1
BAB I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Televisi mengalami perkembangan yang cukup pesat tidak hanya di Amerika sebagai negara asal penemuannya tetapi juga di Indonesia.
Sekarang, televisi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari- hari. Barang yang satu ini memang ajaib karena mampu menyedot perhatian
masyarakat dunia, dari negara yang paling maju hingga negara paling terbelakang. Hampir seluruh lapisan masyarakat di segala tingkat strata
pendidikan, tiada hari yang terlewatkan tanpa menonton televisi. Setiap orang, dari anak-anak, muda dan dewasa bahkan yang sudah uzur bisa
dipastikan akan menghabiskan beberapa jam bahkan hampir seharian duduk dan menikmati tayangan televisi. Kehadiran televisi dengan menyuguhkan
berbagai acara yang beragam dan menarik tanpa kompromi inilah yang
membuat para pemirsanya betah berlama-lama di depan layar televisi.
Ketergantungan pada televisi dapat dijumpai ketika listrik padam atau siaran televisi sedang mengalami gangguan, sebagian orang pun menjadi
uring-uringan. Lantas, kebingungan mencari aktivitas pengganti acara nonton televisi. Fenomena yang sama juga terjadi pada anak-anak dan remaja. Anak-
anak sedemikian betah duduk berjam- jam di depan “kotak ajaib” ini, seolah
tidak dapat lagi beranjak dari hadapanya. Memang daya tarik televisi begitu
besar karena sifat audio dan visual yang dimilikinya.
2 Dengan segala potensi yang dimilikinya itu, televisi telah
mendatangkan banyak perdebatan yang tidak kunjung berakhir. Bagi orang dewasa, mungkin apa yang ditampilkan oleh televisi itu bukanlah sebuah
masalah besar, sebab mereka sudah mampu memilih, memilah dan memahami apa yang ditayangkan di layar televisi. Namun bagaimana dengan
anak-anak? Dengan segala kepolosan yang dimilikinya, belum tentu mereka mampu menginterpretasikan apa yang mereka saksikan di layar televisi
dengan tepat dan benar. Begitulah yang diungkapkan oleh Alim Sumarno dalam artikelnya yang dimuat di situs elearning Universitas Negeri Surabaya
2011. Anak-anak secara liar menafsirkan apa yang dilihat dan didengar di televisi kemudian senantiasa belajar serta meniru apa yang mereka lihat dan
dengar.
Hasil kajian Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia mencatat, rata- rata anak usia sekolah dasar menonton televisi antara 30 hingga 35 jam setiap
minggu. Artinya pada hari-hari biasa mereka menonton tayangan televisi lebih dari empat hingga lima jam sehari. Sementara di hari Minggu bisa tujuh
sampai delapan jam www.indojaya.com. Sedangkan penelitian lain dari AGB Nielsen Media Research yang terakhir menunjukkan, sebanyak 21
persen pemirsa televisi adalah anak-anak dengan usia 5-14 tahun. Waktu menonton televisi bagi mereka terutama pada pukul 06.00
– 10.00 dan antara pukul 12.00
– 21.00. Pada jam tayang utama 18.00 – 21.00 ada sekitar 1,4 juta anak-anak yang menonton televisi www.insanpermata.com. Frekuensi
dan lama menonton televisi pada anak-anak tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan frekuensi mereka belajar.
3 Sudah banyak penelitian tentang dampak negatif televisi bagi manusia
terutama anak-anak. Hasil penelitian dari Indriastuti 2003, menunjukkan bahwa televisi berpengaruh terhadap kehidupan anak-anak. Mereka menjadi
lebih malas untuk belajar dan mengerjakan pekerjaan rumah PR. Bahkan penelitian yang dilakukan Kompas menunjukkan bahwa dampak dari
seringnya anak menonton televisi adalah anak menjadi tidak suka membaca buku Susanti, dkk, 2009. Pada penelitian yang lain disebutkan bahwa
dampak dari tayangan televisi yaitu anak menjadi berperilaku keras, moralitas negatif, anak pasif dan tidak kreatif, nilai sekolah rendah, kecanduan nonton
dan berperilaku konsumtif Jahya Irvan, 2006: 4. Dalam hal ini, anak-anak sebagai audiens cenderung dipandang dalam posisi penerima pesan yang
pasif. Televisi dipandang memiliki posisi yang superior tahu segalanya,
sementara posisi anak sebagai audiens televisi ditempatkan dalam posisi yang inferior tidak tahu apa-apa. Anak-anak sebagai audiens televisi selalu
dipandang sebagai kasus khusus, karena anak-anak diasumsikan mudah tersugesti dan rentan terkena pengaruh. Anak-
anak dilihat sebagai “bukan orang dewasa”, karena respon “orang dewasa” sepertinya tidak terbangun di
dalamnya. Televisi lebih menganggap audiens anak sebagai konsumen daripada sebagai warga negara, dimana orientasi program televisi berdasar
pada apa yang audiens inginkan bukan kepada apa yang audiens butuhkan. Audiens dapat digolongkan ke dalam dua jenis sesuai dengan relasi
mereka terhadap media, yaitu audiens aktif dan audiens pasif. Sejauh ini, aktifitas menonton televisi lebih diidentikkan dengan kepasifan, penerimaan
4 atau bahkan gagasan tentang “orang yang suka bermalas-malasan di rumah”.
Tak jarang anak-anak sebagai audiens televisi juga digambarkan seperti itu. Anak-anak bukanlah audiens yang sama sekali tidak berdaya.
Menurut Jean Piaget dalam Triwardani, 2007:47, mulai usia 7-8 tahun, anak mulai kritis terhadap lingkungannya life space dan membutuhkan
penjelasan konkret dan masuk akal. Ketika memasuki usia belasan tahun, anak mulai dapat berpikir secara abstrak symbolic dan pandai memberikan
respons dan jawaban alternatif terhadap stimulus dalam persoalan yang sedang dihadapinya. Menonton televisi adalah kegiatan sosio kultural yang
intinya berkaitan dengan makna dan bersifat multi faset dan kaya dimensi, yang dilakukan anak-anak di dalam ruang domestik dalam wilayah privat,
yaitu di rumah. Secara logis dapat dikatakan bahwa anak-anak yang lebih tua akan “membaca” televisi secara berbeda dibandingkan dengan anak-anak
yang lebih muda sesuai dengan tahap perkembangan intelektual mereka. Anak-anak sebagai audiens aktif dapat dilihat pada pola konsumsinya
terhadap tayangan televisi. Meskipun sebagian besar waktu mereka dihabiskan di depan layar televisi, mereka memiliki kewenangan untuk
memilih program acara yang disuka atau tidak disukai. Adakalanya mereka menolak beberapa tayangan yang menurut pengetahuannya hal tersebut
kurang baik. Bahkan untuk acara-acara favorit, mereka rela menunggu dan duduk berjam-jam di depan layar televisi tanpa harus bermain di luar rumah
bersama teman-temannya. Televisi tidak selalu berdampak negatif bagi anak. Televisi juga dapat
memberikan banyak manfaat dan dampak yang positif terkait dengan hiburan
5 dan pendidikan bagi keluarga, terutama anak-anak. Televisi dapat membuka
dunia baru bagi anak-anak, memberikan mereka kesempatan untuk melihat dunia, belajar tentang berbagai budaya yang berbeda, dan memberikan
berbagai informasi serta ulasan ide-ide yang belum pernah anak-anak alami dan peroleh di usia mereka saat ini.
Menonton program tayangan televisi yang selektif dan dengan pengaturan waktu menonton yang proporsional dapat memberikan efek yang
baik pada perkembangan dan perilaku anak-anak. Kata kuncinya adalah adanya pendampingan orang tua. Perlu adanya kemauan dan kemampuan
orang tua dalam mendampingi anak saat mengkonsumsi televisi. Peran orang tua tidak sekedar membatasi program-program yang boleh dan tidak boleh
ditonton. Melainkan juga turut menyaksikan program yang ditonton anaknya, dan mengambil kesempatan untuk mendiskusikannya. Hal ini berarti bahwa
komunikasi orang tua dengan anak sangat diperlukan. Melalui komunikasi para orang tua dapat lebih dekat dengan anak-anaknya sehingga dapat
mengetahui perkembangan anak-anak. Tidak sepenuhnya anak-anak akan menerima begitu saja apa yang
ditayangkan oleh televisi. Tidak semua penonton anak-anak termasuk sebagai penonton aktif dan tidak semua sama aktifnya. Seiring dengan pertumbuhan
kognitif yang ektensif dan bervariasi, anak-anak memiliki persepsi tersendiri terhadap setiap tayangan yang mereka tonton seperti yang telah dijelaskan di
atas. Untuk itulah, peran orang tua sangat diperlukan dalam mendampingi anak-anak ketika menonton tayangan televisi dan harus siap untuk menjawab
berbagai pertanyaan yang berhubungan dengan program tayangan tersebut.
6 Karena pada situasi seperti ini, orang tua berkesempatan untuk menjelaskan
mengenai apa yang mereka tonton, baik buruknya acara tersebut. Terdapat kecenderungan yang sebaliknya dari penjelasan di atas yang
terjadi di kalangan masyarakat sekarang ini. Televisi dijadikan sebagai pengasuh, pengganti peran orang tua dalam mendampingi keseharian anak-
anak selain sebagai penyaji hiburan.Tidak jarang orang tua yang bersyukur karena anaknya yang masih balita atau usia sekolah dasar, betah berlama-
lama menonton tayangan televisi. Memang dalam hal ini, orang tua cukup diuntungkan karena dapat mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang harus
diselesaikan tanpa gangguan, tidak kelelahan mengawasi si anak, atau tidak sibuk melayani permintaan anak. Secara tidak sadar, orang tua sesungguhnya
tengah membenamkan anak ke dalam potensi bahaya yang amat dahsyat. Dengan pola menonton yang cukup lama, anak akan mudah terobsesi
tayangan televisi yang banyak mengumbar mimpi indah dan kehidupan bergelimang materi yang tidak sesuai dengan kehidupan keseharian mereka.
Termasuk juga gaya bahasa yang jorok, pola hidup bebas dan pengaruh negatif lainnya.
Film-film yang dikategorikan untuk anak-anak oleh stasiun televisi masih saja mengandung unsur kekerasan dalam bentuk fisik perkelahian.
Sebut saja film Tendangan si Madun, Dragon Ball, Power Rangers dan Ultraman,Bakugan Battle Brawslers, Hiro Pembela Bumi tersebut setiap
episodenya selalu diwarnai dengan unsur pekelahian. Unsur seksisme juga ada di film dalam anak-anak. Diantaranya adalah film Barbie, dimana selalu
digambarkan seorang putri yang kemudian bertemu sang pangeran. Dimana
7 hal tersebut digambarkan dengan berpelukan, bergandengan tangan, juga
mencium. Begitu pula dengan Doraemon dan Crayon Shinchan yang menggambarkan kenalakan, kekerasan non fisik dengan saling mengejek
diantara tokoh, munculnya penggambaran tokoh yang licik, pendendam dan
iri juga mewarnai film anak-anak.
Kebanyakan orang tua tidak menyadari dampak kebebasan media yang kurang baik terhadap anak-anak. Orang tua jarang benar-benar
memperhatikan apa yang ditonton anak-anaknya dan lebih sering melarang anak-anak agar jangan menonton televisi terlalu lama karena bisa
mengganggu jam belajar mereka. Fenomena tersebut tidak menunjukkan kekhawatiran orang tua terhadap tayangan yang ditonton oleh anak-anak
mereka.
Sebagai bentuk keprihatinan dan kepedulian terhadap anak-anak akan dampak tayangan televisi yang berakibat terhadap tingkat kecerdasan dan
prestasi anak, yang dilakukan oleh pemerintah Kota Mojokerto yaitu dengan mengadakan program Kota Mojokerto Berlingkungan Pendidikan KMBP
sejak awal tahun 2011 yang lalu. Program tersebut berupa pelaksanaan jam wajib belajar bagi pelajar yang dimulai pukul 18.00 sampai dengan 19.00 di
tiap rumah dari tingkat Taman Kanak-Kanak TK sampai Sekolah Menengah Atas SMA. Pada jam tersebut warga dilarang menyalakan televisi, radio,
tape, play station, bahkan pengamen pun dilarang masuk. Para pelajar dihimbau untuk belajar, dan orang tua diupayakan untuk mendampingi anak-
anaknya. Pelaksanaan program tersebut diawasi oleh masing-masing RT dan RW setempat dan setiap hari senin diadakan evaluasi terhadap monitoring
8 kegiatan tersebut bersama dengan wakil walikota beserta satgas jam wajib
belajar. Hal ini dimaksudkan agar anak-anak usia sekolah dapat belajar dengan tenang tanpa gangguan acara televisi atau bermain game. Untuk orang
tua, diharapkan agar mereka lebih memahami pentingnya waktu anak-anak tanpa televisi dan game karena dapat mempengaruhi kualitas kecerdasan dan
kepribadian anak.
Bentuk dari keprihatinan Pemerintah Kota Mojokerto dengan dilaksanakannya Program Kota Mojokerto Berlingkungan Pendidikan
KMBP sudah selayaknya diapresiasi dengan baik. Semua pihak diharapkan untuk ikut mendukung terlaksananya program tersebut. Di sini peneliti
melakukan proses prasurvey untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan jam wajib belajar tersebut di beberapa daerah. Dari hasil prasurvey, perumahan
Griya Permata Meri Kecamatan Magersari Kota Mojokerto termasuk wilayah yang sudah melaksanakan program KMBP dengan baik sejak awal program
tersebut diberlakukan. Ironinya, setelah jam belajar tersebut selesai para orang tua membiarkan anak-anak kembali menonton tayangan televisi tanpa
pendampingan. Kalaupun misal mereka mendampingi anak-anaknya, itu bukan berarti para orang tua memberikan pengarahan akan acara yang mereka
tonton melainkan hanya sekedar ikut menikmati acara yang ditayangkan di televisi pada saat itu. Hal ini jauh dari harapan pemerintah Kota Mojokerto
yang menginginkan agar para orang tua lebih menyadari pengaruh buruk televisi terhadap anak terutama untuk masalah kecerdasan dan kepribadian
anak dengan lebih memperhatikan tayangan-tayangan yang ditonton oleh
9 anak-anak termasuk frekuensi anak-anak menonton televisi diluar jam
belajarnya. Memang masih ada beberapa hal yang kurang disadari oleh orangtua
yang berhubungan dengan tayangan televisi untuk program anak-anak diantaranya, kurangnya perhatian orang tua mengenai film-film kartun yang
dikonsumsi anak-anak yang kelihatan layak untuk ditonton padahal terdapat unsur kekerasan yang bisa menyebabkan anak menjadi lebih agresif.
Tayangan-tayangan yang kurang mendidik dapat menurunkan tingkat kecerdasan anak, tayangan yang mengandung unsur seksisme menyebabkan
anak dewasa sebelum waktunya, dan masih banyak lagi yang lainnya. Seperti yang dijelaskan di atas, bahwa tidak hanya dampak negatif
yang dibawa oleh televisi. Dampak dan manfaat positifnya juga banyak terkandung di dalamnya. Meskipun film anak-anak tersebut mengandung
unsur-unsur kekerasan, seksisme serta kenakalan maupun kelicikan, akan tetapi di dalamnya juga terdapat nilai-nilai kebersamaan, kasih sayang, tolong
menolong, dan juga toleransi. Sekali lagi, orang tua memiliki peranan yang sangat penting khususnya ibu rumah tangga yang cenderung lebih dekat
dengan anak-anak dalam keseharian dan lebih banyak menghabiskan waktu bersama. Hal ini bukan berarti mengesampingkan fungsi atupun tugas
seorang ayah. Masyarakat patriarki memposisikan perempuan sebagai orang yang
bertanggungkawab dalam urusan domestik. Oleh karena itu, mereka ditempatkan di rumah untuk mengurus rumah tangga termasuk anak-anak.
Tidak jadi masalah ketika ibu rumah tangga benar-benar menghabiskan
10 seluruh waktunya untuk mengurus rumah. Namun yang menjadi menarik
adalah ketika pekerjaan para ibu rumah tangga ini beragam, mulai dari buruh pabrik, guru, PNS, pedagang atau yang lainnya. Tingkat pendidikan para ibu
rumah tangga tersebut juga beragam. Latar belakang pendidikan seseorang akan mempengaruhi cara berpikir yang akan berdampak pula kepada pola
asuh terhadap anak. Dalam hal menonton televisi, para ibu harus bersikap kritis terhadap program acara yang ditonton serta memilih apakah program
acara tersebut cocok dengan usia anak-anaknya? Apakah bersifat mendidik atau justru merusak moral anak?
Melalui lingkungan keluargalah anak mengenal dunia sekitarnya dan pola pergaulan hidup yang berlaku sehari-hari. Melalui lingkungan keluarga
ini pula anak mengalami proses sosialisasi awal. Orang tua, saudara-saudara maupun kerabat terdekat mencurahkan perhatiannya untuk mendidik anak,
supaya anak tersebut memperoleh dasar-dasar pola pergaulan hidup yang benar dan baik, melalui penanaman disiplin dan kebebasan serta
penyerasiannya. Sosialisasi ini dilakukan melalui kasih sayang. Berdasarkan kasih sayang ini anak-anak dididik untuk mengenal nilai-nilai tertentu, seperti
nilai ketertiban dan ketentraman, nilai kelestarian dan sebagainya. Dari kegiatan prasurvey yang dilakukan peneliti di perumahan Griya
Permata Meri Kecamatan Magersari Kota Mojokerto. Diperoleh data bahwa acara televisi anak-anak yang paling digemari saat ini adalah sinetron
Tendangan Si Madun yang tayang di MNC TV. Sinetron tersebut menceritakan seorang anak yang gemar bermain bola, akan tetapi bapaknya
menginginkan anaknya tersebut untuk menjadi seorang ustadz. Para orang tua
11 khususnya ibu-ibu juga ikut menonton program acara tersebut mengikuti
anak-anaknya karena jam tayangnya bersamaan dengan waktu berkumpul keluarga. Sejauh pengamatan yang dilakukan peneliti, para ibu kebanyakan
hanya sekedar ikut menonton tanpa ada komunikasi yang berarti mengenai setiap adegan yang sedang ditampilkan di layar kaca. Anak-anakpun asyik
sendiri dengan menirukan ucapan-ucapan jurus-jurus yang dilontarkan ketika para aktor melakukan tendangan-tendangan saat bermain bola.
Tendangan Si Madun termasuk dalam jenis acara utuk anak-anak. Akan tetapi di dalamnya ada unsur kekerasan perkelahian di setiap episode
yang ditayangkan. Selain itu, ada juga unsur-unsur persaingan, iri hati, dendam, saling mengejek, kelicikan, walaupun ada unsur-unsur positif
diantaranya kerjasama, saling membantu dan kreatifitas. Sehubungan dengan fenomena tersebut, peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian tentang Pemaknaan Penonton Tentang Tayangan “Tendangan Si Madun” Studi Resepsi Ibu Rumah Tangga dan Anak-
anak di Perumahan Griya Permata Meri Kota Mojokerto.
II. RUMUSAN MASALAH