hasil analisa didapat nilai p 0.05 p = 0.153, sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada perbedaan religiusitas antara lansia pria dan wanita.
B. Pembahasan
Hasil utama penelitian dengan menggunakan analisa regresi linier sederhana R = 0.641, p = 0.000 menunjukkan ada pengaruh yang sangat signifikan antara
religiusitas terhadap sikap terhadap kematian pada lansia, dimana terdapat hubungan yang positif antara religiusitas dengan sikap terhadap kematian pada
lansia. Dari hasil analisis penelitian tersebut maka hipotesa yang menyatakan bahwa ada pengaruh positif antara religiusitas terhadap sikap terhadap kematian
pada lansia dapat diterima. Hal ini sesuai dengan temuan Christopher, Drummond, Jones, Marek dan Therriault yang menemukan bahwa religiusitas
secara positif berhubungan dengan sikap positif terhadap kematian misalnya memandang kematian sebagai akhir hidup yang alami dan secara negatif
berkaitan dengan sikap negatif terhadap kematian misalnya memandang kematian sebagai kegagalan Dezutter et all, 2007.
Individu yang tingkat religiusitasnya tinggi cenderung mengalami sedikit rasa takut akan kematian. Individu yang tidak religius mengalami tingkat kecemasan
akan kematian pada level sedang Nelson Nelson dalam Lahey, 2003, sementara ketakutan akan kematian berhubungan dengan rendahnya tingkat
religiusitas Newman Newman, 2006. Agama merupakan hal yang penting dalam kehidupan para lansia. Lansia
sering berdoa, membaca materi-materi keagamaan dan mendengarkan program- program keagamaan Levin, Taylor Chatten dalam Santrock, 2004. Agama
Universitas Sumatera Utara
dapat menambah kebutuhan psikologis yang penting pada individu lansia, membantu mereka menghadapi kematian, menemukan dan menjaga rasa
kebermaknaan dalam hidup, serta menerima kehilangan yang tak terelakkan di masa tua Koenig Larson, dalam Santrock 1999. Banyak studi menunjukkan
bahwa individu yang religius memiliki tingkat ketakutan yang sedikit atas kematian diri sendiri dan orang yang dikasihi. Individu yang religius lebih
cenderung mendeskripsikan kematian dengan cara yang positif Belsky, 1997. Nilai koefisien determinasi R² yang diperoleh sebesar 0.411 menunjukkan
sumbangan efektif yang diberikan variabel religiusitas cukup besar dalam mempengaruhi sikap terhadap kematian pada lansia, yaitu 41.1 . Sedangkan
58.9 sisanya menunjukkan besar pengaruh keberadaan variabel-variabel lain yang juga mempengaruhi sikap terhadap kematian. Variabel-variabel tersebut
adalah budaya, efikasi diri, dukungan sosial, keberhargaan diri self worth, pusat kendali locus of control
Variabel lain adalah sikap budaya terhadap kematian mempengaruhi bagaimana individu dari usia tertentu memandang kematian Papalia, 2004. Frey
dalam Newman Newman, 2006 menyatakan bahwa lansia yang memiliki efikasi diri yang positif memiliki tingkat ketakutan yang rendah tentang hal yang
akan dialami pada saat kematian dan memiliki tingkat ketakutan yang sedikit terhadap rasa sakit yang mungkin dialami pada saat kematian menjelang
Newman Newman, 2006. Individu yang memiliki sistem dukungan sosial yang kuat dan yang memiliki rasa keberhargaan diri yang kuat cenderung tidak
mengalami ketakutan akan kematian Tomer Eliason dalam Newman
Universitas Sumatera Utara
Newman, 2006. Ketakutan akan kematian juga pusat kendali eksternal external locus of control Newman Newman, 2006.
Berdasarkan mean empirik, religiusitas subjek penelitian berada pada kategori rendah, yaitu sebanyak subjek 29 subjek 48.33. Berdasarkan mean hipotetik,
sikap terhadap kematian subjek penelitian berada pada kategori sikap netral terhadap kematian yaitu sebanyak 42 orang 70 . Berdasarkan mean empirik,
sikap terhadap kematian subjek penelitian tergolong memiliki sikap netral terhadap kematian, yaitu sebanyak 44 subjek penelitian 73.33 .
Hasil tambahan penelitian untuk melihat perbedaan sikap terhadap kematian berdasarkan usia menggunakan uji oneway ANOVA menunjukkan Nilai F adalah
0.381 dengan p = 0.767 p0.05 sehingga tidak ada perbedaan yang signifikan sikap subjek terhadap kematian jika ditinjau dari usia subjek. Hal ini sejalan
dengan pendapat Lefrancois1993 yang menyatakan bahwa keliru bila menyatakan bahwa ketakutan akan kematian perlahan-lahan akan berkurang dan
akhirnya lenyap di usia tua. Walau mayoritas individu dewasa tidak melaporkan kecemasan akan kematian yang berlebihan, namun kecemasan akan kematian ada
pada semua tingkatan usia, termasuk pada usia tua. Sementara, Nelson Nelson dalam Lahey, 2003 menyatakan bahwa
Ketakutan terhadap kematian berhubungan dengan variabel usia. Barrow 1996 juga menyatakan bahwa lansia secara umum distreotipekan sebagai individu yang
menunggu kematian tanpa rasa takut. Namun, tampaknya hal ini tidak sepenuhnya terbukti karena usia yang semakin tua ternyata tidak menjadi jaminan seseorang
Universitas Sumatera Utara
memiliki sikap yang positif terhadap kematian dan tidak takut menghadapi kematian.
Perbedaan usia bisa tidak terlalu tampak pada penelitian ini karena pada penelitian ini kelompok usia yang dibandingkan adalah kelompok usia lansia,
sehingga tidak terlalu tampak perbedaan sikap terhadap kematian bila ditinjau dari kelompok usia.
Hasil tambahan penelitian untuk melihat perbedaan sikap terhadap kematian pada lansia pria dan lansia wanita menggunakan uji t menunjukkan bahwa rata-
rata skor sikap terhadap kematian lebih tinggi pada kelompok lansia pria. Namun nilai probabilitas p=0.834 menunjukkan bahwa perbedaan tersebut tidak
signifikan p 0.05, sehingga tidak ada perbedaan sikap terhadap kematian antara lansia pria dan wanita jika ditinjau dari jenis kelamin. Hal ini sejalan
dengan hasil penelitian yang dilakukan Kalish Raynolds yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan gender mengenai rasa takut terhadap kematian.
Namun, wanita dilaporkan lebih sering memikirkan kematian dibandingkan pria Hayslip Deveto, 2005. Sedangkan menurut Hurlock 1999, secara umum,
pria memusatkan perhatian pada kematian diri sendiri. Walaupun ia juga memperhatikan kemungkinan kematian istri, anak-anak, teman dekat dan saudara,
tetapi lansia pria lebih mengutamakan kematian diri sendiri. Lansia wanita juga berkepentingan terhadap akibat kematian diri sendiri, namun bagaimanapun juga
lebih banyak wanita yang memikirkan kematian suami. Hal ini tampaknya tidak berlaku, karena terbukti lansia pria dan wanita tidak
berbeda secara signifikan dalam bersikap terhadap kematian karena sikap
Universitas Sumatera Utara
terhadap kematian kemungkinan besar tidak terlalu dipengaruhi lagi oleh gender, melainkan lebih dipengaruhi oleh faktor penting yang lain, seperti religiusitas.
Hasil tambahan penelitian untuk melihat perbedaan religiusitas pada lansia pria dan lansia wanita dengan menggunakan uji t menunjukkan bahwa rata-rata Z
skor religiusitas lebih tinggi pada kelompok lansia pria. Namun nilai probabilitas p=0.153 menunjukkan bahwa perbedaan tersebut tidak signifikan p 0.05,
sehingga tidak ada perbedaan religiusitas antara lansia pria dan wanita jika ditinjau dari jenis kelamin. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Flere
2007 menemukan tidak ada perbedaan antara religiusitas pria dan wanita ditinjau dari tipe orientasi religius yang bersifat sosial ekstrinsik yaitu orientasi
religius dimana kebutuhan agama merupakan kompensasi dari keadaan sosial yang kurang, seperti misalnya perasaan isolasi. Menurut Koenig Larson dalam
Santrock, 2004, bagi lansia, peribadatan di rumah ibadah merupakan sumber dukungan yang dapat diterima, tersedia dan tidak mengeluarkan banyak biaya.
Sosialisasi yang disediakan oleh organisasi religius dapat membantu mencegah isolasi dan kesepian.
Penelitian ini juga tidak terlepas dari kelemahan-kelemahan. Peneliti hanya mengambil sampel yang memiliki latar belakang budaya yang sama, sehingga
kurang mewakili. Peneliti hanya memakai satu agama saja sebagai sampel, sehingga hasilnya belum tentu dapat digeneralisasikan pada individu di luar
agama Kristen Protestan. Peneliti kurang mengantisipasi aitem-aitem pada skala religiusitas yang cenderung memiliki social desirability yang cukup tinggi,
Universitas Sumatera Utara
sehingga respon yang diberikan terkadang tidak sesuai dengan diri subjek. Peneliti juga kurang mengantisipasi beberapa orang subjek yang tidak mampu
menggunakan bahasa Indonesia, sehingga peneliti harus membacakan sendiri skala dengan menggunakan bahasa daerah agar mampu dipahami oleh subjek saat
mengisi skala. Populasi penelitian yang hanya berada pada satu gereja menjadikan
generalisasi penelitian ini hanya terbatas pada lansia yang terdaftar menjadi anggota di gereja tersebut dan tidak mencakup kawasan yang lebih luas.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN