Penyelewengan Pidana Kewenangan Notaris Dalam Status Tersangka Menjalankan Tugas Sebagai Pejabat Umum Membuat Akta Otentik

C. Penyelewengan Yang Dapat Dilakukan Oleh Notaris 1. Penyelewengan Prosedural

Dalam menjalankan tugasnya sehari-hari dalam pembuatan akta, notaris dituntut untuk lebih berhati-hati. Dalam prosedur pembuatan akta notaris, notaris diwajibkan memeriksa identitas penghadap seperti Kartu Tanda Penduduk KTP, Kartu Keluarga yang masih berlaku atau apabila tidak mempunyai KTP sebagai bukti identitas diri, notaris dapat meminta identitas lain seperti Surat Izin Mengemudi SIM, Kartu Pelajar. Bagi warga negara asing sebagai ganti dari identitas seperti KTP dan SIM, kepada penghadap dapat dimintakan Pasport. Setelah seluruh persyaratan tersebut dilengkapi oleh penghadap maka barulah kemudian akta dapat dibuat oleh notaris. Dalam hal pemenuhan prosedur tersebut ada juga notaris yang melakukan penyimpangan. Meskipun telah diketahui bahwa identitas tersebut tidak sesuai dengan penghadap namun akta notaris tetap dibuat oleh notaris yang bersangkutan.

2. Penyelewengan Pidana

Selain penyelewengan prosedural, notaris dalam melaksanakan tugas jabatannya dapat juga melakukan penyelewengan pidana. Penyelewengan pidana ini antara lain : a. Pemalsuan Akta Dalam hal ini dimana seorang notaris ikut terlibat dengan keinginan penghadap untuk memberikan keuntungan sepihak kepada penghadap. Notaris berkolusi dengan penghadap dalam hal pembuatan akta. Pemalsuan akta ini dapat berupa pemalsuan tanda tangan oleh penghadap yang diketahui oleh notaris bersangkutan. b. Pemalsuan Keterangan Sebelum melakuakan pembuatan akta, notaris juga terlebih dahulu meminta keterangan dari penghadap. Keterangan penghadap inilah yang nantinya akan dituangkan oleh notaris ke dalam akta. Dalam hal mengambil keterangan dari penghadap notaris juga dapat terlibat ikut serta dalam pemalsuan keterangan ini. Notaris berkolusi dengan penghadap dalam hal pemuatan keterangan palsu yang akan dibuat di dalam akta otentik.

D. Prosedur Penyidikan Terhadap Notaris yang Dilaporkan Telah Melakukan Tindak Pidana

Pemeriksaan atas pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris harus dilakukan pemeriksaan yang holistik-integral dengan melihat aspek lahiriah, formal dan materil akta Notaris, serta pelaksanaan tugas jabatan Notaris sesuai wewenang Notaris, di samping berpijak pada aturan hukum yang mengatur tindakan pelanggaran yang dilakukan Notaris. Juga perlu dipadukan dengan realitas praktik Notaris. Dalam kaitan ini, menurut Meijers diperlukan adanya kesalahan besar hardschuldrecht untuk perbuatan yang berkaitan dengan pekerjaan di bidang ilmu pengetahuan wetenschappelijke arbeiders seperti notaris. 63 Notaris bukan tukang membuat akta atau orang yang mempunyai pekerjaan membuat akta, tapi notaris dalam menjalankan tugas jabatannya didasari atau dilengkapi berbagai ilmu pengetahuan hukum dan ilmu-ilmu lainnya yang harus dikuasai secara terintegrasi oleh notaris. Akta yang dibuat di hadapan atau oleh notaris mempunyai kedudukan sebagai alat bukti, dengan demikian notaris harus mempunyai capital intellectual yang baik dalam menjalankan tugas jabatannya. Pemeriksaan terhadap notaris kurang memadai jika dilakukan oleh mereka yang belum mendalami dunia notaris, artinya mereka yang akan memeriksa notaris harus dapat membuktikan kesalahan besar yang dilakukan notaris secara intelektual, dalam hal ini kekuatan logika hukum yang diperlukan dalam memeriksa notaris, bukan logika kekuatan ataupun kekuasaan yang diperlukan dalam memeriksa notaris. Dalam pemeriksaan terhadap seorang notaris yang dilaporkan telah melakukan perbuatan tindak pidana diatur di dalam UUJN Pasal 66. Namun hal pemanggilan tersebut lebih rinci lagi diatur di dalam Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.03.HT.03.10 TAHUN 2007 Tentang Pengambilan Minuta Akta Dan Pemanggilan Notaris. Prosedur pemanggilan 63 Herlien Budiono, Pertanggung jawaban Notaris Berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Dilema Notaris di antara Negara Masyarakat, dan Pasar,” Renvoi No.4.28.III, 3 September 2005, hal. 37. tersebut diatur dalam BAB IV mengenai Syarat Dan Tata Cara Pemanggilan Notaris Pasal 14 yang mengatakan : 1 Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim untuk kepentingan proses peradilan dapat memanggil Notaris sebagai saksi, tersangka atau terdakwa dengan mengajukan permohonan tertulis kepada Majelis Pengawas Daerah. 2 Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tembusannya disampaikan kepada Notaris. 3 Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 memuat alasan pemanggilan Notaris sebagai saksi, tersangka atau terdakwa. Terhadap pemanggilan Notaris tersebut tidak semena-mena langsung ditanggapi oleh Majelis Pengawas Daerah MPD. MPD akan mempelajari terlebih dahulu pemanggilan tersebut dan melakukan pemeriksaan terhadap Notaris yang bersangkutan. Apabila dalam pemeriksaan ada ditemukan indikasi bahwa Notaris tersebut melakukan penyimpangan prosedur pembuatan akta dari Kode Etik maka MPD baru memberikan ijin ataupun persetujuan kepada kepolisian terhadap pemanggilan tersebut. Namun apabila dalam pemeriksaan Notaris tersebut MPD tidak menemukan adanya indikasi pelanggaran tindak pidana maka MPD mempunyai kewenangan untuk tidak memberikan persetujuan terhadap pemanggilan tersebut. Persetujuan dari MPD akan diberikan melalui surat resmi atau secara tertulis. 64 Dalam Pasal 15 Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia tersebut dikatakan bahwa Majelis Pengawas Daerah akan memberikan persetujuan pemanggilan Notaris apabila ada dugaan tindak pidana berkaitan dengan minuta akta danatau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol notaris dalam 64 Wawancara dengan Notaris Suprayetno, SH, MKn pada tanggal 5 Maret 2009 penyimpanan notaris atau belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan tentang daluwarsa dalam peraturan perundang-undangan di bidang pidana. Adapun tindak pidana yang berkaitan dengan jabatan notaris yang diatur di dalam beberapa pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana seperti : 1. Pemalsuan surat pada Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pidana penjara paling lama enam tahun. Notaris IG memalsukan surat tanda bukti setoran BPHTB. 2. Pemalsuan surat yang dilakukan pada akta otentik pada Pasal 264 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana, dengan pidana penjara paling lama delapan tahun. Notaris SS di Medan. 3. Pemberian keterangan palsu dalam suatu akta otentik pada Pasal 266 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Notaris TPS di Deli Serdang mebuat keterangan palsu. 4. Membuka rahasia pada Pasal 322 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah. Tahapan proses pemeriksaaan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, yakni : 1. Pemeriksaan pendahuluan adalah pemeriksaaan yang dilakukan untuk pertama kalinya oleh polisi baik sebgai penyelidik maupun penyidik, apabila ada dugaan hukum pidana dilanggar, terdiri dari: a. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyelidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang. b. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang; c. Penangkapan adalah suatu tindakan dari penyidik, berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan. Peintah penangkapan hanya dapat dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras telah melakukan tindak pidana berdsarkan bukti permulaan yang cukup Pasal 17 KUHP bukti permulaan berarti bukti-bukti awal sebagai dasar untuk menduga adanya tindak pidana; d. Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya. Alasan untuk melakukan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa menurut Pasal 21 1 KUHP adalah : 1 Tersangka atau Terdakwa dikahwatirkan melarikan diri; 2 Tersangka atau Terdakwa dikhawatirkan akan merusak atau menghilangkan barang bukti; dan 3 Tersangka atau Terdakwa dikahwatirkan akan melakukan lagi tindak pidana; Jenis-jenis penahanan, yakni : a. Penahanan Rumah Tahanan Negara ; b. Penahanan Rumah; c. Penahanan Kota ; e. Penggeledahan adalah tindakan penyidik memeriksa suatu tempat tertutup atau badan seseorang, untuk mendapatkan bukti-bukti yang berhubungan dengan suatu tindak pidana; f. Penyitaan adalah suatu cara yang dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berwenang untuk menguasai sementara waktu barang-barang baik yang merupakan milik terdakwa atau tersangka ataupun bukan, tetapi berasal dari atau ada hubungannya dengan suatu tindak pidana dan berguna untuk pembuktian; g. Pemeriksaan dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan perkara, maka penyidik dapat melakukan pemeriksaan saksi. Saksi yang diperiksa pada tingkat penyidikan memberikan keteranganya tanpa disumpah terlebih dahulu; 2. Pemeriksaan di sidang pengadilan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk menentukan apakah dugaan bahwa seseorang yang telah melakukan tindak pidana itu dapat dipidana atau tidak, terdiri dari; a. Pemeriksaan adalah berupa pemeriksaan alat-alat bukti dipersidangan yakni Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk dan Keterangan terdakwa. b. Penuntutan adalah tindak Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwewenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputuskan oleh Hakim di Sidang Pengadilan; Segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan notaris yang menimbulkan permasalahan hukum pidana harus mendapat persetujuan dari Majelis Pengawas Notaris. Untuk kelancaran proses penyidikan atau pemeriksaan terhadap notaris yang menjadi tersangka dan terdakwa, perlu kiranya polisi atau kejaksaan konsultasi terlebih dahulu dengan Majelis Pengawas Notaris. Sebelum memberikan persetujuan, maka Majelis Pengawas Notaris akan melakukan pemeriksaan terlebih dahulu terhadap notaris tersebut dan bersamaan dengan itu Majelis Pengawas Notaris juga akan meminta keterangan dari Penyidik atau Penuntut UmumJaksa, mengapa sampai memanggil notaris sebagai saksiterangka. Hasil pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris inilah yang akan menentukan relevansinya atau tidaknya notaris itu dipanggil oleh Polisi penyidik atau JaksaPenuntut Umum untuk diperiksa. Berdasarkan ketentuan Pasal 66Undang- Undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notris menyatakan bahwa : 1. Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwewenang : a. mengambil fotokopi Minuta Akta danatau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris; dan b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. 2. Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a, dibuat berita acara penyerahan. Dalam nota Kesepahaman antara Ikatan Notris Indonesia dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia Tentang Pembinaan Dan Peningkatan Profesionalisme di Bidang Penegakan Hukum yang terdiri dari 3 BAB dan 6 pasal, di mana Bab I berisi tentang ketentuan umum berkaitan dengan tindakan hukum seseorang yang diduga terlibat dalam suatu tindak pidana. Bab II berkaitan dengan pemanggilan notaris berkaitan dengan pemeriksaan oleh penyidik kepada notaris serta tata cara penyitaan akta notaris. Bab III berkaitan dengan pembinaan dan penyuluhan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan profesionalisme dari notaris dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam Pasal 2 Nota Kesepahaman antara Ikatan Notaris Indonesia dengan Kepolisian Republik Indonesia tersebut menyatakan bahwa: 65 1. Tindakan pemanggilan terhadap Notaris harus dilakukan secara tertulis dan ditandatangani oleh penyidik. 2. Pemanggilan Notaris dilakukan setelah penyidik memperoleh persetujuan dari majelis Pengawas yang merupakan suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan. 3. Surat pemangilan harus jelas mencantumkan alasan pemanggilan, status yang dipanggil sebagai saksi atau tersangka, waktu dan tempat, serta pelaksanaannya tepat waktu. 4. Surat pemanggilan diberikan selambat-lambatnya 3 tiga hari sebelumnya ataupun tenggang waktu 3 tiga hari terhitung sejak tanggal diterimanya surat panggilan tersebut sebagaimana yang tercatat dalam penerimaan untuk 65 Nota kesepakatan antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Ikatan Notaris Indonesia No.Pol : B1056V2006 dan Nomor: 01MOUPP-INIV2006 Tentang Pembinaan dan Peningkatan Profesionalisme di Bidang Penegakan Hukum. mempersiapkan bagi Notaris yang dipanggil guna mengumpulkan data- databahan-bahan yang diperlukan. 5. Dengan adanya surat pemanggilan yang sah menurut hukum, maka Notaris wajib untuk memenuhi panggilan penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 112 ayat 2 KUHAP. 6. Apabila Notaris yang dipanggil dengan alasan sah menurut hukum tidak dapat memenuhi panggilan penyidik, maka penyidik dapat datang ke kantortempat kediaman Notaris yang dipanggil untuk melakukan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 113 KUHAP. Pasal 3 Nota Kesepakatan antara Ikatan Notaris Indonesia dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa dalam hal tindakan penyidik untuk melakukan pemeriksaan Notaris yang berkaitan dengan suatu peristiwa pidana khususnya yang berkenaan dengan akta-akta yang dibuat, mengcu kepada Pasal 7 ayat 1, Pasal 116, Pasal 117 KUHP, Undang-Undang tentang Jabatan Notaris, dan petunjuk Mahkamah Agung Republik Indonesia NO.MAPemb342586 tanggal 12 April 1986, antara lain sebagai berikut : a. Notaris yang akan diperiksa atau dimintai keterangan harus jelas kedudukan dan perannya, apakah sebagai saksi atau tersangka terhadap akta-akta yang dibuatnya danatau selaku pemegang protokol; b. Dalam kedudukan dan perannya sebagai saksi, maka pemeriksaan tidak perlu dilakukan penyumpahan kecuali cukup kuat alasan bahwa ia tidak dapat hadir dalam pemeriksaan disidang pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 116 ayat 1 KUHP; c. Notaris berhak mengetahui kesaksian apa yang diperlukan oleh Penyidik danatau tentang sangkaan apa yang dituduhkan kepadanya; d. Sedapat mungkin pemeriksaan dilakukan oleh penyidik kecuali terdapat alasan yang patut dan wajar, serta dapat dimengerti maka pemeriksaan dapat dilakukan oleh Penyidik Pembantu ; e. Pemeriksan dilakukan ditempat dan waktu sebagaimana tersebut dalam surat panggilan atau ditempat dan waktu yang telah disepakati antara penyidik dan Notaris yang dipanggil sesuai dengan alasan yang sah menurut Undang- Undang. f. Notaris yang dipanggil sebagai saksi, wajib hadir dan memberi keterangan yang diperlukan tentang apa yang dilihat, diketahui, didengar dan dialami dalam obyek pemeriksaan peristiwanya secara benar dengan mengingat sumpah jabatan dan ketentuan-ketenuan Undang-Undang Jabatan Notaris serta perundang-undangan lain-nya. g. Dalam kaitanya dengan sumpah Jabatan Notaris Pasal 4 ayat 2, Pasal 16 ayat 1 huruf e, dan Pasal 54 Undang-Undang Jabatan Notaris Notaris dapat meminta untuk dibebaskan dari kewajiban memberikan keterangan sebagai saksi sebagaimana diatur dalam Pasal 170 KUHP atau dapat menolak memberikan keterangan sebagaimana diatur di dalam Pasal 120 ayat 2 KUHP; h. Hak ingkartolak Notaris dapat dilepaskan demi kepentingan hukum atau kepentingan umum yang lebih tinggi nilainya dari kepentingan pribadi yang berkaitan dengan isi akta ataupun berdasarkan adanya peraturan umum yang memberikan pengecualian sebagaimana ditegskan dalam Pasal 4 ayat 2, Pasal 16 ayat 1 huruf e dan Pasal 54 Undang-Undang Jabatan Notaris; i. Notaris yang disangka melakukan tindakan pidana berkenaan dengan akta yang dibuatnya, berhak mendapat bantuan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 54 KUHAP atau didampingi oleh pengurus INI berdasarkan surat penugasan; j. Pemeriksaan terhadap Notaris dilakukan tanpa adanya tekanan dan paksaan dari penyidikpetugas; k. Dalam hal Notaris yang diperiksa sebagai tersangka dan tidak terbukti adanya unsur-unsur pidana, maka penyidik wajib menerbitkan Surat Perintah Pemberhentian Penyidikan SP3 dalam waktu secepat-cepatnya setelah pemeriksaan baik saksi, tersangka maupun alat bukti dinyatakn selesai; Pasal 4 Nota kesepahaman antara Ikatan Notaris Indonesia dengan Kepolisian Republik Indonesia menyatakan bahwa: 1. Tindakan Penyidik berupa penyitaan terhadap Akta Notaris danatau protokol yang ada dalam penyimpanan Notaris untuk membuktikan perkara pidananya danatau keterlibatan Notaris sebagai tersangka, maka Penyidik harus memperhatikan prosedur sebagaimana diatur dalam Pasal 66 Undang- Undang Jabatan Notaris serta Petunjuk Mahkamah Agung RI No. MAPemb342986 tanggal 12 April 1986; 2. Tata cara yang ditempuh dalam penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 adalah sebagai berikut: a. Penyidik mengajukan permohonan kepada Majelis Pengawas di tempat kedudukan Notaris yang bersangkutan berada; b. Surat permohonan tersebut menjelaskan secara rinci relevansi dan urgensinya untuk membuka rahasia suatu minuta akta Notaris, demi kelancaran kepentingan proses penyidikan suatu perkara pidana; c. Dalam mengajukan surat permmohonan kepada Majelis Pengawa, Notaris yang bersangkutan wajib diberi tembusan, dengan demikian Notaris dapat memberikan pertimbangan kepada Majelis Pengawas, baik diminta maupun tidak; d. Apabila terhadap persetujuan Majelis Pengawas sebagaimana dimaksud pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris diberikan, maka penyidik diberikan foto kopi minuta akta danatau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris, setelah disahkan oleh Notaris yang bersangkutan sesuai dengan aslinya, dan dibuat Berita Acara Penyerahan. e. Dalam hal diperlukan pemeriksaan laboratorium terhadap minuta akta danatau protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris, maka atas ijin Majelis Pengawas Daerah Notaris maka Penyidik dapat membawa bundel minuta akta tersebut ke Laboratorium Forensik Labfor yang telah ditentukan. Dalam hal pemanggilan notaris oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai saksi, penyidik Polri harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Majelis Pengawas Notaris. Penyidik akan menyurati terlebih dahulu Majelis Pengawas Notaris yang tembusannya diberikan kepada notaris bersangkutan. Dalam surat pemanggilan tersebut penyidik harus mencantumkan alasan pemanggilan notaris tersebut. Dalam tingkat penyidikan awal notaris yang dipanggil pada umumnya statusnya masih sebagai saksi. Pemanggilan terhadap notaris tersebut berkaitan dengan akta notaris yang dibuatnya. 66 66 Hasil wawancara dengan Kepala Satuan Tindak Pidana Umum Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Sumatera Utara Komisaris Pol Edison Sitepu, SH, M.Hum pada tanggal 24 Maret 2009 Pemanggilan notaris oleh penyidik Polri sebagai saksi dalam kapasitasnya sebagai pejabat umum yang membuat akta otentik harus memerlukan ijin dari Majelis Pengawas Notaris namun apabila tindak kejahatan notaris tersebut tidak menyangkut jabatan maka kepolisian tidak perlu meminta ijin dari Majelis Pengawas Notaris. 67 Sebagai penuntut umum kejaksaan tidak perlu lagi meminta ijin kepada Majelis Pengawas Notaris dalam hal pemanggilan seorang notaris yang telah melakukan tindak pidana. Kejaksaan hanya menerima pelimpahan kasus dari kepolisian. Apabila berkas-berkas telah dilengkapi oleh polisi sebagai penyidik barulah kemudian berkas tersebut diberikan kepada pihak kejaksaan berkas P 21. Dalam hal ini notaris sebagai tersangka telah menjadi status tahanan kejaksaan. Namun apabila notaris tersebut hanya sebagai saksi yang akan dimintai keterangannya oleh kejaksaan maka pihak kejaksaan akan meminta ijin terlebih dahulu dari Majelis Pengawas Notaris. 68 Notaris adalah juga seorang pejabat umum. Pemanggilan terhadap seorang pejabat umum sebagai saksi tidak sama dengan pemanggilan terhadap masyarakat umum. Pemanggilan terhadap seorang pejabat memerlukan ijin ataupun harus sepengetahuan atasan ataupun lembaga. Demikian juga pemanggilan terhadap notaris sebagai seorang pejabat umum harus ada ijin dari Majelis Pengawas Notaris. Hal ini 67 Hasil wawancara dengan Kepala Satuan Tindak Pidana Umum Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Sumatera Utara Komisaris Pol Edison Sitepu, SH, M.Hum pada tanggal 24 Maret 2009 68 Hasil wawancara dengan Yos Gernold Tarigan,SH Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Medan pada tanggal 27 Februari 2009 sesuai dengan yang diamanatkan di dalam Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris nomor 30 Tahun 2004. 69 69 Hasil wawancara dengan Erlinawati,SH Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Medan, pada tanggal 27 Februari 2009

BAB III KEWENANGAN NOTARIS SEBAGAI TERSANGKA DALAM

MENJALANKAN TUGAS JABATANNYA

A. Kewenangan Notaris Sebagai Pejabat Umum 1. Notaris Sebagai Pejabat Umum

Istilah Pejabat Umum 70 merupakan terjemahan dari istilah Openbare Amtbtenaren yang terdapat dalam Pasal 1 PJN 85 dan Pasal 1868 Burgerlijk Wetboek BW. 71 Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris menyebutkan bahwa : 72 De notarissen zijn openbare ambtenaren, uitsluitend bevoegd, om authentieke akten op te maken wegens alle handelingen, overeenkomsten en beschikkingen, waarvan eene algemeene verordening gebiedt of de belanghebbenden verlangen, dat bij authentiek geschrift blijken zal, daarvan de dagtekenig te verzekeren, de akten in bewaring te houden en daarvan grossen, afschrif akten en uittreksels uit te geven; alles voorzoover het opmaken dier akten door ene algemene verordening niet ook aan andere ambtenaren of personen opgedragen of voorbehouden is. Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan 70 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia MKRI dengan Putusan nomor 009-014PUU- 1112005, tanggal 13 September 2005 mengistilahkan Pejabat Umum sebagai Public Official. 85 Istilah Openbare Amtbtenaren yang terdapat dalam Art. 1 dalam Regelement op het Notaris Ambt in Indonesia Ord. van Jan. 1860 5.1860-3, diterjemahkan menjadi Pejabat Umum oleh G.H.S. Lumban Tobing , op cit., hal.v. 71 Istilah Openbare Amtbtenaren yang terdapat dalam Pasal 1868 SW diterjemahkan menjadi Pejabat Umum oleh R. Subekti dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983. 72 G.H.S.LumbanTobing, op.cit., hal.31. 60 umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. Pasal 1868 KUH Perdata menyebutkan : Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat. Pasal 1 angka 1 UUJN menyebutkan: Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Menurut Kamus Hukum 73 salah satu arti dari Ambtenaren adalah Pejabat. Dengan demikian Openbare 74 Ambtenaren adalah pejabat yang mempunyai tugas yang bertalian dengan kepentingan publik, sehingga tepat jika Openbare Ambtenaren diartikan sebagai Pejabat Publik. Khusus berkaitan dengan Openbare Ambtenaren yang diterjemahkan sebagai Pejabat Umum diartikan sebagai pejabat yang diserahi tugas untuk membuat akta otentik yang melayani kepentingan publik, dan kualifikasi seperti itu diberikan kepada Notaris. Aturan hukum sebagaimana tersebut di atas yang mengatur keberadaan Notaris tidak memberikan batasan atau definisi mengenai Pejabat Umum, karena sekarang ini yang diberi kualifikasi sebagai Pejabat Umum bukan hanya Notaris saja, Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT juga diberi kualifkasi sebagai Pejabat Umum, Pejabat Lelang. Pemberian kualifikasi sebagai Pejabat Umum kepada pejabat lain 73 N. E. Algra, H.R.W. Gokkel dkk., dalam Habib Ajie, op cit., hal. 27. 74 Saleh Adiwinata, A. Teloeki, H. Boerhanoeddin St. Batoeah, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda Indonesia, Binacipta, 1983, hal. 363, istilah Openbare diterjemahkan sebagai Umum. selain Pejabat Umum, bertolak belakang dengan makna dari Pejabat Umum itu sendiri, karena seperti PPAT hanya membuat akta-akta tertentu saja yang berkaitan dengan pertanahan dengan jenis akta yang sudah ditentukan, dan Pejabat Lelang hanya untuk lelang saja. Pemberian kualifikasi Notaris sebagai Pejabat Umum berkaitan dengan wewenang Notaris. Menurut Pasal 15 ayat 1 UUJN bahwa Notaris berwenang membuat akta otentik, sepanjang pembuatan akta-akta tersebut tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. Pemberian wewenang 75 kepada pejabat atau instansi lain, seperti Kantor Catatan Sipil, tidak berarti memberikan kualifikasi sebagai Pejabat Umum tapi hanya menjalankan fungsi sebagai Pejabat Umum saja ketika membuat akta-akta yang ditentukan oleh aturan hukum, dan kedudukan mereka tetap dalam jabatannya seperti semula sebagai Pegawai Negeri. Misalnya akta-akta, yang dibuat oleh Kantor Catatan Sipil juga termasuk akta otentik. Kepala Kantor Catatan Sipil yang membuat dan menandatanganinya tetap berkedudukan sebagai Pegawai Negeri. Berdasarkan pengertian di atas, bahwa Notaris berwenang membuat akta sepanjang dikehendaki oleh para pihak atau menurut aturan hukum wajib dibuat dalam bentuk akta otentik. Pembuatan akta tersebut harus berdasarkan aturan hukum yang berkaitan dengan prosedur pembuatan akta Notaris, sehingga Jabatan Notaris sebagai Pejabat Umum tidak perlu lagi diberi sebutan lain yang berkaitan dengan kewenangan Notaris: seperti Notaris sebagai Pembuat Akta Koperasi berdasarkan 75 Wawan Setiawan, op. cit., hal. 7. Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia nomor 98KEP M.KUKMIX2004, tanggal 24 September 2004 tentang Notaris Sebagai Pejabat Pembuat Akta Koperasi, kemudian Notaris sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf PPAIW berdasarkan Pasal 37 ayat 3 dan 4 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Pemberian sebutan lain kepada Notaris seperti tersebut di atas telah mencederai makna Pejabat Umum. Seakan-akan Notaris akan rnempunyai kewenangan tertentu jika disebutkan dalam suatu aturan hukum dari instansi pemerintah. 76 Dalam penataan kelembagaan hukum, khususnya untuk Notaris, cukup untuk Notaris dikategorikan sebagai Pejabat Umum atau sebutan lain sebagaimana tersebut di bawah ini saja dan tidak perlu menempelkan atau memberikan sebutan lain kepada Notaris. Jika suatu institusi ingin melibatkan Notaris dalam rangka pengesahan suatu dokumen atau Surat atau dalam pembuatan dokumen-dokumen hukum, cukup dengan petunjuk bahwa untuk hal-hal tertentu wajib dibuat dengan akta Notaris, contohnya: 1. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menegaskan bahwa perseroan terbatas didirikan dengan akta Notaris. 2. Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menegaskan bahwa akta Jaminan Fidusia dibuat dengan akta Notaris. 76 Habib Adjie, Penggerogotan Wewenang Notaris Sebagai Pejabat Umum, Renvoi. Nomor 04. Th. II, 3 September 2004, hlm. 32. 3. Pasal 9 ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan menegaskan bahwa yayasan didirikan dengan akta Notaris. 4. Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, menentukan bahwa pendirian partai politik harus dengan akta Notaris. Meskipun bukan sebagai badan hukum, namun Undang-Undang Partai Politik mengharuskan pendirian suatu partai politik harus berdasarkan suatu akta notaris. Selain itu, dalam BW untuk tindakan hukum tertentu diwajibkan dalam bentuk akta otentik, yaitu : a. Berbagai izin kawin, baik dari orang tua atau kakeknenek Pasal 71; b. Pencabutan pencegahan perkawinan Pasal 70; c. Berbagai perjanjian kawin berikut perubahannya Pasal 147, 148; d. Kuasa melangsungkan perkawinan Pasal 79; e. Hibah berhubung dengan perkawinan dan penerimaannya Pasal 176, 177; f. Pembagian harta perkawinan setelah adanya putusan pengadilan tentang pemisahan harta Pasal 191; g. Pemulihan kembali harta campur yang telah dipisah Pasal 196; h. Syarat-syarat untuk mengadakan perjanjian pisah meja dan ranjang Pasal 237; i. Pengakuan anak luar kawin Pasal 281; j. Pengangkatan wali Pasal 355; k. Berbagai macamjenis Surat wasiat, termasukdiantaranya penyimpanan wasiat umum, wasiat pendirian yayasan, wasiat pemisahan dan pembagian harta peninggalan, fideicomis, pengangkatan pelaksana wasiat dan pengurus harta peninggalan dan pencabutannya Bab Ketigabelas -Tentang Surat Wasiat; l. Berbagai akta pemisahan dan pembagian harta peninggalanwarisan Bab Ketujuhbelas - Tentang Pemisahan Harta Peninggalan; m. Berbagai hibahan Bab Kesepuluh - Tentang Hibah, dan Protes nonpembayaranakseptasi Pasal 132 dan 143 KUHD. Dengan demikian Pejabat Umum merupakan suatu jabatan yang disandang atau diberikan kepada mereka yang diberi wewenang oleh aturan hukum dalam pembuatan akta otentik. Notaris sebagai Pejabat Umum kepadanya diberikan kewenangan untuk membuat akta otentik. Oleh karena itu Notaris sudah pasti Pejabat Umum, tapi Pejabat Umum belum tentu Notaris, karena Pejabat Umum dapat disandang pula oleh Pejabat Pembuat AktaTanah PPAT atau Pejabat Lelang. Dalam Pasal 1 huruf a disebutkan bahwa Notaris : de ambtenaar, Notaris tidak lagi disebut sebagai Openbaar Ambtenaar sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 Wet op het Notarisambt yang lama diundangkan tanggal Juli 1842, Stb. 20. Tidak dirumuskan lagi Notaris sebagai Openbaar Ambtenaar, sekarang ini tidak dipersoalkan apakah Notaris sebagai Pejabat Umum atau bukan, dan perlu diperhatikan bahwa istilah Openbaar Ambtenaar dalam konteks ini tidak bermakna umum, tetapi bermakna Publik. 77 Ambt pada dasarnya adalah jabatan publik. Dengan demikian Jabatan Notaris adalah Jabatan Publik tanpa perlu atribut Openbaar. 78 Penjelasan Pasal 1 huruf a tersebut di atas bahwa penggunaan istilah Notaris sebagai Openbaar Ambtenaar sebagai tautologie. 79 77 Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, hal. 80. 78 Ibid., hal. 80. 79 S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia, Ichtiar Baru - Van Hoeve, Jakarta, 1990, hal.. 80, menyatakan tourologie adalah deretan atau urutan kata yang memiliki pengertian yang hampir lama. Jika ketentuan dalam Wet op het Notarisambt tersebut di atas dijadikan rujukan untuk memberikan pengertian yang sama terhadap ketentuan Pasal 1 angka 1 UUJN yang menyebutkan Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat 2 dan 3 UUJN. Maka Pejabat Umum yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 UUJN harus dibaca sebagai Pejabat Publik atau Notaris sebagai Pejabat Publik yang berwenang untuk membuat akta otentik sesuai Pasal 15 ayat 1 UUJN dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat 2 dan 3 UUJN dan untuk melayani kepentingan masyarakat. Menurut Habib Adjie: ”Notaris sebagai Pejabat Publik, dalam pengertian mempunyai wewenang dengan pengecualian. Dengan rnengkategorikan Notaris sebagai Pejabat Publik. Dalam hal ini Publik yang bermakna hukum, bukan Publik sebagai khalayak umum. Notaris sebagai Pejabat Publik tidak berarti sama dengan Pejabat Publik dalam bidang pemerintah yang dikategorikan sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, hal ini dapat dibedakan dari produk masing- masing Pejabat Publik tersebut. Notaris sebagai Pejabat Publik produk akhirnya yaitu akta otentik, yang terikat dalam ketentuan hukum perdata terutama dalam hukum pembuktian. Akta tidak memenuhi syarat sebagai Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat konkret, individual dan final. Serta tidak menimbulkan akibat hukum perdata bagi seseorang atau badan hukum perdata, karena akta merupakan formulasi keinginan atau kehendak wilsvorming para pihak yang dituangkan dalam akta Notaris yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris. Sengketa dalam bidang perdata diperiksa di pengadilan umum negeri. Pejabat Publik dalam bidang pemerintahan produknya yaitu Surat Keputusan atau Ketetapan yang terikat dalam ketentuan Hukum Administrasi Negara yang memenuhi syarat sebagai penetapan tertulis yang bersifat, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata, dan Sengketa dalam Hukum Administrasi diperiksa di Pengadilan Tata Usaha Negara. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Notaris sebagai Pejabat Publik yang bukan Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara”. 80 Berdasarkan uraian di atas, maka Notaris dalam kategori sebagai Pejabat Publik yang bukan Pejabat Tata Usaha Negara, dengan wewenang yang disebutkan dalam aturan hukum yang mengatur jabatan Notaris, sebagaimana tercantum dalam Pasal 15 UUJN. Selanjutnya Habib Adjie mengemukakan: ”Jabatan Notaris diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum. Dengan dasar seperti ini mereka yang diangkat sebagai Notaris harus mempunyai semangat untuk melayani masyarakat, dan atas pelayanan tersebut, masyarakat yang telah merasa dilayani oleh Notaris sesuai dengan tugas jabatannya, dapat memberikan honorarium kepada Notaris. Oleh karena itu Notaris tidak berarti apa-apa jika masyarakat tidak membutuhkannya.” 81 Dengan demikian Notaris merupakan suatu jabatan yang mempunyai karateristik, yaitu :

a. Sebagai Jabatan

UUJN merupakan unifikasi di bidang pengaturan Jabatan Notaris, artinya satu-satunya aturan hukum dalam bentuk undang-undang yang mengatur Jabatan Notaris di Indonesia, sehingga segala hal yang berkaitan Notaris di Indonesia harus mengacu kepada UUJN. 82 80 Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administrasi Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, PT. Refika Aditama, Bandung, 2008, hal. 31-32. 81 Ibid., hal. 42. 82 Habib Adjie, Undang-Undang Jabatan Notaris UUJN Sebagai Unifikasi Hukum Pengaturan Notaris, Renvoi, Nomor 28.Th. 111, 3 September 2005, hal. 38. Jabatan Notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh Negara. 83 Menempatkan Notaris sebagai jabatan merupakan suatu bidang pekerjaan atau tugas yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi tertentu kewenangan tertentu serta bersifat berkesinambungan sebagai suatu lingkungan pekerjaan tetap.

b. Notaris mempunyai kewenangan tertentu

Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus dilandasi aturan hukumnya sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik dan tidak bertabrakan dengan wewenang jabatan lainnya. Dengan demikian jika seorang pejabat Notaris melakukan suatu tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar wewenang. Wewenang Notaris hanya dicantumkan dalam Pasal 15 ayat 1, 2, dan 3 UUJN. Menurut Pasal 15 ayat 1 bahwa wewenang Notaris adalah membuat akta, namun ada beberapa akta otentik yang merupakan wewenang Notaris dan juga menjadi wewenang pejabat atau intansi lain, yaitu : a. Akta pengakuan anak di luar kawin Pasal 281 BW; b. Akta berita acara tentang kelalaian pejabat penyimpan hipotik Pasal 1227 BW; 84 83 Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2004, ha1. 15, dinyatakan. suatu lembaga yang dibuat atau diciptakan oleh negara, balk kewenangan atau materi muatannya tidak berdasarkan pada peraturan perundang-undangan, delegasi atau mandat melainkan berdasarkan wewenang yang timbul dari freis ermessen yang dilekatkan pada administrasi negara untuk mewujudkan suatu tujuan tertentu yang dibenarkan oleh hukum Beleidsreygel atau Policyrules. 84 Ketentuan Pasal 1227 BW tersebut terdapat dalam Buku II BW. Menurut Pasal 29 Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, ketentuan mengenai Hipotik dinyatakan tidak berlaku lagi. c. Akta berita acara tentang penawaran pembayaran tunai dan konsinyasi Pasal 1405 dan 1406 BW; d. Akta protes wesel dan cek Pasal 143 dan 218 WvK; e. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan SKMHT Pasal 15 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan; f. Membuat akta risalah lelang. 85 Pasal 15 ayat 3 UUJN merupakan wewenang yang akan ditentukan kemudian berdasarkan aturan hukum lain yang akan datang kemudian ius constituendum. Berkaitan dengan wewenang tersebut, jika Notaris melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan, maka produk atau akta Notaris tersebut tidak mengikat secara hukum atau tidak dapat dilaksanakan nonexecutable. Pihak atau mereka yang merasa dirugikan oleh tindakan Notaris di luar wewenang tersebut, maka Notaris dapat digugat secara perdata ke Pengadilan Negeri. Berdasarkan wewenang yang ada pada Notaris sebagaimana tersebut dalam Pasal 15 UUJN dan kekuatan pembuktian dari akta Notaris, maka ada 2 dua pemahaman, yaitu : a. Tugas jabatan Notaris adalah memformulasikan keinginantindakan para pihak ke dalam akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku. b. Akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, 86 sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat bukti 85 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 338KMK.012000, tanggal 18 Agustus 2000, dalam Pasal 7 ayat 3: Pejabat Lelang dibedakan dalam dua tingkat, yaitu: a Pejabat Lelang Kelas I; dan b Pejabat Lelang Kelas II. Selanjutnya dalam Pasal 8: 1 Pejabat Lelang Kelas I adalah pegawai BUPLN pada Kantor Lelang Negara yang diangkat untuk jabatan itu. 2 Pejabat Lelang Kelas II adalah orang-orang tertentu yang diangkat untuk jabatan, yang berasal dari: a Notaris; b Penilai; dan c Pensiunan Pegawai Negeri Sipil PNS BUPLN diutamakan yang pernah menjadi Pejabat Lelang Kelas 1 yang berkedudukan di wilayah kerja tertentu yang ditetapkan oleh Kepala Badan. lainnya, jika ada orangpihak yang menilai atau menyatakan bahwa akta tersebut tidak benar, maka orangpihak yang menilai atau menyatakan tidak benar tersebut wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai aturan hukum yang berlaku. Kekuatan pembuktian akta Notaris ini berhubungan dengan sifat publik dari jabatan Notaris. 87 Dengan konstruksi pemahaman seperti di atas, maka ketentuan Pasal 50 Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP 88 dapat diterapkan kepada Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya. Sepanjang pelaksanaan tugas jabatan tersebut sesuai dengan tata cara yang sudah ditentukan dalam UUJN, hal ini sebagai perlindungan hukum terhadap Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya atau merupakan suatu bentuk imunitas terhadap Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya sesuai aturan hukum yang berlaku.

c. Diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah

Pasal 2 UUJN menentukan bahwa Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Pemerintah, dalam hal ini menteri yang membidangi kenotariatan Pasal 1 angka 14 UUJN. Notaris meskipun secara administratif diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, tidak berarti Notaris menjadi subordinasi bawahan dari yang 86 M. Ali Boediarto, “Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung, Hukum Acara Perdata Setengah Abad, Swa Justitia, Jakarta, 2005, hal. 150. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 3199 KPdt1994, tanggal 27 Oktober 1994, menegaskan bahwa akta otentik menurut ketentuan ex Pasal 165 HIR jo. 285 Rbg jo. 1868 BW merupakan bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak dan para ahli warisnya dan orang yang mendapat hak darinya. 87 MJ-A. van Mourik dalam Habib Adjie, Sanksi Perdata…op. cit., hal. 35. 88 Pasal 50 KUHP berbunyi: Tidaklah dapat dihukum, barang siapa melakukan sesuatu perbuatan untuk melaksanakan suatu peraturan perundang-undangan. mengangkatnya, pemerintah. Dengan demikian Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya: 89 a. Bersifat mandiri autonomous; b. Tidak memihak siapapun impartial; c. Tidak tergantung kepada siapa pun independent, yang berarti dalam menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dicampuri oleh pihak yang mengangkatnya atau oleh pihak lain.

d. Tidak menerima gaji atau pensiun dari yang mengangkatnya

Notaris meskipun diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah tetapi tidak menerima gaji dan pensiun dari pemerintah. Notaris hanya menerima honorarium dari masyarakat yang telah dilayaninya atau dapat memberikan pelayanan cuma-cuma untuk mereka yang tidak mampu.

e. Akuntabilitas atas pekerjaannya kepada masyarakat

Kehadiran Notaris untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan dokumen hukum akta otentik dalam bidang hukum perdata, sehingga Notaris mempunyai tanggungjawab untuk melayani masyarakat yang dapat menggugat secara perdata, menuntut biaya, ganti rugi, dan bunga jika ternyata akta tersebut dapat dibuktikan dibuat tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Hal ini merupakan bentuk akuntabilitas Notaris kepada masyarakat. Notaris sebagai Pejabat Publik, dalam pengertian mempunyai wewenang dengan pengecualian. Dengan mengkategorikan Notaris sebagai Pejabat Publik. Dalam hal ini Publik yang bermakna hukum, bukan Publik sebagai khalayak umum. 89 Habid Adjie, Sanksi Perdata…op. cit., hal. 36. Notaris sebagai Pejabat Publik tidak berarti sama dengan Pejabat Publik dalam bidang pemerintah yang dikategorikan sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, hal ini dapat dibedakan dari produk masing-masing Pejabat Publik tersebut. Notaris sebagai Pejabat Publik produk akhirnya yaitu akta otentik, yang terikat dalam ketentuan hukum perdata terutama dalam hukum pembuktian. Akta tidak memenuhi syarat sebagai Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat konkret, individual dan final. Serta tidak menimbulkan akibat hukum perdata bagi seseorang atau badan hukum perdata, karena akta merupakan formulasi keinginan atau kehendak wilsvorming para pihak yang dituangkan dalam akta Notaris yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris. Sengketa dalam bidang perdata diperiksa di pengadilan umum negeri. Pejabat Publik dalam bidang pemerintahan produknya yaitu Surat Keputusan atau Ketetapan yang terikat dalam ketentuan Hukum Administrasi Negara yang memenuhi syarat sebagai penetapan tertulis yang bersifat, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata, dan Sengketa dalam Hukum Administrasi diperiksa di Pengadilan Tata Usaha Negara. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Notaris sebagai Pejabat Publik yang bukan Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara. 90 90 Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administrasi Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Bandung: Refika Aditama, 2008, hal. 31-32. Berdasarkan uraian di atas, maka Notaris dalam kategori sebagai Pejabat Publik yang bukan Pejabat Tata Usaha Negara, dengan wewenang yang disebutkan dalam aturan hukum yang mengatur jabatan Notaris, sebagaimana tercantum dalam Pasal 15 UUJN. Selanjutnya Habib Adjie mengemukakan: “Jabatan Notaris diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum. Dengan dasar seperti ini mereka yang diangkat sebagai Notaris harus mempunyai semangat untuk melayani masyarakat, dan atas pelayanan tersebut, masyarakat yang telah merasa dilayani oleh Notaris sesuai dengan tugas jabatannya, dapat memberikan honorarium kepada Notaris. Oleh karena itu Notaris tidak berarti apa-apa jika masyarakat tidak membutuhkannya”. 91

2. Kewenangan Notaris Dalam Pembuatan Akta Otentik