Pembebasan bersyarat sebagai upaya pembinaan narapidana dalam perspektif hukum positif dan hukum islam

(1)

Maskuri

(104043201368)

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1431 H / 2010 M


(2)

PEMBEBASAN BERSYARAT SEBAGAI UPAYA PEMBINAAN

NARAPIDANA DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

DAN HUKUM ISLAM

(Studi Kasus Di Rutan Klas I Salemba)

Skripsi

Diajukan kepada fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI) Oleh:

Maskuri

(104043201368)

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. H. A. Mukri Adji, MA. Dedy Nursamsi, SH., M.Hum

NIP. 195703121985031003 NIP. 150 264 001

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

ISLAM” telah diajukan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 20 Mei 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum Konsentrasi Perbandingan Hukum.

Jakarta, 20 Mei 2010 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM.

NIP: 19550505191982031012

PANITIA UJIAN

1. Ketua : Dr. H. A. Mukri Aji, MA. (…...………..……) NIP: 195703121985031003

2. Sekretaris : Dr. H. Muhammad Taufiki, M. Ag. (…...………..……) NIP: 196511191998031002

3. Pembimbing I : Dr. H. A. Mukri Aji, MA. (…...………..……) NIP: 195703121985031003

4. Pembimbing II : Dedy Nursamsi, SH., M. Hum. (…...………..……) NIP: 196111011993031002

5. Penguji I : Dr. H. Muhammad Taufiki, M. Ag. (…...………..……) NIP: 196511191998031002

6. Penguji II : H. Ah. Azharudin Latif, M. Ag., MH (…...………..……) NIP: 197407252001121001


(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata I di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 20 Mei 2010


(5)

Rasa syukur yang tak terhingga kepada Dzat Yang Maha Agung, penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan segala karunia dan nikmat-Nya, kesehatan jasmani dan rohani, serta kekuatan lahir dan batin, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul: “Pembebasan Bersyarat Sebagai Upaya Pembinaan Narapidana dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam” sebagai syarat akhir untuk mencapai Gelar Sarjana Syariah (S1) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum konsentrasi Perbandingan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Shalawat seiring salam tak lupa penulis haturkan kepada suri tauladan umat Islam, baginda Nabi Muhammad SAW. beserta para keluarganya, sahabat dan para pengikutnya yang telah memberikan tuntunan menuju jalan yang terang (ilmu pengetahuan) dengan akhlak yang mulia.

Suksesnya penyelesaian penulisan skripsi ini, penulis menyadari dengan segala kerendahan hati bahwa dalam hal ini banyak pihak yang telah memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi penulis baik moril maupun materiil. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat: 1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M., Dekan Fakultas Syariah

dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. H. Ahmad Mukri Aji, M.A., Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum sekaligus sebagai pembimbing yang telah memberikan arahan,


(6)

bimbingan, masukan dan nasehat yang amat memotivasi penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

3. Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag., Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum.

4. Dedy Nursamsi, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing, yang telah memberikan perhatian, bimbingan, arahan dan masukan yang berarti selama proses penulisan skripsi ini.

5. Bapak dan Ibu dosen, yang telah mengamalkan ilmunya kepada penulis selama dalam studi semoga keberkahan ilmunya akan tetap mengalir. Amiin.

6. Staf dan Karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga mem-berikan bantuan berupa bahan-bahan yang menjadi referensi dalam penulisan skripsi.

7. Bapak Marotib dan pihak Rutan Klas I Salemba yang telah membantu memberikan data-data yang penulis butuhkan demi selesainya skripsi ini.

8. Ayahanda dan Ibunda tercinta H. Sahlan Hasan, Lc., dan Hj. Nunung, H., yang penulis hormati dan sayangi, dan yang selalu mencurahkan kasih sayangnya kepada penulis, nasehat dan do’a demi kesuksesan penulis. Mudah-mudahan Allah SWT selalu memberikan limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada mereka. Amiin.

Akhirnya atas jasa dan bantuan semua pihak, baik berupa moril maupun materil penulis panjatkan do’a semoga Allah SWT., membalasnya dengan imbalan pahala yang berlipat ganda dan menjadikan sebagai amal jariah yang tidak pernah


(7)

iii

Jakarta: 2 April 2010 M 17 Rabiul Tsani 1431 H


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I: PENDAHULUAN ………. 1

A. Latar Belakang Masalah ………. 1

B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah ……….. 7

C. Tujuan dan Menfaat Penelitian ………. 8

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ………. 9

E. Metode Penelitian ……….. 11

F. Sistematika Penulisan ……… 15

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG SISTEM PEMIDANAAN MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM …… 17

A. Pidana dan Pemidanaan ………... 17

B. Persamaan dan Perbedaan Sistem Pemidanaan Antara Hukum Positif Dan Hukum Islam ……….. 35

BAB III : PEMBINAAN NARAPIDANA DAN PEMBEBASAN BERSYARAT DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM ………. 37

A. Pembinaan Narapidana ...……….. 37 iv


(9)

v

BAB IV : ANALISA HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

TENTANG PEMBEBASAN BERSYARAT ………. 62

A. Analisia Pembebasan Bersyarat dalam Perspektif Hukum Positif ……….……….. 62

B. Analisia Pembebasan Bersyarat dalam Perspektif Hukum Islam ……….…... 76

BAB V : PENUTUP ……….… 78

A. Kesimpulan ……… 78

B. Saran-Saran ……….... 80

Daftar Pustaka ………... 81 Lampiran


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

“Penjara”, “Bui”, “Jeruji Besi”, “Hotel Prodeo”, “Rutan”, dan “Lapas”

(Lembaga Pemasyarakatan). Mungkin masyarakat umum sudah tahu dan dapat

terbayang begitu mendengar beberapa atau salah satu kosa kata tersebut dan

sangat mengenal siapa yang menjadi penghuni tempat tersebut. Kejahatan,

pembunuhan, pencurian, perampokan, pemerkosaan, dan lain sebagainya yang

merupakan beragam tindakan pidana yang membuat para pelakunya mendekam

dan mengenyam “pendidikan” di dalamnya sehingga mendapat “gelar”

Narapidana (NAPI) di akhir “masa kelulusannya” (bebas), atau bisa jadi

mendapatkan “gelar” yang lebih tingkatannya yakni “Residivis” jika sang pelaku

kembali dan berulang kali (keluar masuk) menjadi penghuni tempat tersebut.

Sungguh sangat memprihatinkan memang, jika akhir-akhir ini kita

mendengar bahwa di negara kita yang tercinta ini sering kali terjadi

peristiwa-peristiwa pidana terlebih lagi isu terorisme yang yang kita dengar atau kita

saksikan melalui tayangan televisi atau media lainnya yang sangat meresahkan

masyarakat. Tidak saja dilakukan oleh orang-orang yang dewasa bahkan

pelakunya tidak jarang pula melibatkan anak di bawah umur. Sehingga tidak

heran apabila kemudian terdengar kabar bahwa sejumlah Lembaga


(11)

Pemasyarakatan (Lapas) di Indonesia mengalami “over capasity” yang akan

berpengaruh pada tingkat pengawasan, kecermatan, dan kewaspadaan para

petugas Lapas akibat kondisi tersebut.

Dapat diyakini bahwa semakin tinggi peradaban manusia di zaman era

serba modern ini tak peduli murni atau atau barunya suatu masyarakat tertentu,

tindak pidana akan tetap dilakukan meskipun ada tingkat perbedaannya, oleh

karena itu kita sangat perlu meneliti masalah-masalah kriminal ini dan

sebab-sebab yang mempengaruhinya, mempelajari orang-orang yang melakukan tindak

pidana ini juga bersifat kejiwaan, untuk mencegah meningkatnya kriminalitas

pada masa yang akan datang oleh karena itu masyarakat tidak sepenuhnya

dipersalahkan seutuhnya demikian pula tatanan kelembagaan sosial, para

pemimpin serta anggota masyarakat yang membantu dan merangsang timbulnya

suatu tindak pidana tertentu.1

Oleh karena itu ketertiban dan keamanan dalam masyarakat akan

terpelihara bilamana tiap-tiap anggota masyarakat mentaati peraturan-peraturan

(norma-norma) yang ada dalam masyarakat itu, peraturan-peraturan ini

dikeluarkan oleh suatu badan yang berkuasa dalam masyarakat itu yang disebut

pemerintah namun walaupun peraturan-peraturan ini telah dikeluarkan, masih

ada saja orang yang melanggar peraturan-peraturan, misalnya dalam hal

pencurian yaitu mengambil barang yang dimiliki orang lain dan yang

1

Abdur Rahman, Tindak Pidana dalam Syariat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), Cet.1, h. 1


(12)

3

bertentangan dengan Hukum (KUHP Pasal 362) terhadap orang ini sudah tentu

dikenakan hukuman yang sesuai dengan perbuataannya yang bertentangan

dengan hukum itu, segala peraturan-peraturan tentang pelanggararan

(overtredingen), kejahatan (misdrijven) dan sebagainya, diatur oleh hukum

pidana (strafrecht) dan dimuat dalam satu kitab undang-undang yang disebut

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) yang disingkat

“KUHP”(Wvs).2 Dalam Islam pun kepatuhan kepada peraturan pemerintah

dalam kebaikan adalah suatu kewajiban:

) ءﺎﺴﻨﻟا \ 4 : 59 (

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An-Nisa/4: 59)

Hal ini tentu membutuhkan kerjasama yang baik dari segala pihak.

Dengan kesadaran masyarakat akan peraturan yang ada serta aparat hukum yang

menjalankan kewajibannya dengan baik maka paling tidak mengurangi deretan

kejahatan atau tindak pidana yang tidak hanya merugikan korban tetapi juga

2

CST. Kansil dan Cristine S.T. Kansil, Pengantar Hukum Indonesia, Jilid 2, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), Cet. Ke-2, h. 89.


(13)

merugikan masyarakat lainnya dan juga negara. Karena pemerintah harus

memikirkan pula berapa anggaran negara yang harus di alokasikan untuk

mengatasi masalah yang diakibatkan oleh pelaku atau narapidana. Menghukum

narapidana di jeruji besi hingga “kapok” bukan satu-satunya cara mengentaskan

kejahatan.

Prinsip ‘memelihara napi selama mungkin di penjara’ sudah waktunya

dihilangkan. Penjara sudah mengalami overcapacity. Kerisauan atas

over-capacity Lapas sudah menjadi keprihatinan banyak pihak. Betapa tidak, kondisi

demikian diyakini turut andil memicu terjadinya kekerasan di balik jeruji besi.

Gonta-ganti Menteri dan pejabat bidang pemasyarakatan, problem ini masih

belum terselesaikan. Hingga, para penghuni penjara yang tergabung dalam

Persatuan Narapidana Indonesia (NAPI), ikut bersuara lewat rilis Prof. Rahardi

Ramelan yang menyampaikan bahwa “Menhuk HAM hendaknya segera

mengakhiri prinsip memelihara napi selama mungkin di penjara”.3

Mengakhiri prinsip ‘memelihara napi selama mungkin di penjara’, bagi

NAPI, terkait dengan kelebihan kapasitas tadi. Semakin lama seseorang di

penjara, semakin menambah jumlah penghuni penjara dan semakin menambah

beban anggaran Pemerintah. Hukuman lama belum tentu menimbulkan efek jera.

Buktinya, penghuni Lapas terus bertambah.4 Untuk menuntaskan problem

kelebihan penghuni Lapas tadi, khususnya di kawasan Jabodetabek, maka

3

Pembebasan Bersyarat, Peluang Napi yang Sarat Arti, diakses pada tanggal 26 J uli

2009 dari http://www.hukumonline.com/ detail.asp?id=17359&cl=Fokus

4


(14)

5

dilakukan satu langkah yakni dengan menyebar napi dari Jakarta ke beberapa

daerah yang kapasitasnya belum terlalu penuh. Kebijakan ini juga dimaksudkan

untuk meminimalisir aksi kekerasan di dalam penjara.

Sementara yang diusung oleh NAPI dalam usulannya yakni salah satu

cara efektif mengurangi penghuni Lapas adalah mengefektifkan pembebasan

bersyarat. Secara umum, Pembebasan Bersyarat adalah memberi hak kepada

seorang napi untuk menjalani masa hukuman di luar tembok penjara. Syaratnya:

hukuman yang dikenakan lebih dari sembilan bulan, sudah menjalani 2/3 masa

hukuman, plus berkelakuan baik selama dalam masa ‘pembinaan’. Pasal 1 angka

(7) PP No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga

Binaan Pemasyarakatan menyimpulkan: pembebasan bersyarat adalah proses

pembinaan narapidana di luar Lapas setelah menjalani sekurang-kurang 2/3 masa

pidana dari minimal sembilan bulan. Intinya, yang berhak mendapat hak

pembebasan bersyarat. Sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang

Pemasyarakatan mengenai hak-hak narapidana, yaitu:

1. Hak untuk melakukan ibadah sesuai dengan kepercayaannya

2. Hak untuk mendapatakan perawatan baik perawatan jasmani maupun rohani. 3. Hak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran

4. Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak 5. Hak untuk menyampaikan keluhan

6. Hak untuk mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media masa yang lainnya yang tidak dilarang

7. Hak untuk mendapatkan upah premi atas pekerjaan yang dilakukan

8. Hak untuk mendapatkan kunjungan keluarga, penasehat hukum atau orang tertentu lainnya


(15)

9. Hak untuk mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi)

10. Hak untuk mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga

11. Hak untuk mendapatkan pembebasan bersyarat 12. Hak untuk mendapatkan cuti menjelang bebas

13. Mendapatkan hak-hak lainnya sesui dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.5

Meskipun dalam peraturan perundang-undangan sudah mengakomodir

tentang pembebasan bersyarat, namun dalam pelaksanaannya menyisakan

permasalahan terkait bagaimana sebenarnya aturan bakunya, bagaimana

sosialisasinya, bagaimana prosedurnya dan bagaimana dan siapa yang melakukan

pengawasannya? Jangan sampai aturan-aturan yang ada menjadi kabur,

sosialisasinya kurang sehingga napi tidak tahu menau tentang pembebasan

bersyarat yang akan melanggar hak-hak napi, serta pengawasan para petugas

terhadap napi yang mendapatkan bebas bersyarat menjadi lengah yang

meng-akibatkan napi seperti terpidana korupsi perkara Bantuan Likuiditas Bank

Indonesia (BLBI) David Nusa Wijaya melenggangkanggkung hingga ke Hong

Kong di tengah menjalani hukuman. Permasalahan-permasalah seperti inilah

yang harus dicermati.

Dari berbagai persoalan-persoalan di ataslah yang melatarbelakangi

penulis mengangkat permasalahan dalam bentuk skripsi dengan judul:

“Pembebasan Bersyarat Sebagai Upaya Pembinaan Narapidana dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam”.

5

Hadi Setia Tunggal, Undang-Undang Pemasyarakatan, (Jakarta: Haevarindo, 2000), h.7-8.


(16)

7

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah. 1. Pembatasan Masalah

Penelitian ini hanya dibatasi pada masalah Pembebasan Bersyarat

Sebagai Upaya Pembinaan Narapidana yang dikaji dari sudut pandang Hukum

Perundang-Undangan Indonesia dan Hukum Pidana Islam. Tujuan dari pada

pembatasan masalah ini adalah agar dalam pembahasan masalah ini tetap

fokus pada pelaksanaan pembebasan bersyarat saja tidak melebar pada

permasalahan yang lain dan juga berfokus pada pengkajian dari dua sudut

pandang hukum saja yaitu Hukum Positif di Indonesia dan sudut pandang

Hukum Islam.

2. Perumusan Masalah

Dari uraian-uraian latar belakang di atas, maka penulis merumuskan

beberapa pokok permasalahan, yaitu sebagai berikut:

a. Bagaimana konsep tentang bebas bersyarat dalam Hukum Positif dan

Hukum Islam?

b. Bagaimana penerapan pemberian bebas bersyarat kepada narapidana

sebagai salah satu upaya pembinaan narapidana?

c. Bagaimana analisis Hukum Positif dan Hukum Islam tentang penerapan


(17)

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Umum (Manfaat Penelitian)

Tujuan daripada penelitian ini yakni memberikan pemahaman kepada

masyarakat pada umumnya tentang sistem pembebasan bersyarat yang dapat

diberikan oleh negara kepada narapidana berdasarkan syarat-syarat tertentu

dan prosedur berdasarkan peraturan perundang-undangan, sehingga

masyarakat mengerti tentang sistem pemidanaan secara praktis di Indonesia

dan dapat membandingkannya dengan konsep pembebasan bersyarat dalam

Hukum Islam. Selain itu, manfaat dari penelitian ini dapat memberikan

kontribusi pendidikan dan menambah khazanah keilmuan di Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukum khususnya,

dan untuk masyarakat lain umumnya.

2. Tujuan Khusus.

a. Untuk mengetahui bagaimana konsep tentang bebas bersyarat dalam

Hukum Positif dan Hukum Islam.

b. Untuk mengetahui bagaimana penerapan pemberian bebas bersyarat

kepada narapidana sebagai salah satu upaya pembinaan narapidana.

c. Untuk mengetahui bagaimana analisis Hukum Positif dan Hukum Islam


(18)

9

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Dalam tinjauan (review) kajian terdahulu, penulis mereview beberapa

skripsi terdahulu yang berhubungan dengan pembebasan bersyarat agar tidak

terjadi plagiasi atau penjiplakan, yakni diantaranya:

1. Pembebasan Bersyarat: Bagian Dari Proses Pidana Penjara Dengan Sistem

Pemasyarakatan Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana Yang Terpadu (Intergrated Criminal Justice System), oleh Agustinus Purnomo Hadi, Pogram

Studi Ilmu Hukum, Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 1999,

mengemuka-kan kelemahan komponen substansial dan komponen struktural dalam sistem

peradilan pidana yang berhubungan dengan pembebasan bersyarat dan

persyaratan waktu ideal yang harus dijalani di Lembaga Pemasyarakatan bagi

Narapida yang akan diberikan pembebasan bersyarat.

2. Implementasi kebijakan Departemen Hukum dan HAM RI Tentang Asimilasi,

Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas Dan Cuti Bersyarat Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Bekasi, oleh Rio Chaidar, Program

Studi Kajian Ketahanan Nasional, Pasca Sarjana Universitas Indonesia 2008,

yang menganallisi implementasi kebijakan asimilasi, pembebasan bersyarat,

cuti menjelang bebas dan cuti bersyarat yang diberikan kepada narapidana di

Lapas Bekasi dan menganalisis faktor-faktor penghambat yang di hadapi

dalam pelaksanaannya ditinjau dari faktor komunikasi, kecenderungan


(19)

sumber-sumber birokrasinya hanya di Lapas kelas II Bekasi saja dan intisari

dari skripsi ini lebih membicarakan Tentang Asimilasi, Pembebasan

Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas Dan Cuti Bersyarat walaupun ada sedikit

persamaan dengan skripsi yang saya buat mengenai pembebasan bersyarat

tapi penulis lebih cenderung menerangkan kepada pembebasan bersyarat

bersyarat secara umum sesuai dengan implementasi dan kebijakan departemen

hukum dan HAM RI dan penggabungan dari kebijakan-kebijakan lainnya

dan tidak ada unsur pembinaan dari pembebasan bersyarat tersebut baik yang

ditinjau dari hukum positif maupun hukum Islam sehingga terlihat

perbedaannya

3. Manajemen Pembinaan Rohani Islam Pada Narapidana Di Lembaga

Pemasyarakatan Anak Dan Wanita Tangerang, oleh Trisna Widiastuty,

Program Studi Manajemen Dakwah, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006,

menjelaskan bagaimana manajemen tentang pelaksanaan pembinaan rohani

kepada para narapidana di Lapas anak dan wanita Tangerang dalam hal ini

penulis lebih mengemukakan pembinaan mental dan rohani para narapidana

lapas khususnya pembinaan rohani Islam.

4. Peran Bimbingan Rohani Islam Dalam Pembinaan Mental Dan Akhlak

Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, oleh Indriati, Program

Studi Pendidikan Agama Islam, UIN Syarif Hidayatulla Jakarta, 2003, yang

menjelaskan tentang bagaimana peranan pemberian bimbingan rohani di


(20)

11

Dari review skripsi dan karangan (buku) terdahulu penulis tidak menemukan

skripsi yang membahas mengenai materi yang terkandung dalam judul yang

penulis angkat yakni mengenai kajian normatif Pembebasan Bersyarat Sebagai

Upaya Pembinaan Narapidana yang dikaji melalui dua sudut pandang yang

perspektif Hukum Positif di Indonesia dan Hukum Islam, kemudian melakukan

kajian komparatif atau perbandingan antara keduanya. Dari beberapa literatur

review di atas, maka terlihat perbedaan inti pembahasan permasalahannya

sehingga penulis optimis dalam menyelesaikan tulisan.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh penulis dalam

mengumpulkan data penelitian.6

1. Metode Pendekatan

Untuk melakukan penelitian terhadap identifikasi hukum dan

efektifitas hukum, maka pada penelitian ini penulis menggunakan pendekatan

metode normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti

bahan pustaka7 yang berdasarkan pada materi pembahasan tentang teori-teori

yang penulis teliti.

6

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek, cet. Ke-XI (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998), ed. Revisi IV, h. 151.

7

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan Singkat, cet. Ke-II, (Jakarta: CV Rajawali, 1986), h. 15.


(21)

2. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan,

pendekatan analitis, dan pendekatan perbandingan, yaitu dengan melakukan

pengkajian, menganalisa dan membandingkan peraturan/ hukum yang

berhubungan dengan sentral penelitian.8

3. Data Penelitian

a. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 9

1) Primer yaitu bahan-bahan yang mengikat, yakni data-data yang

diperoleh dengan mengadakan wawancara secara mendalam yakni

antara lain kepada Pejabat dan Petugas di Rutan Klas 1 Salemba serta

pihak terkait.

2) Sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai

bahan-bahan primer, yakni yang terdiri dari:

a. Data Bahan Hukum Primer; yaitu bahan-bahan hukum yang

mengikat dalam penelitian, yakni berupa Undang-Undang No. 12

Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, PP No. 31 Tahun 1999

8

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cet. Ke-III, (Malang: Bayu Media Publishing, 2007), ed. Revisi, h. 300.

9

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan

Singkat, h. 15, lihat juga Bambang Subagyo, Metodologi Penelitian Hukum, Suatu Pengantar,


(22)

13

Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan

Pemasyarakatan, PP No. 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata

Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, Kepmen

Kehakiman No. M.01.PK.04-10 Tahun 1999 Tentang Asimilasi,

Pembebasan Bersyarat Dan Cuti Menjelang Bebas, dan sebagai

sumber bahan data dalam hukum Islam maka penulis

menggunakan Al-Qur’an, Hadits, Fiqh dan literatur lainnya yang

relevan dengan permasalahan.

b. Data Bahan Hukum Sekunder; yaitu bahan hukum yang

memeberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti

artikel, skripsi, tafsir, kitab-kitab literatur fiqh baik klasik maupun

kontemporer dan buku-buku kepustakaan hasil seminar.

c. Data Bahan Hukum Tertier; yaitu bahan hukum yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

sekunder, seperti kamus (hukum) dan ensiklopedia.

c. Teknik Pengumpulan Data

Untuk dapat mengumpulkan data-data yang diperlukan maka

penulis menggunakan alat pengumpul data atau instrument penelitian

yakni alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam


(23)

baik, dalam arti lebih cermat, lengkap dan sistematis sehingga lebih

mudah diolah.10

Adapun instrument atau alat pengumpul data yang digunakan oleh

penulis berupa studi dokumentasi/pustaka, yaitu mencari dan

mengumpul-kan data-data yang terdapat dalam buku-buku literatur, peraturan

perundang-undangan, majalah, surat kabar, hasil seminar dan sumber

lainnya atau literatur yang terkait dan relevan dengan objek penelitian.

5. Metode Analisis Data

Untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan penulis menggunakan

metode deskriptif analisis dan metode komparatif. Yang dimaksud dengan

metode deskriptif analisis yaitu metode yang bertujuan untuk memberikan

gambaran tentang suatu gejala suatu masyarakat tertentu.11 Yakni dengan

mengumpul-kan dan menganalisa data-data yang diperoleh dan faktor-faktor

yang merupakan pendukung dan relevan terhadap objek yang diteliti sehingga

dapat ditarik kesimpulan dari hal yang dijadikan objek penelitian. Sedangkan

yang dimaksud dengan metode komparatif yaitu metode perbandingan,

artinya metode ini bertujuan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan

10

Prof. Dr. Suharsimi Arikunto,.Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek, h. 151.

11

Sukandarrumidi, Metodologi Penelitian, Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004), h. 104.


(24)

15

masing-masing sistem hukum yang diteliti.12 Dalam skripsi ini yang menjadi

perbandingan adalah sistem Hukum Positif di Indonesia dengan sistem

Hukum Islam.

Data yang diklasifikasikan maupun dianalisa untuk mempermudah dan

menghadapkan pada pemecahan masalah (problem solving). Adapun metode

analisis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode

analisis isi secara kualitatif (Qualitative Content Analysis). Dalam analisis ini

semua data yang dianalisis berupa teks. Analisis isi kualitatif digunakan untuk

menemukan, mengidentifikasi dan menganalisa teks atas dokumen untuk

memahami makna, signifikansi dan relevansi teks atau dokumen.

5. Teknik Penulisan

Adapun teknik dalam penulisan skripsi ini berpedoman kepada buku

"Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007".

F. Sistematika Penulisan

Dalam melakukan penelitian ini penulis memberikan gambaran tentang

bagian-bagian dari penelitian yang disusun sebagai berikut:

12

Amirudin, dan H. Zainal Asikin, Metode Penelitian, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), cet. I., ed. I, h. 130.


(25)

Bab I: Menguraikan tentang latar belakang masalah, pembatasan masalah

dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian serta

sistematika penulisan.

Bab II : Menjelaskan tentang tinjauan umum tentang sistem pemidanaan

dan pidana penjara dalam Hukum Positif dan hukum Islam serta persamaan dan

perbedaannya.

Bab III : Menggambarkan tentang pembinaan narapidana dan

pembe-basan bersyarat dalam perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam.

Bab IV : Memaparkan analisa antara Hukum Positif dan Hukum Islam

tentang pembebasan bersyarat dalam pembinaan narapidana.


(26)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG SISTEM PEMIDANAAN MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

A. Pidana dan Pemidanaan

1. Pengertian Umum Pidana dan Pemidanaan

Sehubungan dengan pengertian pidana Soedarto mengemukakan bahwa

yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan

kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.1

Sedangkan Roeslan Saleh menyatakan pidana adalah reaksi atas delik dan ini

berwujud suatu nestapa yang disengaja ditimpakan Negara pada pembuat delik

itu.2 Namun selanjutnya Roeslan Saleh menyatakan bahwa memang nestapa ini

bukanlah suatu tujuan yang terakhir yang dicita-citakan masyarakat.

Dari beberapa definisi di atas dapatlah disimpulkan bahwa pidana

mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut:

a) Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;

b) Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang); dan

c) Pidana itu dikenakan kepada seseorang atau Badan Hukum (korporasi) yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.3

1

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1984), h. 2.

2

Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta: Aksara Baru), h. 9.

3

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Kebijkan Pidana, h. 2-4.


(27)

Namun, tidak semua sarjana berpendapat bahwa pidana pada hakekatnya

adalah suatu penderitaan atau nestapa. Menurut Hulsman, hakikat pidana adalah

“menyerukan untuk tertib” (lot de orde reopen). Pidana pada hakekatnya

mempunyai dua tujuan utama yakni untuk mempengaruhi tingkah laku

(gedragsbeinvloeding) dan penyelesaian konflik (confloctoplossing).

Penyelesaian konflik ini dapat terdiri dari perbaikan kerugian yang dialami atau

perbaikan hubungan baik yang dirusak atau pengembalian kepercayaan antar

sesama manusia. Demikian pula GP Hoefnagels tidak setuju dengan pendapat

bahwa pidana merupa-kan suatu pencelaan (cencure) atau suatu penjeraan

(discouragement) atau merupakan suatu penderitaan (suffering). Pendapat ini

bertolak pada pengertian yang luas bahwa sanksi dalam hukumpidana adalah

semua reaksi pada pelanggaran hukum yang telah ditentukan oleh

undang-undang, sejak penahanan dan pengusutan terdakwa oleh polisi sampai vonis

dijatuhkan.4

Sedangkan pengertian pemidanaan dapat diartikan secara luas sebagai

suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Maka dapatlah

dikatakan bahwa sistem pemidaan mencakup keseluruhan ketentuan

perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau

dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum

pidana). Karena sistem pemidanaan dapat mencakup pengertian yang sangat luas,

maka L.H.C. Hulsman pernah mengemukakan, bahwa sistem pemidanaan (the

4

Dwidja Priyantno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2006), cet. I, h. 8.


(28)

19

sentencing system) adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan

sanksi pidana dan pemidanaan (the statutory rules relating to penal sanctions

and punishment).5

Sedangkan dalam hukum pidana Islam yang dimaksud dengan

Pemidanaan atau Hukuman, dalam bahasa Arab disebut “uqubat”. Lafaz ini

diambil dari lafaz ( ﺎ ) yang sinonimnya (ًءاْﻮﺳ ﺎﻤ ءْﺮﻤﻟا يﺰْ ْنأ) 6, artinya:

“memberikan hukuman kepada pelaku kejahatan” atau ( ْ ﺎﻤ ًءاْﻮﺳ ﻩاﺰ )

“membalasnya sesuai dengan apa yang dilakukannya”. Allah swt telah

menetapkan hukum-hukum uqubat (pidana, sanksi, dan pelanggaran) dalam

peraturan Islam sebagai “pencegah” dan “penebus”.

Selain kedua hal tersebut, pemidanaan menurut Islam juga bertujuan

sebagai perbaikan dan pendidikan. Sebagai pencegah, karena ia berfungsi

mencegah manusia dari tindakan kriminal, dan sebagai penebus, karena ia

berfungsi menebus dosa seorang muslim dari azab Allah di hari kiamat. Sistem

pidana Islam sebagai “pencegah”, akan membuat jera manusia sehingga tidak

akan melakukan kejahatan serupa. Misalnya dengan menyaksikan hukuman

qishash bagi pelaku pembunuhan, akan membuat anggota masyarakat enggan

untuk membunuh sehingga nyawa manusia di tengah masyarakat akan dapat

terjamin dengan baik. Keberadaan uqubat dalam Islam, yang berfungsi sebagai

5

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hujum Pidana, Cet. Ke-III,(T.tp: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), h. 117.

6


(29)

pencegah, telah diterangkan dalam Al-Qur’an yang mengatur tentang hukuman

qishash:

)

ةﺮﻘﺒﻟا

\

2

:

179

(

Artinya: “Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa”. (QS. Al-Baqarah/2 : 179)

2. Tujuan Pemidanaan

Mengenai tujuan pemidanaan, semula hanyalah dimaksudkan untuk

sekedar menjatuhkan pidana terhadap pelanggar hukum. Namun, dalam

perkembangannya, pemidanaan selalu terkait dengan tujuan yang ingin dicapai

dengan pemidanaan tersebut. Sebagaimana halnya dengan aliran-aliran dalam

hukum pidana, pemikiran-pemikiran tentang tujuan pemidanaan berkembang dari

waktu ke waktu.7

Secara umum tujuan pemidanaan dapat dilihat dari teori-teori pemidanaan

yang digolongkan secara tradisional menjadi 2 (dua), yaitu teori absolute atau

teori pembalasan (retributive/ vergeldings) dan teori relative atau teori tujuan

(utilitarian/ doeltheorieen). Namun, dengan perkembangan kedua teori hukum

tersebut kemudian lahir teori gabungan atau integrative yang menggabungkan

keduanya.

7

Agustinus Purnomo Hadi, Pembebasan Bersyarat: Bagian Dari Proses Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana Yang

Terpadu (Intergrated Criminal Justice System), (Tesis S2 Pogram Studi Ilmu Hukum ,Pasca


(30)

21

1)Teori absolute atau teori pembalasan (retributive/ vergeldings)

Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est) pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagi suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi, dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri. Menurut Johanes Andrenaes tujuan utama (primair) dari pidana menurut teori absolute ialah “untuk memuaskan tuntutan keadilan” (to satisfy the claims of justice) sedangkan pengaruh-pengaruhnya yang menguntungkan adalah sekunder. Sedangkan menurut salah seorang tokoh lain dari penganut teori absolute yang terkenal ialah HEGEL yang berpendapat bahwa pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan. Karena kejahatan adalah pengingkaran terhadap ketertiban hukumNegara yang merupakan perwujudan dari cita-susila, maka pidana merupakan “negation der negation” (peniadaan atau pengingkaran terhadap pengingkaran).8

2)Teori relative atau teori tujuan (utilitarian/doeltheorieen)

Berdasarkan teori ini, hukuman dijatuhkan untuk melaksanakan maksud atau tujuan hukuman itu, yakni memperbaiki ketidakpuasaan masyarakat sebagai akibat dari kejahatan itu. Tujuan hukuman harus dipandang secara ideal. Selain dari itu, tujuan hukuman adalah untuk mencegah (prevensi) kejahatan.9 Namun demikian, pidana juga bukan sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu, teori inipun sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory). Jadi, dasar pembenaran adanya pidan menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena orang membuat kejahatan) melainkan “ne peccatur” (supaya orang jangan melakukan kejahatan).10

8

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, cet. Ke-III, (Bandung : PT. Alumni, 2005), h. 10-12.

9

Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, cet. Ke-III, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 106.

10


(31)

3)Teori integrative atau gabungan

Pada dasarnya, teori gabungan adalah gabungan kedua teori di atas. Gabungan kedua teori itu mengajarkan bahwa penjatuhan hukuman adalah untuk mempertahankan tata tertib hukumdalam masyarakat dan memperbaiki pribadi si penjahat.

Sedangkan maksud pokok dari pada pemidanaan dalam hukum pidana

Islam, yakni untuk memelihara dan menciptakan kemaslahatan manusia dan

menjaga mereka dari hal-hal yang mafsadah, karena Islam itu sebagai rahmatan

lil’alamin, untuk memberi petunjuk dan pelajaran kepada manusia. Hukuman

ditetapkan demikian untuk memperbaiki individu menjaga masyarakat dan tertib

sosial.11

Ahmad Hanafi menjelaskan bahwa tujuan pokok dalam penjatuhan

hukuman dalam syari’at Islam ialah pencegahan (ﺮْ ﱠﺰﻟا و عْدﱠﺮﻟا) dan pengajaran serta pendidikan ( ْﻳﺬْﻬﱠﻟاوحﻼْﺳﻹا). Pengertian pencegahan ialah menahan pembuat (pelaku) agar tidak mengulangi perbuatan jarimahnya atau agar tidak

terus-menerus memperbuatnya, di samping pencegahannya terhadap orang lain selain

pembuat agar ia tidak berbuat jarimah, sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman

yang dikenakan terhadap orang yang memperbuat pula perbuatan yang sama.12

Selain mencegah dan menakut-nakuti, Syari’at Islam tidak lalai untuk

memberikan perhatiannya terhadap diri pembuat. Bahkan memberikan pelajaran

dan mengusahakan kebaikan terhadap diri pembuat merupakan tujuan utama,

11

A. Djazuli, Fiqh Jinayat (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), cet. Ke-II, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), h. 25.

12

Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Cet. Ke-V, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1993), h. 255.


(32)

23

sehingga penjauhan manusia terhadap jarimah bukan karena takut hukuman,

melainkan karena kesadaran diri dan kebenciannya terhadap jarimah, serta

menjauhkan diri dari lingkungannya, agar mendapat ridho Tuhan.

Di samping segi kebaikan pribadi pembuat, syari’at Islam, dalam

menjatuhkan hukuman juga bertujuan membentuk masyarakat yang baik dan

yang dikuasai oleh rasa saling menghormati dan mencintai antara sesama

anggotanya dengan mengetahui batas-batas hak dan kewajiban. Karena suatu

jarimah pada hakekatnya adalah merupakan perbuatan yang tidak disenangi dan

menginjak-injak keadilan serta membangkitkan kemarahan masyarakat terhadap

perbuatannya, di samping menimbulkan rasa kasih sayang terhadap korbannya,

maka hukuman yang dijatuhkan atas diri pembuat tidak lain merupakan salah

satu cara menyatakan reaksi dan balasan dari masyarakat terhadap

perbuatan/pembuat yang telah melanggar kehormatannya dan merupakan usaha

pemenangan terhadap diri korban. Dengan hukuman itu dimaksudkan untuk

memberikan rasa derita yang harus dialami oleh pembuat, sebagai alat penyuci

dirinya, dan dengan demikian maka terwujud rasa keadilan.13

Al-Quran tidak secara jelas dan rinci menjelaskan tujuan dari

penghukuman yang dijatuhkan kepada mujrim (terpidana), namun para ulama

menyimpulkan bahwa tujuan penghukuman di dalam Al-Quran (Islam)

mencakup salah satu dari tiga tujuan ini atau gabungan dari ketiganya, yaitu:

a. Pembalasan atas kejahatan atau perbuatan pidana yang dilakukan; b. Memberi efek jera, sehingga tidak mengulangi perbuatan pidana;

13


(33)

c. Mendidik dan memperbaiki pelaku perbuatan pidana;

d. Ada juga yang menyatakannya untuk melindungi masyarakat, yang sebetulnya juga menjadi tujuan dari tiga tujuan sebelumnya;14

3. Jenis (Sistem) Pidana

Dalam pelaksanaan pemidanaan, undang-undang telah mengatur hukuman

tersebut dalam 2 (dua) kelompok yakni hukuman pokok dan hukuman tambahan

yang ketentuann hukumannya telah ditentukan dalam pasal 10 KUHP. Adapun

hukuman Pokok terdiri atas: pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan,

pidana denda, pidana tutupan (terjemahan BPHN). Sedangkan pidana tambahan

terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan

pengumuman putusan hakim.15

a. Pidana Pokok

1) Pidana Mati

Pidana ini merupakan pidana yang paling berat menurut hukum

positif di Indonesia. Bagi kebanyakan Negara, masalah pidana mati

hanya mempunyai arti dari sudut kultur historis. Dikatakan demikian

karena, kabanyakan Negara-negara tidak mencantumkan pidana mati

ini lagi di dalam Kitab Undang-Undangnya. Sungguhpun demikian, hal

ini masih menjadi masalah dalam lapangan Ilmu Hukum Pidana, karena

14

Al Yasa`Abubakar, Hukuman Penjara Dalam Perspektif Syari’at Islam Dan

Perbaikan Lembaga Pemasyarakatan Di Indonesia, Makalah ditulis atas permintaan Panitia,

Dinas Syari`at Islam Provinsi Aceh, untuk Seminar & Workshop Nasional tentang Peningkatan Pelayanan Lembaga Pemasyarakatan sesuai dengan Ruh Syari`at Islam, Banda Aceh 2 Desember 2008).

15

Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Pidana dan Pemidanaan, ed. Ke-I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), cet. Ke-II, h. 21-22.


(34)

25

adanya teriakan-teriakan di tengah-tengah masyarakat untuk meminta

kembali diadakannya pidana seperti itu, dan mendesak agar

dimasukkan kembali dalam Kitab Undang-Undang.16

Meskipun terjadi perbendaan pendapat, namun ada alasan

argumentasi dari pihak-pihak yang pro maupun yang kontra sebagai

bahan pertimbangan dalam menentukan hukuman mati dalam Kitab

Undang-Undang. Adapun alasan dibenarkannya hukuman mati

tersebut, yaitu apabila si pelaku telah memperlihatkan dari

perbuatannya bahwa ia adalah individu yang sangat berbahaya bagi

masyarakat, dan oleh karena itu dia harus dibuat tidak berbahaya lagi

dengan cara dikeluarkan dari masyarakat atau pergaulan hidup.17

Sedangkan alasan keberatan dari hukuman mati tersebut diantaranya

adalah bahwa pidana ini tidak dapat ditarik kembali, jika kemudian

terjadi kekeliruan.18

Adapun kejahatan-kejahatan yang diancam dengan hukuman

mati dalam KUHP kita misalnya:

a) Maker membunuh Kepala Negara (pasal 140 ayat 4);

b) Mengajak Negara asing guna menyerang Indonesia (pasal 111 ayat 2);

c) Memberi pertolongan kepada musuh waktu Indonesia dalam perang (pasal 124 ayat 3);

16

Ibid.

17

Leden Marpaung, Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sianr Grafika, 2006), cet. Ke-III, h. 108

18


(35)

d) Membunuh Kepala Negara sahabat (pasal 140 ayat 4);

e) Pembunuh dengan direncanakan lebih dahulu (pasal 140 ayat 3 dan 340);

f) Pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih berkawan, pada waktu malam atau dengan jalan membongkar dan sebagainya, yang menjadikan ada orang yang terluka berat atau mati (pasal 365 ayat 4);

g) Pembajakan di laut, di pesisir, di pantai dan di kali, sehingga ada orang mati (pasal 444);

h) Dalam waktu perang menganjurkan huru-hara, pemberontakan dan sebagainya antara pekerja-pekerja dalam perusahaan pertahanan Negara (pasal 124 bis);

i) Dalam waktu perang menipu waktu menyampaikan keperluan angkatan perang (pasal 127 ayat 129);

j) Pemerasan dengan pemberatan (pasal 368 ayat 2).

2) Pidana Penjara

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, penjara berarti bangunan

tempat mengurung orang hukuman. Pidana penjara adalah salah satu

jenis pidana pokok yang terdapat dalam KUHP yang berlaku sekarang

(Ius Constitutum) dan RUU KUHP mendatang (Ius Constituendum).

Menurut Andi Hamzah, pidana penjara adalah bentuk pidana yang

berupa kehilangan kemerdekaan. Pidana kehilangan kemerdekaan itu

bukan hanya dalam bentuk pidana penjara, tetapi juga berupa

pengasingan.19

Menurut P.A.F. Lamintang, pidana penjara adalah suatu pidana

berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang

dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga

19

Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1993), h. 36.


(36)

27

pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati semua

peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan,

yang dikaitkan dengan sesuatu tindakan tata tertib bagi mereka yang

telah melanggar peraturan tersebut.20

Sementara dalam KUHP, pengertian pidana penjara tidak

dijelaskan secara detail. Namun, dalam pasal 12 ayat (1) KUHP, hanya

diterangkan bahwa pidana penjara adalah seumur hidup atau selama

waktu tertentu. Pidana penjara bervariasi dari penjara sementara

minial 1 (satu) hari sampai pidana penjara seumur hidup. Pidana

penjara seumur hidup hanya tercantum di mana ada ancaman hukuman

mati. Jadi pada umumnya pidana penjara maksimum ialah 15 tahun.

Keberatan pidana seumur hidup jika dihubungkan dengan tujuan

pemidanaan, yaitu untuk memperbaiki terpidana supaya menjadi

masyarakat yang berguna, tidak lagi sesuai dan dapat diterima. Dapat

dikatakan, bahwa pidana penjara pada dewasa ini merupakan bentuk

utama dan umum dari pidana kehilangan kemerdekaan.

3) Pidana Kurungan

Pidana kurungan adalah bentuk-bentuk dari hukuman

perampasan kemerdekaan bagi si terhukum yaitu pemisahan terhukum

dari pergaulan hidup masyarakat ramai dalam waktu tertentu di mana

20


(37)

sifatnya sama dengan hukuman penjara yaitu merupakan perampasan

kemerdekaan seseorang.

Dalam KUHP pasal 18 ayat 1 dikatakan bahwa pidana kurungan

itu minimal 1 hari dan maksimal 1 tahun; dan dalam hal gabungan

kejahatan, residive (pengulangan kejahatan); ketentuan yang terdapat

dalam pasal 18 ayat 2 KUHP.

Dalam hal pidana kurungan tidak dapat dipekerjakan di luar

daerah dimana ia bertempat tinggal atau berdiam waktu pidana itu di

jatuhkan. Pidana kurungan dapat sebagai pengganti dari pidana denda,

jika seseorang tersebut tidak dapat atau tidak mampu membayar denda

yang harus dibayar, dalam hal perkaranya tidak begitu berat.21

4) Pidana Denda

Sementara pidana denda diancamkan atau dijatuhkan terhadap

delik-delik yang ringan, berupa pelanggaran atau kejahatan ringan.

Oleh karena itu pula, pidana denda merupakan satu-satunya yang dapat

dipikul oleh orang lain selain terpidana. Walaupun denda dijatuhkan

terhadap terpidana pribadi, tidak ada larangan jika denda itu secara

sukarela dibayar oleh orang atas nama terpidana.

21


(38)

29

5) Pidana Tutupan

Pidana tutupan itu sebenarnya sudah dimasukkan oleh

pembentuk undang-undang untuk menggantikan pidana penjara yang

sebenarnya dapat dijatuhkan oleh hakim bagi pelaku dari sesuatu

kejahatan, atas dasar bahwa kejahatan tersebut oleh pelakunya telah

dilakukan karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati.22

b. Pidana Tambahan

Hukuman tambahan hanya dapat dijatuhkan bersama-sama dengan

hukuman pokok. Penjatuhan hukuman tambahan biasanya bersifat

fakultatif. Hakim tidak diharuskan menjatuhkan hukuman tambahan.

Dalam KUHP pidana tambahan terdapat dalam pasal 10 ayat (6) yang

terdiri dari: pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang

tertentu dan pengumuman putusan hakim.

Untuk membedakan antara pidana pokok dengan pidana tambahan,

maka akan dikemukakan hal-hal sebagai berikut:

- Sesuai dengan namanya yaitu pidana tambahan, maka pidana tambahan berarti hanya dapat ditetapkan di samping pidana pokok atau utama. Apabila hakim tidak menetapkkan pidana pokok, maka pidana tambahan dengan sendirinya tidak dapat ditetapkan pula. Terhadap hal ini Undang-Undang mengadakan suatu pengecualian. Misalnya, pasal 39 ayat (3) KUHP di mana ditetapkan bahwa perampasan barang dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah sepanjang mengenai barang-barang sita.

22


(39)

- Hukuman pidana tambahan bersifat fakultatif. Apabila terbukti bahwa terdakwa bersalah maka hakim harus menentukan suatu pidana pokok (utama). Hakim tidak wajib menetapkan pidana tambahan terhadap terdakwa. Jadi hakim bebas untuk menentukan atau tidak.

- Pidana tambahan tentang pencabutan hak-hak tertentu mulai berlaku setelah hakim membacakan putusan.

1) Pencabutan Hak-Hak Tertentu

Dalam pasal 35 KUHP telah ditentukan pembolehan pencabutan

hak-hak tertentu si bersalah dengan keputusan hakim, yakni antara lain:

a) Hak si bersalah, yang boleh dicabut dalam putusan hakim dalam hal

yang ditentukan dalam kitab undang ini atau dalam

undang-undang umum lainnya, ialah

(1) Menjabat segala jabatan atau jabatan tertentu; (2) Masuk balai tentara;

(3) Memilih dan boleh dipilih pada pemilihan yang dilakukan karena undang-undang umum;

(4) Menjadi penasehat atau wali, atau wali pengawas atau pengampu atau pengampu pengawas atas orang lain yang bukan ankanya sendiri;

(5) Kekuasaan bapak, perwalian, dan pengampuan atas anaknya sendiri;

(6) Melakukan pekerjaan tertentu;

b) Hakim berkuasa memecat seorang pegawai negeri dari jabatannya

apabila dalam undang-undang umum ada ditunjuk pembesar lain


(40)

31

2) Perampasan Barang-Barang Tertentu

Karena suatu putusan perkara mengenai diri terpidana, maka

barang yang dirampas itu adalah barang hasil kejahatan atau barang

milik terpidana yang dirampas itu adalah barang hasil kejahatan atau

barang milik terpidana yang digunakan untuk melaksanakan

kejahatannya. Hal ini diatur dalam pasal 39 KUHP yang berbunyi:

(1) Barang kepunyaan si terhukum yang diperolehnya dengan kejahatan atau dengan sengaja telah dipakainya untuk melakukan kejahatan, boleh dirampas.

(2) Dalam hal menjatuhkan hukuman karena melakukan kejahatan tidak dengan sengaja atau karena melakukan pelanggaran dapat juga dijatuhkan perampasan, tetapi dalam hal-hal yang telah ditentukan oleh undang-undang.

(3) Hukuman perampasan itu dapat juga dijatuhkan atas orang yang bersalah yang oleh hakim diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanyalah atas barang yang telah disita.

3) Pengumuman Putusan Hakim

Hukuman tambahan ini dimaksudkan untuk mengumumkan

kepada khalayak ramai (umum) agar dengan demikian masyarakat

umum lebih berhati-hati terhadap si terhukum. Biasanya ditentukan oleh

hakim dalam surat kabar yang mana, atau berapa kali, yang semuanya

atas biaya si terhukum. Jadi cara-cara menjalankan pengumuman

putusan hakim dimuat dalam putusan (Pasal 43 KUHP).23

23


(41)

Dalam hukum Islam, penggolongan hukuman dibagi menjadi beberapa

golongan. Penggolongan pertama didasarkan atas pertalian satu hukuman

dengan hukuman lainnya, dalam hal ini ada 4 (empat) jenis:24

1. Hukuman pokok (‘uqubah asliah), misalnya hukuman qishash untuk

tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan;

2. Hukuman pengganti (‘uqubah badaliah), merupakan pengganti

hukuman pokok yang tidak dapat dilaksanakan karena alasan yang sah,

seperti hukuman diyat sebagai pengganti hukuman qishash, atau

hukuman ta’zir sebagai pengganti hukuman had atau qishash yang tidak

dapat dilaksanakan. Sebenarnya hukuman diyat itu sendiri adalah

hukuman pokok untuk pembunuhan semi sengaja (menyerupai

sengaja), demikian pula hukuman ta’zir merupakan hukuman pokok

untuk tindak pidana ta’zir.

3. Hukuman tambahan (‘uqubah taba’iyah), yaitu hukuman yang

mengikuti hukuman pokok tanpa memerlukan keputusan tersendiri

seperti larangan menerima warisan bagi pelaku pembunuhan terhadap

keluarganya sebagai tambahan hukuman qishash, atau hukuman

pencabutan hak sebagai saksi bagi orang yang melakukan tindak pidana

qadzaf (memfitnah orang lain berzina).

24

Topo Santoso, Menggagas Hukum Islam: Penerapan Syariat Islam dalam konteks Modernitas, (Bandung: Asy-Syaamil, 2001), cet. Ke-II, h. 184-185.


(42)

33

4. Hukuman pelengkap (‘uqubah takmiliah), yaitu hukuman yang

mengikuti hukuman pokok dengan syarat ada keputusan tersendiri dari

hakim.

Penggolongan kedua, ditinjau dari segi kekuasaan hakim dalam

menentukan berat-ringannya hukuman. Dalam hal ini ada 2 (dua) macam

hukuman, yaitu:

1. Hukuman yang hanya mempunyai satu batas, artinya tidak ada batas

tertinggi atau batas terendahnya, seperti hukuman cambuk sebagai

hukuman had (80 atau 100 kali);

2. Hukuman yang mempunyai batas tertinggi dan batas terendahnya,

hakim diberi kebebasan memilih hukuman yang sesuai antara kedua

batas itu, seperti hukuman penjara atau cambuk pada tindak pidana

ta’zir.

Penggolongan ketiga, ditinjau dari segi besarnya hukuman yang telah

ditentukan yaitu:

1. ‘Uqubah Tazimah adalah hukuman keharusan yakni hukuman yang

telah ditentukan macam dan besarnya, di mana hakim harus

melaksanakan tanpa dikurangi atau ditambah, atau diganti dengan


(43)

2. ‘Uqubah Mukhayyarah yaitu hukuman pilihan yakni hukuman yang

diserahkan kepada hakim untuk dipilihnya dari sekumpulan hukuman

yang diterapkan dengan keadaan pelaku dan perbuatannya.

Penggolongan keempat, ditinjau dari segi tempat dilakukannya

hukuman, yaitu:

1. Hukuman badan;

2. Hukuman jiwa; dan

3. Hukuman harta.

Penggolongan kelima, merupakan yang terpenting, yang ditinjau dari

segi jenis tindak pidana yang diberi ancaman hukuman, yaitu:

1. Hukuman hudud, yaitu hukuman yang ditetapkan atas tindak pidana

hudud;

2. Hukuman qishash-diyat, yaitu hukuman yang ditetapkan atas tindak

pidana qishash-diyat;

3. Hukuman kifarat, yaitu hukuman yang ditetapkan untuk sebagian

tindak pidana qishash-diyat dan beberapa tindak pidana ta’zir; dan

4. Hukuman ta’zir, yaitu hukuman yang ditetapkan untuk tindak pidana


(44)

35

Sedangkan Jimly Asshiddiqie, menggolongkan secara garis besar

ancaman pidana dalam islam terdiri dari:25

1. Pidana atas Jiwa;

2. Pidana atas Anggota Badan;

3. Pidana atas Kemerdekaan; dan

4. Pidana atas Harta

B. Persamaan dan Perbedaan Sistem Pemidanaan Antara Hukum Positif Dan Hukum Islam

Berdasarkan teori pemidanaan di atas, maka dapat dilihat perbedaan dan

persamaan antara Hukum Positif dan Hukum Islam, yakni antara lain:

1. Persamaan

Dalam Hukum Pidana Islam tentang teori pemidanaan ini dapat

diketahui dari tujuan dijatuhkannya pidana, dimana hal ini dapat

dirumuskan dari tujuan masing-masing pidana dalam Hukum Pidana Islam

yaitu hudud, qishas diyat dan ta’zir. Sedangkan dalam Hukum Pidana

Indonesia teori pemidanaan ini dikenal 3 (tiga) teori yaitu teori absolut,

teori relatif dan teori gabungan.

Sisi persamaan dari tujuan pemidanaan dalam hukum pidana Islam

dan hukum pidana positif adalah upaya akhir dalam menangani setiap

25

Jimly Asshiddiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia: Studi tentang Bentuk-Bentuk Pidana dalam Tradisi Fiqh dan Relevansinya Bagi Usaha Pembaharuan KUHP Nasional,


(45)

tindak pidana adalah dengan menyingkirkan pelaku tindak pidana dengan

pidana mati ataupun penajara seumur hidup. Dan baik dalam hukum

pidana Islam dan hukum pidana positif tujuan dari dijatuhkannya pidana

yaitu diharapkan dengan adanya hukuman tersebut dapat menyadarkan

semua masyarakat untuk berbuat baik sehingga terpelihara ketentraman

hidup dan kelangsungan hidup masyarakat.

2. Perbedaan

Dari segi tujuan pemidanaan dalam hukum pidana Islam dan hukum

pidana positif terdapat perbedaan yaitu:

Pertama, teori pembalasan yang terdapat dalam hukum pidana

Islam dikenal adanya pema’afan (ﻮْ ْﻟا ) sedangkan dalam hukum pidana positif tidak dikenal.

Kedua, prinsip dasar pelaksanaan dari penjatuhan pidana dalam

hukum pidana Islam merupakan wujud ketaatan seorang hamba kepada

Khaliknya yang didasari keimanan sedangkan dalam hukum pidana positif

prinsip dasar pelaksanaan penjatuhan pidana karena semata-mata taat pada

aturan yang dianut manusia.


(46)

BAB III

PEMBINAAN NARAPIDANA DAN PEMBEBASAN BERSYARAT DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

A. Pembinaan Narapidana

1. Sistem Pembinaan Pemasyarakatan

Dalam pelaksanaannya pembinaan dan pembimbingan Warga Binaan

Pemasyarakatan diselenggarakan oleh Menteri dan dilaksanakan oleh Petugas

Pemasyarakatan. Yang dimaksud dengan Petugas Pemasyarakatan adalah

pegawai pemasyarakatan yang melaksanakan tugas pembinaan, pengamanan, dan

pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. Petugas Pemasyarakatan tersebut

merupakan Pejabat Fungsional Penegak Hukum yang melaksanakan tugas di

bidang pembinaan, pengamanan, dan pembimbingan Warga Binaan

Pemasyarakatan. Pejabat Fungsional diangkat dan diberhentikan oleh Menteri

(sekarang Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Kehakiman) sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun dalam

pengangkatan Pejabat Fungsional tersebut harus memenuhi beberapa persyaratan

antara lain: mempunyai latar belakang pendidikan teknis di bidang

pemasyarakatan, melakukan tugas yang bersifat khusus di lingkungan Unit

Pelaksanaan Teknis Pemasyarakatan, dan memenuhi persyaratan lain bagi

fungsional sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.1

1

Dwidja Priyantno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, h. 109.


(47)

Implementasi sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan

berdasarkan atas azas-azas sebagai berikut:

1. Pengayoman

Pengayoman adalah perlakuan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan dalam rangka melindungi masyarakat dari kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh Warga Binaan Pemasyarkatan, juga memberikan bekal hidupnya kepada Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi warga yang berguna di dalam masyarakat.

2. Persamaan perlakuan dan pelayanan

Persamaan perlakuan dan pelayanan adalah pemberian perlakuan dan pelayanan yang sama kepada Warga Binaan Pemasyarakatan tanp membeda-bedakan orang.

3. Pendidikan dan Pembimbingan

Pendidikan dan Pembimbingan adalah penyeleng-garaan pendidikan dan bimbingan dilaksanakan berdasarkan Pancasila, antara lain penanaman jiwa kekeluargaan, keterampilan, pendidikan kerohanian, dan kesempatan untuk menunaikan ibadah.

4. Penghormatan harkat dan martabat manusia

Penghormatan harkat dan martabat manusia adalah bahwa sebagai orang yang tersesat Warga Binaan Pemasyarakatan harus tetap diperlukan sebagai manusia.

5. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan

Yakni Warga Binaan Pemasyarakatan harus berada dalam LAPAS untuk jangka waktu tertentu, sehingga mempunyai kesempatan penuh untuk memperbaikinya. Selama di LAPAS, (Warga Binaan Pemasyarakatan tetap memperoleh hak-haknya yang lain seperti layaknya manusia, dengan kata lain hak perdatanya tetap dilindungi seperti hak memperoleh perawatan kesehatan, makan, minum, pakaian, tempat tidur, latihan, keterampilan olah raga, atau rekreasi).

6. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluaraga dan orang-orang tertentu.

Yakni bahwa walaupun Warga Binaan Pemasya-rakatan berada di LAPAS, tetapi harus didekatkan dan dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat, antara lain berhubungan dengan masyarakat dalam bentuk kunjungan, hiburan ke dalam LAPAS dari anggota masyarakat yang bebas, dan kesempatan berkumpul bersama sahabat dan keluarga seperti program cuti mengunjungi keluarga.


(48)

39

Dalam Pasal 6 Undang-Undang No. 12 tahun 1995, dinyatakan bahwa

pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan dilakukan di LAPAS dan

pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan dilakukan oleh BAPAS.

Sedangkan pembinaan di LAPAS dilakukan terhadap Narapidana dan Anak

Didik Pemasyarakatan.

Adapun proses pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan di LAPAS

dilaksanakan secara intramural (di dalam LAPAS) dan secara ekstremural (di

luar LAPAS). Pembinaan secara ekstramural yang dilakukan di LAPAS disebut

asimilasi, yaitu proses pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah

memenuhi persyaratan tertentu dengan membaurkan mereka ke dalam kehidupan

masyarakat. Sedang-kan pembinaan secara ektremural yang dilakukan oleh

BAPAS yang disebut integrasi, yaitu proses pembinaan Warga Binaan

Pemasyara-katan yang memenuhi persyaratan tertentu untuk hidup dan berada

kembali di tengah-tengah masyarakat dengan bimbingan dan penga-wasan

BAPAS.

Adapun pembimbingan oleh BAPAS dilakukan terhadap:

a) Terpidana bersyarat;

b) Narapidana, Anak Pidana dan Anak Negara yang mendapat-kan pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas;

c) Anak Negara yang berdasarkan putusan pengadilan, pembinaan diserahkan kepasa orang tua asuh atau badan sosial;

d) Anak Negara yang berdasarkan Keputusan Menteri atau Pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang ditunjuk, bimbingannya diserahkan orang tua asuh atau badan sosial; dan

e) Anak yang berdasarkan penetapan pengadilan, bimbingannya dikembalikan kepada orang tua atau walinya. (Pasal 6 ayat (3).


(49)

Pembimbingan oleh BAPAS terhadap Anak Negara yang berdasarkan

putusan pengadilan, pembimbingannnya diserahkan kepada orang tua asuh, atau

badan sosial, karena pembimbingannya masih merupakan tanggung jawab

Pemerintah. Terhadap Anak Negara yang berdasarkan Keputusan Menteri atau

pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang ditunjuk,

bimbingannya diserahkan kepada oran tua asuh atau badan sosial,

pembimbingannya tetap dilakukan oleh BAPAS karena anak tersebut masih

berstatus Anak Negara. Pembimbingnya oleh BAPAS terhadap Anak yang

berdasarkan penetapan pengdilan, bimbingannya dikembalikan kepada orang tua

atau walinya dilakukan sepanjang ada permintaan dari orang tua atau walinya

kepada BAPAS. 2

Pembinaan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan meliputi

program pembinaan dan bimbingan yang berupa kegiatan pembinaan kepribadian

dan kegiatan pembinaan kemandirian. Pembinaan kepribadian ini diarahkan pada

pembinaan mental dan watak agar Warga Binaan Pemasyarakatan menjadi

manusia seutuhnya, bertaqwa, dan bertanggung jawab kepada diri sendiri,

keluarga, dan masyarakat. Sedangkan pembinaan kemandirian diarahkan pada

pembinaan bakat dan keterampilan agar warga Binaan Pemasyarakatan dapat

2


(50)

41

kembali berperan sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung

jawab.3

2. Warga Binaan Pemasyarakatan

Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang No. 12 tahun 1995

tentang Pemasyarakatan dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Warga Binaan

Pemasyarakatan adalah Narapidana, Anak Didik Pemasyarakatan dan Klien

Pemasyarakatan.

a. Narapidana

Narapidana adalah terpidana (seorang yang dipidana berdasarkan

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap) yang

menjalani pidana hilang kemerdekaan di LAPAS.

b. Anak Didik Pemasyarakatan

Anak Didik Pemasyarakatan adalah:

1) Anak Pidana, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada Negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;

2) Anak Negara, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahka kepada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;

3) Anak Sipil, yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

c. Klien Pemasyarakatan

3


(51)

Klien Pemasyarakatan atau Klien adalah seseorang yang berada dalam

bimbingan BAPAS. Adapun Klien terdiri dari:

1) Terpidana bersyarat;

2) Narapidana, Anak Pidana, dan Anak Negara yang mendapatkan pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas;

3) Anak Negara yang berdasarkan putusan pengadilan pembinaanya diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial;

4) Anak Negara yang berdasarkan Keputusan Menteri atau penjabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang ditunjuk, bimbingannya diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial; dan

5) Anak yang berdasarkan penetapan pengadilan, bimbingannya dikembalikan kepada orang tua atau walinya. (Pasal 42 ayat (1)).

d. Balai Pertimbangan Pemasyarakatan

Untuk kontrol pelaksanaan sistem pemasyarakatan maka menteri

membentuk Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat

Pemasyarakatan. Yang dimaksud dengan Balai Pertimbangan

Pemasyarakatan adalah suatu Badan Penasihat Menteri yang bersifat

non-struktural. Balai Pertimbangan Pemasyarakatan yang terdiri dari

para ahli di bidang pemasyarakatan yang merupakan wakil instansi

pemerintah terkait, badan non-pemerintah dan perorangan lainnya

(misalnya dari kalangan organisasi advokat/ pengacara dan LSM) ini

bertugas memberi saran dan atau pertimbangan kepada Menteri yang

antara lain berdasarkan keluhan atau pengaduan Warga Binaan

Pemasyarakatan.

Sedangkan Tim Pengamat Pemasyarakat yang terdiri dari


(52)

43

1. Memberi saran mengenai bentuk dan program pembinaan dan

pembimbingan dalam melaksanakan sistem pemasyarakatan;

2. Membuat penilaian atas pelaksanaan program pembinaan dan

pembimbingan; dan

3. Menerima keluhan dan pengaduan dari Warga Binaan

Pemasya-rakatan. (Pasal 45 Ayat (4)).

e. Keamanan dan Ketertiban

Dalam hal keamanan dan ketertiban di LAPAS yang

bertanggung jawab adalah Kepala LAPAS. Dalam menjalankan

tugasnya Kepala LAPAS berwenang memberikan tindakan disiplin atau

menjatuhkan hukuman disiplin terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan

yang melanggar peraturan keamanan dan ketertiban di lingkungan

LAPAS yang dipimpinnya. Adapun jenis hukuman disiplin tersebut

dapat berupa:

1. Tutupan sunyi paling lama 6 (enam) hari bagi Narapidana atau

Anak Pidana; dan/ atau;

2. Menunda atau meniadakan hak tertentu untuk jangka tertentu

untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Namun, dalam memberikan tindakan disiplin atau menjatuhkan


(53)

Warga Binaan Pemasyarakatan secara adil dan tidak bertindak

sewenang-wenang dan mendasarkan tidankannya pada peraturan tata

tertib LAPAS.

3. Pandangan Islam dalam Pembinaan Pemasyarakatan

Dalam sistem hukum Islam, pidana penjara (kurungan) atau juga

pemasyarakatan termasuk dalam kelompok pidana ta’zir. Artinya pidana yang

merupakan kewenangan hakim untuk menentukannya. Karena putusan

perkaranya harus diselesaikan oleh Pengadilan yang dipimpin oleh seorang

hakim.

Dalam sejarah perkembangan Hukum Islam, jenis pidana penjara telah

dipraktekkan sejak masa Nabi Muhammad Saw. para Sahabat dan generasi

penerusnya. Sejalan dengan tujuan pemidanaan dalam hukum Islam yang

intinya untuk memelihara agama (ﻦْﻳﺪﻟا ﻆْﺣ), memelihara akal ( ْﻘ ْﻟا ﻆْﺣ) memelihara jiwa (حْوﺮﻟاﻆْﺣ) dan memelihara harta (لﺎﻤْﻟاﻆْﺣ) dan memelihara keturunan )( ْﺴﱠﻨﻟا ﻆْﺣ agar pelaku tindak pidana mendapat pelajaran, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan kembali menjadi manusia yang

baik. Konsep ini sejalan dengan konsep taubat. Menurut ajaran Islam, taubat

merupakan satu-satunya cara bagi manusia untuk membersihkan diri dari

berbagai bentuk kesalahan dan dosa dan melepaskannya dari kecemasan yang

mengguncangkan jiwa.4

4

Adi Sujatno, Pencerahan di Balik Penjara (Bagian I), diakses pada tanggal 15 November 2009 dari http://www.ditjenpas.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=178&Itemid =9.


(54)

45

Taubat dalam pandangan Islam harus dilakukan segera dan diiringi

dengan tekad untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang telah

diperbuat. Kesungguhan dalam bertaubat harus dibuktikan dalam bentuk

melaksanakan perbuatan-perbuatan baik. Taubat dalam pandangan Islam

artinya ruju’ (kembali) pada perbuatan-perbuatan yang baik serta diridhai oleh

Allah swt. Dengan demikian, taubat berarti kembali kepada fitrah

kemanusiaan, kesucian dan dengan melaksanakan atau mematuhi dan menaati

perintah Allah swt. serta meninggalkan seluruh perbuatan yang dapat menodai

fitrah kemanusiaan. Esensi taubah dalam konsep hukum Islam yang terkait

dengan pemidanaan penjara, sejalan dengan konsep pemidanaan dalam Sistem

Pemasyarakatan di Indonesia.5

B. Pembebasan Bersyarat dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam

1. Pembebasan Bersyarat dalam Perspektif Hukum Positif

a.Pengertian dan Dasar Hukum Pembebasan Bersyarat

Yang dimaksud dengan Pembebasan Bersyarat adalah bebasnya

Narapidana setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) masa

5

M. Lubabul Mubahitsin, Pidana Penjara Dalam Pandangan Islam, diakses pada tanggal 15 November 2009 dari http://lubabulmubahitsin.blogspot.com/2008/02/pidana-penjara-dalam-pandangan-islam.html


(55)

pidananya dengan ketentuan 2/3 (dua pertiga) masa pidananya tersebut

tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan.6

Adapun dasar hukum tentang pemberian bebas bersyarat bagi

Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan diatur dalam pasal 15 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu :

1) Jika terpidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, maka ia dapat dikenakan pelepasan bersyarat. Jika terpidana harus menjalani beberapa pidana berturut-turut, pidana itu dianggap sebagai satu pidana.

2) Ketika memberikan pelepasan bersyarat, ditentukan pula suatu masa percobaan, serta ditetapkan syrat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan.

3) Masa percobaan itu lamanya sama dengan sisa waktu pidana penjara yang belurn dijalani, ditambah satu tahun. Jika terpidana ada dalam tahanan yang sah maka waktu itu tidak termasuk masa percobaan.

Dalam Pasal Pasal 14 Ayat (1) huruf (k) Undang-Undang No. 12

Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan juga diterangkan bahwa Narapidana

berhak mendapatkan pembebasan bersyarat. Juga dalam Pasal 43 PP No.

32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Warga

Binaan Pemasyarakatan diterangkan bahwa:

1) Setiap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan kecuali Anak Sipil, berhak mendapatkan pembebasan bersyarat.

6

Penjelasan huruf (k) Pasal 14 Penjelasan atas UU No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Lihat juga Penjelasan huruf (b) Pasal 35 Penjelasan atas PP No. 31 tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.


(56)

47

2) Pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi Narapidana dan Anak Pidana setelah menjalani pidana sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari masa pidananya dengan ketentuan 2/3 (dua pertiga) masa pidana tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan.

3) Pembebasan bersyarat bagi Anak Negara diberikan setelah menjalani pembinaan sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun.

b. Azas, Maksud dan Tujuan Pemberian Pembebasan Bersyarat

Berdasarkan keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia

Nomor: M. 01. PK. 04-10 Tahun 1999, bahwa dalarn pelaksanaan

pem-bebasan bersyarat ini mempunyai azas, maksud dan tujuan yang ingin

dicapai.

Adapun Azas Pembebasan Bersyarat yang terdapat dalam Pasal 2,

terdiri dari:

a. Azas Pengayoman.

b. Azas Persamaan Perlakuan dan Pelayanan. c. Azas Pendidikan.

d. Azas Pembimbingan.

e. Azas Penghormatan Harkat dan Martabat Manusia.

f.Azas Kehilangan Kemerdekaan Merupakan Satu-satunya Penderitaan g. Azas Terjaminnya Hak Untuk Tetap Berhubungan dengan Keluarga

dan Orang-orang tertentu.

Sedangkan tujuan Pembebasan Bersyarat yang terdapat dalam Pasal

6, yakni:

a. Membangkitkan motivasi atau dorongan pada diri narapidana kearah pencapaian tujuan pembinaan.

b. Memberikan kesempatan bagi narapidana guna mempersiapkan diri hidup mandiri di tengah masyarakat setelah bebas menjalani pidana. c. Mendorong masyarakat untuk berperan secara aktif dalam


(57)

Maksud Pembebasan Bersyarat sebagaimana yang disebutkan,

dalam Pasal 5 adalah salah satu upaya untuk memulihkan hubungan

Narapidana dengan masyarakat secara sehat. Sedangkan maksud dan tujuan

dari pada pemberian pembebasan bersyarat menurut Aruan Sakidjo dan

Bambang Purnomo adalah untuk transisi atau memudahkan kembalinya

terpidana kemasyarakat dan pemberian pelepasan bersyarat sebelum

selesainya masa pidana itu juga dimaksudkan untuk mendorong terpidana

untuk berkelakuan baik dalam penjara. Supaya terpidana tidak mengulangi

kejahatan lagi, dan supaya terpidana yang diberikan pelepasan bersyarat

dari penjara itu diberi pertolongan untuk berbuat baik dengan bantuan

Reklaresing.7

c. Syarat-Syarat Pembebasan Bersyarat

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia

Nornor : M. 01. PK. 04-10 Tahun 1999 tentang Asimilasi, Pembebasan

bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas, seseorang Narapidana dapat diberikan

izin untuk memperoleh pembebasan bersyarat apabila memenuhi 2 (dua)

persyaratan pokok, yaitu persyaratan subtantif dan persyaratan

administratif.

1) Persyaratan Subtantif

7

Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana, Dasar Aturan Hukum Pidana Kodifikasi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1989), h. 114.


(58)

49

Dalam Pasal 7 ayat (2) Keputusan Menteri Kehakiman Republik

Indonesia Nomor : M. 01. PK. 04-10 Tahun 1999, menerangkan bahwa

persyaratan subtantif terdiri dari:

a. Telah menunjukan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana.

b. Telah menunjukan perkembangan budi perkerti dan moral yang positif.

c. Berhasil mengikuti program pembinaan dengan tekun dan bersemangat.

d. Masyarakat telah dapat menerima program kegiatan pembinaan narapidana yang bersangkutan.

e. Selama menjalankan pidana, narapidana tidak pernah mendapatkan hukuman disiplin sekurang-kurangnya dalan waktu 9 (sembilan) bulan terakhir.

f. Masa pidana yang telah dijalani 2/3 dari masa pidananya dengan ketentuan 2/3 tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan.

2) Persyaratan Administratif

Dalam Pasal 8 Keputusan Menteri Kehakiman Republik

Indonesia Nomor : M. Ol. PK. 04-10 Tahun 1999, dinyatakan bahwa

persyaratan administratif terdiri dari:

a. Salinan putusan pengadilan.

b. Surat keterangan asli dari kejaksaan bahwa narapidana yang ber-sangkutan tidak mempuyai perkara atau tersangkut dengan tindak pidana lainnya.

c. Laporan penelitian Kemasyarakatan dari BAPAS tentang pihak keluarga yang akan menerima narapidana, keadaan masyarakat


(1)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan urain bab-bab terdahulu, maka penulis dapat menarik beberapa kesimpulan, yakni sebagai berikut:

1. Sistem pemidanaan menurut hukum positif pada dasarnya mencakup pengertian yang luas. Namun dapat disimpulkan, bahwa sistem dimana pelaksanaannya bertujuan untuk pemberian dan penjatuhan hukuman oleh hakim sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan dalam Islam, sistem pemidanaan juga memiliki esensi yang sama yakni sebagai “pencegah” dan “penebus”. Selain kedua hal tersebut, pemidanaan menurut Islam juga bertujuan sebagai perbaikan dan pendidikan. Sebagai pencegah, karena ia berfungsi mencegah manusia dari tindakan kriminal, dan sebagai penebus, karena ia berfungsi menebus dosa seorang muslim dari azab Allah di hari kiamat. Sistem pidana Islam sebagai “pencegah”, akan membuat jera manusia sehingga tidak akan melakukan kejahatan serupa.

2. Bahwa peraturan tentang Pembebasan Bersyarat dalam hukum positif yaitu bebasnya Narapidana setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) masa pidananya dengan ketentuan 2/3 (dua pertiga) masa pidananya tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan. Sedangkan dalam Islam, peraturan


(2)

pembebasan bersyarat tidak memiliki pengertian dan aturan yang konkrit karena dalam hal ini merupakan bagian dari ta’zir.

3. Bahwa pelaksanaan pemberian pembebasan bersyarat kepada narapidana sebagai salah satu upaya pembinaan narapidana dilaksanakan dengan beberapa tahapan, yakni tahapan awal, lanjutan dan tahapan akhir. Sedangkan bentuk pembinaannya dilaksanakan dengan 2 (dua) bentuk pembinaan, yakni pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian. Sedangkan prosedural tata cara pelaksanaannya mengacu pada Permen Hukum dan HAM No M.2.PK.04-10 Tahun 2007, dalam Pasal 11. Sementara tinjauan dari Hukum Islam, pelaksanaannya dilaksanakan berdasarkan konsep “taubat” dengan 5 (lima) tahapan, yakni tahapan kesadaran, penyesalan, permohonan ampun, perjanjian, dan tahapan perbaikan.

4. Pelaksanaan program pembebasan bersyarat dirasa sangat efektif untuk untuk mengatasi masalah-masalah di rutan, seperti over capacity, pemulihan kembali mental narapidana, pemberdayaannya kembali dalam masyarakat, dan sebagainya. Sedangkan dalam Islam, meski tidak ada secara tersurat tentang dalil-dalil pembebasan bersyarat, dapat dilihat satu kesatuan dengan sistem kepenjaraan dalam Islam yang memiliki dasar legalitasnya. Namun demikian, program tersebut merupakan ranah ijtihad untuk mencari solusi yang lebih baik.

5. Bahwa berdasarkan analisis dari sudut pandang Hukum Positif tentang pelaksanaan pogram pembebasan bersyarat, telah dilaksanakan berdasarkan


(3)

80

tahapan-tahapan sebagaimana yang semestinya sehingga dapat dikatakan pelaksanaannya sudah berjalan dengan baik dan efektif meski memiliki kendala-kendala kecil. Sedangkan analisis dari sudut pandang Hukum Islam, pelaksanaannya pun sejalan dengan konsep pemaafan dan juga taubat dalam Islam sehingga tujuan untuk memberikan keadilan antara pihak korban dan pelaku bisa terwujud dan program-program yang ada untuk mengembalikan klien menjadi sumber daya manusia yang dapat diterima kembali oleh masyarakat dapat dicapai.

B. Saran-Saran

1. Agar dalam pelaksanaan pembebasan bersyarat dapat dilaksanakan betul-betul berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak membeda-bedakan status warga binaan untuk menghindari penyelewengan (KKN).

2. Dalam pemberian pembebasan bersyarat, hendaknya jangka waktunya dapat dipersingkat, agar tidak terjadi pemberian keputusan Pembebasan bersyarat yang telah lewat waktu dari tanggal bebas yang semestinya.

3. Meningkatkan koordinasi antar lembaga dalam pelaksanan dan pengawasan program pembebasan bersyarat agar tepat sasaran dan tercapainya tujuan yang memuaskan.

4. Agar warga binaan yang mendapat pembebasan bersyarat memahami betul fungsi dan tujuan diberikannya kepada klien pembebasan bersyarat sehingga tujuan pelaksanaannya optimal.


(4)

Amirudin, dan H. Zainal Asikin, Metode Penelitian, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2004, Cet. I., ed. I.

Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hujum Pidana, T.tp, PT. Citra Aditya Bakti, 2005, Cet. Ke-III.

Arief, Barda Nawawi, Kebijakan Legislatif dengan Pidana Penjara, Semarang, Badan Penerbit UNDIP, 1996.

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta, PT. Rineka Cipta, 1998, Cet. Ke-XI, ed. Revisi IV.

Assiddiqie, Jimly, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia: Studi tentang Bentuk Pidana Dalam Tradisi Fiqh dan Relevansinya Bagi Usaha Pembaharuan KUHP Nasional, cet. Ke-I. ed. 1, Bandung, Angkasa, 1995.

Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2002.

Djazuli, A. Fiqh Jinayat (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1997, Cet. Ke-II,

Hadi, Agustinus Purnomo, Pembebasan Bersyarat: Bagian Dari Proses Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana Yang Terpadu (Intergrated Criminal Justice System), Tesis S2 Pogram Studi Ilmu Hukum, Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 1999.

Hamzah, Andi, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Jakarta, Pradnya Paramita, 1993.

Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta, PT. Bulan Bintang, 1993, Cet. Ke-V,

Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang, Bayu Media Publishing, 2007, Cet. Ke-III, ed. Revisi.

Jamaludin, Burhanudin, Konsep Taubat, Pintu Peengampunan Dosa Besar & Syirik Masih Terbuka, Surabaya, Penerbit Dunia Ilmu, 1996, cet. I,

Jaya, Yahya, Pernan Taubat Dan Maaf Dalam Kesehatan Mental, Jakarta, CV. Ruhama, 1995, Cet. Ke-III,


(5)

82

Kansil, CST. dan Cristine S.T. Kansil, Pengantar Hukum Indonesia, Jilid 2, Jakarta, Balai Pustaka, 2003, Cet. Ke-2.

Lamintang, P.A.F, Hukum Penitensier Indonesia, Bandung, Armico, 1988.

Marpaung, Leden, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, 2006, Cet. Ke-III,

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung, PT. Alumni, 2005, Cet. Ke-III.

Priyantno, Dwidja, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Bandung, Refika Aditama, 2006, Cet. I,

Rahman, Abdur, Tindak Pidana dalam Syariat Islam, Jakarta, Rineka Cipta, 1992, Cet.1.

Saleh, Roeslan, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta, Aksara Baru, t.th.

Subagyo, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Suatu Pengantar, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003, Cet. Ke-VI, ed. I.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan Singkat, Cet. Ke-II, Jakarta, CV Rajawali, 1986.

Sukandarrumidi, Metodologi Penelitian, Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2004.

Sakidjo, Aruan dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana, Dasar Aturan Hukum Pidana Kodifikasi, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1989.

Tunggal, Hadi Setia, Undang-Undang Pemasyarakatan, Jakarta, Haevarindo, 2000.

Sumber Undang-Undang dan Peraturan Perundang-Undangan Lainnya Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

PP No. 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.

PP No. 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Kepmen Kehakiman No. M.01.PK.04-10 Tahun 1999 Tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas, Surat Edaran Tahun 1992


(6)

tentang syarat tambahan asimilasi cuti menjelang bebas dan pembebasan bersyarat.

Keputusan Menteri Tahun 1999 Tentang Asimilasi Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas.

Kepditjen Tahun 1992 Tentang Petunjuk Pelaksnaan Asimilasi Pembebasan Bersyarat Cuti Menjelang Bebas.

Artikel

Abubakar, Al-Yasa`, Hukuman Penjara Dalam Perspektif Syari’at Islam Dan Perbaikan Lembaga Pemasyarakatan Di Indonesia, Makalah ditulis atas permintaan Panitia, Dinas Syari`at Islam Provinsi Aceh, untuk Seminar & Workshop Nasional tentang Peningkatan Pelayanan Lembaga Pemasyarakatan sesuai dengan Ruh Syari`at Islam, Banda Aceh 2 Desember 2008.

Mubahitsin, M. Lubabul, Pidana Penjara Dalam Pandangan Islam, diakses pada tanggal 30 Agustus 2009 dari http://lubabulmubahitsin.blogspot.com/2008/ 02/pidana-penjara-dalam-pandangan-islam.html

Pembebasan Bersyarat, Peluang Napi yang Syarat Arti, diakses pada tanggal 26 J uli 2009 dari http://www.hukumonline.com/ detail.asp?id=17359&cl=Fokus