Jurnal Wawasan, Juni 2006, Volume 12, Nomor 1
HUBUNGAN TINGKAT EKONOMI TERHADAP PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH
LANGSUNG 2005 KOTA MEDAN DI LINGKUNGAN VI KELURAHAN PUSAT PASAR MEDAN
KECAMATAN MEDAN KOTA Muryanto Amin
Bobby Irwansyah Abstract
: Indonesia as a democratic country still in course of transition look for the ideal democratization configuration. At June 2005, Indonesia executed a new
political process for the first time in the history politics of Indonesia that is election of regional leader directly or recognized with the term “Pilkadasung”. This form is
for straightening the democracy in Indonesia and as a solution problem of straightening democracy in Indonesia. This moment makes the dynamics progress to
straightening of ideal democracy in Indonesia. Political participation of society is an important aspect for ideal democracy in a
state. Democracy indicator determined by citizen participating in politics and governance. Prosperity a state, indication a positive correlation with its form of ideal
democracy, where someone economic store level has an effect to their awareness to participate in political process, and poorness as one of the factor of resistor
individual awareness forming society to be able to involve in political process. Tionghoa is one of the exist ethnic in Indonesia which majority is living in private
sector and they have wide access for ownership of economics resource, and exactly have implication to its economics store level. But their involvement in politics very
low and not significant. This article explores about the relation of level economic with political participation
of Tionghoa ethnic society at Pilkadasung 2005 in Medan, based on Lingkungan VI Kelurahan Pusat pasar Medan, Kecamatan Medan kota.
Keywords:
relation of the economic store level with political participation
1. PENDAHULUAN
Demokrasi dianggap sebagai pemerintahan ideal yang terbaik untuk
diterapkan di negara-negara di dunia yang diharapkan mampu menjawab permasalahan
rakyat dan menegakkan kedaulatan rakyat. Seperti yang ditegaskan Dahl 1982: 7:
“Demokrasi mengacu pada suatu ideal atau tipe khusus rezim yang nyata dalam artian
ideal, demokrasi merupakan suatu kondisi tertib politik kenegaraan yang paling
sempurna”. Indonesia sebagai sebuah negara yang berdaulat menganut paham demokrasi
dalam sistem pemerintahannya, ini tercantum di dalam Pasal 1 Ayat 2 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa: “Kedaulatan berada di tangan rakyat
dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar”. Namun proses demokratisasi di
Indonesia mengalami beberapa orde transisi di dalam mewujudkan pembangunan demokrasi
yang ideal tersebut. Pada kenyataannya, wujud demokrasi
hanya berada pada tataran yang imajiner, hal yang terasa sulit untuk diwujudkan. Ini
terbukti dengan kondisi yang diadopsi dari berbagai negara yang ada di belahan dunia,
yang selalu saja mengalami dilema permasalahan penegakan demokrasi khususnya
di negara-negara berkembang. Dahl mengungkapkan 1982: 12: “Kriteria
demokrasi ideal selalu menuntut berbagai hal sehingga tidak ada rezim aktual yang mampu
memenuhinya secara utuh…ketika mencari demokrasi ideal maka tidak ada rezim yang
demokratis”.
Kebutuhan penegakan demokrasi di Indonesia pascareformasi mengalami
perkembangan yang sangat pesat sampai pada tataran pemerintahan lokal daerah. Pada Juni
2005, Indonesia melakukan sebuah proses politik yang baru pertama kali dilakukan di
dalam sejarah perpolitikan Indonesia yaitu pemilihan kepala daerah secara langsung atau
disingkat Pilkadasung.
22
Amin dan Bobby Irwansyah, Hubungan Tingkat Ekonomi terhadap...
Ini adalah bentuk proses perwujudan dan penegakan demokrasi di Indonesia. Di
mana konteks ini menjadikan progres ke arah pencapaian demokratisasi ideal menjadi
berdina-mika di Indonesia sebagai salah satu solusi dari permasalahan penegakan demokrasi
di Indonesia. Pilkadasung diyakini sebagai jawaban dalam pemenuhan kebutuhan
penegakan demokrasi langsung di dalam pemerintahan lokal sekaligus sebagai solusi
dalam rangka mengembalikan supremasi rakyat dalam politik, dan legitimasi kekuasaan
bagi calon terpilih kepala daerah akan semakin kuat yang didasarkan atas kedaulatan rakyat.
Di mana permasalahan yang berdinamika dalam pemilihan kepala daerah ini akan
mempengaruhi tingkat demokratisasi di daerah khususnya Kota Medan, ibukota Sumatera
Utara; semakin tinggi partisipasi rakyat setempat dalam proses pemilihan kepala
daerah, semakin tinggi pula tingkat demokratisasi di daerah tersebut.
Kemakmuran sebuah negara mengindika-sikan korelasi yang positif dengan
terwujudnya demokrasi yang ideal. Hal ini didukung oleh pendapat
Lipset Lerner dalam Huntington dan Nelson, 1994: 27:
“Adanya hubungan yang positif antara pembangunan ekonomi dan demokrasi juga
hubungan antara modernisasi sosio-ekonomi dengan partisipasi politik”. Senada dengan itu,
Azra 2002: 1 juga menyatakan: “Setidaknya salah satu prasyarat yang dapat membuat
pertumbuhan demokrasi menjadi memberi harapan yaitu peningkatan kesejahteraan
ekonomi rakyat secara keseluruhan, semakin sejahtera ekonomi sebuah bangsa maka
semakin besar peluangnya untuk mengembangkan dan mempertahankan
demokrasi.”
Dengan kata lain, dalam konteks makro, asumsi yang dapat dibangun bahwa
sebuah negara yang makmur, tentunya perwujudan demokrasi di negara tersebut akan
cenderung lebih baik. Lipset dan Deutsch dalam Gaffar, 2005: 22 menyatakan:
“Terdapat suatu keyakinan bahwa demokrasi baru akan berjalan dengan baik kalau ditopang
oleh kondisi sosio-ekonomi yang kuat. Terutama dilihat dari besar-kecilnya
pendapatan per kapita masyarakat...”. Dengan kata lain demokrasi akan terwujud dengan baik
dalam sebuah negara yang makmur. Kemakmuran akan membawa kesadaran dari
rakyat untuk terlibat langsung dalam politik dan pemerintahan. Hal ini menjadi hal yang
riskan untuk terwujud. Partisipasi politik masyarakat
merupakan indikator ukur tingkat atau wujud demokrasi yang ideal dalam sebuah negara, di
mana pendapat Sastroatmodjo 1995: 67: “Partisipasi politik merupakan aspek penting
dalam sebuah tatanan negara demokrasi....”. Dengan kata lain, faktor utama perwujudan
demokrasi di dalam sebuah negara adalah partisipasi warganya dalam proses politik di
negara tersebut. Partisipasi politik masyarakat adalah aspek penting dari demokratisasi. Di
mana unsur demokrasi ditentukan oleh bagaimana kesadaran dari warga negara untuk
berpartisipasi di dalam politik dan pemerintahan.
Penelitian yang dilakukan Clark, dalam bukunya Menguak Kekuasaan dan
Politik Di Dunia Ketiga , menyimpulkan
bahwa negara-negara dunia ketiga yang sudah mengembangkan demokrasi melalui pemilu
seperti India, Tanzania, Nigeria, Meksiko, dan Brasil, tingkat partisipasi politik
masyarakatnya dalam pemilu rata-rata hanya mencapai 64,5 persen di mana masih belum
mencapai seperti yang diharapkan 1985: 58 yang tentunya membutuhkan penggalian
kembali atau penelitian yang berkesinambungan.
Pengaruh tingkat ekonomi individu di dalam masyarakat sebagai unsur pembentukan
partisipasi politik individu tersebut dalam konteks mikro mempunyai korelasi antara
keduanya. Surbakti 2003: 144 menyatakan: “Seseorang yang memiliki status sosial dan
status ekonomi yang tinggi diperkirakan tidak hanya memiliki pengetahuan politik, tetapi
juga mempunyai minat dan perhatian pada politik, serta sikap dan kepercayaan terhadap
pemerintah”.
Kemudian pendapat Surbakti 2003: 232: “Masyarakat yang miskin dalam sumber-
sumber ekonomi akan mengalami kesukaran untuk memenuhi tuntutan dan harapan
masyarakatnya yang akan menyebabkan timbulnya frustrasi dan keresahan...yang pada
gilirannya melumpuhkan demokrasi.” Ungkapan tersebut menggambarkan bahwa
kemiskinan adalah salah satu faktor penghambat kesadaran individu yang
membentuk masyarakat untuk dapat terlibat di dalam politik dan pemerintahan yang dapat
menimbulkan akses lumpuhnya demokratisasi di dalam sebuah negara.
23
Jurnal Wawasan, Juni 2006, Volume 12, Nomor 1
Etnis Tionghoa adalah salah satu etnis yang ada di Indonesia. Generasi pertamanya
berasal dari pelabuhan Xiamen Provinsi Fujian, berlayar menuju Singapura dan
Indonesia untuk mencari kehidupan yang lebih baik, yang pada kenyataannya mereka
mengalami perjuangan yang keras dan penderitaan. Selang beberapa tahun kemudian,
mereka berhasil melakukan pembangunan dan perubahan di antaranya menjadi pengusaha
dan bankir ternama. Sedemikian suksesnya warga etnis Tionghoa tersebut dalam bidang
ekonomi, sehingga muncul pendapatstigma yang beredar dalam masyarakat bahwa tiga
persen warga Tionghoa menguasai 70 perekonomian Indonesia Wibowo, 2000: xv.
Diskriminasi terhadap mereka dari berabagai pihak juga terkadang kerap terjadi, mata
pencaharian mereka kebanyakan bergerak di sektor perdagangan dan bisnis, secara tidak
langsung tingkat ekonomi mereka lebih tinggi dari etnis-etnis lain, kebanyakan dikarenakan
akses terhadap pemilikan sumber-sumber daya yang mereka kuasai dan mereka kelola.
Keterlibatan mereka di dalam politik bisa dikatakan sangat minim atau rendah,
walaupun pada masa reformasi ini ada sedikit peningkatan seperti selama pemilu legislatif.
Sejumlah media mencatat setidaknya terdapat 150 caleg Tionghoa, meskipun pada akhirnya
hanya sebagian kecil yang berhasil mendapatkan kursi. Di berbagai daerah muncul
berbagai kreasi partisipasi politik yang dulu terasa minim sekali. Mulai dari peningkatan
keanggotaan partai politik, inisiatif debatdiskusi politik oleh Asosiasi Tionghoa,
kampanye partai politik, sampai sosialisasi proses pemilu, namun belum signifikan dan
seperti yang diharapkan Kompas, 2004: 2.
Salah satu kelurahan di Kota Medan yang mempunyai penduduk mayoritas etnis
Tionghoa adalah Kelurahan Pusat Pasar Medan Kecamatan Medan Kota. Kelurahan
Pusat Pasar Medan terdiri dari sembilan lingkungan dengan jumlah penduduk
keseluruhan 6007 orang. Mayoritas mata pencaharian penduduk di Kelurahan Pusat
Pasar tersebut adalah berdagang, ini dapat dilihat dari jumlah penduduk yang berprofesi
sebagai pedagang dan pengusaha sebanyak 5183 orang.
Dari semua uraian di atas disimpulkan bahwa partisipasi politik mempunyai
keterkaitan dengan tingkat ekonomi seseorang di mana semakin tinggi tingkat ekonomi
seseorang maka partisipasi politik dari orang tersebut akan cenderung lebih tinggi.
Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan pembuktian dengan jalan
penelitian, dengan obyek yang diteliti adalah etnis Tionghoa dan momen partisipasi
politiknya adalah Pilkadasung. Peneliti akan melakukan penelitian korelasional antara
tingkat ekonomi terhadap partisipasi politik. Hal ini menarik mengingat obyek penelitian
cenderung mempunyai tingkat ekonomi yang tinggi namun partisipasi politiknya masih
diragukan. 2. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut permasalahan utama dari penelitian ini
adalah: apakah ada hubungan tingkat ekonomi terhadap partisipasi politik masyarakat etnis
Tionghoa pada Pemilihan Kepala Daerah Langsung 2005 Kota Medan di Lingkungan VI
Kelurahan Pusat Pasar Kecamatan Medan Kota?
Sehubungan dengan masalah di atas maka penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menguji adanya hubungan tingkat
ekonomi terhadap partisipasi politik masyarakat etnis Tionghoa pada
Pilkadasung 2005 Kota Medan di Lingkungan VI Kelurahan Pusat Pasar
Kecamatan Medan Kota.
2. Melihat besaran hubungan tingkat
ekonomi terhadap partisipasi politik masyarakat etnis Tionghoa pada
Pilkadasung 2005 Kota Medan di Lingkungan VI Kelurahan Pusat Pasar
Medan Kecamatan Medan Kota.
3. Melihat polarisasi hubungan di antara
unsur-unsur tingkatan ekonomi individu terhadap partisipasi politik individu
tersebut secara kolektif. 3. URAIAN TEORI
Ekonomi adalah cabang dari ilmu sosial yang berobyek pada individu dan
masyarakat. Menurut terminologinya, Silk dalam Rosyidi 1996: 27 menyatakan: “Ilmu
ekonomi adalah suatu studi tentang kekayaan wealth dan merupakan suatu bagian yang
penting daripada studi tentang manusia. Hal ini disebabkan karena sifat manusia yang telah
dibentuk oleh kerjanya sehari-hari, serta
24
Amin dan Bobby Irwansyah, Hubungan Tingkat Ekonomi terhadap...
sumber-sumber material yang mereka dapatkan”.
Unsur kekayaan menjadi ukuran di dalam studi tentang ekonomi di mana unsur
kekayaan dan sumber sumbernya merupakan kunci akses di dalam pemenuhan tingkatan
kebutuhan manusia. Dengan kekayaan maka pemenuhan kebutuhan akan tercapai, di mana
semakin kaya seseorang maka akan semakin tinggi kemampuannya untuk memenuhi
tingkatan kebutuhannya. Kemudian definisi dari status ekonomi atau tingkat ekonomi,
Surbakti 2003: 144 berpendapat bahwa: “Yang dimaksud status ekonomi ialah
kedudukan seseorang di dalam pelapisan masyarakat berdasarkan pemilikan kekayaan”.
Faktor kekayaan tersebut merupakan dasar penentuan pelapisan seseorang di dalam
masyarakat berdasarkan status ekonominya. Sastroatmodjo 1995: 15 juga
mengungkapkan: “Status ekonomi adalah kedudukan seorang warga negara dalam
pelapisan sosial yang disebabkan oleh pemilikan kekayaan”. Pemilikan kekayaan di
dalam masyarakat sebagai dasar di dalam menentukan tinggi rendahnya status ekonomi
individu di dalam masyarakat.
Partisipasi politik diartikan oleh Huntington dan Nelson 1990: 6: “Sebagai
suatu kegiatan warga negara preman private citizen
yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah”.
Surbakti 2003: 140 menyatakan: “Partisipasi politik ialah keikutsertaan warga negara biasa
dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi hidupnya”.
Kemudian Mc Closcy dalam Budiardjo, 1998: 2 berpendapat: “Partisipasi adalah kegiatan
secara pribadi dan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil
bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung dalam
proses pembentukan kebijakan umum”.
Pada kenyataannya, kalau kita merujuk pada perkembangan demokratisasi
negara-negara di dunia, negara-negara dunia ketiga lebih banyak mengalami permasalahan
penegakan demokrasi dibanding dengan negara-negara maju. Dari berbagai penelitian
yang dilaksanakan di negara dunia ketiga, banyak terdapat permasalahan rendahnya
wujud demokratisasi sehingga dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa negara dunia ketiga adalah
kelompok negara yang pertumbuhan ekonomi atau tingkat ekonomi negaranya cenderung
terbelakang dibanding negara maju. Maka dari fakta ini sebenaranya ada keterkaitan antara
tingkat ekonomi atau pertumbuhan ekonomi sebuah negara dengan wujud penegakan
demokrasi di negara tersebut. Dengan kata lain, perwujudan demokrasi di sebuah negara
ditentukan oleh bagaimana kondisi ekonomi negara tersebut.
Dapat dikatakan bahwa kemakmuran sebuah negara mengindikasikan sebuah
korelasi yang positif dengan terwujudnya demokrasi yang ideal dan ini didukung oleh
pendapat beberapa ahli seperti yang diungkapkan
Lipset Lerner dalam Huntington dan Nelson, 1993: 27: “Adanya
hubungan yang positif antara pembangunan ekonomi dan demokrasi juga hubungan antara
modernisasi sosio-ekonomi dengan partisispasi politik”. Selain itu ditegaskan juga oleh
Azyumardi 1993: 1: “Setidaknya salah satu prasyarat yang dapat membuat pertumbuhan
demokrasi menjadi memberi harapan yaitu peningkatan kesejahteraan ekonomi rakyat
secara keseluruhan, semakin sejahtera ekonomi sebuah bangsa maka semakin besar
peluangnya untuk mengembangkan dan mempertahankan demokrasi.”
Begitu banyak pendapat para ahli yang menyatakan bahwa ekonomi sebagai sebuah
aspek di dalam wujud demokratisasi di sebuah negara, bahkan ada yang fanatis mengatakan
bahwa pembangunan ekonomi adalah salah satu keharusan di dalam menegakkan sebuah
negara demokrasi. Seperti ungkapan Lipset dan Deutsch dalam Gaffar, 2005: 22 berikut:
“Terdapat suatu keyakinan bahwa demokrasi baru akan berjalan dengan baik kalau ditopang
oleh kondisi sosio-ekonomi yang kuat. Terutama dilihat dari besar-kecilnya
pendapatan per kapita masyarakat...”. Ungkapan ini berderivasi dari penelitian yang
dilakukan Lipset dan Deustch di Amerika Serikat dengan kajian perilaku warga negara
dalam Pemilihan Umum di mana dari penelitian yang dilakukan tersebut ditemukan
suatu pola bahwa pendapatan, pendidikan, dan status sosial merupakan faktor penting dalam
proses partisipasi atau dengan kata lain yang pendapatannya tinggi, yang pendidikannya
tinggi dan yang berstatus sosial tinggi, cenderung untuk lebih banyak berpartisipasi
daripada orang yang berpendapatan serta pendidikannya rendah Budiardjo, 1998: 9.
Hasil penelitian yang dilakukan Prewitt dan Verba pada tahun 1993
25
Jurnal Wawasan, Juni 2006, Volume 12, Nomor 1
menunjukkan, ada beberapa hal yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat
dalam politik. Hal yang paling pokok adalah: 1 tingkat pendidikan, 2 income
penghasilan, 3 ras dan etnisitas, 4 jenis kelamin, dan 5 usia J. Geovani, 2004: 2.
Dari penelitian yang dilakukan tersebut salah satu hal yang pokok di dalam mempengaruhi
partisipasi masyarakat dalam politik adalah pendapatan income, yaitu salah satu elemen
dasar dari ekonomi. Kemudian penelitian lainnya yang pernah dilakukan yang berkaitan
dengan status ekonomi dan partisipasi politik di antaranya adalah penelitian yang dilakukan
oleh Sidney Verba dan Norman H. Nie yang meneliti mengenai keadaan di Amerika
Serikat. Penelitian tersebut bertema Political Participation in America
di mana hasil dari penelitian ini melihat bahwa orang-orang kota
lebih banyak memberikan suara daripada orang-orang desa dan orang yang
berpendapatan tinggi cenderung untuk lebih banyak berpartisipasi dari orang yang
berpendapatan rendah. Hasil penelitian ini kemudian diperkuat, ditindaklanjuti, dan
dianalisis kembali oleh Deustch dalam penelitiannya yang berjudul Politics and
Government
. Ia mengambil kesimpulan bahwa di Amerika Serikat sepertiga dari kelompok
warga negara yang paling tinggi status serta pendapatannya, mengadakan partisipasi enam
kali lebih banyak daripada sepertiga dari
kelompok warga negara yang paling rendah dan memperoleh dua kali lebih banyak
tanggapan positif dari pemerintah Budiardjo, 1998: 9.
Namun ada juga pendapat ahli yang tidak sepenuhnya mendukung konsep atau
kesimpulan di atas. Penelitian yang dilakukan oleh Huntington dan Nelson dalam bukunya
yang berjudul Partisipasi Politik di Negara Berkembang
, menyoroti hubungan antara pembangunan ekonomi di sebuah negara
berkembang dengan tingkat partisipasi politik masyarakatnya. Salah satu penjelasan dari
hasil penelitiannya adalah tingkat pembangunan sosio-ekonomi yang lebih tinggi
di sebuah negara memang mengakibatkan tingkat partisipasi politik yang lebih tinggi,
tetapi hal itu tidak selamanya benar. Banyak faktor lain sebagai penentu di dalam
menentukan tinggi rendahnya partisipasi politik, bahkan akan sangat mungkin
pembangunan sosio-ekonomi yang tinggi mengakibatkan sebuah partisipasi politik yang
dimobilisasi, yang sebenarnya adalah semu, yang menjurus kepada partisipasi politik yang
rendah dan buruk seperti yang banyak terjadi di negara-negara berkembang Huntington dan
Nelson, 1990: 59.
Penelitian yang dilakukan dalam rangka untuk menggali dan mengetahui pola
kehidupan sosial dan politik etnis Tionghoa juga dilakukan oleh beberapa ahli di antaranya
Cristine Sujhana Tjhin 2004: 2, seorang peneliti di Centre for Strategic and
International Studies CSIS yang mana hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pola
partisipasi politik yang dilaksanakan warga etnis Tionghoa tersebut tidak lain sebatas
memperlancar dan memenuhi tujuan dan kepentingan mereka saja. Dari data tersebut
tersirat bahwa tujuan partisipasi politik warga etnis Tionghoa tersebut tidak terlepas dari
meningkatkan status ekonominya, walaupun secara tidak langsung ini menunjukkan sebuah
korelasi yang tentunya harus digali kembali dengan penelitian yang akan dilakukan di
dalam kancah penelitian. 4. PERUMUSAN HIPOTESIS
Sebelum merumuskan hipotesis terlebih dahulu diketahui kerangka konseptual
yaitu kerangka berpikir buatan penulis yang ditujukan untuk menggambarkan paradigma
hubungan di antara variabel berdasarkan teori tertentu yang ditujukan untuk merumuskan
hipotesis Usman dan Akbar, 2004: 33.
Penelitian yang dilakukan oleh Sidney Verba dan Norman H. Nie yang meneliti
mengenai keadaan di Amerika Serikat, bertema Political Participation in America,
melihat bahwa orang-orang kota lebih banyak memberikan suara daripada orang-orang desa
dan orang yang berpendapatan tinggi cenderung lebih banyak berpartisipasi dari
orang yang berpendapatan rendah. Hasil penelitian ini kemudian diperkuat dan
dianalisis lagi oleh Deustch dalam penelitian yang berjudul Politics and Government di
Amerika Serikat, bahwa sepertiga dari kelompok warga negara yang paling tinggi
status serta pendapatannya mengadakan partisipasi enam kali lebih banyak daripada
sepertiga dari kelompok warga negara yang paling rendah, dan memperoleh dua kali lebih
banyak tanggapan positif dari pemerintah Budiardjo, 1998: 9.
26
Amin dan Bobby Irwansyah, Hubungan Tingkat Ekonomi terhadap...
27 Dalam hal ini penulis membuat
kerangka konseptual yang menyatakan adanya pengaruh hubungan antara tingkat ekonomi
terhadap partisipasi politik masyarakat yang digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1: HubunganPengaruh Tingkat Ekonomi terhadap Partisipasi Politik Masyarakat
Partisipasi Politik Masyarakat Y
Tingkat Ekonomi X
xy
r
Kemudian dari kerangka konseptual tersebut dirumuskanlah hipotesis penelitian ini sebagai
berikut: Ada hubungan yang signifikan antara tingkat ekonomi terhadap partisipasi politik
masyarakat.
Namun untuk keperluan pengujian hipotesis dibutuhkan dua alternatif hipotesis
untuk dirumuskan. Maka untuk memenuhi syarat pengujian tersebut penulis
merumuskannya sebagai berikut: Secara statistik dinyatakan sebagai berikut:
Ho :
μ
= 0 Tidak ada hubungan tingkat
ekonomi terhadap partisipasi politik masyarakat
Ha : μ
≠
0 Ada hubungan
tingkat ekonomi terhadap partisipasi
politik masyarakat
5. METODOLOGI 5.1 Bentuk, Populasi, dan Sampel Penelitian