PSMTI dalam membangun identitas Tionghoa

75 PSMTI dimana organisasi ini muncul sebagai wadah untuk merangkul etnis Tionghoa akan tragedi tahun 1998 untuk dalam memajukan kembali kebudayaan dan seni yang menjadi identitas masyarakat Tionghoa Indonesia yang bergerak di bidang sosial yang tujuannya adalah untuk membantu masyarakat tanpa melihat latar belakang maupun suku , agama,dan lain-lain.

4.4.6. PSMTI dalam membangun identitas Tionghoa

Permasalahan etnis Tionghoa yang terjadi di masa Orde Baru membuat banyak masyarakat etnis Tionghoa terpukul karena berbagai diskriminasi dan streotipe yang dilabelkan atau diberikan masyarakat lain kepada etnis Tionghoa sebagai suku minoritas di Indonesia. maka dari itu banyak masyarakat etnis Tionghoa yang masuk kedalam organisasi Tionghoa untuk bernaung contohnya PSMTI. Ketertarikan menjadi anggota bagian dari PSMTI karena adanya hubungan yang kuat antar sesama masyarakat Tionghoa atau rasa in-group yang tinggi dan adanya perasaan untuk membangun kembali identitas Tionghoa yang dulu telah dibatasi perkembangannya. Untuk itu PSMTI menjadi organisasi yang mewakili suara masyarakat etnis Tionghoa, sebagai sebuah wadah berkomunikasi dan sebagai sarana dalam membangun kembali identitas Tionghoa dan membantu meningkatkan citra atau image masyarakat etnis Tionghoa melalui berbagai kegiatan-kegiatan sosial dan melakukan berbagai pesta kebudayaan untuk diperkenalkan kepada masyarakat luas tentang kebudayaan dan tardisi etnis Tionghoa itu sendiri. Tentunya organisasi PSMTI juga terus berupaya dalam menjalin hubungan dengan masyarakat kelompok lain agar terciptanya kerukunan, keharmonisan antar kalangan masyarakat antar tidak lagi muncul juga streotipe dan Universitas Sumatera Utara 76 diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Pada saat pendirian organisasi PSMTI juga tidak mendapat kendala dari pemerintah, berikut wawancara dari Pak Djono: “Disaat organisasi ini berdiri banyak kok support atau dukungan yang kami dapat dari pemerintah, gak ada kok kekangan waktu kami berdiri itu pada masa pemerintahan BJ Habibie dan bahkan mereka menyarankan atau mendorong kita agar masyarakat etnis Tionghoa mempunyai wadah.” Apresiasi positif diberikan pemerintah atas terbentuknya telah memacu dan memotivasi organisasi PSMTI untuk menjadi wadah bagi masyarakat etnis Tionghoa sebagai tempat untuk menyuarakan cita-cita etnis Tionghoa dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat etnis Tionghoa sebagai bagian dari masyarakat Negara Indonesia. Tentunya PSMTI tempat untuk mempertahankan atau memelihara kebudayaan yang menjadi bagian dari identitas mereka. Sama halnya ketika waktu masa pemerintahan Gusdur ketika itu Beliau membuat keputusan yang cukup berjasa dimana ia meresmikan kembali Hari Imlek sebagai hari libur Fakultatif. Setelah sebelumnya telah dihapuskan di masa Orde Baru. Kebijakan yang dibuat juga memberi efek yang cukup positif kepada masyarakat Tionghoa dimana mereka sudah bisa merayakan Hari Imlek secara nasional dan kebebasan dalam mengekspresikan kebudayaannya sendiri. Universitas Sumatera Utara 77 Banyaknya kesenian etnis Tionghoa yang beragam membuat nilai plus dari kebudayaan masyarakat Tionghoa itu sendiri sehingga perlu dilestarikan kebudayaannya. Seperti kutipan wawancara Pak Djono: “Tentunya kami terus mempertahankan kesenian kami, kita sebagai etnis Tionghoa harus tetap menjaga identitas kami sebagai wujud kami dalam menjaga kebudayaaan kami adalah kami sering mempertunjukkan kesenian barongsai pada setiap kesempatan, dan bukan hanya kesenian barongsai saja, kesenian maupun kebudayaan lain juga harus dilestarikan seperti festival Perahu Naga, festival Bak Cang, maupun Wushu, Kung Fu juga merupakan salah satu dari Kebudayaan kami.” Kesenian dan kebudayaan yang menjadi sebuah simbol bagi masyarakat etnis Tionghoa sebagai identitasnya masyarakat Tionghoa. Dan juga tidak mengesampingkan kebudayaan lain yang menjadi bagian dari masyarakat etnis Tionghoa. Seperti kebudayaan adat perkawinan etnis Tionghoa yang sekarang ini sudah agak pudar, mengingat adat perkawinan Barat sudah banyak diikuti oleh banyak generasi muda masyarakat Tionghoa. Seperti juga pakaian Cheong Sam merupakan pakaian tradisional masyarakat etnis Tionghoa. Umumnya pakaian ini berwarna merah sesuai dengan kepercayaan masyarakat etnis Tionghoa. Warna merah dipercaya mendatangkan keberuntungan dan kemakmuran, pakaian ini sering dipakai pada Hari Perayaan Imlek atau pesta-pesta tertentu saja dan pakaian Cheong Sam merupakan perpaduan antara busana tradisonal Tiongkok dan busana Barat. Nasib pakaian tradisional Tionghoa di negara ini, sejatinya tidak sama seperti yang dialami aksara Mandarin, Barong Sai maupun Wushu karena peminat dari generasi muda Tionghoa terhadap pakaian Cheng Sam makin Universitas Sumatera Utara 78 sedikit dibanding dengan Wushu maupun Barongsai. Berikut penuturan Pak Djono menanggapi hal tersebut: “Untuk itu kami sebagai organisasi Tionghoa yang mewakili orangTionghoa di Indonesia akan terus mendorong kesenian Cheong Sam seperti kami lakukan selama ini setiap tahunnya mengadakan acara “Lomba Mengenakan Busana Cheong Sam” bertepatan dengan acara kami festival Kue Bulan. Tujuannya untuk mengingatkan kembali kepada generasi muda untuk ikut menghargai dan melestarikan busana tradisional ini yang merupakan identitas budaya Tionghoa, jika kalau bukan dari etnis Tionghoa sendiri yang melestarikan lalu mau siapa lagi. Selain itu diharapakan pakaian tradisonal ini bisa menjadi lahan bisnis yang baik.” Kurangnya minat pakaian tradisional Cheong Sam di kalangan generasi muda masyarakat Tionghoa, membuat organisasi PSMTI terus mengalakkan berbagai pagelaran atau festival kesenian pakaian tradisional Tionghoa untuk menarik kembali minat masyarakat Tionghoa untuk bisa lebih mencintai pakaian tradisonal ini khusus nya pada generasi perempuan muda dalam mempertahankan salah satu dari identitas Tionghoa karena yang akan mewarisi budaya dan tradisi etnis Tionghoa tentunya berasal dari kaum muda Tionghoa. Selain itu pakaian tradisional Cheong Sam diharapakan bisa menarik minat atau inspirasi pelaku bisnis untuk dapat mengembangkan atau membangun gerai pakaian ini mengingat penjualan akan pakaian ini tergolong sedikit. Bukan hanya sebatas kebudayaan dan kesenian etnis Tionghoa saja yang dipertahankan dan dilestarikan organisasi PSMTI, tetapi juga wisata kuliner khas masyarakat Tionghoa dan juga dari berbagai budaya dan etnis di kota Medan. Berikut hasil wawancara dengan Pak Djono: Universitas Sumatera Utara 79 “Kegiatan ini murni untuk melestarikan budaya Tionghoa, karena itu memang tugas PSMTI sebagai ormas dalam melestarikan seni dan budaya masyarakat Tionghoa. Kegiatan ini tidak berorientasi pada keuntungan, tapi murni kegiatan sosial sebagaimana visi dan misi PSMTI. Kegiatan ini juga sekaligus mempromosikan kuliner Kota Medan kepada masyarakat luar, karena ini bertepatan dengan musim Cheng Beng akan banyak warga Tionghoa asal Medan yang berada di luar kota atau luar negeri, kembali ke daerah ini untuk berziarah ke makam leluhur masing-masing”. Kuliner juga merupakan salah satu dari kebudayaan masyarakat Tionghoa apalagi kuliner itu khas asli Tionghoa. Oleh sebab itu organisasi terus mempromosikan wisata kuliner sebagai upaya melestarikan masa khas Tionghoa mengingat juga kegiatan wisata kuliner khas Tionghoa selalu diselenggarakan bertepatan dengan Festival Cheng Beng. Cheng Beng merupakan salah satu Hari Raya terpenting dalam budaya dan tradisi Tionghoa untuk menghormati leluhur. Kegiatan Cheng Beng juga salah satu suatu bentuk sikap bakti anak kepada orang tua ataupun leluhur yang telah tiada dengan cara menghormati melalui doa ataupun sembahyang. Untuk itu melalui kegiatan wisata kuliner itu bertujuan juga dapat mempererat hubungan atau silaturahmi antar saudara maupun keluarga mengingat tidak semua anggota keluarga tinggal di daerah atau kota yang sama dimana kegiatan Cheng Beng ini hanya dilaksanakan setahun sekali. Selain selalu melakukan berbagai macam festival maupun pesta kebudayaan yang mewakili identitas etnis Tionghoa dalam upaya untuk mempertahankan, melestarikan, menghormati kebudayaan, kesenian maupun tardisi yang menjadi ciri khas dari masyarakat etnis Tionghoa, organsiasi PSMTI juga melakukan selalu bakti sosial dalam upaya ikut serta dalam arus Universitas Sumatera Utara 80 pembangunan untuk selalu memberikan kontribusi dan manfaat bagi masyarakat luas melalui aksi dan kegiatan sosial yang bertujuan untuk membangun mengingat juga bahwa organisasi PSMTI bergerak di bidang sosial kemasyarakatan karena itu sudah tepat jika PSMTI fokus terhadap persoalan sosial. Kegiatan sosial ini selalu digalakkan oleh organisasi PSMTI untuk membantu orang-orang yang tidak mampu maupun orang yang terkena musibah dimana organisasi PSMTI yang mengamalkan jiwa sosial sesuai dengan visi dan misi PSMTI. Dalam kegiatan PSMTI dalam menghadapi bulan suci Ramadhan dan Idul Fitri dalam wawancara dengan Pak Djono: “Ketika menjelang bulan suci Ramadhan, kami pada waktu itu bekerjasama dengan PSMTI cabang Tegal Sari dalam melakukan bakti sosial dimana waktu itu kami melakukan bakti sosial dan mengfokuskan pemabgian paket sembako waktu kira 150 tukang becak dayung di kawasan Medan Denai dan Medan Kota” Bantuan tersebut yang dilakukan pada waktu itu juga diberi apresiasi Pak Hasyim selaku anggota DPRD Medan yang juga waktu itu ikut berpartisipasi dalam acara bakti sosial yang digelar oleh PSMTI Tegal Sari: “Insiatif itu baik karena bermanfaat bagi banyak orang, saya menyamapaikan apresiasi ini atas niat tulus dan kesadaran yang tinggi untuk tetap terus terdorong melakukan aksi sosial ini. Apalagi sasarannya adalah pengemudi becak dayung yang cukup jarang mendapat perhatian.” Ini adalah wujud organisasi PSMTI dalam menghilangkan seluruh sekat perbedaan dan latar belakang yang selama ini selalu menghantui masyarakat-masyarakat yang ada di Indonesia. Kegiatan sosial ini juga Universitas Sumatera Utara 81 membuktikan atau menepis bahwa organisasi ini tidak hanya peduli terhadap masyarakat Tionghoa saja tetapi terhadap semua elemen masyarakat yang ada di Indonesia tanpa melihat latar belakangnya. Niat untuk melakukan tindakan sosial sebenarnya itu sudah diajarkan dari dulu dan telah menjadi suatu kebiasaan bagi etnis Tionghoa untuk selalu melakukan hal yang berhubungan dengan bidang sosial. Dan pada kesempatan lain juga organisasi PSMTI juga melakukan sosial dengan bekerja sama dengan PSMTI cabang Medan lainnya dalam rangka menjalankan agenda ADART yang sudah dibuat dicanangkan dalam visi dan misi organisasi PSMTI seperti kegiatan pada saat Hari lebaran dimana PSMTI kota Polonia membagikan 150 bingkisan Lebaran kepada 150 umat muslim prasejahtera atau yang kurang mampu. Dengan ini organisasi PSMTI mampu menerjemahkan apa yang menjadi visi dan misi organisasi ini yang bergerak dalam bidang sosial. Organisasi PSMTI dalam setiap kesempatan selalu berusaha menjalin hubungan dengan berbagai kelompok, organisasi lain, pemerintah dalam upaya untuk menciptakan kerukunan dan keharmonisan antar semua elemen masyarakat tanpa terkecuali sehingga streotipe maupun diskriminasi dapat diminimalisasikan sesuai dengan cita-cita organisasi PSMTI untuk bisa hidup rukun dengan masyarakat lain. Pandangan streotipe yang selama ini diberikan etnis lain harus kita pandang bukan sebagai hal negatif, berikut hasil wawancara dengan Pak Djono dalam menanggapi masalah ini: Universitas Sumatera Utara 82 “itu adalah hak seseorang untuk menyampaikan pendapatnya atau bisa dikatakan pandangan suku lain terhadap suku kami tapi satu hal yang pasti kita adalah bagian dari masyarakat Indonesia, dimana kita lahir,besar, bekerja, menikah, sampai mati pun kita disini dan kita juga tidak merasa bahwa kita adalah orang lain ataupun berasal dari negara lain. Memang suku kita Tionghoa ini dolo dianggap sebagai suku yang eksklusif dimana kita membentuk komunitas sendiri dan bisa dibilang kita tidak mau bergaul, berinteraksi dengan suku lain dan itu memang tidak dipungkiri dan kita juga dianggap hanya mengambil keuntungan dari berbisnis di Indonesia kemudian kekayaan itu dibawa ke tanah leluhur atau dibawa ke luar negeri sehingga cara pandang itu harus diperbaiki seperti kita ketahui bersama di masa sekarang masyarakat Tionghoa sudah berbeda khususnya di kota Medan.” Keeksklusifitas dari masyarakat Tionghoa yang menjadi pandangan negatif atau streotipe dari masyarakat lain itu dapat dipungkiri keberadaannya yang tidak mau bersosialisasi,berinteraksi dan hanya hidup didalam komunitas sendiri. Akan tetapi dalam kenyataannya masyarakat Tionghoa sudah bisa dikatakan telah belajar dari pengalaman masa lalu yang engaan bergaul dengan masyarakat lainnya dimana sudah membaiknya interaksi atau komunikasi yang dijalin diantara masyarakat Tionghoa dengan masyarakat etnis lainnya khususnya kota Medan. Kesadaran diri untuk merubah mindset paradigma masing-masing atau cara berpikir masyarakat etnis Tionghoa maupun masyarakat etnis lain adalah solusi yang dapat menghilangkan pandangan negatif tersebut yang telah dilekatkan sejak masa penjajahan. Untuk itu dalam upaya menghilangkan stigma buruk tersebut Organisasi PSMTI yang keanggotaannya mayoritas masyarakat etnis Tionghoa akan tetapi dalam pelaksanaan semua kegiatannya tidak selalu difokuskan pada masyarakat etnis Tionghoa saja melainkan pada semua lapisan masyarakat, kelompok, atau suku lain yang kurang mampu tanpa mempermasalahkan latar Universitas Sumatera Utara 83 belakang setiap orang suapaya semua masyarakat dapat hidup adil dan makmur. Terkait dengan bahwa adanya kedekatan yang dilakukan masyarakat etnis Tionghoa dengan orang-orang diyakini memiliki kekuasaan diyakini mempunyai motif tersembunyi. Pernyataan ini langsung dikritik oleh Pak Djono selaku sebagai masyarakat etnis Tionghoa: “itu tidak benar, semua suku maupun masyarakat Indonesia lain juga pasti mempunyai hubungan dengan orang yang memiliki kekuasaan bukan hanya etnis Tionghoa saja tetapi melainkan kita tetap harus menjaga hubungan- hubungan dengan baik walaupun kita tidak mempunyai motif baik dari pemerintah, maupun polisi, ataupun TNI. Dan perlu diingat sekali lagi bahwa tidak hanya orang Tionghoa yang mepunyai hubungan dengan pihak yang berkuasa tetapi semua suku di Indonesia pasti mempunyai kedekatan dengan pihak yang memiliki kekuasaan. Kalau memang ada motif tersembunyi berarti itu ke pribadi orang itu contoh saja kasus korupsi negara ini pada itu suku Tionghoa melainkan kebanyakan suku lainnya. Oleh karena itu pandangan akan etnis Tionghoa harus diubah.” Anggapan akan kedekatan masyarakat Tionghoa menurut Pak Djono adalah pendapat yang salah dimana beliau menyatakan bahwa seolah-olah masyarakat etnis Tionghoa adalah suku asing dan kenapa masyarakat etnis Tionghoa selalu dianggap sebagai bahan atau sesuatu yang selalu buruk atau konotasinya negatif, atau jika orang Tionghoa melakukan sesuatu itu selalu dicurigai padahal masyarakat Tionghoa juga merupakan bagian dari warga negara Indonesia. Maka diperlukannya perubahan dari cara berpikir agar tidak ada lagi pandangan negatif diantara para suku etnis lain terhadap keberadaan masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia. Universitas Sumatera Utara 84 Kebudayaan, kesenian maupun tradisi-tradisi yang dijalani sebagai simbol identitas mereka dan juga merupakan separuh jiwa dari masyarakat Tionghoa sendiri. Terlebih lagi semua identitas yang menyatakan keberadaan etnis Tionghoa itu semua dikebiri oleh pemerintah atau negara nya sendiri bahkan 3 pilar utama yang menjadi bagian dari masyarakat etnis Tionghoa juga dihapuskan pada masa itu. Setelah masa Orde Baru sudah berakhir dan kebebasan masyarakat etnis Tionghoa dari mulai kebudayaan, tradisi, kesenian, organisasi, medi masa telah dikembalikan atau dipulihkan secara utuh. Pada tahun 2004, keberadaan etnis Tionghoa sebagai salah satu suku atau bagian dari masyarakat Indonesia mulai nampak pengakuannya dari Negara dimana Taman Mini Indonesia Indah yang terletak di Jakarta Timur didalamnya telah dibangun Taman Budaya Tionghoa Indonesia seluas 45.000m2 yang diprakarsai oleh PSMTI. Taman Budaya Tionghoa Indonesia merupakan bukti bahwa masyarakat suku Tionghoa Indonesia adalah bagian integral bangsa Indonesia. Dan Taman Budaya Tionghoa Indonesia yang ada di Taman Mini Indonesia Indah juga sebagai simbol pengakuan Negara dan Bangsa atas eksistensi suku Tionghoa Warga Negara Indonesia secara politik dan budaya dalam Keluarga Besar Bangsa Indonesia. Berikut adalah tangaapan Bapak Djono mengenai hal tersebut: “Taman Mini Indonesia Indah itu adalah catatan sipil atau akte lahir pemerintah Indonesia dan Taman Mini Indonesia Indah juga bisa dibilang sebagai kantor catatan sipil dari suku-suku yang ada didalamnya. Jadi semua suku yang ada di Indonesia termasuk suku Tionghoa diberikan tanah dari pemerintah di Taman Mini Indonesia Indah untuk membangun budayanya masing-masing disana. Jadi kalau kita bukan bagian atau suku dari Indonesia mungkin kita tidak ada di dalam taman tersebut.” Universitas Sumatera Utara 85 Jadi itu adalah bentuk pengakuan dari pemerintah kepada suku-suku yang ada dan sebagai catatan sipil atau bisa dikatakan sebagai bukti akte lahir bagi suku-suku yang ada di Taman Mini Indonesia Indah khususnya juga kepada masyarakat etnis Tionghoa. Disinilah juga tercatat sebagai suku yang sah yang telah diakui keberadaanya melalui kehadiran Taman Budaya Tionghoa Indonesia. Keberadaan Taman Budaya Tionghoa Indonesia di Taman Mini Indonesia Indah mempertegas TMII sebagai laboratorium seni dan budaya bangsa; di samping secara nyata menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang multi-etnis dan multi-ras berikut keanekaragaman seni dan budayanya. Didalam Taman Budaya Tionghoa terdapat segala hal tentang budaya Tionghoa seperti Pagoda, Taman 12 Shio, Prasasti Ukiran Aksara Mandarin Kuno, Museum Hakka, Bola Dunia, Pecinan, Museum Chengho, Patung Garuda, Jembatan, dan lain-lain. Dari budaya inilah yang menunjukkan identitas sebagai masyarakat Tionghoa itu sendiri. Taman Budaya Tionghoa adalah tempat rekreasi yang menarik, dan sebagai tempat untuk mengenalkan budaya, sejarah dan partisipasi orang Tionghoa dalam proses menuju Indonesia merdeka dan sumbangsihnya dalam pembangunan Indonesia dalam bidang budaya, sosial ekonomi dan lain – lain sebagai salah satu komponen dan aset bangsa Indonesia. Universitas Sumatera Utara 86

Bab V Penutup

5.1. Kesimpulan

Organisasi PSMTI adalah organisasi yang didirikan pada tahun 1998 akibat dari gejolak atau kerusuhan dan juga direbutnya 3 pilar utama identitas masyarakat etnis Tionghoa sebagai wujud diskriminasi yang terjadi di masa itu. Semua kegiatan seperti sekolah bahasa Mandarin, organisasi kemasyarakatan Tionghoa, pers bahasa Mandarin, dan semua kebudayaan, kesenian, tradisi dicoba untuk dihapuskan di masa pemerintahan Orde Baru melalui kebijakan asimilasi. Mengingat juga pada waktu itu masyarakat etnis Tionghoa mengalami tindak kekerasan, penjarahan, pembakaran, penganiayaan, pemerekosaan, bahkan pembunuhan dan masyarakat Tionghoa yang menjadi korban dari kerusuhan tersebut akibat adanya kecemburuan sosial terhadap masyarakat etnis Tionghoa, kesenjangan ekonomi pada waktu itu. Setelah Presiden Soeharto diturunkan atau lengser dari jabatannya dan bergantinya masa pemerintahan BJ Habibie cukup memberi angin segar kepada masyarakat etnis Tionghoa dimana beliau banyak mencabut kebijakan- kebijakan diskriminasi yang mengekang identitas masyarakat Tionghoa baik dari 3 pilar identitas utama Tionghoa maupun kesenian dan kebudayaannya. Kebebasan itulah yang menjadi kesempatan untuk membuat Organisasi etnis Tionghoa seperti PSMTI. Melihat dari hasil wawancara bahwa rasa In-group yang tinggi antar sesama etnis Tionghoa yang menjadi faktor pendorong didirikannya PSMTI sebagai wujud dari bersatunya etnis Tionghoa dalam Universitas Sumatera Utara