Taubat dalam pandangan Islam harus dilakukan segera dan diiringi dengan tekad untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang telah
diperbuat. Kesungguhan dalam bertaubat harus dibuktikan dalam bentuk melaksanakan perbuatan-perbuatan baik. Taubat dalam pandangan Islam
artinya ruju’ kembali pada perbuatan-perbuatan yang baik serta diridhai oleh Allah swt. Dengan demikian, taubat berarti kembali kepada fitrah
kemanusiaan, kesucian dan dengan melaksanakan atau mematuhi dan menaati perintah Allah swt. serta meninggalkan seluruh perbuatan yang dapat menodai
fitrah kemanusiaan. Esensi taubah dalam konsep hukum Islam yang terkait dengan pemidanaan penjara, sejalan dengan konsep pemidanaan dalam Sistem
Pemasyarakatan di Indonesia.
5
B. Pembebasan Bersyarat dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam
1. Pembebasan Bersyarat dalam Perspektif Hukum Positif
a. Pengertian dan Dasar Hukum Pembebasan Bersyarat
Yang dimaksud dengan Pembebasan Bersyarat adalah bebasnya Narapidana setelah menjalani sekurang-kurangnya 23 dua pertiga masa
5
M. Lubabul Mubahitsin, Pidana Penjara Dalam Pandangan Islam, diakses pada tanggal 15 November 2009 dari http:lubabulmubahitsin.blogspot.com200802pidana-penjara-dalam-
pandangan-islam.html
pidananya dengan ketentuan 23 dua pertiga masa pidananya tersebut tidak kurang dari 9 sembilan bulan.
6
Adapun dasar hukum tentang pemberian bebas bersyarat bagi Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan diatur dalam pasal 15 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana KUHP, yaitu : 1
Jika terpidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, maka ia dapat dikenakan
pelepasan bersyarat. Jika terpidana harus menjalani beberapa pidana berturut-turut, pidana itu dianggap sebagai satu
pidana. 2
Ketika memberikan pelepasan bersyarat, ditentukan pula suatu masa percobaan, serta ditetapkan syrat-syarat yang harus
dipenuhi selama masa percobaan. 3
Masa percobaan itu lamanya sama dengan sisa waktu pidana penjara yang belurn dijalani, ditambah satu tahun. Jika
terpidana ada dalam tahanan yang sah maka waktu itu tidak termasuk masa percobaan.
Dalam Pasal Pasal 14 Ayat 1 huruf k Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan juga diterangkan bahwa Narapidana
berhak mendapatkan pembebasan bersyarat. Juga dalam Pasal 43 PP No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Warga
Binaan Pemasyarakatan diterangkan bahwa: 1
Setiap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan kecuali Anak Sipil, berhak mendapatkan pembebasan bersyarat.
6
Penjelasan huruf k Pasal 14 Penjelasan atas UU No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Lihat juga Penjelasan huruf b Pasal 35 Penjelasan atas PP No. 31 tahun 1999
tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.
2 Pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 bagi
Narapidana dan Anak Pidana setelah menjalani pidana sekurang- kurangnya 23 dua pertiga dari masa pidananya dengan
ketentuan 23 dua pertiga masa pidana tersebut tidak kurang dari 9 sembilan bulan.
3 Pembebasan bersyarat bagi Anak Negara diberikan setelah
menjalani pembinaan sekurang-kurangnya 1 satu tahun. b.
Azas, Maksud dan Tujuan Pemberian Pembebasan Bersyarat Berdasarkan keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia
Nomor: M. 01. PK. 04-10 Tahun 1999, bahwa dalarn pelaksanaan pem- bebasan bersyarat ini mempunyai azas, maksud dan tujuan yang ingin
dicapai. Adapun Azas Pembebasan Bersyarat yang terdapat dalam Pasal 2,
terdiri dari: a.
Azas Pengayoman. b.
Azas Persamaan Perlakuan dan Pelayanan. c.
Azas Pendidikan. d.
Azas Pembimbingan. e.
Azas Penghormatan Harkat dan Martabat Manusia. f.
Azas Kehilangan Kemerdekaan Merupakan Satu-satunya Penderitaan g.
Azas Terjaminnya Hak Untuk Tetap Berhubungan dengan Keluarga dan Orang-orang tertentu.
Sedangkan tujuan Pembebasan Bersyarat yang terdapat dalam Pasal 6, yakni:
a. Membangkitkan motivasi atau dorongan pada diri narapidana
kearah pencapaian tujuan pembinaan. b.
Memberikan kesempatan bagi narapidana guna mempersiapkan diri hidup mandiri di tengah masyarakat setelah bebas menjalani pidana.
c. Mendorong masyarakat untuk berperan secara aktif dalam
penyelenggaraan pemasyarakatan.
Maksud Pembebasan Bersyarat sebagaimana yang disebutkan, dalam Pasal 5 adalah salah satu upaya untuk memulihkan hubungan
Narapidana dengan masyarakat secara sehat. Sedangkan maksud dan tujuan
dari pada pemberian pembebasan bersyarat menurut Aruan Sakidjo dan Bambang Purnomo
adalah untuk transisi atau memudahkan kembalinya terpidana kemasyarakat dan pemberian pelepasan bersyarat sebelum
selesainya masa pidana itu juga dimaksudkan untuk mendorong terpidana untuk berkelakuan baik dalam penjara. Supaya terpidana tidak mengulangi
kejahatan lagi, dan supaya terpidana yang diberikan pelepasan bersyarat dari penjara itu diberi pertolongan untuk berbuat baik dengan bantuan
Reklaresing.
7
c. Syarat-Syarat Pembebasan Bersyarat
Berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nornor : M. 01. PK. 04-10 Tahun 1999 tentang Asimilasi, Pembebasan
bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas, seseorang Narapidana dapat diberikan izin untuk memperoleh pembebasan bersyarat apabila memenuhi 2 dua
persyaratan pokok, yaitu persyaratan subtantif dan persyaratan administratif.
1 Persyaratan Subtantif
7
Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana, Dasar Aturan Hukum Pidana Kodifikasi,
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1989, h. 114.
Dalam Pasal 7 ayat 2 Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M. 01. PK. 04-10 Tahun 1999, menerangkan bahwa
persyaratan subtantif terdiri dari: a.
Telah menunjukan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana.
b. Telah menunjukan perkembangan budi perkerti dan moral yang
positif. c.
Berhasil mengikuti program pembinaan dengan tekun dan bersemangat.
d. Masyarakat telah dapat menerima program kegiatan pembinaan
narapidana yang bersangkutan. e.
Selama menjalankan pidana, narapidana tidak pernah mendapatkan hukuman disiplin sekurang-kurangnya dalan waktu 9 sembilan
bulan terakhir.
f. Masa pidana yang telah dijalani 23 dari masa pidananya dengan
ketentuan 23 tersebut tidak kurang dari 9 sembilan bulan. 2
Persyaratan Administratif Dalam Pasal 8 Keputusan Menteri Kehakiman Republik
Indonesia Nomor : M. Ol. PK. 04-10 Tahun 1999, dinyatakan bahwa persyaratan administratif terdiri dari:
a. Salinan putusan pengadilan.
b. Surat keterangan asli dari kejaksaan bahwa narapidana yang ber-
sangkutan tidak mempuyai perkara atau tersangkut dengan tindak pidana lainnya.
c. Laporan penelitian Kemasyarakatan dari BAPAS tentang pihak
keluarga yang akan menerima narapidana, keadaan masyarakat
sekitarnya dan pihak lain yang ada hubungannya dengan nara- pidana.
d. Salinan daftar yang memuat tentang pelanggaran tata tertib yang
dilakukan narapidana selama menjalankan masa pidana dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan.
e. Salinan daftar perubahan atau pengurangan masa pidana seperti
grasi, remisi, dan lain-lain dari Kepala Lembaga Pemasyrakatan. f.
Surat pernyataan kesanggupan dari pihak yang akan menerima narapidana, seperti pihak keluarga, sekolah, intansi pemerintah atau
swasta dengan diketahui oleh Pemerintah Daerah setempat serendah-rendahnya Lurah atau Kepala Desa.
g. Surat keterangan kesehatan dari psikolog atau dari dokter bahwa
narapidana sehat baik jasmani atau jiwanya dan apabila di lembaga tidak ada psikolog dan dokter, maka surat keterangan dapat diminta
kepada dokter puskesmas atau rumah sakit umum.
h. Bagi narapidana warga negara asing diperlukan syarat tambahan
berupa surat keterangan sanggup menjamin Kedutaan Besar atau Konsulat negara orang asing yang bersangkutan dan surat
rekomendasi dari Kepala Kantor Imigrasi setempat.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia
Nomor: M. 01. PK. 04-10 Tahun 1999 dalam Pasal 9, terhadap narapidana yang melakukan tindak pidana subversi dapat diberikan pembebasan
bersyarat dengan syarat tambahan yaitu : 1
Kesadaran dan perilaku narapidana yang bersangkutan semakin membaik selama dalam Lembaga Pemasyarakatan.
2 Adanya kesediaan dari seseorang, badan atau lembaga yang
memberikan jaminan secara tertulis di atas materai.
d. Wewenang dan Prosedur Pembebasan Bersyarat
Dalam hal pembebasan bersyarat terhadap narapidana tidak terlepas dari adanya wewenang dan tata caranya. Sebagaimana ditentukan dalam
Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M. 01. PK. 04-10 Tahun 1999, dinyatakan bahwa Pejabat yang berwenang untuk
melakukan pembebasan bersyarat terhadap narapidana adalah Menteri Kehakiman atau pejabat yang ditunjuk untuk itu.
Sedangkan tata cara untuk memperoleh pembebasan bersyarat itu adalah sebagai berikut:
1 Tim Pengamat Pemasyarakatan TPP Lembaga Pemasyarakatan
setelah mendengar pendapat anggota tim serta telah mempelajari laporan penelitian kemasyarakatan dari Balai Pemasyarakatan
mengusulkan kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan yang di tuangkan dalam formulir yang telah ditetapkan.
2 Kepala Lembaga Pemasyarakatan apabila menyetujui usulan tim
Pengamat Pemasyrakatan LAPAS selanjutnya melanjutkan usul tersebut kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman
setempat. 3
Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dapat menolak atau menyetujui usul Kepala LAPAS setelah mempertimbangkan hasil
sidang TPP Kantor Wilayah Departemen Kehakiman setempat; 4
Apabila Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman menolak usul Kepala Lembaga Pemasyarakatan, maka dalam jangka waktu paling
lambat 14 empat belas hari sejak diterimanya usul tersebut mem-
beritahukan penolakan itu berserta alasannya kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan.
5 Tetapi apabila Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman
menyetujui usul Kepala Lembaga Pemasyarakatan maka dalam jangka waktu paling lambat 14 empat belas hari terhitung sejak diterimanya
usul tersebut dan meneruskan usul Kepala Lembaga Pemasyarakatan kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan.
6 Direktur Jenderal Pemasyarakatan dalam jangka paling lambat 30 tiga
puluh hari terhitung sejak tanggal diterimanya usul Kepala Lembaga Pemasyarakatan, Direktur Jenderal Pemasyarakatan menetapkan
penolakan atau persetujuan terhadap usul tersebut. 7
Apabila Direktur Jenderal Pemasyarakatan menolak usul tersebut, maka dalam jangka waktu paling lambat 14 empat belas hari
terhitung sejak tanggal penetapan memberitahu penolakan itu beserta alasannya kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan,
8 Tetapi sebaiknya apabila Direktur Jenderal Pemasyarakatan
menyetujui usul Kepala Lembaga Pemasyarakatan, maka usul tersebut diteruskan kepada Menteri Kehakiman untuk mendapatkan
persetujuan. Apabila Menteri Kehakiman menyetujui usul tersebut maka dikeluarkan keputusan Menteri Kehakiman mengenai
pembebasan bersyarat.
e. Kewajiban, Pencabutan dan Pemberian Saksi Pelanggaran dalam
Pembebasan Bersyarat Dalam menjalankan masa pembebasan bersyarat Narapidana
memiliki beberapa kewajiban yang harus dipenuhi. Adapun kewajiban- kewajiban yang harus di penuhi oleh narapidana bebas bersyarat, yaitu :
a. Tidak melanggar peraturan hukum yang ada;
b. Dalam bulan pertama, 1 satu kali seminggu narapidana bebas
bersyarat wajib melapor ke Balai Pemasyarakatan; c.
Dalam bulan kedua, 2 dua kali seminggu narapidana bebas bersyarat wajib melapor ke Balai Pemasyarakatan;
d. Dan 1 satu bulan sekali narapidana bebas bersyarat wajib
melapor ke Balai Pemasyarakatan. Narapidana bebas bersyarat wajib melapor, yang pelaksanaannya
dilakukan dalam bentuk-bentuk sendiri-sendiri atau secara individu, jika tidak melapor maka petugas Balai Pemasyarakatan tersebut datang
kerumah nara-pidana bebas bersyarat tersebut. Dalam pemberian pembebasan bersyarat dapat pula dicabut oleh
Direktur Jenderal Pemasyarakatan atas usul Kepala BAPAS melalui Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman setempat, apabila narapidana :
a. malas bekerja;
b. mengulangi melakukan tindak pidana;
c. menimbulkan keresahan dalam masyarakat; dan atau
d. melanggar ketentuan mengenai pelaksanaan asimilasi, pembebasan
bersyarat dan cuti menjelang bebas. Pencabutan pembebasan bersyarat dapat dijatuhkan sementara
setelah diperoleh informasi mengenai alasan-alasan pencabutan tersebut. Kemudian Kepala Lembaga Pemasyarakatan berkewajiban melakukan
pemeriksaan terhadap narapidana dan apabila terdapat bukti-bukti yang kuat, maka pencabutan dijatuhkan secara tetap. Kepala Lembaga
Pemasyarakatan melaporkan pencabutan tersebut kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan yang dilengkapi denagan alasan-alasannya serta Berita
Acara Pemeriksaan. Pemberian sanksi terhadap narapidana yang dicabut pembebasan
bersyaratnya dapat berupa : 1.
Untuk tahun pertama setelah dilakukan pencabutan tidak dapat diberikan remisi.
2. Untuk pencabutan kedua kalinya tidak dapat diberikan asimilasi,
pem-bebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan cuti mengunjungi keluarga selama menjalani sisa pidananya.
3. Masa selama di luar Lembaga Pemasyarakatan tidak dihitung
sebagai menjalani pidana. Sedangkan terhadap anak negara yang dicabut pembebasan ber-
syaratnya dapat dikenakan sanksi berupa : 1.
Masa selama berada dalam bimbingan Balai Pemasyarakatan dihitung sebagai masa menjalankan pendidikan.
2. Untuk 6 enam bulan pertama setelah dilakukan pencabutan tidak
dapat diberikan asimilasi, dan pembebasan bersyarat.
3. Untuk pencabutan kedua kalinya selama menjalani masa
pendidikan tidak diberiakan asimilasi, pembebasan bersyarat dan cuti mengunjungi keluarga.
Apabila alasan pencabutan pembebasan bersyarat disebabkan nara- pidana melakukan tindak pidana, Kepala Lembaga Pemasyarakatan atau
Kepala Balai Pemasyarakatan melaporkan kepada Kepolisian dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah Departernen Kehakiman dan
Direktur Jenderal Pemasyarakatan.
2. Pembebasan Bersyarat dalam Perspektif Hukum Islam
Secara umum, konsep pembebasan bersyarat dalam hukum positif pada dasarnya merupakan suatu rangkaian dari sistem pelaksanaan hukuman
pidana, yakni pidana penjara yang kemudian mengalami kemajuan dengan konsep pembinaan yang diharapkan akan menjadikan terpidana akan menjadi
lebih baik dengan program-program yang telah diupayakan dapat mengembalikan pemberdayaannya dalam lingkungan masyarakat.
Sering kita dengar istilah bahwa seseorang yang dihadirkan di depan meja persidangan sedang duduk di “kursi pesakitan”. Istilah ini menunjukkan
bahwa pada dasarnya seseorang yang menjadi terdakwa yang kemudian terbukti menjadi terpidana benar adanya bahwa ia “sedang sakit” secara
mental yang harus dipulihkan.
Oleh karena itu, pemulihan yang dapat dilakukan adalah dengan cara pembinaan-pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan, yakni dengan cara
membina mental mereka agar mereka bisa kembali kelingkungannya dan dapat diterima masyarakat. Terobosan-terobosan tersebut relevan dengan
kondisi sekarang ini karena semakin meningkatnya populasi masyarakat juga bisa mempengaruhi kondisi kriminalitas di suatu lingkungan tertentu yang
kemudian akan berimbas pada meningkatnya populasi penghuni penjara atau Lembaga Pemasyarakatan.
Salah satu programnya dalam pembinaan yaitu pembebasan bersyarat - yang sudah penulis bahas dalam bab sebelumnya juga relevan dengan kondisi
sekarang yang diberikan dengan pertimbangan-pertimbangan yang ketat agar pelaksanaannya tetap sesuai dengan tujuannya.
Dalam konsep hukum Islam, dikenal dengan asas pemberian maaf atau pemaafan yakni si korban atau ahli waris korban bersedia memberikan maaf
kepada pelaku yang mengakibatkan pelaku bebas bersyarat atau bebas sama sekali tanpa syarat. Konsep pemberian maaf ini berdasarkan firman Allah
SWT:
☺ ⌦
⌧
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash
8
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan
wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah yang memaafkan mengikuti dengan cara
yang baik, dan hendaklah yang diberi maaf membayar diat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula. yang
demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka
baginya siksa yang sangat pedih”
QS. Al-Baqarah2 : 178 Dalam hal masalah qishash di atas, Al-Qur’an menegaskan bahwa
pelaku kejahatan dapat bebas dari pada hukuman qishash baik dengan syarat menebus atau membayar diyat yaitu sejumlah harta tertentu kepada pihak
korban atau keluarganya atau bahkan bebas sama sekali tanpa syarat sesuai dengan kebijaksanaan pihak korban atau keluarganya. Hal ini akan membawa
kebaikan bagi kedua belah pihak. Tidak ada lagi dendam antara kedua pihak
8
Tafsir Ayat: Qishaash ialah mengambil pembalasan yang sama. qishaash itu tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat kemaafan dari ahli waris yang terbunuh yaitu
dengan membayar diyat ganti rugi yang wajar. pembayaran diyat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah
membayarnya dengan baik, umpamanya tidak menangguh-nangguhkannya. Bila ahli waris si korban sesudah Tuhan menjelaskan hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh,
atau membunuh si pembunuh setelah menerima diyat, Maka terhadapnya di dunia diambil qishaash dan di akhirat dia mendapat siksa yang pedih.
tersebut. Pihak korban mendapat perbaikan dari sanksi yang dijatuhkan, serta ada peranan korban dalam sistem dan proses peradilan pidana.
9
Dalam hukum pidana Islam juga dikenal dengan istilah Shulh perdamaian yang memiliki arti bahasa
ْ ﺔ ﺰﻨﻤْﻟا
, yang artinya memutuskan perselisihan. Dalam istilah syara’, seperti yang dikemukakan
oleh Sayid Sabiq, Shulh adalah sebagi berikut:
ٌﺪْﻘ ﻰﻬْﻨﻳ
ﺔ ْﻮ ﺨْﻟا ﻦْ
ﻦْﻤ ﺎﺨ ﻤْﻟا
“Suatu akad perjanjian yang menyelesaikan persengketaan antara dua orang yang bersengketa berperkara.
10
Apabila pengertian tersebut dikaitkan dengan qishash, shulh berarti perjanjian atau perdamaian antara pihak wali korban dengan pembunuh untuk
membebaskan hukuman qishash dengan imbalan. Para ulama telah sepakat tentang dibolehkannya shulh perdamaian dalam qishash, sehingga dengan
demikian qishash menjadi gugur.
11
Shulh perdamaian ini statusnya sama dengan pemaafan, baik dalam
hak pemiliknya, maupun dalam pengaruh atau akibat hukumnya, yaitu dapat menggugurkan qishash. Perbedaannya dengan pengampunan adalah
pengampunan itu pembebasan qishash tanpa imbalan, sedangkan shulh adalah
9
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam; Penegakan Syariat dalam Wacana dan Agenda,
Jakarta: Gema Insani Press, 2003, cet. Ke-I, h. 93.
10
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid III, Beirut: Dar Al-Fikr, 1980, h. 305.
11
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, cet. Ke-I, h. 163.
pembebasan dengan imbalan. Memang dimungkinkan pemaafan dari qishash dengan imbalan diyat, seperti dikemukakan oleh Imam Syafi’I dan Imam
Ahmad, namun menurut Hanafiyah dan Malikiyah, hal itu harus dengan persetujuan pelaku, dan kalau demikian, hal itu bukan pemaafan malainkan
shulh perdamaian.
12
Pada tahapan selanjutnya, program-program yang diadakan di Lembaga Pemasyarakatan juga memiliki relevansinya dengan konsep taubah dalam
Islam yang mengacu pada pembinaan mental agar kembali pada jalan yang semestinya. Oleh karena itu, pelaksanaannya merupakan tugas hakim yang
menentukannya karena konsep-konsep di atas merupakan bentuk ta’zir sehingga jelas akan berbeda pelaksanaannya dari satu Negara dengan Negara
yang lainnya. Dalam konsep Islam dijelaskan bahwa pengertian taubat secara bahasa
berasal dari bahasa arab yaitu dari kata taba, yang berarti raja’a kembali.
13
Secara istilah terminologi Islam, kebanyakan ulama merumuskan taubat dengan arti meninggalkan dosa dalam segala bentuk, menyesali dosa yang
pernah dilakukan, dan bertekad untuk tidak melakukan dosa lagi.
14
Dari pengertian tersebut di atas, makna raja’a kembali secara konsepsi dapat dipadukan dengan konsep pembinaan di LAPAS yang akan
12
Ibid. h. 163-164.
13
Burhanudin Jamaludin, Konsep Taubat, Pintu Peengampunan Dosa Besar Syirik Masih Terbuka,
cet. I, Surabaya: Penerbit Dunia Ilmu, 1996, h.1.
14
Ibid. h. 3
membina para terpidana agar kembali menjadi warga masyarakat yang dapat diterima dilingkungannya dengan tidak melakukan pelanggaran-pelangaran
hukum. Sedangkan dalam istilahnya meninggalkan segala bentuk pelanggaran-pelanggaran yang dulu pernah ia perbuat, menyesali apa yang
pernah dilakukannya dan memiliki tekad untuk tidak mengulanginya lagi. Tiga hal tersebutlah yang menjadi syarat dari pada taubat. Bentuk karantina
itu untuk dapat mengembalikan agar menjadi lebih baik. Dalam pelaksanaanya, pembinaan tersebut diawasi dengan ketat yang kemudian
dievaluasi untuk pelaksanaan program selanjutnya yakni dibebaskannya terpidana dengan syarat sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Yang
terpenting dalam program-program tersebut adalah tidak keluar dari tujuan pemidanaan yang telah dibahas penulis dalam bab sebelumnya.
Dalam konsep taubat sebenarnya yang dapat menerimanya hanyalah Tuhan Yang Maha Esa. Namun dalam kesungguhannya bertaubat, sisi mental
seseorang akan terpengaruh karena telah hilangnya rasa dosa dan bersalah. Dalam pengertian ini dosa dihubungkan dengan pengertian moral, agama dan
adat kebiasaan peraturan yang disepakati bersama. Orang yang berdosa adalah orang yang menyimpang tingkah lakunya dari aturan moral, dan adat
kebiasaan. Jadi dalam pengertian dosa itu terdapat hubungan antara ilmu jiwa dan agama, moral serta adat kebiasaan manusia.
15
15
Yahya Jaya, Peranan Taubat dan Maaf Dalam Kesehatan Mental, cet. Ke-III, Jakarta: CV. Ruhama, 1995, h. 25.
Para ahli jiwa dan agama sepakat, bahwa rasa berdosa dapat merusak ketentraman batin dan kebahagian hidup. Dan mereka juga sependapat, bahwa
perbuatan baik dan amal sholeh membawa kepada ketentraman dan kebahagiaan hidup manusia.
16
Dalam Islam ada dalil yang menunjukkan kebenaran tersebut, misalnya dalam hadits berikut:
ﺳو ْ ﷲا ﻰﱠ ﺒﱠﻨﻟا لﺎ ْﻘْﻟا ْﻟإ ﱠنﺄﻤْ او ْﱠﻨﻟا ْﻟا ْ ﻨﻜﺳ ﺎ ﺮﺒْﻟا
ْ ﻟ ﺎ ْﺛﻻْاو ْﻮ ْﻤْﻟا كﺎ ْأ ْناو بْﻮ ﻘْﻟا ْﻟا ﱠﻦﺌﻤْ ﻳ ْ ﻟو ْﱠﻨﻟا ْﻟا ْﻦﻜْﺴ
ن .
ﻩاور راﺪﻟاو ﺪﻤﺣأ
17
Artinya: “Rasulullah saw. bersabda: Perbuatan baik adalah sesuatu yang membuat jiwa tentram dan hati menjadi tenang dan perbuatan dosa
adalah perbuatan yang menjadikan jiwa goncang dan hati gusar sekalipun kamu mendapat petuah atau nasihat dari ahli fatwa.
HR. Ahmad dan ad-Darimi.
Taubat dalam ajaran Islam memiliki pengertian yang luas, karena ia menyangkut penataan kembali kehidupan manusia yang sudah berantakan,
dan perbaikan kembali mental seseorang yang sudah rusak akibat perbuatan dosa dan maksiat yang telah dilakukannya. Di samping perintah dan anjuran
taubat banyak terdapat Al-Qur’an dan Sunnah. Ia juga dibahas dalam ilmu syariah, tasawuf, akhlak dan filsafat islam. Karena taubat dalam Islam
merupakan keharusan serta kekuatan penyelamat bagi kehidupan manusia yang berantakan dan jiwa yang terganggu dan sakit.
18
16
Ibid.
17
Ahmad Ibn Hanbal Abu Abdullah Asy-Syaibani, Musnad Al-Imam Ahmad Ibn Hanbal, Kairo: Muassasah al-Qurtubah, t.th., juz. 4, hadits No. 17777, h. 194.
18
Ibid. h 52.
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan konsep pembebasan bersyarat dengan bertaubat memiliki hubungan yang erat.
Pembebasan bersyarat tidak akan diberikan jika terpidana tidak memenuhi persyaratan-persyaratan sesuai peraturan perundang-undangan yang meliputi
syarat substantif dan administratif. Demikian pula dengan konsep taubat agar pelakunya memenuhi persyaratan-persyaratan agar taubatnya dapat diterima.
BAB IV ANALISA HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM TENTANG