Rekonstruksi Identitas Tionghoa melalui PSMTI (Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia)
Lampiran
Dokumentasi
Gambar 1
Wawancara dengan Pak Ang Tje Ping
Gambar 2
(2)
Gambar 3
Wawancara dengan Pak Sutrisno
Gambar 4
(3)
Gambar 5
Wawancara dengan Ketua PSMTI Pak Djono Ngatimin, SH
Gambar 6
(4)
Daftar Pustaka
Bungin, H. M. Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media.
Daradjaji.2013.Geger Pacinan: Persekutuan Tionghoa dan Jawa Melawan VOC. Jakar ta: Kompas Media Nusantara
Fadlan,Amul.Husni.2015.Hubungan Antara Identitas Sosial dengan Persepsi Terdiskriminasi Etnis Cina. Diss. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Diakses pada tanggal 05 Maret 2016 pukul 13.20
Hamdani,Nasrul.2013.Komunitas Cina Di Medan. Jakarta. LIPI Press.
Harsono,Tri.2015. Pertambangan Timah dan Pembentukan Identitas Sosial Etnis Tionghoa (Studi di Desa Baru Kec.Manggar,Kab.Belitung Timur,Prov. Kepulauan bangka Belitung).DISS UN Sunan. Diakses pada tanggal 20 Januari 2016 pukul 15.32
Juliastutik.2014.Perilaku Elit Politik etnis Tionghoa Pasca Reformasi.Malang. Diakses 25 Januari 2016 pukul 17.48
Kusuma,Rinasari.2010.Reprenstasi Asimilasi Etnis Tionghoa ke dalam Budaya Padang.Surakarta. Diakses pada 02 April 2016 pukul 20.05
Kurniawan,Budi.2015.Konstruksi Identitas Etnis Tionghoa dalam Harian Nusantara dan Jawa Pos dalam Kurun Waktu Tahun 2003 dan 2013-2014. Diakses pada 15 Mei 2016 pukul 16.20
Lubis,M.Rajab. 1995. Pribumi Di Mata Orang Cina .Medan: PT Pustaka Widyasarana.
(5)
Lubis,Dr.Akhyar.Yusuf.2015.Pemikiran Kritis Kontemporer: Dari Teori Kritis, Culture Studies, Feminisme, Postkolonial Hingga Multikulturalisme. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Liliweri,Alo.1994.Prasangka Sosial dan Komunikasi Antar Etnik (Kajian Orang Kupang ) dalam Majalah Prisma Edisi Desember 1994
Mudana,I.W.2010. Modal Sosial Dalam Pengintegrasian Etnis Tionghoa Pada Masyarakat Di Deso Pakraman Bali.Bali: Jurnal Sosial dan Humaniora
Martono,Nanang.2011.Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Rajawali Pers
Pelly,U.(2005).Pengukuran Intensitas Konflik dalam Masyarakat Majemuk. Jurnal Antropologi Sosial Budaya Vol. 01, Nomor 2. Medan: LPM-Antrop USU. Diakeses pada tanggal 05 Maret 2016 pukul 14.40
Ritzer, George.2005. Teori Sosiologi Modern. Jakarta. Kencana Prenada Media.
Revida,Erika.2006. Interaksi Sosial Masyarakat Etnis Cina Dengan Pribumi di Kota Medan Sumatera Utara. Medan: Jurnal Harmoni Sosial
Rochman,Meuthia.Ganie.2002.Political Arena Revisited:Civil Coalitions for Legislative Reform.Fisip-UI: Jurnal Masyarakat
Suryadinata,Leo.2003.Kebijakan Negara Indonesia terhadap Etnik Tionghoa: Dari Asimilasi ke Multikulturalisme?:Journal Antropologi Indonesia
Sujatmiko,Iwan.Gardono.2014. Keterwakilan Etnis di Politik Nasional: Kasus Etnis Sunda di Republik Indonesia. Depok: Jurnal Sosiologi
Tim UGM.2014.Masalah Cina Di Indonesia. Yogyakarta: LPPM UGM. Diakses pada 02 April 2016 pukul 21.35
(6)
Vinia,Ardisari.Vita.2005. Politik Pemerintah Indonesia terhadap Etnis Tionghoa di Kudus Pasca G. 30 S/PKI (1965-1998). Semarang. Diakses pada tanggal 16 April 2016 pukul 19.45
Wibowo,Priyanto.Tionghoa dalam Keberagaman Indonesia: Sebuah Perspektif Historis Tentang Posisi dan Identitas.Jakarta. Diakses pada 02 April 2016 pukul 20.22
Wirawan,I.B.Dr. Prof. 2012. Teori-teori Sosial Dalam Tiga Paradigma. Jakarta: Kencana Prenada Media.
Zaini,Muhammad.Reza.2014. Perjalanan Menjadi Cina Benteng: Studi Identitas Etnis di Desa Situgadung. Depok: Jurnal Sosiologi
Website
pada 05 Maret 2016 pukul 12.41).
pukul 12.47).
Hakim, Abizar.2015.Flat Houses Pecinan Semara
(7)
http://etheses.uin-malang.ac.id/1793/6/09410051_Bab_2.pdf. Diakses pada tanggal 01 Mei 2015.
(8)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Sehubungan dengan masalah penelitian ini, maka pelaksanaan penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dimana menghasilkan data deskriptif berupa pendapat, tanggapan, informasi, konsep-konsep dan keterangan yang berbentuk uraian dalam mengungkapakan masalah. Penelitian kualitatif adalah rangkaian kegiatan atau proses penyaringan data atau informasi yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi, aspek atau bidang tertentu dalam kehidupan objeknya. Penelitian deskriptif kualitatif juga bertujuan untuk menggambarkan, meringkas berbagai kondisi dan fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat yang menjadi objek penelitian dan menarik realitas itu ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu (Bungin,2007:68). Artinya, data yang dikumpulkan bukan berupa angka, melainkan data tersebut berasal dari naskah wawancara,catatan lapangan, dokumen pribadi, catatan memo, dan dokumen resmi lainnya.
3.2. Lokasi Penelitian
Yang menjadi Lokasi Penelitian yaitu Kantor PSMTI di Medan yang terletak di Jln. Mandala By Pass no. 184 F dan terminal PSMTI di Komplek Asia Mega Mas Blok B No. 41-42. Adapun alasan peneliti memilih lokasi ini dikarenakan lokasi tersebut sebagai tempat/ titik kumpul anggota PSMTI dan merupakan tempat yang cocok dalam mengumpulkan sumber informasi.
(9)
Unit analisis merupakan hal-hal yang berkaitan dengan fokus yang diteliti. Maka, yang menjadi unit analisis penelitian ini adalah anggota PSMTI dalam upaya mempertahankan identitas etnis Tionghoa.
3.4. Informan
Informan adalah subjek yang dianggap peneliti memiliki pemahaman mengenai masalah penelitiannya sebagai pelaku atau orang yang memahami penelitian (Bungin, 2007:78). Maka yang menjadi informan sebagai sumber informasi bagi peneliti adalah Ketua PSMTI cabang Medan sebagai informan kuncinya, anggota-anggota pengurus PSMTI cabang Medan sebagai informan pendukung.
Informan diatas adalah informan yang mampu menjawab rumusan masalah yang telah dibuat dimana informan ini akan memberikan pemahaman tentang sejarah terbentuknya PSMTI, bentuk-bentuk kegiatan apa saja yang mereka lakukan dalam mempertahankan identitas Tionghoa. Informan diatas merupakan subjek yang benar-benar mengetahui visi dan misi organisasi PSMTI.
3.5. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian teknik pengumpulan data itu sangat penting, Pemgumpulan data dilakukan untuk mendapatkan data-data atau informasi sesuai dengan kebutuhan penelitian. Teknik pengumpulan data ini dibagi menjadi dua yaitu:
3.5.1. Teknik Pengumpulan Data Primer
Adalah data yang didapat dan diperoleh secara langsung dari informan atau subjek peneliti melalui teknik-teknik pengumpulan data secara langsung. Teknik pengumpulan data primer ini dapat dilakukan dengan cara:
(10)
1. Observasi
Metode observasi merupakan teknik pengumpulan data dengan mengunakan indera penglihatan untuk memperoleh data melalui pengamatan langsung dari lapangan terhadap objek yang diteliti. Artinya peneliti secara langsung ikut terjun ke lapangan dalam mengamati kegiatan-kegiatan yang dilakukan organisasi PSMTI baik dalam melakukan perencanaan kegiataan dalam mempertahankan identias etnis Tionghoa sehingga dari hasil observasi ini dapat dideskripsikan dalam hasil penelitian.
2. Wawancara Mendalam
Metode wawancara merupakan salah satu metode pengumpulan data secara langsung dari objek yang diteliti. Wawancara merupakan proses interaksi atau komunikasi melalui hubungan tatap muka antara peneliti dengan informan. Wawancara adalah proses tanya jawab antara peneliti dengan informan. Wawancara yang digunakan adalah wawancara secara mendalam supaya memberikan informasi atau data yang lebih baik dan sesuai dengan rumusan masalah yang akan diteliti.
3.5.2. Teknik Pengumpulan Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti dari sumber kedua atau sumber lain yang berkaitan dengan masalah penelitiannya. Data ini diperoleh melalui buku-buku referensi, jurnal-jurnal peneliti terdahulu, surat kabar dan bahan-bahan referensi yang didapat dari website internet.
(11)
3.6.Interpretasi Data
Interpretasi data merupakan suatu tahap/kegiatan pengelohan data. Data yang diperoleh baik melalui wawancara, observasi, maupun media lainnya dikumpulkan dan digabungkan. Kemudian peneliti akan mengolah dan memilah data-data tersebut serta mengedit kembali supaya data itu dapat mudah dipahami dan dimengerti. Setelah data yang diperoleh sudah digabungkan, diedit maka data tersebut kemudian diinterpretasikan secara kualitatif.
3.7.Jadwal Kegiatan
NO Kegiatan
Bulan ke-
1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 Pra Proposal
2 ACC Judul
3 Penyusunan Proposal Penelitian 4 Seminar Proposal Penelitian 5 Revisi Proposal Penelitian 6 Penelitian Ke Lapangan
7
Pengumpulan Data dan Analisis Data
8 Bimbingan Skripsi 9 Penulisan Laporan Akhir 10 Sidang Meja Hijau \
(12)
Bab IV
DESKRIPSI LOKASI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Kecamatan Medan Tembung adalah salah satu dari 21 kecamatan yang berada di Wilayah Kota Medan,dengan luas wilayahnya 7,78 km². Pada tahun 2014 jumlah penduduk di kecamatan Medan Tembung berjumlah 133.579 jiwa penduduk. Kecamatan Medan Tembung terdiri dari 7 (tujuh) Kelurahan, yaitu: Kelurahan Indara Kasih, Kelurahan Sidorejo Hilir, Kelurahan Sidorejo, Kelurahan Bantan Timur, Kelurahan Bandar Selamat, Kelurahan Bantan, Kelurahan Tembung.
Kecamatan Medan Tembung terletak di wilayah Timur Kota Medan dengan batas-batas sebagai berikut :
• Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Medan Perjuangan • Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang • Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Medan Denai • Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang
Dalam penelitian ini daerah Mandala yang menjadi lokasi penelitian berada pada kawasan Keluruhan Bantan Timur, yang merupakan salah satu Kelurahan pada Kecamatan Medan Tembung. Pemilihan lokasi tersebut karena berpacu pada kebutuhan penelitian terkait dengan kantor PSMTI yang terletak di zona tersebut.
(13)
4.1.1. Gambaran Penduduk Kelurahan Bantan Timur
Salah satu modal dasar dari pembangunan adalah penduduk sebagai sumber daya manusia bagi setiap daerah. Namun keberadaan penduduk sebagai potensi berkembanngnya suatu daerah dapat terkendala jika kualitas yang dimiliki rendah. Hal ini lah yang menjadi permasalahan bagi setiap daerah. Gambaran mengenai penduduk suatu daerah saja dapat dilihat berdasarkan jenis kelamin, pendidikan, agama, pekerjaan , kewarganegaraan, dan kelompok tenaga kerja. Berikut adalah gambaran penduduk Kelurahan Bantan Timur:
4.1.1.1. Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 4.1
Komposisi Penduduk Dilihat Jenis Kelamin Berdasarkan Kartu Keluarga No Jenis Kelamin Jumlah (Jiwa) Peersentase (%)
1 2
Pria Wanita
8.325 8.924
48,3 51,7
JUMLAH 17.249 100,00
Sumber : Kantor Kelurahan Bantan Timur Tahun 2014
Dari tabel di atas kita dapat memperoleh gambaran bahwa jumlah penduduk pria di Kelurahan Bantan Timur lebih banyak dari jumlah penduduk pria yaitu 8.325 jiwa atau 48,3%, sedangkan wanita 8.924 atau 51,7% dengan selisih 599 jiwa atau 3%, dengan luas wilayah Bantan Timur 0,89 km².
4.1.1.2. Penduduk Berdasarkan Agama
Ditinjau dari sudut agama yang dianut oleh penduduk kelurahan Bantan Timur, dikelompokkan atas penganut Agama Muslim, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Budha. Untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada table berikut ini:
(14)
Tabel 4.2
Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama
No Agama Jumlah (jiwa) Persentase (%)
1 Islam 8.432 48,88
2 Protestan 3.781 21,92
3 Katolik 1.722 9,99
4 Hindu 28 0.16
5 Budha 3275 18,99
6 Lainnya 11 0,06
JUMLAH 17.249 100
Sumber : Kantor Kelurahan Bantan Timur Tahun 2014
Dari tabel komposisi penduduk berdasarkan agama di atas, di Kelurahan Bantan Timur mayoritas penduduk menganut agama Islam dengan jumlah sebanyak 8.432 jiwa atau 48,88 %, menyusul penganut agama Kristen Protestan sebanyak 3.781 jiwa atau 21,92%, kemudian penganut Agama Budha sebanyak 3.275 jiwa atau 18,99%, menyusul penganut Agama Katolik sebanyak 1722 jiwa atau 9,99%, penganut Agama Hindu sebanyak 28 jiwa atau 0,16% dan agama lainnya sebanyak 11 jiwa atau 0,06%.
4.1.1.3. Penduduk Berdasarkan Etnis
Ditinjau dari sudut etnis penduduk yang ada di kelurahan Bantan Timur, dikelompokkan atas Jawa, Batak, Minang, Melayu, dan lain-lain. Untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada table berikut ini:
(15)
Tabel 4.3
Komposisi Penduduk Berdasarkan Etnis
No Suku/Etnis Jumlah (jiwa) Persentase (%)
1 Jawa 2.232 13
2 Batak 8.128 47
3 Minang 2.114 12
4 Melayu 1151 7
5 Tionghoa 3624 21
JUMLAH 17.249 100
Sumber : Kantor Kelurahan Bantan Timur Tahun 2014
Dari tabel komposisi penduduk berdasarkan Etnis di atas, di Kelurahan Bantan Timur mayoritas penduduk Etnis Batak dengan jumlah sebanyak 8.128 jiwa atau 47 %, menyusul etnis Tionghoa sebanyak 3.624 jiwa atau 21%, kemudian penduduk etnis Jawa sebanyak 2.232 jiwa atau 13%, menyusul penduduk Etnis Minang sebanyak 2.114 jiwa atau 12%, penduduk Etnis Melayu sebanyak 1151 jiwa atau 7%
4.1.1.4. Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu sarana untuk mengembankan diri baik secara kepribadian maupun intelektual, baik itu pendidikan formal maupun informal. Pendidikan juga menjadi salah satu penentu kualitas penduduk sebagai sumber daya manusia dalam suatu daerah. Bila dilihat dari pendidikan nya penduduk Kelurahan Bantan Timur memiliki berbagai tingkatan pendidikan, hal tersebut tergambar pada tabel berikut:
(16)
Tabel 4.4
Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan
No Tingkat Pendidikan Jumlah (jiwa) Persentase (%)
1 Tidak/Belum Sekolah 690 4
2 Tidak Tamat SD 374 2,2
3 Tamat SD 4.551 26,4
4 Tamat SLTP 4.924 28,5
5 Tamat SMA/SLTA 4.875 28
6 Akademi (D1-D2) 348 2
7 Akademi -D3 324 2
8 Sarjana (S1-S3) 1163 6,9
JUMLAH 17.249 100
Sumber : Kantor Kelurahan Bantan Timur Tahun 2014
Dari tabel komposisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan diatas memperlihatkan bahwa pendidikan penduduk di Kelurahan Bantan Timur cenderung dikatakan cukup , ini terbukti dari mayoritas penduduk berpendidikan SMA yaitu sebanyak 4.875 jiwa atau 28,5% , penduduk yang mencapai pendidikan sarjana sebanyak 1163 jiwa atau 6,9% , menyusul penduduk dengan tingkat pendidikan akademi yang jika digabungkan seluruh tingkat akademi (D1-D3) mencapai 672 jiwa atau 4 %. Hal ini mengambarkan bahwa penduduk Bantan Timur sudah cukup sadar akan pentingnya pendidikan.
4.1.2.Gambaran Sarana dan Prasarana Keluruhan Bantan Timur
4.1.2.1. Sarana di Bidang Kesehatan
Sarana Kesehatan yang terdapat di Kelurahan Bantan Timur adalah rumah sakit, Poliklinik Balai Pengobatan dan Ruang Bersalin, Apotik/Toko Obat, Dokter Umum,Dokter Spesialis, Dokter Gigi, Bidan dan Posyandu. Keberadaan sarana dan prasarana kesehatan tersebut guna untuk menunjang dan mendukung kesehaatan masyarakat. Kesehatan juga merupakan salah satu faktor penentu kualitas dari suatu
(17)
penduduk. Berikut adalah rincian sarana dan prasarana kesehatan di Kelurahan Bantan Timur:
Tabel 4.5
Keadaan Sarana Kesehatan di Kelurahan Bantan Timur
No Sarana Kesehatan Jumlah
1 Rumah Sakit 0
2 Posyandu 11
3 Poliklinik, Balai Pengobatan dan Praktek Dokter/ Bidan 12
4 Apotik/Toko Obat 6
JUMLAH 29 unit
Sumber : Kantor Keluruhan Bantan Timur Tahun 2014
Apabila melihat luas wilayah Keluarahan Bantan Timur 0,89 km² dengan jumlah penduduk sebanyak 17.249 jiwa hanya terdapat tidak terdapat rumah sakit, 11 unit Posyandu, 12 unit Poliklinik, Balai Pengobatan dan Praktek Dokter , maka dapat dikatan bahwa saranan kesehatan di Kelurahan Bantan Timur ini kurang memadai.
4.1.2.2. Sarana di Bidang Agama
Untuk memudahkan masyarakat dalam melaksanakan ibadah maka di Kelurahan Bantan Timur ini terdapat sejumlah rumah-rumah ibadah yang dirinci dalam tabel berikut ini :
Tabel 4.6
Keadaan Sarana Di Bidang Agama
No Sarana Agama Jumlah
1 Mesjid 5
2 Mushollah 1
3 Gereja 3
4 Vihara 0
5 Pura 0
JUMLAH 9 buah
Sumber : Kantor Kelurahan Bantan Timur Tahun 2014
Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa jumlah rumah ibadah yang paling banyak adalah Mesjid serta Mushollah/Surau sebanyak 6 buah , hal ini dikarenakan mayoritas penduduk di Kelurahan Bantan Timur beragama Muslim. Kemudiaan jumlah gereja sebanyak 3 buah, sementara tempat ibadah sperti Vihara dan Pura tidak
(18)
tersedia di Kelurahan ini. Untuk beribadah Umat Budha dan Umat Hindu harus mencari tempat ibadah di lingkungan lain.
4.2. Sejarah Singkat organisasi PSMTI
PSMTI didirikan pada tahun 28 September 1998 di Jakarta oleh Bpk. Brigjen TNI (Pur) Tedy Jusuf. PSMTI mendapatkan Surat Keterangan Terdaftar dari Dirjen Sospol Depdagri No. 132 Tahun 1998 tanggal 18 September 1998 dan dibuatkan Akta Notaris Raden Johanes Sarwono. SH No. 55 tanggal 28 Agustus 1998.
Organisasi PSMTI adalah organisasi non partisipan, tidak berpolitik dan tidak berafiliasi kepada partai politik yang bergerak di bidang sosial, budaya dan kemasyarakatan. Organisasi PSMTI merupakan organisasi Tionghoa terbesar di Indonesia dengan 93 cabang di 29 provinsi di Indonesia. adapun visi dan misi dari organisasi PSMTI adalah:
VISI
Suku Tionghoa Warga Negara Kesatuan Republik Indonesia bersama komponen Bangsa Indonesia seluruhnya mempunyai hak dan kewajiban membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur.
MISI
a. Meningkatkan terus kesadaran ber-Masyarakat, ber-Bangsa dan ber-Negara. b. Masuk dalam Arus Besar Bangsa Indonesia dengan turut serta secara aktif
dalam pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam segala aspek kehidupan.
(19)
c. Memantapkan jati diri sebagai salah satu suku dalam Keluarga Besar Bangsa Indonesia.
d. Memperhatikan lingkungan dimana ia bekerja dan berdomisili.
Sementara di kota Medan PSMTI sudah berada di 12 kecamatan dan 7 kelurahan diantaranya:
Kecamatan yang resmi terbentuk organisasi PSMTI diantaranya:
1. Kelurahan
- Kelurahan Kesawan (Medan Barat) - Kelurahan Tegal Sari I
- Kelurahan Pandau Hulu I
- Kelurahan Pasar Baru (Medan Kota) - Kelurahan Titi Kuning (Medan Johor) - Kelurahan Kota Bangun
- Kelurahan Tanjung Mulia (Medan Deli) 2. Kecamatan
- Kecamatan Medan Petisah - Kecamatan Medan Belawan - Kecamatan Medan Marelan - Kecamatan Medan Labuhan - Kecamatan Medan Denai - Kecamatan Medan Barat - Kecamatan Medan Area - Kecamatan Medan Tembung - Kecamatan Medan Kota
(20)
- Kecamatan Medan Polonia - Kecamatan Medan Sunggal - Kecamatan Medan Timur
Di kota Medan anggota PSMTI sudah mencapai ±1500 orang dan mayoritas dari anggota PSMTI bersuku etnis Tionghoa. Adapun ciri-ciri untuk menjadi keanggotaan PSMTI sebagai berikut;
• Merupakan Etnis Tionghoa Asli • Memiliki Marga Tionghoa
• Anggota luar Biasa (salah satu suami/istri memiliki marga Tionghoa)
• Anggota Kehormatan (orang yang berjasa terhadap orang Tionghoa sehingga ia bisa diberi marga)
4.3. Profil Informan
Dalam penelitian tentang “Rekonstruksi Identitas etnis Tionghoa melalui PSMTI (Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia)” diperlukan informan untuk melengkapi data-data dalam penelitian ini. Berikut merupakan daftar profil-profil informan:
4.3.1. Informan Kunci
Nama : Djono Ngatimin, SH
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 51 Tahun
(21)
Jenis Pekerjaan : Wiraswasta & Ketua PSMTI Medan
Bapak Djono Ngatimin, SH merupakan informan pertama dan juga sebagai informan kunci. Beliau merupakan Ketua PSMTI Medan periode 2015-2019. Beliau tinggal Jalan Silam V no. 64-66 Medan.
Beliau baru mengetahui dan mengenal organisasi PSMTI itu 10 tahun yang lalu tepatnya pada tahun 2006 dimana ketika beliau diajak ikut rapat di kantor Sumut dua kali dan beliau juga menghadiri peresmian Vihara Cemara Abadi yang pada waktu itu beliau menjabat sebagai Ketua Paguyuban Persada dimana Beliau dipercaya sebagai tim Pengaman pada peresmian tersebut. Pada waktu 2006 Bapak Djono diberikan kepercayaan untuk menjadi ketua PSMTI Kecamatan Medan Deli, akan tetapi Bapak Djono menolak karena melihat kondisi dan waktunya tidak sesuai. Padahal susunan kepengurusannya sudah ditetap atau dipilih oleh bapak Djono, Beliau juga tidak jadi bergabung pada waktu itu. Setelah 7 tahun kemudian tepatnya pada tahun 2013, Pak Djono bertemu kembali dengan kawan lamanya yang merupakan anggota PSMTI juga, kemudian teman Pak Djono kembali mengajaknya untuk kembali bergabung dengan PSMTI sekaligus menjabat kembali sebagai ketua PSMTI Kecamatan Medan Deli, mengingat selama 7 tahun di Medan Deli gagal terbentuk dalam bagian PSMTI karena masih belum adanya Ketua yang menjabat di Kecamatan Medan Deli.
Pak Djono kemudian mengajak kembali teman-teman yang dolo dipilih oleh Pak Djono untuk menjadi kepengurusan. Menanggapi hal tersebut, teman Pak Djono akhirnya setuju dengan pak Djono untuk kembali bergabung dengan PSMTI dan untuk menjabat sebagai Ketua PSMTI cabang Medan
(22)
Deli. Kemudian Bapak Djono resmi menjadi bagian PSMTI pada tahun 2013. Inilah yang menjadi alasan bergabungnya Pak Djono masuk kedalam organisasi PSMTI.
Setelah 2 tahun berkecipung di organisasi dan sudah melebur didalam organisasi PSMTI dan kinerja atau kontribusi yang diberikan kepada PSMTI cukup positif sehingga dia ditunjuk dan didorong untuk menjadi Ketua PSMTI cabang Medan karena telah memenuhi kriteria dan syarat sebagai Ketua PSMTI cabang Medan yang Baru, padahal beliau baru bergabung dengan PSMTI selama 2 tahun dan masih menjabat sebagai ketua PSMTI cabang Medan Deli. Ketika itu Pak Djono masih bisa dibilang junior padahal pada masa itu masih banyak senior-senior yang mempunyai kapasitas yang masih lebih bagus dari Pak Djono. Melihat banyak dukungan yang diberikan kepada Pak Djono, akhirnya Beliau dicalonkan untuk menjadi Ketua PSMTI cabang Medan dan pada tanggal 14-15 Maret 2015 diadakan Musyawarah Daerah dan Kota (Munas PSMTI) di hotel Hilton Medan dimana ini merupakan sebuah forum musyawarah untuk memilih Ketua melalui cara pemungutan suara. Ketika itu Beliau terpilih resmi menjadi Ketua PSMTI Cabang Medan periode 2015-2019.
Terpilihnya Pak Djono sebagai Ketua PSMTI cabang Medan periode 2015-2019 diakui cukup berat dibanding ketika beliau pada saat 2013 masih menjabat Ketua PSMTI kecamatan Medan Deli dimana Beliau harus mengayomi dan mengontrol seluruh kelurahan dan kecamatan di Medan memang terbentuk belum semua tetapi yang jelas ada 7 Kelurahan dan 12
(23)
Dalama hal melakukan tugas Sosial saja pada saat beliau masih menjabat sebagai Ketua Kecamatan Medan Deli saja sangat berbeda dengan pada saat ini sebagai Ketua PSMTI cabang Medan. Membuat beliau harus lebih bekerja lebih keras dalam memajukan PSMTI Medan sesuai dengan AD/ ART (Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga) organisasi sebagai tujuan atau cita-cita dari organisasi PSMTI dan bukan menjadi cita-cita atau tujuan untuk kepentingan pribadi. Tujuan sebenarnya dari PSMTI adalah sebagai wadah berkomunikasi, berinteraksi dan sebagai wadah menyampaikan aspirasi orang Tionghoa sendiri supaya tidak lagi terjadi diskriminasi dan mengangkat harkat dan martabat orang Tionghoa.
Disamping juga melakukan kegiatan-kegiatan sosial yang selama ini menjadi tujuan paguyuban ini dan juga turut serta dalam peran mendukung pembangunan bangsa Indonesia. itulah yang menjadi langkah atau cara Pak Djono sebagai Ketua dalam memajukan PSMTI.
Tertariknya anggota PSMTI untuk masuk ke ranah politik juga menjadi perhatian juga Pak Djono dalam kemajuan masyarakat etnis Tionghoa. Beliau berpendapat bahwa:
“Saya sangat mengapresiasi jika salah satu anggota dari organisasi PSMTI turut serta dalam mengambil peranan di politik, serta bisa juga mengangkat derajat masyarakat etnis Tionghoa dan membantu mewujudkan cita-cita dan tujuan masyarakat Tionghoa untuk duduk setara dengan etnis lainnya karena sudah berkiprah dalam dunia birokrasi saat ini. Namun perlu diingat, setiap anngota yang ingin mencalonkan diri sebaiknya tidak terikat dalam urusan organisasi dan mungkin juga berdampak pada organisasi PSMTI sendiri.”
(24)
Pak Djono memandang positif jika dari salah satu anggota dari PSMTI dapat masuk kedalam dunia politik karena masih minimnya etnis Tionghoa yang berpartisipasi dalam politik dimana juga sebagai fasilitator dalam menyuarakan aspirasi etnis Tionghoa dalam menuntut kesamaan hak dan kewajiban sebagai salah satu bagian dari masyarakat Indonesia dalam wujud untuk menghilangkan diskriminasi antar etnis. Dan dalam keikutsertaan dalam berpolitik, perlu digaris bawahi anggota tidak boleh berpartisipasi dalam pengurusan atau membuat atau mengusulkan kebijakan organisasi karena dinilai kebijakannya akan berpihak ke politik.
Seperti diketahui juga organisasi PSMTI adalah organisasi non partisipan dan tidak berpihak kepada partai politik manapun, tidak berafiliasi dengan partai politik, tidak berpolitik praktis dan tidak akan pernah menjadi partai politik. Mereka (anggota PSMTI) yang mengikuti dunia politik hanya akan duduk sebagai dewan kehormatan dan tidak akan diikutkan dalam kepengurusan maupun keteribatan pengambilan keputusan di dalam organisasi PSMTI.
PSMTI sudah telah banyak memberikan efek positif dalam membantu pembangunan negara Indonesia seperti sering membantu oranag yang kurang mampu yang merupakan juga tugas dari Negara untuk mensejahterakan rakyatnya baik dengan melakukan kegiatan sosial seperti bakti sosial yakni berupa berkunjung ke panti jompo, panti asuhan,dan donor darah dan memabntu orang yang mengalami musibah misalnya korban meletusnya Gunung Sinabung, PSMTI sendiri sudah memberi sumbangan kesana sebanyak 9x langsung ke lokasi bencana, tutur Pak Djono ketika berbicara
(25)
Selain bermanfaat kepada masyarakat luas organisasi PSMTI juga pasti juga memiliki manfaat seperti dalam menjunjung atau mengangkat tinggi martabat etnis Tionghoa sendri dengan dilakukannya pengibaran bendera bertepatan dengan hari ulang tahun Negara Indonesia. Berikut pernyataan dari Pak Djono:
“Perlu diingat kembali, pada saat hari kemerdekaan, kami (PSMTI) merupakan salah satu organisasi Tionghoa yang melaksanakan pengibaran bendera Merah Putih pada saat hari ulang tahun kemerdekaan Negara Indonesia yang pertama di Medan, Sumatera Utara dan telah dilaksanakan sebanyak sebelas kali, lengkap layaknya upacara pengibaran bendera di Istana Negara seperti pada upacara pengibaran kami yang ke-8 yang dilaksanakan di rumah Tjong A Fie.”
Pak Djono menganggap Perayaan kemerdekaan yang diselenggarakan PSMTI sudah dimulai pada tahun 2005 hingga sampai sekarang dan bisa dikatakan PSMTI sudah melakukan pengibaran bendera Merah Putih sebanyak 11x . Perayaan Hari Kemerdekaan RI menjadi bagian yang sangat penting bagi PSMTI dan masyarakat etnis Tionghoa. Sebab menunjukkan etnis Tionghoa tetap memiliki jiwa nasionalisme untuk berkontribusi kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Upacara bendera ini penting untuk membangun dan memupukkan rasa patriotik dan nasionalisme di hati etnis Tionghoa khususnya dan masyarakat luas umumnya untuk lebih berpartisasi lagi dalam hal yang berbau dengan pembangunan bangsa dan Negara.
(26)
4.3.2 Informan Pendukung
1. Nama : Sutrisno
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 33 Tahun
Agama : Kristen
Jenis Pekerjaan : Wiraswasta
Bapak Sutrisno adalah informan yang kedua, beliau merupakan anggota dari PSMTI. Beliau bergabung dengan PSMTI pada tahun 2008 dan diusianya yang menginjak 33 tahun Bapak Sutrisno sekarang telah menjabat sebagai Sekretaris PSMTI periode 2015-2019 dimana bapak Sutrisno yang mengurus adminstrasi internal dalam organisasi PSMTI.
Alasan bergabungnya Bapak Sutrisno karena beliau tertarik dengan visi dan misi PSMTI. Menurut Bapak Sutrisno visi dan misi PSMTI sangat bermanfaat bagi etnis Tionghoa dalam mempersatukan warga Tionghoa dan membantu negara dalam pembangunan bangsa. Selain itu juga PSMTI merupakan organisasi yang bergerak di bidang sosial sehingga itu dapat menjadi teladan bagi saya sebagai anggota PSMTI untuk melakukan kegiatan sosial yang bermanfaat bagi semua elemen masyarakat.
Ketika berbicara mengenai sumbangsih anggota dalam memajukan organisasi PSMTI dan mempertahankan nilai dan eksistensi etnis Tionghoa, Menurut Beliau dengan selalu mensosialisasikan visi dan misi PSMTI di kalangan orang-orang Tionghoa untuk dapat mendukung PSMTI walaupun
(27)
telah atau tidak menjadi bagian dari anggota PSMTI terhadap seluruh program-progam kegiatan yang diselenggarakan organisasi baik di tingkat kota, kecamatan, kelurahan maupun di daerah terpencil seperti desa dimana organisasi PSMTI sering melakukan kegiatan sosial baik itu dilaksanakan oleh PSMTI ataupun bekerjasama dengan organisasi lain dalam menyukseskan kegiatan tersebut.
Ketika disinggung mengenai keterikutan anggota PSMTI dalam panggung politik. Menurut Beliau sebenarnya anggota tidak diperkenankan untuk mengikuti panggung politik sebagaimana diketahui organisasi PSMTI adalah organisasi sosial non-politik. Dan apabila seorang anggota yang bersangkutan mempunyai potensi maupun kemampuan dalam dunia poltik itu adalah hal yang bagus dan sesuai dengan visi dan misi PSMTI yakni“ meningkatkan terus kesadaran bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Etnis Tionghoa juga mempunyai hak dan kewajiban untuk membangun negara Indonesia jadi tidak hanya suku asli Indonesia saja, masyarakat Tionghoa juga mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan yang lain karena merupakan bagian dari keragaman suku Indonesia, maka untuk itu masyarakat Tionghoa harus turut ikut serta dalam pembangunan karena kita lahir, besar, tua, sakitnya dan akhirnya meninggal dunia tetap di negara ini, tidak mungkin ke negeara lain.
Menurut Beliau ketika ditanyai tentang manfaat keberadaan PSMTI terhadap masyarakat luas sangat postif responnya yang diberikan.
“Banyak kok contohnya dek, ketika terjadi kebakaran di Pasar Timah Area di jalan Bromo dimana waktu itu kami anggota PSMTI mengumpulkan dana baik dari donatur maupun dari kami sendiri sebagai anggota dalam bentuk
(28)
uang, pakaian, dan sembako untuk diserahkan langsung kepada korban kebakaran disana, salah satu mereka pun sangat bahagia dan mengucapakan terima kasih kepada atas bantuannya.”
Demikian Penuturan dari Bapak Sutrisno terkait dengan manfaat yang diberikan dari keberadaan PSMTI terhadap masyarakat membuktikan bahwa kegaiatan-kegiatan yang dilakukan organisasi PSMTI dapat membuat keberadaan PSMTI dapat diterima oleh masyarakat dari berbagai elemen bahwa keberadaan organisasi PSMTI cukup membantu masyarakat yang kurang mampu maupun masyarakat yang mengalami musibah. Selain itu juga menjadi sebuah motivasi atau sebuah daya tarik buat anggota untuk termotivasi ikut melakukan kegiatan sosial agar dapat memberikan penilaian positif untuk etnis Tionghoa.
2. Nama : Eddy Tan
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 47 Tahun
Agama : Buddha
Jenis Pekerjaan : Karyawan
Informan selanjutnya adalah Eddy Tan. Bapak Eddy Tan merupakan bagian dari anggota organisasi PSMTI. Beliau saat ini menjabat sebagai Kabid sosial di organisasi PSMTI. Bapak Eddy tinggal Jalan Sei Kera Gang Rezeki No.5 Medan. Beliau bergabung dengan organisasi pada tahun 2013.
(29)
Ketertarikan beliau untuk masuk PSMTI itu dikarenakan rasa Persaudaraan yang dijalin di dalam organisasi ini sangat erat, rasa kerukunan, kasih sayang dan rasa sosial yang tinggi yang ditanamkan dari organisasi tersebut. Keikutsertaan Bapak Eddy kedalam organisasi PSMTI karena ingin belajar berorganisasi, sebelum bergabung dengan organisasi PSMTI Pak Eddy tidak pernah mengikuti organisasi apapun. Seperti yang dikatakan Bapak Eddy di atas tentang rasa persaudaraan yang erat antar sesama orang marga Tionghoa untuk lebih dijalin dengan harmonis baik itu dengan ormas lainnya maupun dengan masyarakat dalam lingkup yang lebih luas.
Seperti responden sebelumnya beliau Eddy sangat menyambut positif ketika salah satu anggota dari organisasi PSMTI masuk ke ranah politik dimana itu dapat menepis anggapan atau pandangan dari masyarakat luas tentang bidang yang selama ini ditekuni oleh masyarakat Tionghoa yakni bidang perekonomian maupun perdagangan yang sudah menjadi budaya dan telah melekat pada setiap akar keturunan etnis Tionghoa untuk berbisnis dan berdagang, bukan hanya pada bidang politik masyarakat Tionghoa pada bidang-bidang lain baik masuk menjadi PNS, polisi, maupun tentara yang bisa dikatakan merupakan profesi yang jarang ditemukan pada masyarakat etnis Tionghoa untuk bergelut di profesi tersebut.
Ketika berbicara mengenai cara dalam menbantu memajukan organisasi PSMTI, beliau mengatakan:
“Ya sebagai anggota pertama-pertama kita harus menaati dan melaksanankan sesuai AD/ART (Anggaran Dasar / Anggaran Rumah Tangga) PSMTI dan progam kerjanya. Itukan juga sebuah bentuk kita sebagai anggota PSMTI dalam memajukan organisasi, kalau tidak mematuhi aturan atau
(30)
mendukung kegiatan yang dilaksanakan organisasi gimana sebuah organisasi bisa maju.”
Berdasarkan penuturan Bapak Eddy menunjukkan bahwa rasa in-group atau keterikatan dengan kelompok sendiri cukup kuat dan hal ini juga membuktikan kebanggaan menjadi salah satu dari anggota kelompok dinilai positif karena dapat meningkatkan identitas kelompok itu sendiri maupun identitas personal anggota.
Menurut Beliau mengenai keterikutan anggota PSMTI dalam panggung politik. Bapak Eddy berpendapat bahwa:
“ Bagus la, ketika seorang anggota dari kelompok kita menjadi seorang anggota legislatif itu sangat bagus karena melalui anggota itu dapat lebih mudah mengimplementasikan atau mengaspirasikan isi dari visi dan misi PSMTI dan bisa juga sebagai komunikator untuk menyuarakan aspirasi dari masyarakat Tionghoa secara langsung kepada pemerimtah.”
Melihat dari penuturan bapak Eddy menunjukkan bahwa keberadaan anggota dalam suatu kelompok itu dapat meningkatkan harga diri kelompok itu tersebut dan membuat suatu kebanggaan tersendiri bagi identitas kelompok dan identitas etnis Tionghoa yang diwakili.
Manfaat dari keberadaan PSMTI terhadap masyarakat luas cukup bagus dan bermanfaat bagi masyarakat khususnya masyarakat yang kurang mampu ataupun masyarakat yang terkena musibah dan apa yang dilaksanakan PSMTI baik secara langsung maupun tidak langsung juga telah membantu sebagian kecil dari tugas pemerintah kita yakni “mensejahterakan rakyatnya”.
(31)
3. Nama : Tan Cu Cu
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 41 Tahun
Agama : Buddha
Jenis Pekerjaan : Wiraswasta
Informan berikutnya adalah Bapak Tan Cu Cu. Beliau merupakan anggota yang cukup aktif dalam organisasi PSMTI. Bapak Tan Cu Cu tinggal Jalan Mangaan III no 147 Medan. Beliau sudah cukup mengenal banyak tentang PSMTI dimana dia sudah menjadi anggota PSMTI sejak tahun 2011.
Bapak Tan Cu Cu berbiacara ketertarikannya menjadi anggota PSMTI itu dikarenakan PSMTI adalah salah satu organisasi suku Tionghoa yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 serta berazaskan sosial gotong royong. Inilah alasan mengapa bapak Tan Cu Cu menjadi anggota organisasi PSMTI dimana organisasi menurut Bapak Tan Cu Cu sangat bermanfaat bagi etnis Tionghoa dalam menciptakan hubungan yang selaras antar masyarakat Tionghoa dan juga sebagai jembatan bagi masyarakat etnis Tionghoa untuk memperkenalkan budaya Tionghoa manakala tidak semua masyarakat Indonesia mengenal baik dari arti budaya-budaya masyarakat etnis Tionghoa itu seperti festival Barongsai, cheng beng (sembahyang leluhur), festival perahu naga, festival kue bulan, dan sebagainya.
Untuk itulah dibutuhkanlah sebuah sarana atau fasilitator untuk mengekspresikan budaya itu dengan adanya adanya organisasi seperti PSMTI,
(32)
Bapak Tan Cu Cu yakin dapat mengembangkan budaya etnis Tionghoa sebagai bagian dari identitas masyarakat etnis Tionghoa.
Untuk mencapai tujuan tersebut menurut Bapak Tan Cu Cu perlu untuk memotivasi para angota-anggota lain untuk ikut serta secara aktif dan selalu mendukung setiap program dan kegiatan sosial yang dilaksanakan PSMTI dengan melalui selalu mensosialisasikan visi dan misi PSMTI kepada masyarakat Tionghoa khususnya komunitas etnis Tionghoa, serta dengan kontinu atau terus menerus mensosialisasikan budaya-budaya dan adat istiadat Tionghoa dengan pesta Budaya seperti yang sudah dijelaskan Bapak Tan Cu Cu di atas. Kegiatan-kegiatan inilah yang adalah wujud dalam membantu organisasi PSMTI untuk memajukan identitas masyarakat Tionghoa dan sebagai organisasi bagi etnis Tionghoa untuk lebih mengakrabkan diri bukan hanya antar sesama masyarakat Tionghoa melainkan juga lebih bebaur dengan msayrakat suku lainnya agar mmenghilangkan sterotipe akan etnis Tionghoa yang selalu hidup bersama dengan sesama etnis nya.
Seperti halnya dengan informan lainnya Bapak Tan Cu Cu juga sangat mendukung apabila salah satu dari anggota mempunyai jiwa yang ingin berkontribusi dan berkemampuan di dalam dunia politik itu dipersilahkan. Sepanjang anggota tersebut bisa membawa nilai-nilai yang positif dan bisa menyalurkan aspirasi dan kepentingan masyarakat khususnya yang menyangkut kepentingan orang Tionghoa di dalam pemerintahan seperti halnya peraturan yang sifatnya diskriminasi di dalam pengurusan surat-surat yang menyangkut adminstransi KTP, KK, dan lain-lain. Beliau juga menambahkan dengan kehadiran etnis Tionghoa di dalam dunia politik
(33)
membuktikan bahwa etnis Tionghoa juga peduli dengan tumbuh kembangnya negara Indonesia melalui keikut sertaannya dalam partisipasi politik.
Ketika berbicara tentang bagaiman tanggapannya tentang manfaat kegiatan PSMTI terhadap masyarakat. Beliau menyatakan bahwa:
“ Manfaat yang kami berikan kepada masyarakat pastilah bersifat positif kalau merugikan ngapainlah kami kerjakan kalau tujuannya tidak baik bagi masyarakat dan juga bakal merugikan nama baik organisasi kami sendiri. Contohlah Kegiatan Bakti Sosial yang sering kami lakukan untuk membantu saudara-saudara kita yang tertimpa musibah seperti erupsi Gunung Sinabung dan membuka posko dari hasil mengumpulkan dana dari para donatur untuk korban kebakaran di Tanjung Sari Sukaramain, Pasar Bromo, dll. Demikian juga pemberian paket sembako untuk keluarga pra sejahtera / keluarga kurang mampun pada hari besar keagamaan yakni Hari raya Idul Fitri, Tahun Baru, maupun hari raya Imlek.”
Dari hal yang disampaikan bapak Tan Cu Cu dapat dikatakan bahwaorganisasi PSMTI sangat menjunjung tinggi nilai dan identitas dari kelompoknya itu sendiri yang berusaha untuk menciptakan image yang positif bagi keberadaan organisasi PSMTI, jika citra itu rusak atau luntur maka itu juga akan mempengaruhi eksistensi identitas organisasi ini dimata masyarakat yang luas juga seprti dengan Teori Henry Tajfel. Image itu yang memberikan perbedaan pandangan dari kelompok masyarakat lain terhadap prestasi yang telah dicapai organisasi PSMTI.
Kinerja dan perkembangan PSMTI yang diberikan selama ini baik kepada masyarakat Tionghoa maupun pada masyarakat kelompok lainnya cukup memuaskan dan memberikan nilai-nilai positif, seperti tanggapan yang telah disampaikan diatas. Dengan adanya PSMTI masyarakat etnis Tionghoa
(34)
sudah mulai mengenal dan paham dalam berorganisasi, tergeraknya hati untuk beramal / sosial, dan juga dalam hal membangun hubungan dengan kelompok melalui kerjasama dengan berbagai organisasi dan pemerintah daerah setempat.
4. Nama : Ang Tje Ping
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 46 Tahun
Agama : Buddha
Jenis Pekerjaan : Wiraswasta
Informan selanjuttnya adalah Ang Tje Ping. Beliau juga merupakan bagian dari anggota dalam organisasi PSMTI. Beliau ikut keanggotaan PSMTI pada tahun 2008 dan merupakan anggota yang aktif dalam setiap kegiatan-kegiatan yang selalu dilaksanakan organisasi PSMTI. Bapak Ang Tje Ping tinggal di jalan Selam VI no:72 Medan.
Bapak Ang Tje Ping masuk ke organisasi PSMTI dengan para informan lainnya hampir sama dimana Bapak Ang Tje Ping berpendapat bahwa ketertarikannya adalah sebagai tempat penghubung / pemersatu masyarakat Tionghoa dalam sebuah organisasi yang bergerak di bidang sosial. Menjadi anggota PSMTI membuat beliau banyak belajar dari manfaat masuk ke dalam sebuah organisasi khususnya dalam menjalin hubungan dengan anggota-anggota Tionghoa lainnya, organisasi lainnya, dan pemerintah untuk bekerjasama untuk mewujudkan dan mendukung integrasi bangsa sesuai 4
(35)
menajaga kerukunan yang terjalin dengan masyarakat luas yang menjadi cita-cita organisasi PSMTI.
Melihat maraknya etnis Tionghoa yang masuk kedalam dunia poltik Bapak Ang Tje Ping menyatakan adanya gerakan pembaharuan etnis Tionghoa itu sendiri untuk mengangkat kehidupan mereka dan berusaha untuk menghapuskan diskriminasi antar etnis didalam berbagai bidang kehidupan di Indonesia sampai saat ini masa dirasakan. Melalui berpolitik serta mengabdi dan memberi sumbangsih kepada Negara Indonesia, selain itu untuk menghilangkan stigma akan tradisi atau kebiasaan etnis Tionghoa yang hanya bisa bergelut di bidang perdagangan. Sebagai contoh konkrit nya Gubernur Basuki Tjahaja Purnama yang lebih memilih mengabdi kepada negara dan beliau juga menjadi contoh bagi masyarakat Tionghoa sebagai wujud baru kehadiran Etnis Tionghoa yang akan menghadirkan nilai plus dalam dunia birokrasi sekaligus berdampak positif bagi keberadaan etnis Tionghoa dalam pemerintahan.
Untuk itulah organisasi PSMTI bertujuan untuk melakukan pembenahan terhadap generasi muda masyarakat Tionghoa di masa yang akan datang. Perkembangan positif itu juga harus tetap dipertahankan dan dikembangkan, mengingat dulu masyarakat etnis Tionghoa juga berkontribusi atau mempunyai peranan penting walaupun secara historis belum diakui dan dan seolah olah dilupakan dan sangat sedikit ulasannya dalam sejarah Indonesia.
Kinerja dan perkembangan yang sudah dicapai oleh organisasi PSMTI juga harus tetap dipertahankan agar manfaatnya dapat membantu masyarakat
(36)
luas dan etnis Tionghoa melalui berbagai kegiatan pesta kebudayaan Tionghoa untuk diperkenalkan kepada seluruh masyarakat Indonesia dan kegiatan-kegiatan sosial dalam rangka membantu orang yang tidak mampu atau prasejahtera. Berikut hasil wawancara Bapak Ang Tje Ping:
“Seperti contoh kegiatan sosial yang kita lakukan di daerah Belawan yang mengalami kebakaran dimana menghanguskan ± 24 unit rumah penduduk baik dari masyarakat etnis Tionghoa kita sendiri dan masyarakat etnis lain. Mendengar hal tersebut anggota PSMTI Medan dan Belawan bersama-sama membantu saudara-saudara yang mendapat musibah dengan membuka atau mendirikan posko bantuan kebakaran selama sebulan sehingga terkumpullah bantuan dari para donatur dan para dermawan serta organisasi sosial yang ada di kota Medan berupa dana atau uang, bahan bagunan seperti seng, semen, batu bara, sembako, dan sebagainya.”
Pencapaian ini bisa membantu masyarakat dikawasan Belawan dapat membangun kembali rumah mereka sehingga hubungan persaudaraan antara etnis Tionghoa dengan dengan suku lain akan terjalin erat didalam masyarakat dari apa yang sudah dilakukan oleh PSMTI dan dengan sendirinya atau secara otomatis banyak masyarakat suku lain akan mengenal dan mengetahui keberadaan organisasi PSMTI sebagai salah satu wadah organisasi yang berbasis suku atau orang-orang Tionghoa yang mana didalamnya menjalankan kegiatan sosialnya untuk semua warga masyarakat lain yang ada atau dengan kata lain kegiatan PSMTI tidak hanya untuk orang Tionghoa saja tetapi bersifat universal dan mencakup berbagai elemen masyarakat.
(37)
5. Nama : Susanto Kalim
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 47 Tahun
Agama : Buddha
Jenis Pekerjaan : Wiraswasta
Informan berikutnya adalah Bapak Susanto Kalim. Beliau juga merupakan bagian dari keanggotaan PSMTI. Beliau tinggal di Jalan AR. Hakim Gg Aman no: 9H Medan. Beliau mengawali karir dalam berorganisasi PSMTI pada tahun 2013. Bapak Susanto sebenarnya sudah lama mengenal PSMTI sebelum resmi masuk ke organisasi PSMTI pada tahun 2013 dimana beliau mengenal PSMTI sejak awal terbentuknya PSMTI, seperti diketahui organisasi ini terbentuk karena adanya kerusuhan massa dan penjarahan yang menjadikan etnis Tionghoa sebagai korban.
Inilah yang menjadi alasan Bapak Susanto untuk bergabung kedalam organiasi PSMTI yang dirasa sebagai wadah atau perkumpulan yang difungsikan sebagai permersatu hubungan seluruh masyarakat Tionghoa dan berusaha bersama untuk menimalisasi atau menghilangkan diskriminasi antar etnis di Indonesia melalui progam-progam kerja organisasi baik dalam melakukan pesta budaya Tionghoa, acara-acara kegiatan sosial dan sebagainya yang menjadi ciri khas dari organisasi PSMTI.
Mensosialisasikan makna dan arti dari organisasi PSMTI merupakan wujud dari anggota dalam memajukan organisasi PSMTI menurut Bapak Susanto, beliau juga menambahkan untuk selalu mengenalkan budaya dan adat
(38)
istiadat suku Tionghoa kepada masyarakat luas juga serta ikut aktif dalam setiap perayaan budaya suku Tionghoa misalnya Hari Sembahyang Cheng Beng, hari makan Bak Cang, hari sembahyang leluhur, hari sembahyang Bulan, dan sebagainya. Beliau juga memberi perhatian lebih pada pemuda-pemuda etnis Tionghoa dalam yang keiikut sertaan dalam kegiatan atau festival itu seperti dalam wawancara ini:
“Selama ini kegiatan-kegiatan pesta-pesta atau festival kebudayaan itu bertujuan meningkatkan dan membantu kesadaran bagi kaum-kaum muda untuk tidak meninggalkan budayanya sendiri. Anak zaman sekarang sudah tidak mempedulikan lagi apa yang menjadi budaya-budaya kita. Coba aja tanya mereka itu tentang beberapa budaya kita seperti hari-hari khusus sembahyang pasti mereka gak tau. Ya kedepannya saya berharap moga lebih bagus lagi.”
Bapak Susanto beranggapan bahwa terdapat hal positif didalam pelaksanaan kegiatan seperti festival budaya itu dapat meningkatkan kesadaran para pemuda untuk dapat tetap menjaga budaya maupun ciri khas dari identitas masyarakat orang Tionghoa. Supaya kedepannya para pemuda-pemuda etnis Tionghoa masih tetap melakukan tradisi dan budaya ini dan lebih mengembangkan dirinya untuk lebih memperkenalkan budaya etnis Tionghoa kepada masyarakat luas.
Berbicara tentang keikutsertaan anggota PSMTI dalam dunia politik, Menurut beliau itu sah-sah saja kalau seseorang masuk ke dunia politik mengingat setiap warga negara di Indonesia mempunyai hak memilih dan dipilih seperti yang tertuang dalam UUD 45. Dengan adanya etnis Tionghoa yang duduk sebagai anggota legislatif atau pemerintahan itu bagus karena bisa mengapresiasikan suara Tionghoa dalam berpolitik di pemerintahan dan
(39)
sebagai suatu wujud masyarakat etnis Tionghoa untuk memperbaiki nasib. Selain itu itu juga menjadi tren positif dimana etnis Tionghoa selalu hidup di zona aman saja yakni di bidang bisnis atau perdagangan dan menghilangkan persoalan latar belakang baik suku, etnis, ataupun agama yang selama ini menjadi kendala bagi etnis Tionghoa untuk terjun ke dunia politik. Partisipasi politik ini juga yang akan menjadi dorongan masyarakat etnis Tionghoa dalam memulihkan kembali identitas etnis Tionghoa dan membuat kesetaraan terhadap suku-suku lain dalam berbagai bidang.
Untuk itu kinerja dan perkembangannya perlu lagi ditingkatkan pada bidang kepemudaan organisasi dan tetap fokus dalam melakukan kegiatan sosial. Kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukan oleh PSMTI yang selama ini sebenarmya bertujuan untuk membantu mensejahterakan setiap kalangan masyarakat baik masyarakat Tionghoa maupun masyarakat etnis lainnya. PSMTI merupakan wadah suku Tionghoa yang ada di Indonesia untuk saling berinteraksi atau saling bersilaturahmi antar berbagai suku masyarakat lain dan bukan hanya untuk masyarakat suku Tionghoa. Hal tersebut juga akan memberi dampak positif bagi keberadaan organisasi PSMTI atau masyarakat etnis Tionghoa dalam menciptakan sikap positif di dalam bermasyarakat. Disetiap kegiatan, PSMTI selalu bekerja sama dengan pihak pemerintah setempat baik kota Medan maupun di kecamatan dalam rangka untuk bertukar pikiran dalam menyukseskan setiap kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan PSMTI.
(40)
6. Nama : Fransen Winata
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 46 Tahun
Agama : Buddha
Jenis Pekerjaan : Wiraswasta
Informan berikutnya adalah Bapak Fransen Winata. Beliau masuk menjadi bagian anggota PSMTI pada tahun 2007. Bapak Fransen juga merupakan anggota aktif selama berada di organisasi PSMTI. Bapak Fransen tinggal Jalan Denai no. 105 A Medan.
Beliau menjadi bagian dari keanggotaan PSMTI karena ketertarikan dengan rasa sosial yang tinggi yang selama ini dilakukan oleh organisasi PSMTI yang sangat bermanfaat bagi kalangan masyarakat yang kurang mampu. Pada tahun 2015, bapak Fransen mendapat mandat untuk menjabat sebagai ketua OKK (Organisasi Kepengurusan dan Kaderisasi) periode 2015-2019 dimana tugas pokok beliau itu cukup berat yakni membesarkan organisasi PSMTI di tingkat Kecamatan dan Kelurahan serta memberikan pemahaman mengenai paguyuban Tionghoa sesuai dalam AD/ART organisasi PSMTI. Meski merasa tugas itu berat, Beliau tetap optimis bisa melakukannya karena dengan itu bapak Fransen sebagai anggota organisasi dapat membantu memajukan dan membesarkan nama organisasi PSMTI. Sampai saat ini Bapak Fransen sangat terbantu tugasnya dari bantuan kawan-kawan anggota PSMTI. Rasa kebersamaan dan kekompakan yang ada di PSMTI yang cukup terjalin dengan baik membuat Pak Fransen menyadari akan hubungan antar
(41)
anggotayang kuat di dalam kekompakkan yang terjalin antar sesama anggota paguyuban.
Seperti pernyataan informan lainnya, Pak Fransen juga berbicara terkait dengan masuknya etnis Tionghoa dalam dunia politik. Beliau menyatakan:
“Itu adalah sebuah pencapain bagus bagi kita ketika masuk kedalam pemerintahan atau menjadi anggota legislatif mengingat hanya beberapa orang yang mampu terjun ke dalam Politik. Saya sangat bangga jika etnis Tionghoa itu berasal dari paguyuban kita. apalagi dia sebagai perantara buat kita untuk menyuarakan aspirasi kita kepada pemerintah. Pasti membuat bangga kita dong bisa mempunyai anggota yang mempunyai potensi dan mewakili kita dalam dunia politik.”
Pak Fransen ternyata sangat mendukung jika ada salah satu dari anggota organisasi PSMTI dapat duduk dalam pemerintahan maupun duduk sebagai anggota legislatif. Terlebih lagi etnis Tionghoa itu juga akan menjadi penengah dalam menjadi komunikator antara masyarakat Tionghoa dengan pemerintah. Memang bisa dibilang masyarakat etnis Tionghoa masuk kedalam politik sangat minim jumlahnya mengingat kurangnya kepercayaan diri etnis Tionghoa untuk tampil dalam pemerintahan. Etnis Tionghoa dinilai masih ragu-ragu, apatis, dan tidak mau berpasipatif dalam proses politik sehingga faktanya proses politik dikendalikan oleh penguasa yang tidak kompeten dan tidak mempunyai kompeten dalam memegang peran politik sementara banyak etnis Tionghoa yang mempunyai kemampuan dalam berpolitik tetapi tidak dikembangkannya.
(42)
Disitulah sebagai organisasi PSMTI yang mewakili masyarakat Tionghoa terus memberikan upaya untuk membantu merubah mindset masyarakat Tionghoa yang selama ini masih melekat dalam setiap diri masyarakat etnis Tionghoa begitu penuturan Pak Fransen. Selain itu juga kinerja dalam memberikan manfaat kepada masyarakat luas juga perlu dilakukan secara tepat sasaran supaya manfaatnya bisa lebih dirasakan masyarakat yang tidak mampu. Berikut hasil wawancara Pak Fransen:
“Seperti bantuan kami yaitu dengan mendirikan Posko Kebakaran di Gg Bakung Kecamatan Medan Area dan Jln AR. Hakim Gg Aman sehingga dapat menampung berbagai bantuan dari masyarakat mampu atau donatur yang dermawan, maupun dari kami sebagai anggota PSMTI untuk turut berpartisipasi dalam memberikan bantuan baik itu berupa pakaian, dana, sembako, maupun bahan-bahan bagunan (seng, batubata, semen, dll). Kegiatan yang selalu digalakkan PSMTI intinya untuk kesejahteraan masyarakat luas karena itulah PSMTI adalah organisasi yang bergerak di bidang sosial.”
Menurut penuturan Pak Fransen ini menyatakan bahwa kehadiran PSMTI sebagai wakil masyarakat Tionghoa dalam membantu mempersatukan hubungan antar kelompok dinilai memberikan efek positif bagi masyarakat etnis Tionghoa dalam membangun citra yang baik di dalam masyarakat dimana sebelumnya etnis Tionghoa dianggap hanya memperdulikan sesama etnis Tionghoa. Dalam hal inilah organisasi dibentuk untuk menghilangkan pandangan atau stigma negatif terhadap etnis Tionghoa melalui kegiatan-kegiatan sosial yang peduli masyarakat.
(43)
7. Nama : Hasyim, SE
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 49 Tahun
Agama : Buddha
Jenis Pekerjaan : Anggota DPRD Medan
Informan yang selanjutnya adalah Bapak Hasyim. Beliau tinggal di Jalan Perniagaan Baru No. 23A Medan. Beliau adalah anggota PSMTI yang sekaligus juga bergelut di dalam dunia politik sebagai anggota DPRD kota Medan. Sekarang Bapak Hasyim sedang menjabat sebagai Dewan Kehormatan di dalam organisasi PSMTI.
Pak Hasyim bergabung dengan organisasi PSMTI pada tahun 2008 dimana pada waktu itu Pak Hasyim masih belum menjadi anggota legislatif. Bergabungnya Pak Hasyim dalam sebuah organisasi seperti dikatakan Beliau banyak memberikan pengalaman dan manfaat dalam berorganisasi contohnya adalah setelah bergabung dalam paguyuban Pak Hasyim banyak mengenal dan berinteraksi orang-orang baik di dalam organisasi maupun diluar organisasi, terpupuknya rasa sosial yang diberikan untuk selalu membantu sesama yang membutuhkan bantuan, serta terbentuknya organisasi ini PSMTI memiliki historis yang cukup rumit dimana merupakan tempat pemersatu etnis Tionghoa dalam memperjuangkan hak-hak identitas etnis Tionghoa setelah tragedi pada masa Orde Baru mengingat identitas etnis Tionghoa pada saat itu
(44)
dikebiri atau dihilangkan. Inilah yang menjadi ketertarikan Pak Hasyim masuk ke dalam paguyuban ini.
Dari pengalaman yang sudah didapat dari organisasi. Beliau kemudian bergabung dengan partai politik PDI Perjuangan, dimana Pak Hasyim juga ikut maju dalam pertarungan di Pemilihan Umum untuk mencalonkan diri di DPRD kota Medan. Hasilnya Pak Hasyim menang dalam Pemilihan tersebut. Menurut Pak Hasyim mungkin ini adalah sebuah takdir baginya untuk mengabdikan dirinya kepada semua masyarakat yang ada khususnya di Kota Medan dimana Pak Hasyim akan mendedikasikan waktu dan diri bekerja penuh kedalam pengabdian kepada masyarakat, amanah itu juga sama dengan visi dan misi organisasi PSMTI selama ini yakni mengabdi diri dan membantu masyarakat luas tanpa membedakan suku, ras, agama , maupun latar belakangnya. Politik juga sebagai satu-satunya cara untuk memastikan seluruh keputusan penting yang diambil tidak merugikan pihak tertentu, kelompok tertentu ataupun golongan tertentu.
Selain itu sebagai etnis Tionghoa yang duduk dalam panggung politik, artinya kita sudah mau mencurahkan pikiran, diri dalam membantu pembangunan Negara dengan membawa bendera masyarakat Tionghoa. Lebih dari itu juga pandangan atau kesan masyarakat lain mengenai etnis Tionghoa bahwa etnis Tionghoa hanya bisa berbisnis dan tidak mau berpartisipasi dalam politik akan hilang. Seperti yang pernah disampaikan juga oleh para informan lainnya mengingat tugas etnis Tionghoa yang duduk dalam pemerintahan adalah sebagai jembatan dalam menyalurkan aspirasi etnis Tionghoa kepada pemerintah. Melalui ini juga Pak Hasyim secara tidak langsung juga
(45)
memajukan organisasi PSMTI dengan keikutsertaan nya dalam panggung politik dan alasan yang mendorong Pak Hasyim masuk dunia politik.
Pak Hasyim juga meyatakan pendapatnya ketika berbicara pandangannya tentang keikutsertaan anggota lainnya dalam dunia politik:
“Itu balik ke dia atau terserah saja kalau dia mau menjadi anggota legislatif atau masuk ke dunia politik ya bagus kami tidak pernah melarang para naggota untuk berpartisipasi. Tetapi perlu diketahui juga organisasi PSMTI adalah organisasi yang bergerak di bidang sosial, kayak saya yang bermain di politik tidak ikut bergabung dalam kepengurusan organisasi. Dan perlu diingat kepada yang lainnya kalo ingin masuk dunia politik jangan melakukan hal yang bisa merugikan nama baik etnis kita.”
Dukungan yang diberikan Pak Hasyim cukup postif dalm keikutsertaan anggota dalam dunia politik. Beliau juga beranggapan bahwa kalau ingin menjadi anggota legislatif maupun duduk dalam pemerintahan maka sebagai anggota PSMTI tidak ikut bagian dalam kepengurusan, maupun pengambil keputusan karena akan berdampak pada organisasi dimana organisasi PSMTI bergerak di bidang sosial takutnya organisasi tersebut bisa lari ke politik. Mengingat etnis Tionghoa yang duduk cukup sedikit, untuktidak ikut dalam kegiatan atau melakukan hal yang dapat merugikan etnis Tionghoa seperti melakukan korupsi, kolusi maupun nepotisme karena itu akan menciptakan image buruk bagi eksistensi etnis Tionghoa yang memulai peranannya di bidang politik.
(46)
Tabel 4.7. Boidata Informan
no Nama Umur Jenis pekerjaan Agama Tahun
Bergabung
1 Djono Ngatimin, SH 51 Wiraswasta Buddha 2013
2 Sutrisno 33 Wiraswasta Kristen 2008
3 Eddy Tan 47 Karyawan Buddha 2013
4 Tan Cu Cu 41 Wiraswasta Buddha 2011
5 Ang Tje Ping 46 Wiraswasta Buddha 2008
6 Susanto Kalim 47 Wiraswasta Buddha 2013
7 Fransen Winata 46 Wiraswasta Buddha 2007
8 Hasyim, SE 49 Anggota DPRD
Medan
Buddha 2008
4.4. Deskripsi Kondisi etnis Tionghoa pada masa Orde Baru
Permasalahan antar etnis di Indonesia memang tengah menjadi sebuah permasalahan yang belum dapat diselesaikan, apalagi menyangkut tentang etnis Tionghoa di Indonesia selalu mewarnai sejarah Indoensia. Perlakuan terhadap etnis Tionghoa sangatlah berbeda dengan pendatang lainnya seperti etnis India maupun Arab padahal sama-sama merupakan suku pendatang dan sama-sama sebagai suku minoritas di Indonesia. Hal ini ditandai dengan selalu terlibatnya etnis Tionghoa dalam hubungan antar etnis di Indonesia. Permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat Indonesia merupakan konfik sosial yang bersifat kompleks. Kasus kerusuhan atau konflik di Indonesia yang melibatkan etnis Tionghoa sebagai korban sudah terjadi juga sebelum tahun 1998.
(47)
Menurut Bapak Djono Ngatimin, SH selaku Ketua PSMTI cabang Medan, dilihat dari sejarah yang ada di Indonesia kasus kerusuhan ini sudah ada pada masa penjajahan pemerintah kolonial Belanda (Geger Pacinan) pada tahun 1740, pada masa perang Jawa tahun 1825-1830, kerusuhan Solo pada tahun 1912, kerusuhan Kudus pada tahun 1918, kerusuhan di Tangerang pada tahun 1946, kerusuhan Bandung 1963, kerusuhan G-30 SPKI 1965 dan yang terakhir 1998. Dari kejadiaan atau tragedi yang ada diatas telah menjadikan pengalaman yang kelam bagi masyarakat etnis Tionghoa. Perjalanan panjang dan peranan etnis Tionghoa di dalam sejarah Indonesia sebagai salah satu etnis di Indonesia dalam pembangunan negara Indonesia tampaknya tidak menjadikan sebuah nilai positif terhadap masyarakat etnis Tionghoa.
Beliau juga menambahkan kerusuhan-kerusuhan yang terjadi pada masa lalu itu dikarenakan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat majemuk atau multi etnis tidak menyikapi secara arif antar komponen-komponen masyarakat sehingga menimbulkan rengangnya jarak sosial antar kelompok etnis dan kurang diterimanya keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia yang menjadi faktor munculnya sebuah potensi konflik sosial yang meledak pada Mei 1998.
Mungkin tidak hanya itu saja kenapa masyarakat etnis lain sangat tidak menyukai etnis Tionghoa itu dikarenakan adanya sikap kecemburuan sosial dan pandangan streotipe etnis pribumi terhadap etnis Tionghoa mengenai pola kultur etnis Tionghoa yang tinggi maupun rasa in-group yang tinggi antar sesama. Dilihat dari sepanjang sejarah keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia dimana etnis Tionghoa pada masa penjajahan mempunyai posisi khusus sebagai “anak emas” dan pada masa Orde Baru inilah masyarakat Tionghoa
(48)
menjadi “anak tiri” dalam pemerintahan Soeharto. Dalam artian di atas yaitu di satu sisi masyarakat etnis Tionghoa seperti mendapat perlakuan khusus pada masa penjajahan tetapi di sisi lain masyarakat etnis Tionghoa merasa dikekang atau mendapat perlakuan diskriminasi dengan berbagai aturan yang berlaku pada masa waktu Orde Baru seperti dikeluarkannya “surat sakti” oleh Soeharto yang dikenal dengan SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) dimana SBKRI adalah salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk mengurus berbagai keperluan seperti KTP, permohonan paspor, pendaftaran pemilihan umum, sampai menikah dan meninggal dunia, dll harus memakai surat ini sehingga dianggap sangat diskriminasi terhadap etnis Tionghoa.
Bahakan identitas orang Tionghoa pada saaat itu juga dicabut seperti Sekolah bahasa Tionghoa. Dalam penuturan Pak Djono mengenai hal tersebut:
“iya pada saat itu, saya masih duduk di kelas 2 SD di WR Supratman Tri Bakti sekolah kami dolo tidak lagi diperkenankan untuk mengajarkan atau dihapuskannya pelajaran Bahasa Mandarin apalagi sekolah swasta yang mengajarkan Bahasa Mandarin seperti sekolah kami dolo terkena kebijakan asimilasi. Dampaknya cukup dirasakan anak-anak kecil pada saat itu gak bisa bahasa mandarin. Kalau kita mau belajar ya harus belajar dirumah la itupun kalau orang tua kita bisa bahasa Mandarin.”
Cukup menyayangkan kondisi pendidikan masyarakat etnis Tionghoa pada masa Orde baru dimana pendidikan akan bahasa Mandarin yang menjadi ciri dari identitas orang Tionghoa juga harus dikebiri bahkan dihilangkan dari dalam diri masyarakat etnis Tionghoa oleh Negara sendiri melaui kebijakan asimilasi yang diterapakan. Hanya tipe sekolah nasional yang diperkenankan
(49)
untuk etnis Tionghoa dalam mengenyam pendidikan tanpa memandang kewarganegaraan.
Karena adanya pembatasan dan insecurity tersebut, budaya dan bahasa Tionghoa yang sebelumnya, pada masa pemerintahan kolonial Belanda, masih diperbolehkan sekolah nya, pada masa pemerintahan Orde Baru justru dipangkas. Hal tersebut kemudian berdampak pada mind-set dan rational-choice etnis Tionghoa pasca Orde Baru untuk dapat ‘menghidupkan’ kembali kebudayaan dan kebiasaan lama sekolah mereka.
Proses itu tentunya menghilangkan ciri khas dari etnis Tionghoa dalam berinteraksi antar sesama masyarakat Tionghoa yang biasanya dalam berinteraksi selalu menggunakan bahasa Tionghoa atau bahasa Mandarin. Dengan berlakunya kebijakan tersebut etnis Tionghoa dipaksa untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam berinteraksi agar dapat menghilangkan sikap yang hanya berbaur dengan sesama masyarakat etnis Tionghoa atau eksklusifitas yang sudah melekat pada masa penjajahan. Dengan kondisi seperti secara tidak langsung juga melahirkan generasi Tionghoa yang tidak mengenal Bahasa Mandarin atau “ buta huruf akan aksara Bahasa Mandarin”.
Sebenarnya eksklusifitas itu bukanlah keinginan masyarakat etnis Tionghoa tersebut, berikut tanggapan dari Pak Djono selaku Ketua PSMTI Medan:
“Ekskusifitas masyarakat oramg Tionghoa itu sebenarnya dibentuk karena keadaan/ kondisi dimana kita sebagai masyarakat Tionghoa merasa takut atau tertekan dengan kondisi disekitarnya pada masa lalu dolo dan juga ideologi kita untuk hidup bersama dengan sesama itu dibentuk pada masa kolonial kalau kamu ada baca sejarah-sejarah etnis Tionghoa dolo.”
(50)
Maka dari itu mengapa masyarakat etnis Tionghoa selalu hidup dalam kelompok atau suatu wilayah tertentu itu dikarenakan paham-paham yang selama ini melekat dalam diri etnis Tionghoa sehingga menjadi sebuah kebiasaan/ maupun tradisi untuk hidup bersama dalam kelompok atau wilayah tertentu. Pemahaman buruk itu muncul dari sejak masa kolonial Belanda dimana kita masyarakat Tionghoa dipaksa untuk hidup menjauh dari masyarakat asli Indonesia akibat dari insiden bersatunya etnis Tionghoa dengan masyarakat asli Indonesia dalam melawan Belanda sehingga puluhan ribu jiwa etnis Tionghoa dibunuh dan kemudian sisa masyarakat etnis Tionghoa dipisahkan dan diisolasikan dalam sebuah wilayah tertentu agar tidak membangun hubungan interaksi dengan masyarakat asli Indonesia dan menjalankan aktifitas mereka sebagai pedagang dimana telah dikerjakan secara turun temerun dan hal ini juga memunculkan sikap rasa takut dalam membangun hubungan interaksi dengan masyarakat lain akibat pembantaian tersebut. Hingga sampai saat masa Orde Baru lah etnis Tionghoa yang masih hidup secara berkelompok diharuskan melebur dengan masyarakat asli Indonesia dengan melalui berbagai kebijakannya dalam rangka menghilangkan eksklusifitas etnis Tionghoa. Kebijakan itu justru malah membuat masyarakat etnis Tionghoa mengalami trauma yang sangat mendalam akibat dari pembantaian Mei 98 membuat masyarakat etnis Tionghoa merasa tidak nyaman hidup dengan masyarakat lain dan lebih nyaman hidup antar sesama etnis Tionghoa.
Identitas Tionghoa lainnya juga seperti organisasi kemasyarakat Tionghoa juga hilang dalam kebijakan asimilasi yang diterapkan Pak Soeharto pada masa itu dari penuturan Pak Djono bahwa:
(51)
“Masa Soeharto dolo, perkembangan organisasi etnis Tionghoa dolo banyak dinonaktifkan pada masa itu seperti Baperki, dimana hak kita sebagai warga negara Indonesia yang berbunyi kebebasan dalam berkumpul dan mengeluarkan pendapat seakan hilang dalam diri masyarakat etnis Tionghoa.”
Banyaknya organisasi kemasyarakatan Tionghoa yang dibubarkan menjadikan etnis Tionghoa merasa terasing pada masa Orde Baru pada waktu itu. Pembatasan ini dapat dilihat sebagai upaya Pemerintah Orde Baru untuk menekan segala macam kegiatan politik dan atau gerakan yang melibatkan unsur komunisme.
Selama Tiga Puluh Dua tahun itu jugalah etnis Tionghoa diisolasikan atau dijauhkan dari semua aktivitas yang berbau politik. Etnis Tionghoa hanya diperkenankan masuk ke organisasi non Tionghoa seperti Golkar, PDIP, dll.
Secara sistematis, rezim Orde Baru telah membatasi, menekan dan menghancurkan hak-hak politik etnis Tionghoa dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan diskriminatif yang sangat mengucilkan etnis Tionghoa di Indonesia menjadi apolitik sehingga tidak ada lagi representasi efektif etnis Tionghoa di pemerintahan maupun badan legislatif pada waktu itu.
Hanya organisasi keagamaan yang hanya diberi izin untuk beroperasi. Dan itupun dalam menjalankan adat istiadat maupun budaya keagamaan hanya bisa dilakukan di lingkup keluarga saja atau hanya bersifat tertutup.
Selain itu perkembangan media masa juga dilarang dalam pada masa pemerintah Orde Baru, seperti pengalaman Pak Djono pada waktu itu, setelah Soeharto mengambil alih pemerintahan, banyak dari surat kabar, majalah, dll yang berhubungan dengan bahasa Mandarin atau bahasa Tionghoa semuanya
(52)
ditutup dimana etnis Tionghoa tidak bisa lagi mengekspresikan atau mempublikasikan kebudayaaan etnis Tionghoa yang menjadi identitasnya ke dalam media massa. Disamping itu hal yang berhubungan dalam mengimpor informasi dari luar dalam bentuk bahasa Tionghoa juga pun dilarang.
Namun begitu, ada juga media masa atau surat kabar yang berbahasa Tionghoa yang masih diberi izin pengoperasian dan merupakan satu-satunya surat kabar berbahasa Tionghoa yang bisa diakses secara legal atau resmi pada pemerintahan Orde Baru tetapi memiliki keterbatasan dimana hanya dipakai sebagai jembatan antara pemerintah dengan masyarakat Tionghoa dalam menyamapaikan informasi kebijakan pemerintah terhadap masyarakat Tionghoa. Dengan ditutupnya media massa berbahasa Tionghoa membuat kebiasaan masyarakat etnis Tionghoa dalam memanfaatkan media massa dengan selalu memasang pemberitahuan mengenai kematian, perkawinan, iklan dan sebagainya pun juga hilang. Kebiasaan dalam penggunaan media massa seperti diatas juga ada di surat kabar yang dilakukan pada masa sekarang contohnya seperti surat kabar Harian “Analisa”.
Hal serupa juga terjadi pada setiap kegiatan-kegiatan budaya etnis Tionghoa seperti festival barongsai, festival kue bulan, dan hari Imlek. Hari raya Imlek yang merupakan suatu tradisi atau momentum yang sangat penting bagi etnis Tionghoa yang selalu mewakili identitas itu sendiri juga dilarang perayaannya secara nasional sehingga pada saat hari raya Imlek masyarakat etnis Tionghoa cenderung melakukan tradisi itu secara tertutup.
Meskipun demikian diantara dari kebijakan yang mendiskriminasikan etnis Tionghoa terdapat juga kebijakan pergantian nama. Kebijakan ini
(53)
menekan masyarakat etnis Tionghoa untk mengganti namanya dengan lafal Indonesia seperti penuturan dari Pak Djono:
“ Dolo kita etnis Tionghoa harus mengganti nama Tionghoa menjadi nama Indonesia contohnya kayak orang yang namanya Tan Phi San, nampak kali nama Tionghoa sama marga Tionghoa, maka dari itu orang tersebut harus mengganti namanya agak ke Indonesia-an contohnya Suwandy Susanto itu baru nama Indonesia”.
Menanggapi hal tersebut pergantian nama Tionghoa menjadi nama non Tionghoa merupakan suatu bukti kesetiaan politik masyarakat etnis Tionghoa sebagai salah satu bagian dari masyarakat Indonesia seperti yang diungkapkan Pak Djono dalam wawancara diatas.
Beliau juga menambahkan bahwa penghilangkan nama asli Tionghoa hanya sebatas pada kartu identitas atau bisa dibilang hanya sebagai formalitas dimana di dalam lingkup masyarakat Tionghoa atau tradisi masyarakat Tionghoa itu merupakan suatu keharusan setiap orang etnis Tionghoa untuk memiliki nama Tionghoa maupun nama Mandarin karena merupakan identitas seseorang sebagai masyarakat etnis Tionghoa.
Setelah berbagai diskriminasi dari kebijakan yang diterapakan pada masa Orde Baru membuat kondisi pada saat itu etnis Tionghoa hanya bisa bergerak pada ekonomi atau perdagangan saja mengingat semua sektor baik pemerintahan, pendidikan, budaya, organisasi semua dikebiri atau dihilangkan bisa dibilang pada masa Orde Baru semua pintu tertutup atau tidak tersedia untuk masyarakat etnis Tionghoa. Sebagai kaum minoritas, hak-hak etnis Tionghoa juga tidak terpenuhi secara hukum dimana masih adanya
(54)
diskriminasi yang dilakukan dan etnis Tionghoa dianggap masih asing karena adanya pemberlakuan surat SBKRI. Kondisi diskriminasi inilah yang mengakibatkan munculnya istilah pribumi dan non pribumi, Cina dan Non-Cina, WNI dan WNA. Dengan kata lain, seorang keturunan Tionghoa selalu diingatkan bahwa ia adalah keturunan Tionghoa dan harus selalu mempunyai dokumen khusus untuk membuktikan kewarganegaraannya.
Dengan hanya bergelut di bidang ekonomi atau perdagangan Presiden Soeharto memberikan peluang kepada etnis Tiomghoa untuk melakukan investasi/ penanaman modal asing dalam rangka membangun kembali perekonomian Indonesia. Kebijakan ekonomi pada masa Orde Baru tersebut banyak memberikan keuntungan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan adanya keterbukaan penanaman modal asing yang terciptanya pacar bebas akhirnya memunculkan dominasi masyarakat etnis Tionghoa dalam sektor ekonomi seiring dengan kondisi perekonomian Indonesia yang terus membaik dan stabil pada waktu itu.
Upaya yang dilakukan Soeharto pada waktu itu sebenarnya adalah untuk membantu usaha kaum pribumi dan untuk memunculkan pengusaha-pengusaha dari kaum pribumi. Tapi pada kenyataannya justru pertumbuhan pengusaha-pengusaha Tionghoa yang jumlahnya lebih banyak tumbuh.
Dengan meningkatnya perekonomian membuat para tubuh elit politik memanfaatkan kesempatan ini dengan bekerja sama dan lebih mendekatkan diri dengan pengusaha Tionghoa yang melahirkan praktek “percukongan” atau dikenal dengan “tuan”. Hingga akhirnya praktek ini menimbulkan kasus KKN di kubuh elit penguasa yang berdamapak langsung pada perekonomian
(55)
Indonesia sehingga yang ikut dipermasalahkan adalah masyarakat etnis Tionghoa.
Dari etnis minoritas, menjadi etnis dan komunitas yang superior dan bahkan eksklusif. Mereka yang dahulu termarjinalkan, kini memegang kekuatan pada beberapa sektor vital Negara, seperti perekonomian. Ketidakadilan dalam ekonomi dan sosial maupun kepentingan-kepentingan untuk mendapatkan nilai ekonomi lebih serta kekuasaan yang lebih tinggi. Malah membuat masalah tentang diskriminasi terus meningkat dalam kalangan masyarakat. Dan semakin membuat kuatnya kecemburuan sosial dan kesenjangan ekonomi diantara masyarakat etnis Tionghoa dengan masyarakat lain.
Kuatnya status ekonominya dan keberpihakkan elit politik kepada masyarakat etnis Tionghoa yang dibangun ini memiliki dampak yang cukup signifikan. Keadaan ini lah yang memicu konflik sosial antara mayarakat etnis Tionghoa dengan masyarakat lain. Disamping itu negara Indonesia juga mengalami krisis moneter akibat memburuknya perekonomian Indonesia dan yang terkena dampaknya atau efek dari krisis moneter adalah masyarakat etnis pribumi. Akibatnya masyarakat etnis pribumi meluapakan kemarahannya kepada masyarakat etnis Tionghoa akibat kejengkelan politik, kegelisahan ekonomi, dan keresahan sosial yang melahirkan kasus kerusuhan yang besar di Indonesia.
Kasus kerusuhan yang terjadi pada Mei 1998 ini masih hangat di dalam ingatan dan dibenak etnis Tionghoa dimana itu dikenal dengan “Mei Kelabu” dan merupakan kasus pergolakan yang besar bukan hanya terjadi di
(56)
Jakarta saja tetapi di beberapa tempat di wilayah Indonesia seperti di Medan, Bandung dan beberapa kota besar lainnya. Menurut beliau, itu merupakan kejadian yang tidak bisa dilupakan etnis Tionghoa. Menurut Pak Djono menjelaskan kondisi pada saat itu :
“Dolo kejadiannya ngerilah banyak etnis kita Tionghoa bahkan lari dari negara ini agar tidak terkena atau terhindar dari dampak insiden tersebut, sebagian dari mereka tidak balik ke Indonesia karena menganggap Indonesia tidaklah aman bagi orang kita Tionghoa namun ada juga dari mereka yang tetap kembali setelah kerusuhan berakhir karena tidak bisa meninggalkan kehidupan mereka di Indonesia. Bagi mereka etnis Tionghoa seperti saya yang tidak pergi ke luar negeri, saya dan keluarga pada waktu bersembunyi di rumah sendiri karena kami anggap lebih aman dan menutup semua pintu rumah, juga saya melarang istri,anak dan para anggota keluarga saya untuk tidak keluar rumah."
Pengrusakan, pemerkosaan, penjarahan, hingga kasus pembunuhan terhadap etnis Tionghoa juga terjadi dalam tragedi kerusuhan 1998 tersebut sangat tidaklah manusiawi pada waktu itu. Tidak diketahui dengan jelas apa penyebab munculnya konflik dan ketidaksukaan etnis lain terhadap etnis Tionghoa. Menurut Pak Djono ada beberapa isu yang berkembang pada itu yang mengakibatkan konflik itu terjadi:
“Menurut informasi yang saya dengar sih mereka diprovokasi beberapa kelompok tertentu yang mencoba untuk memanas situasi yaitu dengan menyerang etnis Tionghoa. Menurut laporan Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan Mei, ternyata kasus pemerkosaan, penganiayaan, maupun pembunuhan itu digerakan oleh sekelompok orang yang terlatih dan terselubung yang digerakkan pada waktu serentak di beberapa kota.”
(57)
Akibat dari kegiatan kekerasan atau kerusuhan ini seperti penjarahan, pembunuhan, pembakaran dan penganiayaan, pembunuhan dan pemerekosaan pada peristiwa “Mei Kelabu”, korban jiwa tidak hanya berasal dari masyarakat etnis Tionghoa saja tetapi juga dari kalangan masyarakat pribumi juga. Akibat dari kerusuhan, tidak hanya kerugian materil saja yang dialami, ketidak berdayaan wanita masyarakat etnis Tionghoa yang diperkosa, puluhan ribu masyarakt etnis Tionghoa yang melarikan diri ke luar negeri tetapi juga membuat trauma yang mendalam dari yang insiden yang memalukan bagi masyarakat etnis Tionghoa sendiri yang ada di Indonesia.
4.5. Deskripsi Kondisi etnis Tionghoa setelah runtuhnya Orde Baru
Setelah 1998 atau setelah Runtuhnya Orde Baru membuat identitas Tionghoa mengalami rekonstruksi, dimana budaya Tionghoa kini diperbolehkan untuk direpresentasikan secara terbuka secara nasional atau umum. Mengingat pada masa Orde Baru itu budaya Tionghoa hanya diperbolehkan dilakukan pada lingkup kecil atau hanya terbatas pa lingkup masyarakat Tionghoa saja. Kedudukan etnis Tionghoa pelan-pelan mulai terangkat dan mengalami perubahan yang cukup mendasar dengan mulai dihapuskannya berbagai diskriminasi yang selama ini yang menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat etnis Tionghoa. Seperti juga yang disampaikan Pak Djono dibawah ini:
(58)
“Kondisi kita sesudah masa Orde Baru, atau bisa dibilang kodisi identitas etnis Tionghoa terjadi perubahan besar dan secara mendasar Contohnya seperti kita ketahui bersama dulu perayaan Imlek, kita tidak ada liburan yang bisa disebut libur fakultatif dimana waktu Orde Baru kita orang Tionghoa itu libur sendiri pas hari Imlek. Dan pada Masa Reformasi tepatnya saat pemerintahan Gusdur , Imlek itu akan dijadikan atau diwacanakan sebagai hari libur nasional pada masa pemerintahan tersebut.”
Setelah lebih dari Tiga puluh Dua Tahun masa kepemimpinan Orde baru. Akhirnya masa Reformasi inilah yang menjadi babak baru dalam bagi masyarakat Tionghoa dimana semua kebudayaaan maupun kesenian dan identitas-identitas Etnis Tionghoa berupa 3 pilar yang menunjukkan identitas Tionghoa itu dikembalikan baik mengizinkan kembali sekolah berbahasa Tionghoa maupun tempat-tempat kursus berbahasa Mandarin yang dulu pernah ditutup karena mengajarkan Bahasa Mandarin, kebebasan dalam membuka kembali atau membentuk organisasi etnis yang dolo dianggapa menganut paham Komunisme dan kebebasan pers untuk kembali bisa menerbitkan surat kabar berbahasa Mandarin. Pada tahun 1999 juga telah muncul stasiun televisi yang menyiarkan berita berbahasa Mandarin (MetroTV) dan bahkan juga pada media radio (Cakrawala). Kedua media massa tersebut membantu menandai terciptanya iklim media yang lebih terbuka bagi perkembangan bahasa dan budaya etnis Tionghoa.
Di masa Reformasi juga Agama Kong Hu Cu juga diakui keberadaannya yang sebelumnya pada masa Orde baru dilarang dan tidak diakui sebagai Agama. Mengingat pada saat reformasi juga mengeluarkan beberapa penghapusan kebijakan seperti berikut:
(59)
1. Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IV/6/1967 tentang Kebijakan Pokok Penyelesaian Masalah Cina yang wujudnya dibentuk dalam Badan Koordinasi Masalah Cina, yaitu sebuah unit khusus di lingkungan Bakin.
2. Surat Edaran Presidium Kabinet RI No. SE-06/PresKab/6/1967, tentang kebijakan pokok WNI keturunan asing yang mencakup pembinaan WNI keturunan asing melalui proses asimilasi terutama untuk mencegah terjadinya kehidupan eksklusif rasial, serta adanya anjuran supaya WNI keturunan asing yang masih menggunakan nama Cina diganti dengan nama Indonesia.
3. Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967 tentang tempat-tempat yang disediakan utuk anak-anak WNA Cina disekolah-sekolah nasional sebanyak 40 % dan setiap kelas jumlah murid WNI harus lebih banyak daripada murid-murid WNA Cina.
4. Surat Edaran Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika No. 02/SE/Ditjen/PP6/K/1988 tentang larangan penerbitan dan pencetakan tulisan/ iklan beraksen dan berbahasa Cina.
Tidak adanya lagi pembedaan status, suku, agama yang diciptakan pada masa reformasi. Sehingga semua masyarakat khususnya masyarakat etnis Tionghoa dapat memiliki kebebasan sebagai warga negara Indonesia lainnya. Melihat hal tesebut banyak dari masyarakat Tionghoa berbondong-bondong membentuk organisasi kemasyarakatan maupun dalam bentuk partai politik. berikut penuturan Pak Djono mengenai hal ini:
(60)
“Wah, pokoknya beda la suasana Orba dengan Reformasi. Pada saat Reformasi itu banyaklah kita etnis Tionghoa yang membentuk perkumpulan gitu maupun dalam bentuk kepartaian pokoknya tinggilah antusias masyarakat Tionghoa pada waktu itu. Euforia pemyambutan kebebasan etnis Tionghoa cukup bagus apresiasi masyarakat Tionghoa terhadap pemerintahan reformasi waktu itu.”
Banyaknya etnis Tionghoa dalam pembentukan organisasi maupun suatu perkumpulan dengan berdasarkan berbagai macam bentuk mulai dari kesamaan daerah, agama, sosial, profesi atau persamaan nasib, dan lain sebagainya seperti PSMTI, INTI, PITI, PASTI, dan lain-lain. Tujuan dari pembentukkan masing-masing ini tentunya adalah untuk mengembalikan atau mempertahankan keberadaan atau citra etnis Tionghoa di Indonesia sekaligus juga mengubah sikap politik kelompok etnis Tionghoa dalam berpartisipasi politik serta diharapakan dapat berperan aktif dalam pembangunan negara melalui jalan politik yang sebelumnya di masa Orde Baru itu bisa dikatakan tertutup rapat untuk masyarakat etnis Tionghoa.
Kesempatan inilah juga dimanfaatkan baik masyarakat etnis Tionghoa dalam mengembailkan nilai-nilai dalam budaya yang menjadi ciri khas atau identitas masyarakat etnis Tionghoa itu sendiri melalui masuk ke organisasi maupun suatu perkumpulan. Yang menjadi suatu wadah bagi etnis Tionghoa dalam upaya membangun kembali atau merekontruksi identitas yang sudah dikebiri pada masa Orde Baru selain itu juga meneruskan upaya dalam menimalisasikan atau mengurangi diskriminasi antar masyarakat lain walaupun sangat sulit untuk bisa menghapus diskriminasi secara keseluruhan di negara Indonesia ini.
(1)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadiratuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul “Rekonstruksi Identitas Tionghoa melalui PSMTI (Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia). Penulisan skripsi ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa dukungan dari berbagai pihak, skripsi ini tidak akan terselesaikan. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu dengan sepenuh hati, baik berupa ide, kritikan, saran, dukungan semangat, doa, bantuan moril maupun materil sehingga skripsi ini dapat diselesaikan pada waktu yang tepat.
Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yaitu:
1. Kepada Bapak Dr.Muryanto Amin, S.Sos, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
2. Kepada Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si selaku Ketua Departemen Sosiologi, sekaligus selaku dosen mata kuliah yang telah memberikan ilmu yang sangat berharga selama saya kuliah di Sosiologi .Terimakasih atas ilmu, pelajaran berharga. Semua hal itu sangat membantu saya dalam membuka wawasan dan pola berpikir saya. Terimakasih 3. KepadaBapak Dr. Sismudjito, M.Si selaku Ketua Penguji.Terimakasih atas saran,
masukan, kritikan, dan sumbangan pemikiran kepada saya .
4. Kepada Bapak Drs. Muba Simanihuruk, M.SiselakuDosen Pembimbing Akademik sekaligus sebagai Dosen Pembimbing dalam penulisan skripsi ini. Terimkasih untuk waktu, tenaga, ide, gagasan, kritikan, dan saran serta telah sangat baik dalam membimbing saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Tiada kata yang dapat terungkapkan hanya ucapan terimakasih serta doa yang teramat dalam.Semoga Tuhan membalas segala kebaikan dan ilmu yang bermanfaat yang telah diberikan kepada saya.
(2)
5. Kepada seluruh dosen yang telah memberikan ilmu yang sangat berharga selama saya kuliah di Sosiologi .Terimakasih atas ilmu, pelajaran berharga. Semua hal itu sangat membantu saya dalam membuka wawasan dan pola berpikir saya. Terimakasih. 6. Kepada orang tua yang sangat saya hargai dan hormati Bapak Donny Sutiono Ko dan
Ibu Linawaty yang sudah membesarkan saya dan merawat saya hingga sekarang dengan sepenuh hati. Terimakasih untuk kasih sayang, pengorbanan dan doa-doanya selama ini. Akhirnya inilah salah satu persembahan yang dapat saya berikan sebagai tanda ucapan terimakasih dan tanda bakti saya kepada kedua orang tua. Semoga diberikan kesehatan, umur panjang dan segala bentuk kebaikan dalam hidup ini, doakan agar saya bisa menjadi kebanggaan dan memberi kebahagian buat Bapak dan Ibu.
7. Saya ucapkan terimakasih kepada saudara-saudara saya yaitu Delvin atas segala dukungannya kepada saya.
8. Kepada Bapak Djono Ngatimin, SH selaku Ketua PSMTI Medan atas waktu dan kesediaan untuk diwawancarai guna menyelesaikan penelitian skripsi ini.
9. Kepada Anggota PSMTI Bapak Hasyim, SE, Bapak Sutrisno, Bapak Eddy Tan, Bapak Fransen Winata, Bapak Tan Cu Cu, Bapak Susanto Kalim, Bapak Ang Tje Ping atas waktu dan kesedian untuk diwawancarai guna menyelesaikan penelitian skripsi ini.
10.Kepada teman baik saya selama kuliahWalber, Paskah, Feby, Agita, Floren, Ridho, Zultia, Yayang, Bram, Endy, Joy, Fernando, Binsar, Deddy Roy, danMonica. Terimakasih buat bantuan dan kebersamaannya baik suka dan duka, kalian yang terbaik (Ada sukses buat kita semua).
11.Kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam melakukan penelitian lapanganKelurahan Bantan Timur. atas waktu dan kesediaan untuk memeberikan informasi guna menyelesaikan penelitian skripsi ini.
12.Kepada teman baik saya selama SMA Dedy Fattah, Edison, Steven, Kenny, Willim, Desy, Wika, Willy Terimakasih atas dukungan sampai dengan saat ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan dan keterbatasan, untuk itu penulis mengharapkan masukan dan saran-saran yang sifatnya membangun demi kebaikan tulisan ini. Demikianlah yang dapat penulis sampaikan.
(3)
hati, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Medan, Oktober 2016 Penulis
NIM. 120901038 Andrie
(4)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
ABSTRAK ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL………...…….….viii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...1
1.2 Perumusan Masalah ...10
1.3 Tujuan Penelitian ...10
1.4 Manfaat Penelitian ...10
1.5 Definisi Konsep...15
BAB II Kajian Pustaka 2.1Identitas Sosial ...9
2.2Dimensi dalam mengkonseptualisasikan identitas sosial...13
2.3Motivasi Melakukan Identitas Sosial ...17
2.1 Komponen Identitas Sosial ...19
2.1Dimensi Identitas Sosial ...20
BAB IIIMETODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian...22
3.2 Lokasi Penelitian ...22
3.3 Unit Analisis dan Informan ...22
3.3.1 Unit Analisis ...22
3.3.2 Informan ...23
3.4 Teknik Pengumpulan Data ...23
3.4.1 Data Primer ...23
3.4.2 Data Sekunder ...24
3.5 Interpretasi Data ...25
3.6 Jadwal Kegiatan ...25
BAB IV DESKRIPSI LOKASI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN 4.1 Deskripsi Lokasi ...26
4.1.1Gambaran Penduduk Kelurahan Bantan Timur ...27
4.1.2Gambaran Sarana dan Prasarana ...30
4.2 Sejarah Singkat Organisasi PSMTI ...32
4.3 Profil Informan ...34
4.3.1Informan Kunci ...34
4.3.2Informan Pendukung ...39
(5)
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan ...85
5.2. Saran ...86
DAFTAR PUSTAKA ...88
(6)
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Komposisi Penduduk berdasarkan Jenis Kelamin ...27
Tabel 4.2Komposisi Penduduk berdasarkan Agama ...28
Tabel 4.3 Komposisi Penduduk berdasarkan Etnis...29
Tabel 4.4Komposisi berdasarkan Tingkat Pendidikan ...30
Tabel 4.5Keadaan sarana Bidang Kesehatan di Kelurahan Bantan Timur ...31