77 4.
Kurator berupaya menagih tagihan debitur yang pailit dan melakukan sita atas properti debitur, kemudian terbukti bahwa tuntutan debitur tersebut palsu.
Kerugian yang timbul sebagai akibat dari tindakan kurator tersebut di atas tidaklah menjadi beban harta pribadi kurator melainkan menjadi beban harta
pailit. Kerugian yang muncul sebagai akibat dari tindakan atau tidak bertindaknya kurator menjadi tanggung jawab kurator. Kurator dalam kasus ini bertanggung
jawab secara pribadi, kurator harus membayar sendiri kerugian yang ditimbulkannya. Tanggung jawab ini dapat terjadi, misalnya jika kurator
menggelapkan harta kepailitan. Segalah kerugian yang timbul sebagai akibat dari kelalaian atau karena ketidakprofesionalan kurator menjadi tanggung jawab
kurator. Oleh karena itu, kerugian tersebut tidak bisa dibebankan pada harta pailit.
189
B. Pertanggungjawaban Kurator Atas Kerugian Harta Debitur Pailit
Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam kamus hukum, yaitu liability dan responsibility. Liability merupakan istilah hukum yang
luas yang menunjuk hampir semua karakter risiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung atau yang mungkin meliputi semua karakter hak dan
kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau
kondisi yang
menciptakan tugas
untuk melaksanakan
undang- undang. Responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu
kewajiban, dan termasuk putusan, ketrampilan, kemampuan dan kecakapan
189
Ibid., hlm. 117.
Universitas Sumatera Utara
78 meliputi juga kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang
dilaksanakan. Istilah liability dalam pengertian dan penggunaan praktis, menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang
dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah responsibility menunjuk pada pertanggungjawaban politik.
190
Sehubungan dengan tanggung jawab, ada beberapa prinsip tanggung jawab yang dapat dikemukakan sebagai berikut:
191
1. Liability based on fault prinsip tanggung jawab karena kesalahan
Kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum. Pengertian hukum tidak hanya bertentangan dengan undang-undang tetapi juga kepatutan dan
kesusilaan dalam masyarakat. Prinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian negligence yang
didasarkan pada adanya unsur kesalahan.
192
Prinsip ini sudah cukup lama berlaku, baik secara hukum pidana ataupun perdata. Pada sistem hukum perdata kita
misalnya adanya perbuatan melawan hukum onrehtamatige doad sebagaimana terdapat dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Tanggung jawab majikan, pimpinan
perusahaan terhadap pegawainya atau orang tua terhadap anaknya, sebagaimana diatur dalam Pasal 1367 KUH Perdata.
2. Presumption of liability principle prinsip praduga bertanggungjawab
190
Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006, hlm. 335-337.
191
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2006, hlm. 73.
192
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013, hlm. 85.
Universitas Sumatera Utara
79 Prinsip ini menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggung jawab
presumption of liability principle, sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah.
Kata “dianggap” pada prinsip “presumption of liability” adalah penting, karena ada kemungkinan tergugat membebaskan diri dari tanggung jawab, yaitu
dalam hal ia dapat membuktikan bahwa ia telah “mengambil” semua tindakan yang diperlukan untuk menghindarkan terjadinya kerugian.
193
Seseorang atau tergugat dianggap bertanggung jawab sampai ia dapat membuktikan bahwa dirinya tak bersalah. Dengan demikian beban pembuktian
ada padanya. Asas ini lazim pula disebut pembuktian terbalik omkering van bewijslast.
3. Presumption of nonliability prinsip praduga tidak selalu bertanggungjawab
194
Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip yang kedua, prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen
yang sangat terbatas.
195
Asas ini menegaskan tergugat tidak selamanya bertanggung jawab. Asas ini kebalikan dari prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab sudah mulai
ditinggalkan. 4.
Strict liability prinsip tanggung jawab mutlak
196
193
E. Suherman, Masalah Tanggung Jawab Pada Charter Pesawat Udara dan Beberapa Masalah Lain dalam Bidang Penerbangan Kumpulan Karangan Bandung: Alumni, 1979, hlm.
21.
194
https:legalscrawl.wordpress.com20121228 diakses tanggal 13 Februari 2014.
195
Shidarta, Op.Cit, hlm 74
196
Zulham, Op.Cit, hlm 95
Universitas Sumatera Utara
80 Prinsip tanggung jawab mutlak strict liability sering diidentikkan dengan
prinsip tanggung jawab absolut absolute liability. Kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan kedua terminologi di atas. Ada pendapat yang
menyatakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun ada pengecualian-
pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya pada keadaan force majeure. Sebaliknya absolute liability adalah prinsip
tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya.
197
Menurut E. Suherman, strict liability disamakan dengan absolute liability, dalam prinsip ini tidak ada kemungkinan untuk membebaskan diri dari tanggung
jawab, kecuali apabila kerugian yang timbul karena kesalahan pihak yang dirugikan sendiri. Tanggung jawab adalah mutlak.
198
Prinsip ini merupakan kebalikan dari prinsip pertama, yaitu liability based on fault. Dengan prinsip ini, tergugat harus bertanggung jawab atas kerugian yang
diderita konsumen tanpa harus membuktikan ada atau tidaknya kesalahan pada dirinya.
5. Limitation of liability prinsip bertanggung jawab terbatas
199
Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan limitation of liability principle ini sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai
klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya.
200
Prinsip ini
197
Shidarta, Op.Cit., hlm. 75.
198
E. Suherman, Op.Cit., hlm. 23.
199
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010, hlm. 93.
200
Shidarta, Op.Cit., hlm. 77.
Universitas Sumatera Utara
81 menguntungkan pelaku usaha karena mencantumkan klausul eksonerasi dalam
perjanjian standar yang dibuatnya. Kurator mempunyai tugas yang cukup berat, yaitu melakukan pengurusan
dan pemberesan harta pailit. Kurator juga mempunyai tanggung jawab yang cukup berat atas pengurusan dan pemberesan harta pailit yang dilakukan. Pada Pasal 16
ayat 2 UUK dan PKPU dinyatakan, “Dalam hal putusan pernyataan pailit
dibatalkan sebagai akibat adanya kasasi atau peninjauan kembali, segala perbuatan yang telah dilakukan oleh kurator sebelum atau pada tanggal kurator
menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 UUK dan PKPU tetap sah dan mengikat d
ebitur”. Pada penjelasan Pasal 16 ayat 2 UUK dan PKPU disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan “tetap sah dan mengikat debitur” adalah bahwa perbuatan kurator tidak dapat digugat di pengadilan mana pun.
Setiap perbuatan yang merugikan terhadap harta pailit atau dalam arti merugikan kepentingan kreditur, baik secara sengaja maupun tidak sengaja oleh
kurator, maka kurator harus bertanggung-jawab atas perbuatannya tersebut. Secara tegas dinyatakan dalam Pasal 72 UUK dan PKPU melaksanakan tugas
pengurusan danatau pemberesan yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit. Tidak dijelaskan mengenai batasan dari kesalahan, atau kelalaian atas
tindakan yang dilakukan oleh kurator tersebut yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit debitur.
Tolak ukur untuk menentukan bahwa kurator telah melakukan kesalahan atau kelalaian dalam menjalankan tugas dan kewenangannya sebagaimana
Universitas Sumatera Utara
82 dimaksud dalam Pasal 72 UUK dan PKPU tersebut adalah kewajiban
sebagaimana ditentukan di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan fiduciary duties. Kewajiban kedua dari kurator ialah
berupa fiduciary duties dan fiduciary obligations. Kurator mengemban fiduciary duties terhadap pengadilan yang diwakili oleh hakim pengawas, debitur, kreditur,
dan para pemegang saham.
201
Kesalahan dan kelalaian kurator dalam melaksanakan tugas pengurusan danatau pemberesan yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit dapat
dikategorikan perbuatan melawan hukum. Mengenai perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 KUH
Perdata disebutkan bahwa “Setiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang
yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata
mempunyai unsur-unsur: 1.
Ada perbuatan melawan hukum. 2.
Ada kesalahan. 3.
Ada kerugian. 4.
Ada hubungan sebab-akibat antara kerugian dan perbuatan. Setiap orang harus bertanggung jawab berdasarkan perbuatan melawan
hukum sebagaimana dimaksud Pasal 1365 KUH Perdata, maka orang tersebut harus bersalah liability based on fault. Kesalahan itu harus dibuktikan oleh pihak
yang menuntut ganti rugi atau beban pembuktian ada pada penggugat Pasal 1865
201
Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan Bogor: Ghalia Indonesia, 2009, hlm. 68.
Universitas Sumatera Utara
83 KUH Perdata.
202
Kurator yang melakukan kesalahan atau kelalaian yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit debitur, apabila dapat dibuktikan oleh
debitur atau pihak yang menuntut ganti rugi, maka kurator tersebut wajib untuk mengganti kerugian tersebut.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak mengatur mengenai ganti kerugian yang harus dibayar karena perbuatan melawan hukum, sedangkan Pasal
1243 KUH Perdata memuat ketentuan tentang ganti kerugian karena wanprestasi. Menurut yurisprudensi ketentuan ganti kerugian karena wanprestasi dapat
diterapkan untuk menentukan ganti kerugian karena perbuatan melawan hukum.
203
Menurut Pasal 1243 KUH Perdata, ganti rugi meliputi “biaya, rugi, dan
bunga”. Pengertian “bunga”, adalah setiap pengeluaran yang dikeluarkan secara nyata oleh pihak yang dirugikan sebagai akib
at wanprestasi. “Rugi” atau “kerugian”, adalah berkurangnya nilai kekayaan kreditur akibat dari wanprestasi,
sedangkan pengertian “bunga”, ialah suatu keuntungan yang harus diperoleh Pasal 1246 KUH Perdata.
204
Kaitannya dengan tanggung jawab kurator dalam melaksanakan tugasnya, Pasal 74 UUK dan
PKPU mengharuskan “Kurator menyampaikan laporan kepada hakim pengawas mengenai keadaan harta pailit dan pelaksanaan
tugasnya setiap 3 bulan”. “Laporan dimaksud bersifat terbuka untuk umum, sehingga secara cuma-cuma
dapat dilihat oleh setiap orang”. Pasal 77 ayat 1 UUK dan PKPU mengatur bahwa:
202
Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata tentang Benda dan hukum Perikatan Bandung: Nuansa Aulia, 2007, hlm. 112.
203
M.A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum Jakarta: Pradnya Paramita, 1982, hlm. 73.
204
Djaja S. Meliala, Op.Cit., hlm. 116.
Universitas Sumatera Utara
84 “Setiap kreditur, panitia kreditur, dan debitur pailit dimungkinkan
mengajukan keberatan kepada hakim pengawas, atas perbuatan yang dilakukan kurator. Selain itu, dapat memohon kepada hakim pengawas
untuk mengeluarkan surat perintah agar kurator melakukan perbuatan tertentu atau tidak melakukan perbuatan yang sudah direncanakan”.
Tanggung jawab kurator hanya sebatas apa yang menjadi tugasnya sesuai dengan UUK dan PKPU karena keberadaannya berada dibawah pengawasan
hakim pengawas. Tanggung jawab kurator dapat dibagi menjadi: 1.
Tanggung jawab kurator dalam menjalankan tugas. Tanggung jawab kurator dalam kapasitas sebagai kurator dibebankan pada harta
pailit, dan bukan pada kurator secara pribadi yang harus membayar kerugian pihak yang menuntut mempunyai tagihan atas harta kepailitan, dan tagihannya adalah utang
harta pailit, seperti: a.
Kurator lupa untuk memasukkan salah satu kreditur dalam rencana distribusi. b.
Kurator menjual aset debitur yang tidak termasuk dalam harta kepailitan. c.
Kurator menjual aset pihak ketiga. d.
Kurator berupaya menagih tagihan debitur yang pailit dan melakukan sita atas properti debitur, kemudian terbukti bahwa tuntutan debitur tersebut
palsu. Kerugian yang timbul sebagai akibat dari tindakan kurator tersebut di atas
tidaklah menjadibeban harta pribadi kurator melainkan menjadi beban harta pailit.
Universitas Sumatera Utara
85 2.
Tanggung jawab pribadi kurator. Kerugian yang muncul sebagai akibat dari bertindaknya atau tidak
bertindaknya kurator menjadi tanggung jawab kurator. Kurator dalam kasus seperti ini bertanggung jawab secara pribadi. Kurator harus membayar sendiri kerugian
yang ditimbulkannya. Tanggung jawab ini dapat terjadi jika kurator menggelapkan harta kepailitan. Segala kerugian yang timbul, akibat dari kelalaian atau karena
ketidakprofesionalan kurator menjadi tanggung jawab kurator. Karenanya kerugian tersebut tidak bisa dibebankan pada harta pailit. Terhadap pendapat
tersebut, Tutik Sri Suharti, seorang kurator di Jakarta, mengungkapkan bahwa pembebanan tanggung jawab atas kerugian harta pailit kepada kurator akan
membuat kurator menjadi tidak kreatif dalam melaksanakan tugasnya, terutama dalam upaya untuk meningkatkan harta pailit.
205
Menurut Pasal 72 UUK dan PKPU, kurator bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan dan atau
pemberesan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 69 ayat 1 UUK dan PKPU yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit. Berdasarkan ketentuan Pasal 72
tersebut, kurator bukan saja bertanggung jawab karena perbuatan yang dilakukan dengan sengaja tetapi juga karena kelalaian.
206
Setiap sesuatu memiliki resiko, begitu juga dalam setiap profesi. Setiap profesi memiliki resiko profesi yang diemban. Pada profesi kurator, resiko profesi
kurator disebutkan dalam Pasal 72 UUK dan PKPU. Kurator bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan
205
http:www.scribd.comdoc168581005AGAINKEPAILITAN diakses tanggal 12 Februari 2014.
206
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit., hlm. 226.
Universitas Sumatera Utara
86 danatau pemberesan boedel pailit yang menyebabkan kerugian terhadap harta
pailit. Kesalahan tersebut misalnya melakukan penjualan atas harta pailit jauh di bawah harga pasar untuk keuntungan pribadi. Atas kesalahan danatau
kelalaiannya, Kurator dapat dituntut secara pidana baik oleh debitur pailit danatau kreditur serta pihak ketiga lainnya yang dirugikan oleh tindakan kurator.
Pada Pasal 78 ayat 1 UUK dan PKPU ditentukan, apabila untuk melakukan perbuatan terhadap pihak ketiga, kurator memerlukan kuasa atau izin
dari hakim pengawas tetapi ternyata kuasa atau izin tersebut tidak ada atau tidak diperoleh atau kurator dalam melakukan perbuatan tersebut tidak mengindahkan
ketentuan Pasal 83 dan 84 UUK dan PKPU, perbuatan terhadap pihak ketiga tersebut secara hukum adalah sah. Namun konsekuensinya, menurut Pasal 78 ayat
2 UUK dan PKPU kurator harus bertanggung jawab sendiri secara pribadi terhadap debitur pailit dan kreditur.
207
Sebagai konsekuensi ketentuan Pasal 72 dan78 UUK dan PKPU itu, kurator dapat digugat dan wajib membayar ganti kerugian apabila karena
kelalaiannya, terlebih lagi karena kesalahannya dilakukan dengan sengaja telah menyebabkan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap harta pailit, terutama
tentunya adalah para kreditur konkuren, dirugikan. Kerugian itu terutama apabila harta pailit berkurang nilainya sehingga dengan demikian para kreditur konkuren
memperoleh nilai pelunasan tagihannya kurang dari yang seharusnya diterima dari hasil penjualan harta pailit sebagai akibat perbuatan kurator.
207
Ibid., hlm. 226.
Universitas Sumatera Utara
87 Berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata mengenai perbuatan melawan
hukum, kurator dapat digugat untuk bertanggung jawab secara pribadi oleh pihak- pihak yang dirugikan atas sikap dan perbuatan kurator. Kurator bahkan harus
bertanggung jawab secara pidana atas sikap dan perbuatannya itu.
208
Kendati demikian, tindakan seorang kurator haruslah senantiasa dilakukan dengan
pemikiran yang matang dan berangkat dari dasar bahwa tindakannya demi kepentingan harta pailit. Khusus mengenai keadaan memaksa dapat dijelaskan
sebagai berikut. Keadaan memaksa atau keadaan kahar adalah: Keadaan yang mengkibatkan salah satu atau semua pihak tidak dapat melaksanakan kewajiban
danatau haknya tanpa memberikan alasan sah kepada pihak lainnya untuk mengajukan klaim atau tuntutan terhadap pihak yang tidak dapat melaksanakan
kewajibannya danatau haknya karena keadaan kahar itu terjadi di luar kuasa atau kemampuan dari pihak yang tidak dapat melaksanakan kewajibannya itu.
209
Maka dari itu dengan mengajukan keadaan memaksa, hendak ditunjukkan bahwa tidak terlaksananya sesuatu yang dijanjikan itu disebabkan oleh hal-hal
yang tidak dapat diduga sebelumnya dan tidak dapat berbuat apa-apa terhadap hal- hal yang terjadi.
210
Pasal 72 UUK dan PKPU menentukan bahwa kurator bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya melaksanakan tugas pengurusan atau
pemberesan terhadap harta pailit debitur. Sampai saat ini belum terdapat kejelasan
208
Ibid., hlm. 227.
209
Budiono Kusumohamidjojo, Panduan Untuk Merancang Kontrak Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2001, hlm. 66.
210
Budiman N.P.D. Sinaga, Hukum Kontrak Penyelesaian Sengketa dari Perpektif Sekretaris Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005, hlm. 26.
Universitas Sumatera Utara
88 tentang batasan dari kesalahan atau kelalaian atas tindakan yang dilakukan oleh
kurator tersebut yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit debitur. Selain itu dalam penjelasan Pasal 72 UUK dan PKPU tidak disebutkan
batasan dari kesalahan atau kelalaian dalam pemberesan harta pailit, sehingga Pasal 72 mengandung pengertian yang sangat luas. Pasal 72 UUK dan PKPU
harus diperjelas lagi mengenai prosedur dalam pemberesan harta pailit sehingga kurator tidak lagi merasa takut dalam menjalankan pemberesan harta pailit.
Kesalahan dan kelalaian kurator secara implisit merupakan perbuatan melawan hukum. Mengenai perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUH
Perdata disebutkan bahwa setiap perbuatan melawan hukum, yang dapat menimbulkan kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena
kesalahannya menerbitkan kerugian itu, mengganti rugian tersebut. Begitu juga dengan kurator yang melakukan kesalahan atau kelalaian yang menyebabkan
kerugian terhadap harta pailit debitur, dia harus mempertanggungjawabkan perbuatan tersbut. Hanya saja UUK dan PKPU tidak memberikan penjelasan
terhadap kesalahan atau kelalaian tersebut. Akibat yang ditimbulkan dalam kelalaian atau kealpaan, tidak dikehendaki
oleh si pelaku walaupun dapat diperkirakan. Jadi dalam hal ini ada unsur tidak diketahuinya akibat yang mungkin timbul atas perbuatan si pelaku.
Berdasarkan uraian di atas dikaitkan dengan kesengajaan atau kelalaian kurator dalam pelaksanaan pemberesan harta pailit debitur, dapat disimpulkan
bahwa bentuk kesalahan kurator adalah unsur kesengajaan apabila dilakukan oleh kurator
yang mengetahui bahwa tindakan yang dilakukannya dapat
Universitas Sumatera Utara
89 mengakibatkan kerugian terhadap harta pailit debitur. Sedangkan dalam hal
kelalaian, kurator tidak mengetahui bahwa dia melakukan suatu tindakan yang secara tidak sengaja akan menimbulkan kerugian terhadap harta pailit debitur.
Kurator baik karena kesalahannya maupun karena kelalaiannya dapat dimintakan pertanggungjawaban apabila terdapat unsur kesengajaan atau kecerobohan yang
dilakukan tanpa pertimbangan. Jika kurator melaksanakan kewenangannya dengan sebaik-baiknya maka
hal ini juga berguna bagi kurator yang bersangkutan agar tidak dapat dituntut karena merugikan harta pailit. Karena seorang kurator bertanggung jawab secara
pribadi jika melakukan tindakan yang merugikan harta pailit, dan kerugian yang ditimbulkannya dapat dimintakan penggantikan kepada harta pribadi kurator
tersebut. Oleh karena itu dalam rangka melaksanakan kewenangannya dalam melakukan pengurusan harta pailit, khususnya dalam hal harta pailit lebih besar
dari utang, maka kurator haruslah memperhatikan batasan-batasan yang ada dalam melaksanakan kewenangannya.
211
Force majeure atau yang sering diterjemahkan sebagai “keadaan
memaksa” merupakan keadaan dimana seorang debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada
saat dibuatnya kontrak, keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur, sementara si debitur tersebut tidak dalam
keadaan beriktikad buruk. “Dalam hal ini, kejadian-kejadian yang merupakan force majeure tersebut tidak pernah terduga oleh para pihak sebelumnya akan
211
Fennieka Kristianto, Kewenangan Menggugat Pailit dalam Perjanjian Kredit Sindikasi Jakarta: Minerva Athena Pressindo, 2009, hlm. 38.
Universitas Sumatera Utara
90 adanya peristiwa tersebut, maka seyogyanya hal tersebut harus sudah dinegosiasi
diantara para pihak.”
212
Kalau debitur menghadapi hal yang tidak terduga, yang tidak dapat dipersalahkan kepadanya, atau debitur menghadapi keadaan memaksa, debitur
tidak harus menanggung kerugian yang diderita oleh kreditur karenanya. Untuk dapat mengemukakan adanya keadaan memaksa overmacht, debitur sendiri
harus dalam posisi yang layak untuk mengemukakan keadaan memaksa overmacht, antara lain dari pihak debitur sendiri tidak ada unsur kesengajaan
atas timbulnya keadaan memaksa. Dengan perkataan lain, tidak ada kesalahan pada dirinya.
213
Keadaan sebagaimana tersebut di atas pernah dialami oleh hampir sebagian besar para pelaku usaha di Indonesia. Krisis moneter yang terjadi sejak
pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan kesulitan yang besar terhadap perekonomian nasional khususnya dunia usaha. Kemampuan dunia usaha dalam
mengembangkan kegiatannya menjadi sangat terganggu, terutama untuk memenuhi kewajiban pembayaran utang mereka. Keadaan ini telah melahirkan
akibat berantai, dan apabila tidak segera diselesaikan akan menimbulkan dampak yang lebih luas, antara lain hilangnya kesempatan kerja dan timbulnya kerawanan
sosial lainnya. Akibat lainnya banyak perusahaan Indonesia yang terpaksa berutang kepada kreditur luar negeri, tetapi perusahaan tersebut ternyata tidak
mampu membayar hutang kepada krediturnya saat jatuh tempo.
212
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1244
213
J. Satrio, Wanprestasi Menurut KUHPerdata, Doktrin dan Yurisprudensi Bandung: Citra Aditya Bakti, 2012, hlm. 104-105.
Universitas Sumatera Utara
91 Ketika kewajiban itu tidak dapat dipenuhi maka salah satu solusi dari
masalah ini ialah dipailitkan. Namun, sayangnya Indonesia pada saat itu hanya mempunyai Faillissements Verordening sebagai satu-satunya peraturan yang
mengatur tentang kepailitan. Pengaturan kepailitan dalam Faillissements Verordening tersebut dirasa tidak memadai lagi dengan situasi saat itu karena
kurang memberikan keseimbangan kepada debitur dan kreditur dalam menghadapi kepailitan, memberikan kepastian proses, baik menyangkut waktu,
tata cara, tanggung jawab pengelolaan harta pailit, forum yang lebih professional dan lain-lain.
214
C. Pembebasan Tanggung Jawab Kurator