yang berasal dari Pulau Bali hasil domestikasi banteng (Bibos banteng)

yang kini sudah diakui potensinya sebagai sapi potong yang dapat memenuhi kebutuhan daging masyarakat Indonesia (Batan 2006 ; Tim Pusat Kajian Sapi Bali, 2012). Sapi bali telah mengalami domestikasi 3.500 tahun SM di wilayah pulau Bali dan Jawa (Bandini, 2004 ; Batan, 2006).


(2)

Sapi bali memiliki karakteristik yakni ukuran tubuh yang sedang, tidak berpunuk, kaki ramping, dada dalam, kulitnya berwarna merah bata. Memiliki cermin hidung, kuku, rambut ujung ekor (switch) berwarna hitam, kaki dibawah persendian karpal dan tarsal berwarna putih (white stocking), kulit berwarna putih juga ditemukan pada bagian pantatnya dan pada paha bagian dalam berbentuk oval. Pada punggungnya selalu ditemukan rambut membentuk garis berwarna hitam (garis belut) memanjang dari gumba hingga panggkal ekor. Sapi bali jantan berwarna lebih gelap bila dibandingkan dengan sapi bali betina. Warna rambut sapi bali jantan biasanya berubah dari merah bata menjadi coklat tua atau hitam legam setelah sapi mencapai dewasa kelamin atau mulai umur 1,5 tahun dan berakhir pada umur 3 tahun. Warna hitam dapat berubah kembali menjadi coklat tua atau merah bata apabila sapi dikebiri setelah pubertas. Perubahan berlangsung sekitar 4 bulan dan sapi bali jantan tidak pernah menjadi hitam jika sapi dikebiri sebelum pubertas. Ciri-ciri sapi bali betina tidak jauh berbeda dari sapi bali jantan, perbedaannya adalah sapi bali betina tidak akan berwarna coklat tua atau hitam legam (Batan, 2006).

Manfaat dari memelihara sapi bali menurut masyarakat Bali adalah untuk membantu petani membajak sawah, kebutuhan upacara, sebagai tabungan untuk menambah sumber pendapatan keluarga tani dengan mengolah kotoran sapi bali untuk pupuk kandang, kulit sapi bali yang diolah menjadi kerupuk rambak, urin sapi yang diolah sebagai biourine (Tim Pusat Kajian Sapi Bali, 2012). Penyebaran sapi bali saat ini meliputi berbagai daerah di Indonesia seperti Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan, Sulawesi dan Jawa Timur (Batan, 2006). Jumlah sapi bali di Indonesia pada tahun 2011 berjumlah 4.789.777 ekor, di antaranya sapi bali jantan 1.493.290 ekor dan sapi bali betina 3.296.487 ekor. Sedangkan jumlah sapi bali di Provinsi Bali pada tahun 2011 adalah 639.793 ekor, dengan jumlah populasi terbanyak di Kabupaten Buleleng (136.337 ekor), disusul dengan Kabupaten Karangasem (135.561 ekor), Kabupaten Bangli (94.203 ekor), Kabupaten Tabanan (67.412 ekor), Kabupaten Jembrana (56.130 ekor), Kabupaten Badung (48.051 ekor), Kabupaten Gianyar


(3)

(47.282 ekor), Kabupaten Klungkung (46.636 ekor) dan Kota Denpasar (8.181 ekor) (Kementrian Pertanian, 2011).

Tanduk pada sapi bali jantan tumbuh besar mengikuti pola-pola (silak)seperti

silak congkok, silak bajeg, silak pendangdansikak cono. Silak congkokdansilak bajeg lebih di sukai petani karena jenis tanduk ini membuat sapi tampak lebih gagah. Silak cono pada daerah tertentu diminati peternak karena lebih mudah diatur dan tanduknya sulit melukai petani. Tanduk sapi bali betina berukuran lebih ramping dibanding sapi bali jantan (Batan, 2006).

Menurut Blakely and Bade, (1992) dan Williamson and Payne (1993) sapi bali mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut :

Filum :Chordata

Sub filum :Vertebrata

Kelas :Mamalia

Sub kelas :Theria

Infra Kelas :Eutheria

Ordo :Artiodactyla

Sub ordo :Ruminantia

Infra ordo :Pecora

Famili :Bovidae

Genus :Bos

Grup :Taurinae

Spesies :Bos sondaicus

Kandang sapi bali di pedesaan umumnya hanya cukup untuk memuat 2 ekor sapi, hal ini berkaitan erat dengan fungsi awal sapi sebagai penarik bajak di sawah atau di ladang. Sehingga kandang yang disediakan hanya cukup untuk memuat 2 ekor sapi. Kandang dibangun untuk melindungi sapi dari sengatan terik sinar matahari atau guyuran hujan yang dapat berpengaruh terhadap pertumbuhannya. Di daerah dataran rendah yang panas, atap kandang dibuat dari bahan yang sedikit menyerap panas, sedangkan di daerah pegunungan / dataran tinggi atap kandang dipilih dari bahan yang berdaya serap panas tinggi seperti seng (Batan, 2006).


(4)

2.3 Trichuris spp.

Nematoda berbentuk bulat pada potongan melintang, tidak bersegmen, dan ditutupi oleh kutikula yang disekresi oleh lapisan hipodermis yang berada di bawahnya. Nematoda mempunyai saluran usus dan rongga badan, tetapi rongga badan tersebut dilapisi oleh selaput seluler sehingga, disebut pseudosel atau

pseudoseloma(Dunn, 1978 ; Soulsby, 1982 ; Urquhartet al.,1987 ; Levine, 1990 ; Tayloret al.,2007).

2.3.1 TaksonomiTrichuris spp.

Berdasarkan Soulsby (1982) klasifikasiTrichurissebagai berikut : Filum :Nemathelminthes

Kelas :Nematoda

Sub kelas :Adenophorea

Ordo :Enoplida

Super famili :Trichuroidea

Famili :Trichuridae

Genus :Trichuris

Spesies :Trichuris discolor, Trichuris ovis, Trichuris globulosa

2.3.2 Morfologi

Trichuris dikenal dengan cacing cambuk, karena bagian anterior tubuhnya panjang, berbentuk silinder, sedangkan ujung posteriornya lebih tebal dan melebar. Trichuris sp. ditemukan menancapkan ujung anteriornya ke dalam mukosa usus besar, cacing jantan dewasa berwarna putih dengan panjang sekitar 4,0 cm-7,0 cm tetapi cacing betina berwarna kuning-oranye (Dunn, 1978 ; Soulsby, 1982 ; Urquhart et al., 1987 ; Taylor et al., 2007). Cara membedakan jenis kelamin cacing sangat mudah dengan melihat ekornya, bagian ekor cacing jantan melingkar dan memiliki spikula tunggal yang berada dalam selubung, sedangkan bagian posterior cacing betina hanyalah berbentuk sedikit melengkung seperti busur (Dunn, 1978 ; Urquhart et al., 1987). Telur cacing Trichuris sp.

berbentuk seperti lemon dengan sumbat (plug) yang mencolok pada kedua ujungnya, berwarna kekuningan sampai coklat, berukuran 60-73 x 25-35 µm


(5)

2.3.3 Siklus hidup

Stadium infektifnya adalah telur infektif (di dalam telur mengandung larva stadium 1) yang memerlukan waktu selama 1-2 bulan setelah keluar bersama tinja, tergantung pada kelembaban dan suhu. Telur infektif dapat bertahan selama beberapa tahun pada kondisi yang optimal, suhu optimum untuk telur Trichuris spp.cukup tinggi yaitu sekitar 28oC-32oC (Dunn, 1978 ; Soulsby, 1982 ; Urquhart

et al.,1987 ; Tayloret al.,2007).

Sapi akan tertular karena makanan atau minumannya terkontaminasi oleh telur infektif, sumbat yang ada pada kedua ujung telur akan tercerna sehingga keluarlah L1, selanjutnya akan menembus usus halus bagian anterior selama 2-10 hari pindah ke dalam sekum untuk berkembang menjadi cacing dewasa. Di dalam usus, larva mengalami empat kali ekdisis sampai mencapai stadium dewasa muda (L4 dan bagian anteriornya akan tertanam masuk ke dalam mukosa). Periode prepaten berlangsung sekitar 7-10 minggu (Soulsby, 1982 ; Urquhartet al.,1987 ; Tayloret al.,2007).

Saat cacing ditemukan dalam jumlah banyak, menyebabkan peradangan difteri pada mukosa sekum sehingga memungkinkan mikroorganisme lain untuk menjadi patogen. Selain itu, difteri pada mukosa sekum akan menyebabkan penyerapan air berkurang sehingga sapi akan mengalami diare yang kemudian dehidrasi dan berujung pada kematian (Soulsby, 1982 ; Urquhart et al., 1987 ; Tayloret al.,2007).

Diagnosa ditetapkan berdasarkan ditemukannya telur cacing dengan karakteristik berbentuk seperti lemon dengan sumbat (plug) yang ada pada kedua ujungnya dalam pemeriksaan feses (Soulsby, 1982 ; Urquhartet al.,1987 ; Taylor

et al.,2007).

Pengobatan pada sapi menggunakan benzimidazole, avermectin / milbemycin, atau levamisol dengan cara di injeksi sangat efektif terhadap

Trichurisdewasa (Soulsby, 1982 ; Urquhartet al., 1987 ; Tayloret al.,2007). Tindakan pencegahan terhadap infeksi cacing Trichuris sp. dengan cara lingkungan sekitar kandang dibersihkan dan disinfeksi atau di sterilkan dengan


(6)

pemanasan untuk mempercepat terbunuhnya telur cacing Trichuris (Soulsby, 1982 ; Urquhartet al.,1987 ; Tayloret al.,2007).

2.4 Kerangka Konsep

Sapi bali merupakan plasma nutfah sebagai sapi asli Indonesia yang berasal dari Pulau Bali hasil domestikasi banteng (Bibos banteng), yang sudah diakui potensinya sebagai sapi potong yang dapat memenuhi kebutuhan daging masyarakat Indonesia. Sapi bali merupakan aset nasional yang perlu dilestarikan, sehingga perlu dipertahankan keberadaannya (Bandini, 2004 ; Handiwirawan dan Subandriyo, 2004 ; Batan, 2006, Tim Pusat Kajian Sapi Bali, 2012).

Berdasarkan letak geografisnya, Provinsi Bali dapat dibedakkan menjadi empat daerah dataran yaitu daerah dataran tinggi kering, dataran tinggi basah memiliki tingkat kelembapan 84-85% dan suhu sekitar 23,45-26,15oC, sedangkan dataran rendah kering dan dataran rendah basah memiliki tingkat kelembapan 76-86% dan suhu sekitar 23,8-27,65oC. Dalam siklus hidupnya cacing Trichuris

sangat dipengaruhi oleh kelembapan dan suhu di sekitarnya, karena ada perbedaan suhu dan tingkat kelembapan inilah maka, dapat ditarik hipotesis terdapat hubungan antara letak geografis dengan prevalensi infeksi cacing Trichuris spp.

pada sapi bali (Bos sondaicus). Berdasarkan perbedaan tersebut, prevalensi infeksi cacingTrichurisakan berbeda.

2.5 Hipotesis

H1: Terdapat hubungan antara letak geografis dengan prevalensi infeksi cacingTrichuris spp.pada sapi bali (Bos sondaicus)di Provinsi Bali.