60
Tabel 4.7. Boidata Informan
no Nama
Umur Jenis pekerjaan
Agama Tahun
Bergabung 1
Djono Ngatimin, SH 51
Wiraswasta Buddha
2013 2
Sutrisno 33
Wiraswasta Kristen
2008 3
Eddy Tan 47
Karyawan Buddha
2013 4
Tan Cu Cu 41
Wiraswasta Buddha
2011 5
Ang Tje Ping 46
Wiraswasta Buddha
2008 6
Susanto Kalim 47
Wiraswasta Buddha
2013 7
Fransen Winata 46
Wiraswasta Buddha
2007 8
Hasyim, SE 49
Anggota DPRD Medan
Buddha 2008
4.4. Deskripsi Kondisi etnis Tionghoa pada masa Orde Baru
Permasalahan antar etnis di Indonesia memang tengah menjadi sebuah permasalahan yang belum dapat diselesaikan, apalagi menyangkut tentang
etnis Tionghoa di Indonesia selalu mewarnai sejarah Indoensia. Perlakuan terhadap etnis Tionghoa sangatlah berbeda dengan pendatang lainnya seperti
etnis India maupun Arab padahal sama-sama merupakan suku pendatang dan sama-sama sebagai suku minoritas di Indonesia. Hal ini ditandai dengan selalu
terlibatnya etnis Tionghoa dalam hubungan antar etnis di Indonesia. Permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat Indonesia merupakan konfik
sosial yang bersifat kompleks. Kasus kerusuhan atau konflik di Indonesia yang melibatkan etnis Tionghoa sebagai korban sudah terjadi juga sebelum tahun
1998.
Universitas Sumatera Utara
61
Menurut Bapak Djono Ngatimin, SH selaku Ketua PSMTI cabang Medan, dilihat dari sejarah yang ada di Indonesia kasus kerusuhan ini sudah
ada pada masa penjajahan pemerintah kolonial Belanda Geger Pacinan pada tahun 1740, pada masa perang Jawa tahun 1825-1830, kerusuhan Solo pada
tahun 1912, kerusuhan Kudus pada tahun 1918, kerusuhan di Tangerang pada tahun 1946, kerusuhan Bandung 1963, kerusuhan G-30 SPKI 1965 dan yang
terakhir 1998. Dari kejadiaan atau tragedi yang ada diatas telah menjadikan pengalaman yang kelam bagi masyarakat etnis Tionghoa. Perjalanan panjang
dan peranan etnis Tionghoa di dalam sejarah Indonesia sebagai salah satu etnis di Indonesia dalam pembangunan negara Indonesia tampaknya tidak
menjadikan sebuah nilai positif terhadap masyarakat etnis Tionghoa. Beliau juga menambahkan kerusuhan-kerusuhan yang terjadi pada
masa lalu itu dikarenakan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat majemuk atau multi etnis tidak menyikapi secara arif antar komponen-komponen
masyarakat sehingga menimbulkan rengangnya jarak sosial antar kelompok etnis dan kurang diterimanya keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia yang
menjadi faktor munculnya sebuah potensi konflik sosial yang meledak pada Mei 1998.
Mungkin tidak hanya itu saja kenapa masyarakat etnis lain sangat tidak menyukai etnis Tionghoa itu dikarenakan adanya sikap kecemburuan sosial
dan pandangan streotipe etnis pribumi terhadap etnis Tionghoa mengenai pola kultur etnis Tionghoa yang tinggi maupun rasa in-group yang tinggi antar
sesama. Dilihat dari sepanjang sejarah keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia dimana etnis Tionghoa pada masa penjajahan mempunyai posisi khusus
sebagai “anak emas” dan pada masa Orde Baru inilah masyarakat Tionghoa
Universitas Sumatera Utara
62
menjadi “anak tiri” dalam pemerintahan Soeharto. Dalam artian di atas yaitu di satu sisi masyarakat etnis Tionghoa seperti mendapat perlakuan khusus
pada masa penjajahan tetapi di sisi lain masyarakat etnis Tionghoa merasa dikekang atau mendapat perlakuan diskriminasi dengan berbagai aturan yang
berlaku pada masa waktu Orde Baru seperti dikeluarkannya “surat sakti” oleh Soeharto yang dikenal dengan SBKRI Surat Bukti Kewarganegaraan
Republik Indonesia dimana SBKRI adalah salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk mengurus berbagai keperluan seperti KTP, permohonan
paspor, pendaftaran pemilihan umum, sampai menikah dan meninggal dunia, dll harus memakai surat ini sehingga dianggap sangat diskriminasi terhadap
etnis Tionghoa. Bahakan identitas orang Tionghoa pada saaat itu juga dicabut seperti
Sekolah bahasa Tionghoa. Dalam penuturan Pak Djono mengenai hal tersebut:
“iya pada saat itu, saya masih duduk di kelas 2 SD di WR Supratman Tri Bakti sekolah kami dolo tidak lagi
diperkenankan untuk mengajarkan atau dihapuskannya pelajaran Bahasa Mandarin apalagi sekolah swasta yang
mengajarkan Bahasa Mandarin seperti sekolah kami dolo terkena kebijakan asimilasi. Dampaknya cukup dirasakan
anak-anak kecil pada saat itu gak bisa bahasa mandarin. Kalau kita mau belajar ya harus belajar dirumah la itupun
kalau orang tua kita bisa bahasa Mandarin.”
Cukup menyayangkan kondisi pendidikan masyarakat etnis Tionghoa pada masa Orde baru dimana pendidikan akan bahasa Mandarin yang menjadi
ciri dari identitas orang Tionghoa juga harus dikebiri bahkan dihilangkan dari dalam diri masyarakat etnis Tionghoa oleh Negara sendiri melaui kebijakan
asimilasi yang diterapakan. Hanya tipe sekolah nasional yang diperkenankan
Universitas Sumatera Utara
63
untuk etnis Tionghoa dalam mengenyam pendidikan tanpa memandang kewarganegaraan.
Karena adanya pembatasan dan insecurity tersebut, budaya dan bahasa Tionghoa yang sebelumnya, pada masa pemerintahan kolonial Belanda, masih
diperbolehkan sekolah nya, pada masa pemerintahan Orde Baru justru dipangkas. Hal tersebut kemudian berdampak pada mind-set dan rational-
choice etnis Tionghoa pasca Orde Baru untuk dapat ‘menghidupkan’ kembali kebudayaan dan kebiasaan lama sekolah mereka.
Proses itu tentunya menghilangkan ciri khas dari etnis Tionghoa dalam berinteraksi antar sesama masyarakat Tionghoa yang biasanya dalam
berinteraksi selalu menggunakan bahasa Tionghoa atau bahasa Mandarin. Dengan berlakunya kebijakan tersebut etnis Tionghoa dipaksa untuk
menggunakan bahasa Indonesia dalam berinteraksi agar dapat menghilangkan sikap yang hanya berbaur dengan sesama masyarakat etnis Tionghoa atau
eksklusifitas yang sudah melekat pada masa penjajahan. Dengan kondisi seperti secara tidak langsung juga melahirkan generasi Tionghoa yang tidak
mengenal Bahasa Mandarin atau “ buta huruf akan aksara Bahasa Mandarin”. Sebenarnya eksklusifitas itu bukanlah keinginan masyarakat etnis
Tionghoa tersebut, berikut tanggapan dari Pak Djono selaku Ketua PSMTI Medan:
“Ekskusifitas masyarakat oramg Tionghoa itu sebenarnya dibentuk karena keadaan kondisi dimana kita
sebagai masyarakat Tionghoa merasa takut atau tertekan dengan kondisi disekitarnya pada masa lalu dolo dan juga
ideologi kita untuk hidup bersama dengan sesama itu dibentuk pada masa kolonial kalau kamu ada baca sejarah-sejarah
etnis Tionghoa dolo.”
Universitas Sumatera Utara
64
Maka dari itu mengapa masyarakat etnis Tionghoa selalu hidup dalam kelompok atau suatu wilayah tertentu itu dikarenakan paham-paham yang
selama ini melekat dalam diri etnis Tionghoa sehingga menjadi sebuah kebiasaan maupun tradisi untuk hidup bersama dalam kelompok atau wilayah
tertentu. Pemahaman buruk itu muncul dari sejak masa kolonial Belanda dimana kita masyarakat Tionghoa dipaksa untuk hidup menjauh dari
masyarakat asli Indonesia akibat dari insiden bersatunya etnis Tionghoa dengan masyarakat asli Indonesia dalam melawan Belanda sehingga puluhan
ribu jiwa etnis Tionghoa dibunuh dan kemudian sisa masyarakat etnis Tionghoa dipisahkan dan diisolasikan dalam sebuah wilayah tertentu agar
tidak membangun hubungan interaksi dengan masyarakat asli Indonesia dan menjalankan aktifitas mereka sebagai pedagang dimana telah dikerjakan
secara turun temerun dan hal ini juga memunculkan sikap rasa takut dalam membangun hubungan interaksi dengan masyarakat lain akibat pembantaian
tersebut. Hingga sampai saat masa Orde Baru lah etnis Tionghoa yang masih hidup secara berkelompok diharuskan melebur dengan masyarakat asli
Indonesia dengan melalui berbagai kebijakannya dalam rangka menghilangkan eksklusifitas etnis Tionghoa. Kebijakan itu justru malah
membuat masyarakat etnis Tionghoa mengalami trauma yang sangat mendalam akibat dari pembantaian Mei 98 membuat masyarakat etnis
Tionghoa merasa tidak nyaman hidup dengan masyarakat lain dan lebih nyaman hidup antar sesama etnis Tionghoa.
Identitas Tionghoa lainnya juga seperti organisasi kemasyarakat Tionghoa juga hilang dalam kebijakan asimilasi yang diterapkan Pak Soeharto
pada masa itu dari penuturan Pak Djono bahwa:
Universitas Sumatera Utara
65
“Masa Soeharto dolo, perkembangan organisasi etnis Tionghoa dolo banyak dinonaktifkan pada masa itu seperti
Baperki, dimana hak kita sebagai warga negara Indonesia yang berbunyi kebebasan dalam berkumpul dan mengeluarkan
pendapat seakan hilang dalam diri masyarakat etnis Tionghoa.”
Banyaknya organisasi kemasyarakatan Tionghoa yang dibubarkan menjadikan etnis Tionghoa merasa terasing pada masa Orde Baru pada waktu
itu. Pembatasan ini dapat dilihat sebagai upaya Pemerintah Orde Baru untuk menekan segala macam kegiatan politik dan atau gerakan yang melibatkan
unsur komunisme. Selama Tiga Puluh Dua tahun itu jugalah etnis Tionghoa diisolasikan
atau dijauhkan dari semua aktivitas yang berbau politik. Etnis Tionghoa hanya diperkenankan masuk ke organisasi non Tionghoa seperti Golkar, PDIP, dll.
Secara sistematis, rezim Orde Baru telah membatasi, menekan dan menghancurkan hak-hak politik etnis Tionghoa dengan mengeluarkan
kebijakan-kebijakan diskriminatif yang sangat mengucilkan etnis Tionghoa di Indonesia menjadi apolitik sehingga tidak ada lagi representasi efektif etnis
Tionghoa di pemerintahan maupun badan legislatif pada waktu itu. Hanya organisasi keagamaan yang hanya diberi izin untuk beroperasi.
Dan itupun dalam menjalankan adat istiadat maupun budaya keagamaan hanya bisa dilakukan di lingkup keluarga saja atau hanya bersifat tertutup.
Selain itu perkembangan media masa juga dilarang dalam pada masa pemerintah Orde Baru, seperti pengalaman Pak Djono pada waktu itu, setelah
Soeharto mengambil alih pemerintahan, banyak dari surat kabar, majalah, dll yang berhubungan dengan bahasa Mandarin atau bahasa Tionghoa semuanya
Universitas Sumatera Utara
66
ditutup dimana etnis Tionghoa tidak bisa lagi mengekspresikan atau mempublikasikan kebudayaaan etnis Tionghoa yang menjadi identitasnya ke
dalam media massa. Disamping itu hal yang berhubungan dalam mengimpor informasi dari luar dalam bentuk bahasa Tionghoa juga pun dilarang.
Namun begitu, ada juga media masa atau surat kabar yang berbahasa Tionghoa yang masih diberi izin pengoperasian dan merupakan satu-satunya
surat kabar berbahasa Tionghoa yang bisa diakses secara legal atau resmi pada pemerintahan Orde Baru tetapi memiliki keterbatasan dimana hanya dipakai
sebagai jembatan antara pemerintah dengan masyarakat Tionghoa dalam menyamapaikan informasi kebijakan pemerintah terhadap masyarakat
Tionghoa. Dengan ditutupnya media massa berbahasa Tionghoa membuat kebiasaan masyarakat etnis Tionghoa dalam memanfaatkan media massa
dengan selalu memasang pemberitahuan mengenai kematian, perkawinan, iklan dan sebagainya pun juga hilang. Kebiasaan dalam penggunaan media
massa seperti diatas juga ada di surat kabar yang dilakukan pada masa sekarang contohnya seperti surat kabar Harian “Analisa”.
Hal serupa juga terjadi pada setiap kegiatan-kegiatan budaya etnis Tionghoa seperti festival barongsai, festival kue bulan, dan hari Imlek. Hari
raya Imlek yang merupakan suatu tradisi atau momentum yang sangat penting bagi etnis Tionghoa yang selalu mewakili identitas itu sendiri juga dilarang
perayaannya secara nasional sehingga pada saat hari raya Imlek masyarakat etnis Tionghoa cenderung melakukan tradisi itu secara tertutup.
Meskipun demikian diantara dari kebijakan yang mendiskriminasikan etnis Tionghoa terdapat juga kebijakan pergantian nama. Kebijakan ini
Universitas Sumatera Utara
67
menekan masyarakat etnis Tionghoa untk mengganti namanya dengan lafal Indonesia seperti penuturan dari Pak Djono:
“ Dolo kita etnis Tionghoa harus mengganti nama Tionghoa menjadi nama Indonesia contohnya kayak orang
yang namanya Tan Phi San, nampak kali nama Tionghoa sama marga Tionghoa, maka dari itu orang tersebut harus
mengganti namanya agak ke Indonesia-an contohnya Suwandy Susanto itu baru nama Indonesia”.
Menanggapi hal tersebut pergantian nama Tionghoa menjadi nama non Tionghoa merupakan suatu bukti kesetiaan politik masyarakat etnis Tionghoa
sebagai salah satu bagian dari masyarakat Indonesia seperti yang diungkapkan Pak Djono dalam wawancara diatas.
Beliau juga menambahkan bahwa penghilangkan nama asli Tionghoa hanya sebatas pada kartu identitas atau bisa dibilang hanya sebagai formalitas
dimana di dalam lingkup masyarakat Tionghoa atau tradisi masyarakat Tionghoa itu merupakan suatu keharusan setiap orang etnis Tionghoa untuk
memiliki nama Tionghoa maupun nama Mandarin karena merupakan identitas seseorang sebagai masyarakat etnis Tionghoa.
Setelah berbagai diskriminasi dari kebijakan yang diterapakan pada masa Orde Baru membuat kondisi pada saat itu etnis Tionghoa hanya bisa
bergerak pada ekonomi atau perdagangan saja mengingat semua sektor baik pemerintahan, pendidikan, budaya, organisasi semua dikebiri atau dihilangkan
bisa dibilang pada masa Orde Baru semua pintu tertutup atau tidak tersedia untuk masyarakat etnis Tionghoa. Sebagai kaum minoritas, hak-hak etnis
Tionghoa juga tidak terpenuhi secara hukum dimana masih adanya
Universitas Sumatera Utara
68
diskriminasi yang dilakukan dan etnis Tionghoa dianggap masih asing karena adanya pemberlakuan surat SBKRI. Kondisi diskriminasi inilah yang
mengakibatkan munculnya istilah pribumi dan non pribumi, Cina dan Non- Cina, WNI dan WNA. Dengan kata lain, seorang keturunan Tionghoa selalu
diingatkan bahwa ia adalah keturunan Tionghoa dan harus selalu mempunyai dokumen khusus untuk membuktikan kewarganegaraannya.
Dengan hanya bergelut di bidang ekonomi atau perdagangan Presiden Soeharto memberikan peluang kepada etnis Tiomghoa untuk melakukan
investasi penanaman modal asing dalam rangka membangun kembali perekonomian Indonesia. Kebijakan ekonomi pada masa Orde Baru tersebut
banyak memberikan keuntungan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan adanya keterbukaan penanaman modal asing yang terciptanya pacar
bebas akhirnya memunculkan dominasi masyarakat etnis Tionghoa dalam sektor ekonomi seiring dengan kondisi perekonomian Indonesia yang terus
membaik dan stabil pada waktu itu. Upaya yang dilakukan Soeharto pada waktu itu sebenarnya adalah
untuk membantu usaha kaum pribumi dan untuk memunculkan pengusaha- pengusaha dari kaum pribumi. Tapi pada kenyataannya justru pertumbuhan
pengusaha-pengusaha Tionghoa yang jumlahnya lebih banyak tumbuh. Dengan meningkatnya perekonomian membuat para tubuh elit politik
memanfaatkan kesempatan ini dengan bekerja sama dan lebih mendekatkan diri dengan pengusaha Tionghoa yang melahirkan praktek “percukongan” atau
dikenal dengan “tuan”. Hingga akhirnya praktek ini menimbulkan kasus KKN di kubuh elit penguasa yang berdamapak langsung pada perekonomian
Universitas Sumatera Utara
69
Indonesia sehingga yang ikut dipermasalahkan adalah masyarakat etnis Tionghoa.
Dari etnis minoritas, menjadi etnis dan komunitas yang superior dan bahkan eksklusif. Mereka yang dahulu termarjinalkan, kini memegang
kekuatan pada beberapa sektor vital Negara, seperti perekonomian. Ketidakadilan dalam ekonomi dan sosial maupun kepentingan-kepentingan
untuk mendapatkan nilai ekonomi lebih serta kekuasaan yang lebih tinggi. Malah membuat masalah tentang diskriminasi terus meningkat dalam
kalangan masyarakat. Dan semakin membuat kuatnya kecemburuan sosial dan kesenjangan ekonomi diantara masyarakat etnis Tionghoa dengan masyarakat
lain. Kuatnya status ekonominya dan keberpihakkan elit politik kepada
masyarakat etnis Tionghoa yang dibangun ini memiliki dampak yang cukup signifikan. Keadaan ini lah yang memicu konflik sosial antara mayarakat etnis
Tionghoa dengan masyarakat lain. Disamping itu negara Indonesia juga mengalami krisis moneter akibat memburuknya perekonomian Indonesia dan
yang terkena dampaknya atau efek dari krisis moneter adalah masyarakat etnis pribumi. Akibatnya masyarakat etnis pribumi meluapakan kemarahannya
kepada masyarakat etnis Tionghoa akibat kejengkelan politik, kegelisahan ekonomi, dan keresahan sosial yang melahirkan kasus kerusuhan yang besar di
Indonesia. Kasus kerusuhan yang terjadi pada Mei 1998 ini masih hangat di
dalam ingatan dan dibenak etnis Tionghoa dimana itu dikenal dengan “Mei Kelabu” dan merupakan kasus pergolakan yang besar bukan hanya terjadi di
Universitas Sumatera Utara
70
Jakarta saja tetapi di beberapa tempat di wilayah Indonesia seperti di Medan, Bandung dan beberapa kota besar lainnya. Menurut beliau, itu merupakan
kejadian yang tidak bisa dilupakan etnis Tionghoa. Menurut Pak Djono menjelaskan kondisi pada saat itu :
“Dolo kejadiannya ngerilah banyak etnis kita Tionghoa bahkan lari dari negara ini agar tidak terkena atau
terhindar dari dampak insiden tersebut, sebagian dari mereka tidak balik ke Indonesia karena menganggap Indonesia
tidaklah aman bagi orang kita Tionghoa namun ada juga dari mereka yang tetap kembali setelah kerusuhan berakhir karena
tidak bisa meninggalkan kehidupan mereka di Indonesia. Bagi mereka etnis Tionghoa seperti saya yang tidak pergi ke luar
negeri, saya dan keluarga pada waktu bersembunyi di rumah sendiri karena kami anggap lebih aman dan menutup semua
pintu rumah, juga saya melarang istri,anak dan para anggota keluarga saya untuk tidak keluar rumah.
Pengrusakan, pemerkosaan, penjarahan, hingga kasus pembunuhan terhadap etnis Tionghoa juga terjadi dalam tragedi kerusuhan 1998 tersebut
sangat tidaklah manusiawi pada waktu itu. Tidak diketahui dengan jelas apa penyebab munculnya konflik dan ketidaksukaan etnis lain terhadap etnis
Tionghoa. Menurut Pak Djono ada beberapa isu yang berkembang pada itu yang mengakibatkan konflik itu terjadi:
“Menurut informasi yang saya dengar sih mereka diprovokasi beberapa kelompok tertentu yang mencoba untuk
memanas situasi yaitu dengan menyerang etnis Tionghoa. Menurut laporan Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan
Mei, ternyata kasus pemerkosaan, penganiayaan, maupun pembunuhan itu digerakan oleh sekelompok orang yang
terlatih dan terselubung yang digerakkan pada waktu serentak di beberapa kota.”
Universitas Sumatera Utara
71
Akibat dari kegiatan kekerasan atau kerusuhan ini seperti penjarahan, pembunuhan, pembakaran dan penganiayaan, pembunuhan dan pemerekosaan
pada peristiwa “Mei Kelabu”, korban jiwa tidak hanya berasal dari masyarakat etnis Tionghoa saja tetapi juga dari kalangan masyarakat pribumi juga. Akibat
dari kerusuhan, tidak hanya kerugian materil saja yang dialami, ketidak berdayaan wanita masyarakat etnis Tionghoa yang diperkosa, puluhan ribu
masyarakt etnis Tionghoa yang melarikan diri ke luar negeri tetapi juga membuat trauma yang mendalam dari yang insiden yang memalukan bagi
masyarakat etnis Tionghoa sendiri yang ada di Indonesia.
4.5. Deskripsi Kondisi etnis Tionghoa setelah runtuhnya Orde Baru