Pidana dan Pemidanaan TINJAUAN UMUM TENTANG SISTEM PEMIDANAAN MENURUT

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SISTEM PEMIDANAAN MENURUT

HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

A. Pidana dan Pemidanaan

1. Pengertian Umum Pidana dan Pemidanaan Sehubungan dengan pengertian pidana Soedarto mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. 1 Sedangkan Roeslan Saleh menyatakan pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang disengaja ditimpakan Negara pada pembuat delik itu. 2 Namun selanjutnya Roeslan Saleh menyatakan bahwa memang nestapa ini bukanlah suatu tujuan yang terakhir yang dicita-citakan masyarakat. Dari beberapa definisi di atas dapatlah disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut: a Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan; b Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan oleh yang berwenang; dan c Pidana itu dikenakan kepada seseorang atau Badan Hukum korporasi yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang. 3 1 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1984, h. 2. 2 Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta: Aksara Baru, h. 9. 3 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Kebijkan Pidana, h. 2-4. 17 Namun, tidak semua sarjana berpendapat bahwa pidana pada hakekatnya adalah suatu penderitaan atau nestapa. Menurut Hulsman, hakikat pidana adalah “menyerukan untuk tertib” lot de orde reopen. Pidana pada hakekatnya mempunyai dua tujuan utama yakni untuk mempengaruhi tingkah laku gedragsbeinvloeding dan penyelesaian konflik confloctoplossing. Penyelesaian konflik ini dapat terdiri dari perbaikan kerugian yang dialami atau perbaikan hubungan baik yang dirusak atau pengembalian kepercayaan antar sesama manusia. Demikian pula GP Hoefnagels tidak setuju dengan pendapat bahwa pidana merupa-kan suatu pencelaan cencure atau suatu penjeraan discouragement atau merupakan suatu penderitaan suffering. Pendapat ini bertolak pada pengertian yang luas bahwa sanksi dalam hukumpidana adalah semua reaksi pada pelanggaran hukum yang telah ditentukan oleh undang- undang, sejak penahanan dan pengusutan terdakwa oleh polisi sampai vonis dijatuhkan. 4 Sedangkan pengertian pemidanaan dapat diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang- undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi hukum pidana. Karena sistem pemidanaan dapat mencakup pengertian yang sangat luas, maka L.H.C. Hulsman pernah mengemukakan, bahwa sistem pemidanaan the 4 Dwidja Priyantno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2006, cet. I, h. 8. sentencing system adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan the statutory rules relating to penal sanctions and punishment. 5 Sedangkan dalam hukum pidana Islam yang dimaksud dengan Pemidanaan atau Hukuman, dalam bahasa Arab disebut “uqubat”. Lafaz ini diambil dari lafaz ﺎ yang sinonimnya ًءاْﻮﺳ ﺎﻤ ءْﺮﻤﻟا يﺰْ ْنأ 6 , artinya: “memberikan hukuman kepada pelaku kejahatan” atau ْ ﺎﻤ ًءاْﻮﺳ ﻩاﺰ “membalasnya sesuai dengan apa yang dilakukannya”. Allah swt telah menetapkan hukum-hukum uqubat pidana, sanksi, dan pelanggaran dalam peraturan Islam sebagai “pencegah” dan “penebus”. Selain kedua hal tersebut, pemidanaan menurut Islam juga bertujuan sebagai perbaikan dan pendidikan. Sebagai pencegah, karena ia berfungsi mencegah manusia dari tindakan kriminal, dan sebagai penebus, karena ia berfungsi menebus dosa seorang muslim dari azab Allah di hari kiamat. Sistem pidana Islam sebagai “pencegah”, akan membuat jera manusia sehingga tidak akan melakukan kejahatan serupa. Misalnya dengan menyaksikan hukuman qishash bagi pelaku pembunuhan, akan membuat anggota masyarakat enggan untuk membunuh sehingga nyawa manusia di tengah masyarakat akan dapat terjamin dengan baik. Keberadaan uqubat dalam Islam, yang berfungsi sebagai 5 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hujum Pidana, Cet. Ke-III, T.tp: PT. Citra Aditya Bakti, 2005, h. 117. 6 Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, Beirut: Dar Shodir, t.th, juz 1, h. 619. pencegah, telah diterangkan dalam Al-Qur’an yang mengatur tentang hukuman qishash: ةﺮﻘﺒﻟا \ 2 : 179 Artinya: “Dan dalam qishaash itu ada jaminan kelangsungan hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa”. QS. Al-Baqarah2 : 179 2. Tujuan Pemidanaan Mengenai tujuan pemidanaan, semula hanyalah dimaksudkan untuk sekedar menjatuhkan pidana terhadap pelanggar hukum. Namun, dalam perkembangannya, pemidanaan selalu terkait dengan tujuan yang ingin dicapai dengan pemidanaan tersebut. Sebagaimana halnya dengan aliran-aliran dalam hukum pidana, pemikiran-pemikiran tentang tujuan pemidanaan berkembang dari waktu ke waktu. 7 Secara umum tujuan pemidanaan dapat dilihat dari teori-teori pemidanaan yang digolongkan secara tradisional menjadi 2 dua, yaitu teori absolute atau teori pembalasan retributive vergeldings dan teori relative atau teori tujuan utilitarian doeltheorieen. Namun, dengan perkembangan kedua teori hukum tersebut kemudian lahir teori gabungan atau integrative yang menggabungkan keduanya. 7 Agustinus Purnomo Hadi, Pembebasan Bersyarat: Bagian Dari Proses Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana Yang Terpadu Intergrated Criminal Justice System, Tesis S2 Pogram Studi Ilmu Hukum ,Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 1999, h. 35. 1 Teori absolute atau teori pembalasan retributive vergeldings Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana quia peccatum est pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagi suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi, dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri. Menurut Johanes Andrenaes tujuan utama primair dari pidana menurut teori absolute ialah “untuk memuaskan tuntutan keadilan” to satisfy the claims of justice sedangkan pengaruh- pengaruhnya yang menguntungkan adalah sekunder. Sedangkan menurut salah seorang tokoh lain dari penganut teori absolute yang terkenal ialah HEGEL yang berpendapat bahwa pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan. Karena kejahatan adalah pengingkaran terhadap ketertiban hukumNegara yang merupakan perwujudan dari cita-susila, maka pidana merupakan “negation der negation” peniadaan atau pengingkaran terhadap pengingkaran. 8 2 Teori relative atau teori tujuan utilitariandoeltheorieen Berdasarkan teori ini, hukuman dijatuhkan untuk melaksanakan maksud atau tujuan hukuman itu, yakni memperbaiki ketidakpuasaan masyarakat sebagai akibat dari kejahatan itu. Tujuan hukuman harus dipandang secara ideal. Selain dari itu, tujuan hukuman adalah untuk mencegah prevensi kejahatan. 9 Namun demikian, pidana juga bukan sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu, teori inipun sering juga disebut teori tujuan utilitarian theory. Jadi, dasar pembenaran adanya pidan menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” karena orang membuat kejahatan melainkan “ne peccatur” supaya orang jangan melakukan kejahatan. 10 8 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, cet. Ke-III, Bandung : PT. Alumni, 2005, h. 10-12. 9 Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, cet. Ke-III, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, h. 106. 10 Muladi dan Barda Nawawi Arief, h. 16. 3 Teori integrative atau gabungan Pada dasarnya, teori gabungan adalah gabungan kedua teori di atas. Gabungan kedua teori itu mengajarkan bahwa penjatuhan hukuman adalah untuk mempertahankan tata tertib hukumdalam masyarakat dan memperbaiki pribadi si penjahat. Sedangkan maksud pokok dari pada pemidanaan dalam hukum pidana Islam, yakni untuk memelihara dan menciptakan kemaslahatan manusia dan menjaga mereka dari hal-hal yang mafsadah, karena Islam itu sebagai rahmatan lil’alamin, untuk memberi petunjuk dan pelajaran kepada manusia. Hukuman ditetapkan demikian untuk memperbaiki individu menjaga masyarakat dan tertib sosial. 11 Ahmad Hanafi menjelaskan bahwa tujuan pokok dalam penjatuhan hukuman dalam syari’at Islam ialah pencegahan ْ ﱠﺰﻟا و عْدﱠﺮﻟا ﺮ dan pengajaran serta pendidikan ﺬْﻬﱠﻟاو حﻼْﺳﻹا ْﻳ . Pengertian pencegahan ialah menahan pembuat pelaku agar tidak mengulangi perbuatan jarimahnya atau agar tidak terus- menerus memperbuatnya, di samping pencegahannya terhadap orang lain selain pembuat agar ia tidak berbuat jarimah, sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan terhadap orang yang memperbuat pula perbuatan yang sama. 12 Selain mencegah dan menakut-nakuti, Syari’at Islam tidak lalai untuk memberikan perhatiannya terhadap diri pembuat. Bahkan memberikan pelajaran dan mengusahakan kebaikan terhadap diri pembuat merupakan tujuan utama, 11 A. Djazuli, Fiqh Jinayat Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, cet. Ke-II, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997, h. 25. 12 Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Cet. Ke-V, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1993, h. 255. sehingga penjauhan manusia terhadap jarimah bukan karena takut hukuman, melainkan karena kesadaran diri dan kebenciannya terhadap jarimah, serta menjauhkan diri dari lingkungannya, agar mendapat ridho Tuhan. Di samping segi kebaikan pribadi pembuat, syari’at Islam, dalam menjatuhkan hukuman juga bertujuan membentuk masyarakat yang baik dan yang dikuasai oleh rasa saling menghormati dan mencintai antara sesama anggotanya dengan mengetahui batas-batas hak dan kewajiban. Karena suatu jarimah pada hakekatnya adalah merupakan perbuatan yang tidak disenangi dan menginjak-injak keadilan serta membangkitkan kemarahan masyarakat terhadap perbuatannya, di samping menimbulkan rasa kasih sayang terhadap korbannya, maka hukuman yang dijatuhkan atas diri pembuat tidak lain merupakan salah satu cara menyatakan reaksi dan balasan dari masyarakat terhadap perbuatanpembuat yang telah melanggar kehormatannya dan merupakan usaha pemenangan terhadap diri korban. Dengan hukuman itu dimaksudkan untuk memberikan rasa derita yang harus dialami oleh pembuat, sebagai alat penyuci dirinya, dan dengan demikian maka terwujud rasa keadilan. 13 Al-Quran tidak secara jelas dan rinci menjelaskan tujuan dari penghukuman yang dijatuhkan kepada mujrim terpidana, namun para ulama menyimpulkan bahwa tujuan penghukuman di dalam Al-Quran Islam mencakup salah satu dari tiga tujuan ini atau gabungan dari ketiganya, yaitu: a. Pembalasan atas kejahatan atau perbuatan pidana yang dilakukan; b. Memberi efek jera, sehingga tidak mengulangi perbuatan pidana; 13 Ibid., h. 256-257. c. Mendidik dan memperbaiki pelaku perbuatan pidana; d. Ada juga yang menyatakannya untuk melindungi masyarakat, yang sebetulnya juga menjadi tujuan dari tiga tujuan sebelumnya; 14 3. Jenis Sistem Pidana Dalam pelaksanaan pemidanaan, undang-undang telah mengatur hukuman tersebut dalam 2 dua kelompok yakni hukuman pokok dan hukuman tambahan yang ketentuann hukumannya telah ditentukan dalam pasal 10 KUHP. Adapun hukuman Pokok terdiri atas: pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, pidana tutupan terjemahan BPHN. Sedangkan pidana tambahan terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman putusan hakim. 15 a. Pidana Pokok 1 Pidana Mati Pidana ini merupakan pidana yang paling berat menurut hukum positif di Indonesia. Bagi kebanyakan Negara, masalah pidana mati hanya mempunyai arti dari sudut kultur historis. Dikatakan demikian karena, kabanyakan Negara-negara tidak mencantumkan pidana mati ini lagi di dalam Kitab Undang-Undangnya. Sungguhpun demikian, hal ini masih menjadi masalah dalam lapangan Ilmu Hukum Pidana, karena 14 Al Yasa`Abubakar, Hukuman Penjara Dalam Perspektif Syari’at Islam Dan Perbaikan Lembaga Pemasyarakatan Di Indonesia, Makalah ditulis atas permintaan Panitia, Dinas Syari`at Islam Provinsi Aceh, untuk Seminar Workshop Nasional tentang Peningkatan Pelayanan Lembaga Pemasyarakatan sesuai dengan Ruh Syari`at Islam, Banda Aceh 2 Desember 2008. 15 Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Pidana dan Pemidanaan, ed. Ke-I, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, cet. Ke-II, h. 21-22. adanya teriakan-teriakan di tengah-tengah masyarakat untuk meminta kembali diadakannya pidana seperti itu, dan mendesak agar dimasukkan kembali dalam Kitab Undang-Undang. 16 Meskipun terjadi perbendaan pendapat, namun ada alasan argumentasi dari pihak-pihak yang pro maupun yang kontra sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan hukuman mati dalam Kitab Undang-Undang. Adapun alasan dibenarkannya hukuman mati tersebut, yaitu apabila si pelaku telah memperlihatkan dari perbuatannya bahwa ia adalah individu yang sangat berbahaya bagi masyarakat, dan oleh karena itu dia harus dibuat tidak berbahaya lagi dengan cara dikeluarkan dari masyarakat atau pergaulan hidup. 17 Sedangkan alasan keberatan dari hukuman mati tersebut diantaranya adalah bahwa pidana ini tidak dapat ditarik kembali, jika kemudian terjadi kekeliruan. 18 Adapun kejahatan-kejahatan yang diancam dengan hukuman mati dalam KUHP kita misalnya: a Maker membunuh Kepala Negara pasal 140 ayat 4; b Mengajak Negara asing guna menyerang Indonesia pasal 111 ayat 2; c Memberi pertolongan kepada musuh waktu Indonesia dalam perang pasal 124 ayat 3; 16 Ibid. 17 Leden Marpaung, Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sianr Grafika, 2006, cet. Ke-III, h. 108 18 Niniek Suparni, h. 22 d Membunuh Kepala Negara sahabat pasal 140 ayat 4; e Pembunuh dengan direncanakan lebih dahulu pasal 140 ayat 3 dan 340; f Pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih berkawan, pada waktu malam atau dengan jalan membongkar dan sebagainya, yang menjadikan ada orang yang terluka berat atau mati pasal 365 ayat 4; g Pembajakan di laut, di pesisir, di pantai dan di kali, sehingga ada orang mati pasal 444; h Dalam waktu perang menganjurkan huru-hara, pemberontakan dan sebagainya antara pekerja-pekerja dalam perusahaan pertahanan Negara pasal 124 bis; i Dalam waktu perang menipu waktu menyampaikan keperluan angkatan perang pasal 127 ayat 129; j Pemerasan dengan pemberatan pasal 368 ayat 2. 2 Pidana Penjara Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, penjara berarti bangunan tempat mengurung orang hukuman. Pidana penjara adalah salah satu jenis pidana pokok yang terdapat dalam KUHP yang berlaku sekarang Ius Constitutum dan RUU KUHP mendatang Ius Constituendum. Menurut Andi Hamzah, pidana penjara adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan. Pidana kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya dalam bentuk pidana penjara, tetapi juga berupa pengasingan. 19 Menurut P.A.F. Lamintang, pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga 19 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1993, h. 36. pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan, yang dikaitkan dengan sesuatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut. 20 Sementara dalam KUHP, pengertian pidana penjara tidak dijelaskan secara detail. Namun, dalam pasal 12 ayat 1 KUHP, hanya diterangkan bahwa pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu. Pidana penjara bervariasi dari penjara sementara minial 1 satu hari sampai pidana penjara seumur hidup. Pidana penjara seumur hidup hanya tercantum di mana ada ancaman hukuman mati. Jadi pada umumnya pidana penjara maksimum ialah 15 tahun. Keberatan pidana seumur hidup jika dihubungkan dengan tujuan pemidanaan, yaitu untuk memperbaiki terpidana supaya menjadi masyarakat yang berguna, tidak lagi sesuai dan dapat diterima. Dapat dikatakan, bahwa pidana penjara pada dewasa ini merupakan bentuk utama dan umum dari pidana kehilangan kemerdekaan. 3 Pidana Kurungan Pidana kurungan adalah bentuk-bentuk dari hukuman perampasan kemerdekaan bagi si terhukum yaitu pemisahan terhukum dari pergaulan hidup masyarakat ramai dalam waktu tertentu di mana 20 P.A.F Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Bandung: Armico, 1988, h. 69. sifatnya sama dengan hukuman penjara yaitu merupakan perampasan kemerdekaan seseorang. Dalam KUHP pasal 18 ayat 1 dikatakan bahwa pidana kurungan itu minimal 1 hari dan maksimal 1 tahun; dan dalam hal gabungan kejahatan, residive pengulangan kejahatan; ketentuan yang terdapat dalam pasal 18 ayat 2 KUHP. Dalam hal pidana kurungan tidak dapat dipekerjakan di luar daerah dimana ia bertempat tinggal atau berdiam waktu pidana itu di jatuhkan. Pidana kurungan dapat sebagai pengganti dari pidana denda, jika seseorang tersebut tidak dapat atau tidak mampu membayar denda yang harus dibayar, dalam hal perkaranya tidak begitu berat. 21 4 Pidana Denda Sementara pidana denda diancamkan atau dijatuhkan terhadap delik-delik yang ringan, berupa pelanggaran atau kejahatan ringan. Oleh karena itu pula, pidana denda merupakan satu-satunya yang dapat dipikul oleh orang lain selain terpidana. Walaupun denda dijatuhkan terhadap terpidana pribadi, tidak ada larangan jika denda itu secara sukarela dibayar oleh orang atas nama terpidana. 21 Ninik Suparni, h. 23-24. 5 Pidana Tutupan Pidana tutupan itu sebenarnya sudah dimasukkan oleh pembentuk undang-undang untuk menggantikan pidana penjara yang sebenarnya dapat dijatuhkan oleh hakim bagi pelaku dari sesuatu kejahatan, atas dasar bahwa kejahatan tersebut oleh pelakunya telah dilakukan karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati. 22 b. Pidana Tambahan Hukuman tambahan hanya dapat dijatuhkan bersama-sama dengan hukuman pokok. Penjatuhan hukuman tambahan biasanya bersifat fakultatif. Hakim tidak diharuskan menjatuhkan hukuman tambahan. Dalam KUHP pidana tambahan terdapat dalam pasal 10 ayat 6 yang terdiri dari: pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman putusan hakim. Untuk membedakan antara pidana pokok dengan pidana tambahan, maka akan dikemukakan hal-hal sebagai berikut: - Sesuai dengan namanya yaitu pidana tambahan, maka pidana tambahan berarti hanya dapat ditetapkan di samping pidana pokok atau utama. Apabila hakim tidak menetapkkan pidana pokok, maka pidana tambahan dengan sendirinya tidak dapat ditetapkan pula. Terhadap hal ini Undang-Undang mengadakan suatu pengecualian. Misalnya, pasal 39 ayat 3 KUHP di mana ditetapkan bahwa perampasan barang dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah sepanjang mengenai barang-barang sita. 22 P.A.F. Lamintang, Hukum Panitensier di Indonesia, Bandung: Armico, 1984, h. 147 - Hukuman pidana tambahan bersifat fakultatif. Apabila terbukti bahwa terdakwa bersalah maka hakim harus menentukan suatu pidana pokok utama. Hakim tidak wajib menetapkan pidana tambahan terhadap terdakwa. Jadi hakim bebas untuk menentukan atau tidak. - Pidana tambahan tentang pencabutan hak-hak tertentu mulai berlaku setelah hakim membacakan putusan. 1 Pencabutan Hak-Hak Tertentu Dalam pasal 35 KUHP telah ditentukan pembolehan pencabutan hak-hak tertentu si bersalah dengan keputusan hakim, yakni antara lain: a Hak si bersalah, yang boleh dicabut dalam putusan hakim dalam hal yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini atau dalam undang- undang umum lainnya, ialah 1 Menjabat segala jabatan atau jabatan tertentu; 2 Masuk balai tentara; 3 Memilih dan boleh dipilih pada pemilihan yang dilakukan karena undang-undang umum; 4 Menjadi penasehat atau wali, atau wali pengawas atau pengampu atau pengampu pengawas atas orang lain yang bukan ankanya sendiri; 5 Kekuasaan bapak, perwalian, dan pengampuan atas anaknya sendiri; 6 Melakukan pekerjaan tertentu; b Hakim berkuasa memecat seorang pegawai negeri dari jabatannya apabila dalam undang-undang umum ada ditunjuk pembesar lain yang semata-mata berkuasa melakukan pemecatan itu. 2 Perampasan Barang-Barang Tertentu Karena suatu putusan perkara mengenai diri terpidana, maka barang yang dirampas itu adalah barang hasil kejahatan atau barang milik terpidana yang dirampas itu adalah barang hasil kejahatan atau barang milik terpidana yang digunakan untuk melaksanakan kejahatannya. Hal ini diatur dalam pasal 39 KUHP yang berbunyi: 1 Barang kepunyaan si terhukum yang diperolehnya dengan kejahatan atau dengan sengaja telah dipakainya untuk melakukan kejahatan, boleh dirampas. 2 Dalam hal menjatuhkan hukuman karena melakukan kejahatan tidak dengan sengaja atau karena melakukan pelanggaran dapat juga dijatuhkan perampasan, tetapi dalam hal-hal yang telah ditentukan oleh undang-undang. 3 Hukuman perampasan itu dapat juga dijatuhkan atas orang yang bersalah yang oleh hakim diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanyalah atas barang yang telah disita. 3 Pengumuman Putusan Hakim Hukuman tambahan ini dimaksudkan untuk mengumumkan kepada khalayak ramai umum agar dengan demikian masyarakat umum lebih berhati-hati terhadap si terhukum. Biasanya ditentukan oleh hakim dalam surat kabar yang mana, atau berapa kali, yang semuanya atas biaya si terhukum. Jadi cara-cara menjalankan pengumuman putusan hakim dimuat dalam putusan Pasal 43 KUHP. 23 23 Leden Marpaung, h. 111-112. Dalam hukum Islam, penggolongan hukuman dibagi menjadi beberapa golongan. Penggolongan pertama didasarkan atas pertalian satu hukuman dengan hukuman lainnya, dalam hal ini ada 4 empat jenis: 24 1. Hukuman pokok ‘uqubah asliah, misalnya hukuman qishash untuk tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan; 2. Hukuman pengganti ‘uqubah badaliah, merupakan pengganti hukuman pokok yang tidak dapat dilaksanakan karena alasan yang sah, seperti hukuman diyat sebagai pengganti hukuman qishash, atau hukuman ta’zir sebagai pengganti hukuman had atau qishash yang tidak dapat dilaksanakan. Sebenarnya hukuman diyat itu sendiri adalah hukuman pokok untuk pembunuhan semi sengaja menyerupai sengaja, demikian pula hukuman ta’zir merupakan hukuman pokok untuk tindak pidana ta’zir. 3. Hukuman tambahan ‘uqubah taba’iyah, yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok tanpa memerlukan keputusan tersendiri seperti larangan menerima warisan bagi pelaku pembunuhan terhadap keluarganya sebagai tambahan hukuman qishash, atau hukuman pencabutan hak sebagai saksi bagi orang yang melakukan tindak pidana qadzaf memfitnah orang lain berzina. 24 Topo Santoso, Menggagas Hukum Islam: Penerapan Syariat Islam dalam konteks Modernitas, Bandung: Asy-Syaamil, 2001, cet. Ke-II, h. 184-185. 4. Hukuman pelengkap ‘uqubah takmiliah, yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok dengan syarat ada keputusan tersendiri dari hakim. Penggolongan kedua, ditinjau dari segi kekuasaan hakim dalam menentukan berat-ringannya hukuman. Dalam hal ini ada 2 dua macam hukuman, yaitu: 1. Hukuman yang hanya mempunyai satu batas, artinya tidak ada batas tertinggi atau batas terendahnya, seperti hukuman cambuk sebagai hukuman had 80 atau 100 kali; 2. Hukuman yang mempunyai batas tertinggi dan batas terendahnya, hakim diberi kebebasan memilih hukuman yang sesuai antara kedua batas itu, seperti hukuman penjara atau cambuk pada tindak pidana ta’zir. Penggolongan ketiga, ditinjau dari segi besarnya hukuman yang telah ditentukan yaitu: 1. ‘Uqubah Tazimah adalah hukuman keharusan yakni hukuman yang telah ditentukan macam dan besarnya, di mana hakim harus melaksanakan tanpa dikurangi atau ditambah, atau diganti dengan hukuman lain. 2. ‘Uqubah Mukhayyarah yaitu hukuman pilihan yakni hukuman yang diserahkan kepada hakim untuk dipilihnya dari sekumpulan hukuman yang diterapkan dengan keadaan pelaku dan perbuatannya. Penggolongan keempat, ditinjau dari segi tempat dilakukannya hukuman, yaitu: 1. Hukuman badan; 2. Hukuman jiwa; dan 3. Hukuman harta. Penggolongan kelima, merupakan yang terpenting, yang ditinjau dari segi jenis tindak pidana yang diberi ancaman hukuman, yaitu: 1. Hukuman hudud, yaitu hukuman yang ditetapkan atas tindak pidana hudud; 2. Hukuman qishash-diyat, yaitu hukuman yang ditetapkan atas tindak pidana qishash-diyat; 3. Hukuman kifarat, yaitu hukuman yang ditetapkan untuk sebagian tindak pidana qishash-diyat dan beberapa tindak pidana ta’zir; dan 4. Hukuman ta’zir, yaitu hukuman yang ditetapkan untuk tindak pidana ta’zir. Sedangkan Jimly Asshiddiqie, menggolongkan secara garis besar ancaman pidana dalam islam terdiri dari: 25 1. Pidana atas Jiwa; 2. Pidana atas Anggota Badan; 3. Pidana atas Kemerdekaan; dan 4. Pidana atas Harta

B. Persamaan dan Perbedaan Sistem Pemidanaan Antara Hukum Positif Dan