Latar Belakang Masalah Penelitian

1 Daris Hadianto D, 2015 Penerapan Metode Community Language Learning Cll Dalam Pembelajaran Berbicara Pada Pembelajar Bipa Tingkat Menengah Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian

BIPA adalah istilah untuk program pengajaran bahasa Indonesia yang dikhususkan untuk warga negara asing berdasarkan tujuan dan kepentingan tertentu. Perkembangan program pembelajaran BIPA semakin meningkat seiring dengan diberlakukannya perdagangan bebas. Hal ini terbukti dengan terselenggaranya program BIPA di hampir semua perguruan tinggi baik negeri maupun swasta. Program pembelajaran BIPA telah diselenggarakan oleh sekitar 46 negara di seluruh dunia, baik di lembaga perguruan tinggi maupun di kedutaan besar dan konsulat jenderal RI di berbagai negara Badan Bahasa, 2012. Salah satunya adalah terselenggaranya program BIPA di pusat balai bahasa UPI Bandung. Kepentingan pembelajar asing dalam mempelajari bahasa Indonesia berbeda-beda bergantung pada tujuannya mulai dari kepentingan pariwisata, pendidikan, pekerjaan, bisnis. Terlepas dari berbagai kepentingan tersebut, tujuan utama pembelajar asing dalam mempelajari bahasa Indonesia yaitu dapat berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Pengajar BIPA tidak boleh hanya memperhatikan tujuan utama pembelajaran BIPA saja, tetapi juga harus memperhatikan visi dan misi dari program BIPA itu sendiri. Apabila Pengajar BIPA dalam melaksanakan tugasnya mengemban visi dan misi program BIPA maka tujuan dari program BIPA itu sendiri akan tercapai sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Visi program BIPA itu sendiri, yaitu “terlaksananya pengajaran BIPA yang mampu meningkatkan citra Indonesia yang positif di dunia internasional dalam rangka menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa perhubungan luas pada tingkat antarbangsa”. Misi program BIPA, yaitu 1 memperkenalkan masyarakat dan budaya Indonesia di dunia internasional dalam rangka meningkatkan citra Indonesia di luar negeri, 2 meningkatkan kerja sama yang lebih erat dan memperluas jaringan kerja dengan lembaga-lembaga penyelenggara pengajaran BIPA, baik di dalam maupun di luar negeri, 3 memberikan dukungan dan fasilitasi terhadap lembaga-lembaga penyelenggara pengajaran BIPA, baik di dalam maupun di luar negeri, 4 meningkatkan mutu pengajaran BIPA, baik di dalam maupun di luar negeri, 5 meningkatkan mutu sumber daya penyelenggara pengajaran BIPA di dalam dan di luar negeri Badan Bahasa, 2012. Penjelasan mengenai visi misi program BIPA tersebut dapat disimpulkan bahwa visi misi program BIPA, yaitu “pengajaran BIPA harus mampu meningkatkan citra Indonesia yang positif di dunia internasional dalam rangka menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa perhubungan luas pada tingkat antarbangsa yang salah satu tujuannya untuk meningkatkan kerja sama antar negara di berbagai bidang” Badan Bahasa, 2012. Visi misi pogram BIPA tersebut secara tidak langsung mendorong instrukturpengajar BIPA agar memperhatikan aspek-aspek lain dalam melaksanakan pembelajaran BIPA, selain hanya untuk membantu pembelajar BIPA mempelajari bahasa Indonesia. Salah satunya yaitu menanamkan nilai-nilai sosial dan budaya Indonesia agar warga negara asing yang mempelajari bahasa Indonesia dapat sekaligus memahami masyarakat Indonesia sehingga mereka lebih bisa menghargai dan memahami warga negara Indonesia. Tujuan utama pembelajaran BIPA dan visi misi program BIPA tersebut merupakan hal yang harus diperhatikan oleh pengajar BIPA. Selain kedua hal tersebut, ada hal lain yang tidak boleh luput dari perhatian instruktur atau pengajar BIPA sebagai penunjang agar proses pembelajaran mencapai tujuannya yaitu ciri- ciri atau karakteristik pembelajar BIPA itu sendiri. Secara umum, pembelajar BIPA memiliki latar belakang budaya yang berbeda dengan budaya bahasa yang dipelajarinya dan rata-rata berada pada tingkatan usia dewasa. Dengan adanya perbedaan karakteristik pembelajar BIPA tersebut maka pelaksanaan pembelajaran BIPA tidak akan sama dengan pelaksanaan pembelajaran bahasa di sekolah-sekolah biasa. Usia dewasa berbeda dengan tingakatan usia lainnya, yang secara umum orang dewasa tidak akan mau mengikuti proses pembelajaran yang bersifat diktator, tetapi lebih menyukai pembelajaran yang bersifat demokratis atau sesuai dengan kebutuhannya. Apabila karakteristik pembelajar BIPA tersebut tidak diperhatikan maka pelaksanaan pembelajaran tidak akan sampai pada tujuannya. Pembelajar BIPA pada tingkat menengah seharusnya sudah bisa berkomunikasi dengan baik walaupun struktur kalimat yang digunakannya masih dalam tingkat sederhana. Nurgiyantoro, 2010, hlm.283 mendeskripsikan tingkat kefasihan berbicara pembelajar BIPA pada tingkat menengah, yaitu mampu berkomunikasi dengan lawan bicaranya secara komunikatif dengan memperhatikan ketepatan tata bahasa, kosakata, penekanan, pemahaman, dan kelancaran, walaupun penggunaannya masih dalam bentuk yang sederhana. Bertitik tolak pada kondisi ideal tersebut, peneliti menemukan permasalahan di lapangan. Salah satu permasalahan yang peneliti temukan di lapangan ialah permasalahan yang muncul dalam kompetensi berbicara yaitu pembelajar BIPA di balai bahasa UPI dapat dikatakan pasif, atau kesulitan untuk berkomunikasi secara dua arah. Kemampuan berbicara pembelajar BIPA tersebut tidak menunjukkan bahwa ia sedang berada di tingkat menengah. Permasalahan ini diperoleh peneliti pada saat melakukan observasi kegiatan belajar mengajar di kelas. Pembelajar BIPA tingkat menengah di balai bahasa UPI tersebut sangat pasif, hal ini terbukti ketika pengajar BIPA bertanya atau meminta pendapat kepada pembelajar, sebagian besar dari mereka tidak menjawab, sekalipun ada yang menjawab pasti jawaban yang diberikannya sangat singkat. Selain permasalahan dalam kompetensi berbicara, ada permasalahan lain yang termasuk ke dalam aspek berbicara, yaitu nilai-nilai sosial dan budaya berkomunikasi masyarakat Indonesia. Sebagian besar pembelajar BIPA yang sedang mengikuti program BIPA di balai bahasa UPI, tidak mengetahui nilai-nilai sosial dan budaya berkomunikasi masyarakat Indonesia. Hal ini terlihat ketika pembelajar BIPA berkomunikasi baik dengan instruktur BIPA maupun dengan para pegawai balai bahasa UPI lainnya, pembelajar BIPA tersebut tidak menunjukkan nilai-nilai sosial dan budaya berkomunikasi masyarakat Indonesia, salah satu contohnya ialah tidak menggunakan sapaan pada saat memanggil pengajar, sehingga mereka terlihat kurang menghargai pengajar BIPA tersebut. Permasalahan pada kedua aspek tersebut mengindikasikan bahwa kemampuan berkomunikasi serta nilai sosial dan budaya masyarakat penuturnya tidak dapat dipisahkan. Dari permasalahan tersebut dapat disimpulkan bahwa jika pembelajar BIPA memahami nilai-nilai sosial dan budaya berkomunikasi di Indonesia, maka pembelajar BIPA tersebut dapat dengan mudah berkomunikasi dengan masyarakat Indonesia. Berkomunikasi dengan baik dan benar termasuk ke dalam keterampilan berbahasa produktif yaitu keterampilan berbicara. Keterampilan berbicara merupakan kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan serta gagasan dan perasaan Tarigan, 1981, hlm. 15. Berkomunikasi merupakan suatu proses penyampaian informasi, ide atau gagasan dari pembicara kepada pendengar. Pembicara berkedudukan sebagai komunikator sedangkan pendengar sebagai komunikan. Informasi yang disampaikan secara lisan dapat diterima oleh pendengar apabila pembicara mampu menyampaikannya dengan baik dan benar. Dengan demikian, kemampuan berkomunikasi merupakan faktor yang sangat mempengaruhi kemahiran seseorang dalam penyampaian informasi secara lisan. Hal itu mengandung makna bahwa pembicara harus memahami betul bagaimana cara berkomunikasi yang runtut dan efektif sehingga orang lain lawan bicara dapat menangkap informasi yang disampaikan pembicara secara efektif pula. Permasalahan mengenai kesulitan pembelajar BIPA dalam melakukan komunikasi secara dua arah dengan menggunakan bahasa Indonesia tersebut dapat disebabkan oleh berbagai faktor di antaranya faktor dari dalam diri pembelajar seperti kurangnya penguasaan materi, rasa malu, takut dan tidak percaya diri menjadi penghalang pembelajar BIPA untuk berkomunikasi. Selain faktor dari dalam, faktor luar yang turut menentukan keberhasilan untuk mencapai kompetensi keterampilan berkomunikasi tersebut, yaitu peran instruktur dalam menciptakan suasana dalam proses pembelajaran, tentu saja hal ini berhubungan dengan komponen-komponen pembelajaran salah satunya ialah metode pembelajaran. Metode pembelajaran yang dianggap oleh peneliti sesuai dan tepat dengan hakikat pembelajaran BIPA, dan karakteristik pembelajar BIPA adalah metode Community Language Learning CLL. Community Language Learning CLL ialah metode pembelajaran bahasa yang dikembangkan oleh Charles Curran pada tahun 1976, ia adalah seorang ahli psikologis. Metode pembelajaran bahasa masyarakat Community Language learning method ialah metode pembelajaran bahasa yang memberi penekanan pada ranah afektif dalam mempromosikan belajar kognitif sikap keterbukaan dapat mengatasi kesulitan dalam pembelajaran Tarigan, 2009, hlm.187. Metode pembelajaran ini menempatkan para pembelajar BIPA sebagai anggota masyarakat yang di dalamnya terdiri atas pembelajar dan pengajar BIPA itu sendiri. Terkait dengan metode pembelajaran CLL, sebelumnya pernah dilakukan penelitian BIPA dalam pembelajaran menulis, penelitian tersebut dilakukan oleh Leksono pada tahun 2012 dengan judul “Model Belajar Bahasa Berbasis Kelompok Community Language Learning B erorientasi Multikultural”. Metode CLL dalam penelitian tersebut diterapkan dalam pembelajaran menulis, hasil dari penelitian tersebut terbukti bahwa metode CLL dapat mengembangkan kemampuan menulis pembelajar BIPA. Penelitian yang berkaitan dengan kompetensi berkomunikasi pernah dilakukan oleh Ulimah Rianasari pada tahun 2010 dengan judul “Penggunaan Media Kartu Permasalahan dalam Pembelajaran Berbicara pada Pembelajar BIPA Tingkat Dasar”. Penelitian ini membuktikan bahwa media kartu permasalahan yang digunakannya dapat mengembangkan kemampuan berkomunikasi pembelajar BIPA tingkat dasar. Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, dalam penelitian ini metode yang digunakan ialah metode CLL, sedangkan kompetensi yang diangkat dalam penelitian ini ialah kemampuan berkomunikasi secara dua arah. yang disertai dengan penanaman nilai-nilai sosial dan budaya berkomunikasi masyarakat Indonesia. Prinsip-prinsip pembelajaran serta tahapan-tahapan proses pembelajaran yang menjadi karakteristik metode pembelajaran ini menggunakan teknik-teknik yang diadopsi dari teknik terapi psikologis, yaitu bagaimana seorang konselor dalam melayani seorang klien yang bermasalah, sehingga hal ini dianggap dapat mengatasi permasalahan tersebut. Proses pembelajaran yang menggunakan metode ini akan memberikan kenyamanan dan keamanan bagi pembelajar. Pembelajar pun tidak akan berada di dalam tekanan, dan dengan suasana pembelajaran yang demikian maka pembelajar pun secara sukarela akan terdorong untuk mengungkapkan pendapatnya berkomunikasi. Hal ini dapat mempermudah pengajar BIPA dalam membantu pembelajar mencapai kompetensi keterampilan beribicara berkomunikasi secara dua arah sesuai dengan temakonteks pembicaraan. Prinsip-prinsip metode pembelajaran ini sesuai dengan hakikat pembelajaran BIPA dan karakteristik pembelajar BIPA. Adapun prinsip- prinsipnya, di antaranya 1 siswa dianggap sebagai “whole persons” atau seorang individu yang utuh, artinya guru tidak hanya memerhatikan perasaan dan kepandaian siswa tapi juga hubungan dengan sesama siswa dan hasrat siswa untuk belajar, 2 memahami perasaan ketakutan dan sensitif siswa, sehingga pengajar dapat menghilangkan perasaan negatif siswa menjadi energi positif untuk belajar, 3 pengajar memposisikan dirinya sebagai seorang konselor yang akan memahami perasaan dan permasalahan yang dihadapi oleh siswanya, 4 keberadaan seorang guru tidak dilihat sebagai sebuah ancaman yang memperlihatkan kesalahan dan keterbatasan siswa, melainkan menjadi seorang konselor yang memusatkan perhatiannya kepada siswa dan kebutuhannya, 5 metode ini memberikan penekanan pada peran ranah afektif dalam pembelajaran kognitif, sehingga dalam pendekatannya, seorang guru harus melihat siswanya sebagai sebuah kelompok yang membutuhkan terapi dan konseling yang mana dinamika sosial dalam kelompok ini sangat penting. Ketika seorang siswa merasa nyaman dan akrab dengan guru dan teman-teman yang ada dalam kelompoknya, maka ia dapat mengungkapkan dan mengekspresikan dirinya. Berdasarkan penjelasan tersebut, peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa metode ini dapat digunakan dalam pembelajaran BIPA, terutama pada salah satu kompetensi keterampilan berbicara BIPA di tingkat menengah yang diadopsi dari CEFR rambu-rambu pelaksanaan pembelajaran BIPA yaitu pembelajar BIPA dapat melakukan percakapan secara dua arah berdasarkan tematopik yang telah ditentukan. Dengan berpedoman pada prinsip-prinsip metode tersebut, metode ini juga dianggap peneliti sebagai metode yang tepat untuk menanamkan nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat Indonesia pada saat berkomunikasi, yang disertai dengan memperkenalkan tema-tema pembelajaran yang mengandung nilai-nilai sosial dan budaya, sehingga warga negara asing yang mempelajari bahasa Indonesia dapat sekaligus memahami masyarakat Indonesia yang akan membuat mereka lebih bisa menghargai dan memahami warga negara Indonesia terutama dalam aspek berkomunikasi.

1.2 Identifikasi Masalah Penelitian