nama agama.
95
Manakala di Saudi memiliki hukum diundangkan membedakan antara Saudi dan Ajnabi alien. Tarif upah untuk pekerjaan yang sama lebih tinggi untuk
Saudi. Hanya Saudi dapat dirawat di rumah sakit paling modern Riyadh multi kepada juta dolar. Bahkan Hari Nasional telah diperkenalkan termasuk membesarkan sebuah
tim sepak bola.
96
D. Faktor-Faktor Terbangunnya Nasionalisme
Nasionalisme adalah suatu kefahaman, yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Perasaan sangat
mendalam akan suatu ikatan yang erat dengan tanah tumpah darahnya, dengan tradisi- tradisi setempat dan peguasa-penguasa resmi di daerahnya selalu ada di sepanjang
sejarah dengan kekuatan yang berbeda-beda. Kefahaman nasionalisme ini makin lama makin kuat peranannya dalam membentuk semua bagi kehidupan, baik yang bersifat
umum maupun yang bersifat peribadi. Berabad-abad lamanya cita dan tujuan politik bukanlah negara-kebangsaan melainkan, setidak-tidaknya dalam teori: imperium yang
meliputi seluruh dunia, melingkupi berbagai bangsa dan golongan-golongan etnis di atas dasar peradaban yang sama serta untuk menjamin perdamaian bersama.
97
95
Abdullah al-Ahsan, Ummah or Nation?Identity Crisis in Contemporary Muslim Societ, United Kingdom: The Islamic Foundation, 1992
,
Cet. Ke-I, h .61.
96
Kalim Siddiqui, Issues in the Islamic movement, 1980-81 1400-1401, London-Toronto- Pretoria: The Open Press Limited, 1982, h. 40.
97
Hans Kohn, Nasionalisme Arti dan Sejarahnya, Jakarta: Erlanga, 1984, Cet. Ke-4, h. 11.
Terdapat faktor-faktor dan pendapat-pendapat yang berkaitan dengan nasionalisme itu beraneka ragam.
98
Dapat memastikan bahwa nasionalisme modern didasarkan atas kesamaan bahasa, sejarah, kesastraan, adat-istiadat dan kualitas-
kualitas tertentu.
99
Tidak mengejutkan bahwa nasionalisme menyebar begitu pesat dari tahun 1870-an hingga 1914. Ini merupakan suatu akibat gabungan perubahan-
perubahan politik maupun sosial, kemungkinan ditambah lagi oleh situasi internasional yang memberikan banyak alasan untuk mengungkapkan berbagai rasa
permusuhan terhadap orang-orang asing.
100
Untuk menjelaskan mengapa nasionalisme dinegara-negara jajahan tidak lagi menggunakan identitas-identitas religius dan etnis, Emerson menyebutkan dua faktor
penyebabnya. Pertama, semakin masyarakat lama hancur oleh pengaruh kekuatan Barat dalam bentuk pembangunan adminstrasi dan institusi ekonomi modern,
disamping tekanan penduduk asli, semakin kuat dan lengkap pula perasaan nasionalisme masyarakat bersangkutan. Kedua, tampilnya elit berpendidikan dari
Barat. Para elit ini sebagai kaum terdidik dan profesional yang menerjemahkan pengalaman-pengalaman nasionalis mereka dan ideologi Barat ke tingkat lokal,
menjadi pusat kristalisasi rasa ketidakpuasan massa terhadap penguasa kolonial.
101
98
Dr. M. Amin Rais, dkk, Islam dan Pembaharuan Ensiklopedi Masalah-masalah, Jakarta: Citra Niaga Rajawali Pers, 1993, Cet. Ke-III,h.144.
99
Ibid, h. 145.
100
E.J. Hobsbawm, Nasionalisme Menjelang Abad XXI, h. 124.
101
Asyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1996, h.
Dalam rangka kita menjejak akar nasionalisme, seharusnya kita menghimbau kembali intipati era renaissance, karena di sana ada beberapa faktor rinci yang telah
mencetus dan merangsang nasionalisme dalam bangsa Eropa serta dunia secara amnya. Pertama, jatuhnya hukuman pembakaran hidup-hidup ke atas Rektor
Universitas Praha Prague, John Hus di Konstanz Konstanz adalah satu daerah di perbatasan antara Switzeland dan Jerman.Kedua, terjadinya peperangan Hussenitz di
Bohemia dan Moravia sehinggga membangkitkan semangat nasionalisme di kalangan rakyat Czech. Perlu diketahui, peperangan Hussenitz ini tercetus ekoran reaksi
amarah rakyat Czech terhadap pembunuhan John Hus. Ketiga, kelahiran gerakan reformasi pimpinan Martin Luther yang lantang mengkritik keburukan institusi gereja
Katolik. Dan keempat, terdapatnya terjemahan kitab Bible dalam bahasa Jerman sehingga ia menerbitkan rasa keunggulan bangsa Aryan di dalam rakyat Jerman.
Maka dari keempat-empat faktor ini dapat kita rumuskan bahwa nasionalisme adalah ideologi Eropa ketika era renaissance di mana salah satu objektifnya asalnya adalah
untuk menanamkan kesedaran nasional di kalangan rakyatnya yang telah sekian lama ditindas dan dizalimi.
Sementara itu dalam sejarah Islam, ideologi nasionalisme mula menyerap kedalam pemikiran ummah ketika penghujung era kekaisaran Ottoman yang ketika itu
di bawah kepimpinan Sultan Abdul Hamid II di Turki. Ketika ini, empayar Ottoman sedang menghadapi krisis internal yang kronis di serata tanah naungannya. Dalam
kondisi inilah, negara Barat seperti Inggris dan Perancis telah bijak mengambil
kesempatan dengan mengalakkan pembentukan pergerakan-pergerakan yang berunsurkan nasionalisme di samping untuk mencoba membudayakan sistem
kepartaian di tanah air Muslim. Secara umum, nasionalisme muncul di dunia Muslim, yaitu ketika terjadi
pemberangusan lembaga kekhalifahan di Turki oleh Mustafa Kamal. Senada dengan asumsi itu ialah apa yang dikatakn P.J Vatikios, bahwa nasionalisme yang menjadi
sebab langsung terbentuknya negara-bangsa, berasal dari Barat, yaitu ketika agama dibatasi pada kehidupan individual di Barat, diekspor ke Timur Tengah oleh
Napoleon. Nasionalisme ini pada dasarnya tidak sesuai dengan Muslim karena identitas Islamlah sebagai agama yang menegaskan jati diri umat. Kalim, yang anti
demokrasi dengan tegas dan lugas, menyatakan bahwa nasionalisme itu tidak Islami. Namun demikian, dalam gerakan Islam tentu saja ada kendala-kendala dan
yang paling tragis adalah bahwa ternyata kolonial Barat tidak pergi begitu saja dari wilayah-wilayah Islam akan tetapi juga sudah mentraining siapa saja yang
menurutnya sesuai dengan vestedinterest mereka di negeri-negeri yang mereka tinggalkan. Mereka adalah para penguasa korup negara-bangsa yang sudah dicuci
bersih otaknya dengan gagasan-gagasan filosofis Barat.
102
Pada umumnya berpendapat bahwa Nasionalisme dapat ditelusuri dari sejarah pembubaran kekaisaran Romawi. Namun, ada kesepakatan umum di antara unsur-
102
Kalim Siddiqui, Seruan-Seruan Islam: Tanggung jawab Sosial dan Kewajiban Menegakkan Syariat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, Cet. Ke-1, h. x.
unsur dasar nasionalisme dapat ditelusuri dari zaman dahulu. Hans Kohn mengatakan: Meskipun modernitas beberapa sifat dasar nasionalisme dikembangkan
sejak lama. Akar nasionalisme muncul dari tanah yang sama dengan peradaban Barat dari bahasa Ibrani kuno dan Yunani kuno. Kedua orang memiliki kesadaran yang
jelas menjadi berbeda dari semua orang lain: adalah Ibrani, dari bangsa-bangsa lain, orang-orang Yunani dari barbar. Namun, kelompok-kelompok yang sangat kecil
dalam ukuran jika dibandingkan dengan negara-negara modern. Mereka adalah terutama kelompok etnis karena mereka dibentuk atas dasar etnis.
103
Oleh karena nasionalisme adalah sesuatu yang kurang dari universal dalam lingkup dan dengan demikian menghasilkan konflik. Namun, faktanya tetap, bahwa
meskipun nasionalisme sejati dan ringan memiliki kelebihan sendiri, faktor-faktor seperti kedekatan geografis dan bunga linguistik yang berdiri nasionalisme terlalu
terbatas dan lemah. Ini akhirnya menimbulkan hubungan bermusuhan antara bangsa- bangsa. Oleh karena itu mengatakan bahwa nasionalisme lebih berbahaya daripada
sehat”.
104
Nasionalisme seringkali hanya digunakan untuk menyediakan suatu sistem gagasan dan keyakinan terbatas mengenai politik dan masyarakat. Akibatnya,
103
Dr. Zeenath Kausar, Islam and Nationalism: An Analysis of the views of Azad, Iqbal and Maududi Kuala Lumpur: A.S. Noordeen Pustaka Hayati, 1994, Cet.Ke-I, h.38.
104
Dr. Zeenath Kausar, Islam and Nationalism: An Analysis of the views of Azad, Iqbal and Maududi, h. 37.
kekerasan lebih digunakan ketimbang persuasi dalam pencapaian sasaran-sasaran yang acapkali tidak dapat dijangkau.
105
Maka dari itu, nasionalisme bukan ide yang layak untuk membangkitkan umat manusia. Sebab dalam suatu kebangkitan, diperlukan suatu pemikiran yang
menyeluruh fikrah kulliyah tentang kehidupan, alam semesta, dan manusia, serta pemikiran tertentu tentang kehidupan untuk memecahkan permasalahan kehidupan.
106
Negara-negara Kapitalis seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis, telah menggariskan langkah politik untuk memperkokoh atau mempertahankan eksistensi
dan pengaruhnya dengan cara memecah belah sebuah kekuatan politik dan merekayasa berbagai konflik dan kekacauan di antara kelompok-kelompok
masyarakat. Bila kondisi sudah tercipta, nasionalisme akan datang dengan kedok hak menentukan nasib sendiri, atau isu bangsa yang berdaulat dan merdeka, dan
sebagainya. Untuk memperkokoh embrio nasionalisme itu, Barat merekayasa partai-partai
politik di Arab dan Turki untuk menentang Khilafah, seperti Partai Al Fatah di Turki, partai Ittihad wa Taraqqi Partai Persatuan dan Kemajuan, atau dikenal pula dengan
sebutan Turki Muda, Partai Kemerdekaan Arab, dan Partai Perjanjian Ahd. Pada tahun 1916 meletuslah Revolusi Arab, yang bertujuan untuk memisahkan negeri-
105
Anthony D.smith, Nasionalisme Teori, Ideologi, Sejarah, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003, h
.
28.
106
Taqiyuddin al-Nabhani, Ad-Dawlah Al-Islamiyah, Beirut: Darul Ummah, 2002, h. 30.
negeri Arab dari Khilafah. Puncaknya adalah tahun 1916 tatkala negara Khilafah dapat dikuasai secara militer. Jenderal Lord Allenby memasuki kota Yerussalem Al
Quds dan berkata, Hari ini Perang Salib telah berakhir. Sejak detik itulah negeri- negeri Islam menjadi bagaikan potongan-potongan daging bangkai yang dimangsa
burung-burung nasar, tercerai berai dan terpenggal-penggal sesuai dengan perjanjian rahasia Sykes-Picot 1915 di antara negara-negara imperialis untuk membagi-bagi
negeri-negeri Islam. Dari semua ini akan menjadi jelas, bahwa perkembangan nasionalisme adalah
proses sejarah yang dapat dilihat. Ini terjadi di beberapa negeri tertentu, itu terjadi menurut cara tertentu, dan itu menciptakan suatu suasana tertentu, yang terwujud di
dalam idea nasionalis. Dengan terbuka alat-alat perhubungan bagi dunia modern, sebuah pokok pikiran yang berkembang di suatu tempat dapat dengan cepat menjadi
milik seluruh manusia.
107
107
Barbara Ward, Lima Pokok Pikiran Yang Mengubah Dunia, Jakarta Pusat: PT Dunia Pustaka Jaya, 1983, Cet. Ke-3, h. 23.
BAB IV PEMIKIRAN-PEMIKIRAN KALIM AL-SIDDIQUI