Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung

Adapun Majelis Rakyat Papua ini keanggotaannya berasal dari orang-orang Papua asli yang terdiri dari wakil-wakil adat, wakil agama dan wakil-wakil perempuan yang jumlahnya masing-masing 13 satu pertiga dari total anggota majelis Rakyat Papua ini. 86 Pluralisme hukum adalah terdapatnya berbagai ketentuan hukum yang dapat diberlakukan kepada kelompok masyarakat yang disebabkan terdapatnya perbedaan suku, agama, ataupun kelompok sosialnya, maupun berbeda kepentingannya secara ekonomis, sosial, budaya, politik dan lain-lain. Disebabkan terjadinya pluralisme hukum ini dikarenakan tidak mungkinnya suatu aturan hukum diberlakukan kepada seluruh lapisan masyarakatnya secara seragam, karena latar belakang perbedaan yang terdapat di dalam kehidupan masyarakat itu. Hal semacam ini secara universal adalah merupakan sesuatu hal yang lazim dalam setiap sistem hukum nasional Negara masing-masing. 87

B. Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung

Dalam Pasal 62 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 Tentang Susunan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR , Dewan Perwakilan Rakyat DPR, Dewan Perwakilan Daerah DPD, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menyatakan kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk memilih Kepala Daerah sudah dihapus. Kewenangan yang ada pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Dalam rangka mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat, sesuai dengan tuntutan reformasi dan amandemen UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang ini menganut sistem pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung dengan memilih calon secara berpasangan. Calon 86 Faisal Akbar Nasution, hal. 5. 87 Ibid, hal.5 Universitas Sumatera Utara diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Asas yang digunakan dalam pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sama dengan asas pemilu sebagaimana diatur dalam Undang Undang Nomor .12 Tahun 2003, yaitu asas langsung, umum, bebas dan rahasia luber, serta jujur dan adil jurdil. 88 Hak Asasi Manusia HAM adalah hak yang melekat pada diri setiap pribadi manusia . Keterkaitan antara konstitusi dengan HAM juga dapat dilihat melalui perkembangan sejarah. Perjuangan perlindungan HAM selalu terkait dengan perkembangan upaya pembatasan dan pengaturan kekuasaan yang merupakan ajaran konstitualisme. Magna Charta 1215 dan petition of Rights 1628 adalah momentum perlindungan HAM sekaligus pembatasan kekuasaan raja oleh kekuasaan parlemen house of commons . Setelah itu, perjuangan yang lebih nyata terlihat pula dalam Bill of Rights yang ditandatangani Raja Willem III pada tahun 1689 sebagai hasil dari pergolakan politik yang dahsyat ini tidak saja mencerminkan kemenangan parlemen atas raja, tetapi juga menggambarkan rentetan kemenangan rakyat dalam pergolakan-pergolakan yang menyertai perjuangan Bill of Rights itu yang berlangsung tak kurang dari 60 tahun lamanya. Dalam perkembangan selanjutnya, gagasan tentang HAM banyak dipengaruhi pula oleh pemikiran-pemikiran para sarjana yang terkait perkembangan pemikiran konstitusi, seperti John Locke dan Jean Jacques Rousseau. John Locke dikenal sebagai peletak dasar bagi teori Trias Politica Montesquieu. Bersama Thomas Hobbes dan J.J. Rousseau, John Locke juga mengembangkan teori perjanjian masyarakat yang biasa dinisbatkan kepada Rousseau dengan istilah kontrak sosial contract social. Perbedaan pokok antara Hobbes dan Locke dalam hal ini adalah bahwa jika teori Thomas Hobbes menghasilkan monarki absolut, maka teori John Locke menghasilkan monarki konstitusional. Dalam konteks HAM. Thomas Hobbes melihat bahwa HAM merupakan jalan keluar untuk mengatasi keadaan yang disebutnya “homo homini lupus, bellum omnium contra omnes”. Dalam keadaan demikian, manusia tak ubahnya bagaikan binatang buas dalam legenda kuno yang disebut „Leviathan yang dijadikan Thomas Hobbes sebagai judul buku. Keadaan seperti itulah yang, menurut Hobbes, mendorong terbentuknya perjanjian masyarakat dimana rakyat menyerahkan hak-haknya kepada penguasa. Itu sebabnya, pandangan Hobbes disebutkan sebagai teori yang mengarah kepada pembentukan monarki absolut. Sebaliknya, John Locke berpendapat bahwa manusia tidaklah secara absolut menyerahkan hak-haknya individunya kepada penguasa. Yang diserahkan, menurutnya, hak-hak yang berkaitan dengan perjanjian negara semata, sedangkan hak-hak lainnya tetap berada pada masing- masing individu. John Locke juga membagi proses perjanjian masyarakat tersebut dalam dua macam, yang disebutnya sebagai “Second Treaties of Civil Goverment” yang juga menjadi judul bukunya. Dalam instansi pertama the first treaty adalah perjanjian antara individu dengan individu warga yang ditujukan untuk terbentuknya masyarakat politik dan negara. Instansi pertama ini disebut John Locke sebagai “Pactum Unionis” berdasarkan anggapan bahwa: “Men by 88 Rozali Abdullah, Op.Cit, hal.56 Universitas Sumatera Utara nature are all free, equal, and independent, no one can be put out of this estate, and subjected to the political power another, without his own consent, which other men to join and unite into a community for their comfortable, stafe and peaceable, living one amongs another.... . Dalam instansi berikutnya yang disebutkannya sebagai “Pactum Subjectionis”, Locke melihat bahwa pada dasarnya setiap persetujuan antarindividu pactum unionis terbentuk atas dasar suara mayoritas. Dan karena setiap individu selalu memiliki hak-hak yang tak tertanggalkan, yakni life, liberty serta estate, maka adalah logis jika tugas negara adalah memberikan perlindungan kepada masing-masing individu. Dasar pemikiran John Locke inilah yang di kemudian hari dijadikan landasan bagi pengakuan HAM. Sebagaimana yang kemudian terlihat dalam Declaration of Independence AS yang pada 4 Juli 1776 telah disetujui Congress yang mewakili 13 negara baru yang bersatu. Kalimat kedua dari Declaration of Independence tersebut membuktikan adanya pengaruh dari pemikiran John Locke: “We hold these truth to be self evident, that all men are created equal, that they are endowed by their Creator with certain unalienable rights, that among these are life, liberty, and the persuit of happiness. That, to secure these rights, government are instituted among men, deriving their just powers from the concent of the governed”. Di AS, perjuangan HAM itu disebabkan rakyatnya yang berasal dari Eropa sebagai imigran, merasa tertindas oleh pemerintahan Inggris . Hal itu berlainan dengan apa yang dialami bangsa Perancis yang pada abad ke-17 dan ke-18 dipimpin pemerintahan raja yang bersifat absolut. Sebagai reaksi terhadap absolutisme itulah, Montesquieu merumuskan teorinya yang dikenal dengan istilah “Trias Politica ” yang dikemukakan dalam buku ”L esprit des Lois” 1748. Montesquieu berpendapat bahwa kekuasaan negara dibagi dalam tiga bagian yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Ketiga bagian tersebut harus dipisahkan baik dari segi organnya maupun dari fungsinya. Pemisahan itu, menurutnya, sangat penting untuk mencegah bertumpuknya semua kekuasaan di tangan satu orang. Dengan terpisahnya kekuasaan negara dalam tiga badan yang mempunyai tugas masing- masing dan tidak boleh saling mencampuri tugas yang lain, meka dapat dicegah terjadinya pemerintahan yang absolut. Sementara, Jean Jacques Rosseau, melalui bukunya, „ Du Contract Social menghendaki adanya suatu demokrasi, dimana kedaulaan ada di tangan rakyat . Pandangan Rousseau ini banyak diengaruhi oleh pemikiran Thomas Hobbes dan John Locke. Ketika itu, berkembang pernyataan tidak puas dari kaum borjuis dan rakyat kecil terhadap raja, yang menyebabakan Raja Louis XVI memanggil Etats Generaux untuk bersidang pada 1789. Tetapi, kemudian utusan kaum borjuis menyatakan dirinya sebagai „ Assemble Nationale yaitu Dewan Perwakilan Rakyat yang mewakili seluruh Perancis. Pada 20 juni 1789, ditetapkanlah pernyataan hak-hak asasi manusia da warga negara, selanjutnya pada 13 September 1789, lahirlah konstitusi perancis yang pertama. Pernyataan hak-hak asasi manusia dan warga negara Perancis tersebut dapat dikatakan, banyak dipengaruhi Declaration of Independence AS, terutama berkat jasa salah seorang warga perancis yang pernah ikut berperang di As yaitu La Fayyette. Saat kembali ke Perancis dia membawa salinan naskah deklarasi independence AS, yang kemudian banyak ditiru oleh negara-negara Eropa termasuk perancis. Karena itu, Kedua naskah deklarasi, yaitu Deklaration of Independence AS 1776 dan Deklaration des Droit de l homme et du Citoyen Universitas Sumatera Utara Perancis 1789 sangat berpengaruh dan dan merupakan peletak dasar bagi perkembangan universal perjuangan HAM. 89 Gagasan Hak Asasi Manusia HAM dalam UUD 1945 UUD 1945 sebelum diamandemen dengan perubahan kedua pada 2000, hanya memuat sedikit ketentuan yang dapat dikaitkan dengan ketentuan HAM. Pasal-pasal yang biasanya dikaitkan dengan pengertian HAM itu adalah; Pasal 27 ayat 1, pasal 27 ayat 2, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, pasal 31 ayat 1, dan pasal 34. Namun jika dierhatikan dengan sungguh-sunguh, hanya satu ketentuan saja yang memang benar-benar memberikan jaminan konstitusional atas HAM , yaitu pasal 29 ayat 2, yang menyatakan, „ Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu . Hasil amandemen UUD 1945 memberikan suatu titik terang bahwa Indonesia semakin memperhatikan dan menjunjung nilai-nilai Hak Asasi Manusia HAM yang selama ini kurang memperoleh perhatian dari Pemerintah. Amandemen kedua bahkan telah menelurkan satu Bab khusus mengenai Hak Asasi Manusia yaitu pada Bab XA. Apabila kita telaah menggunakan perbandingan konstitusi dengan negara-negara lain, hal ini merupakan prestasi tersendiri bagi perjuangan HAM di Indonesia, sebab tidak banyak negara di dunia yang memasukan bagian khusus dan tersendiri mengenai HAM dalam konstitusinya. Namun demikian, pemasukan pasal-pasal mengenai HAM sebagai suatu jaminan konstitusi constitutional guarantee ternyata masih menyimpan banyak perdebatan di kalangan akademisi maupun praktisi HAM. Fokus permasalahan terjadi pada dua pasal yang apabila dibaca secara sederhana mempunyai pengertian yang saling bertolak belakang, yaitu mengenai ketentuan terhadap non-derogable rights Pasal 28I dan ketentuan mengenai human rights limitation Pasal 28J. Benarkah dalam UUD 1945 itu tersendiri terdapat pembatasan atas ketentuan HAM, termasuk di dalamnya terhadap Pasal 28I yang di akhir kalimatnya berbunyi ”…adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”? Tulisan ringan ini akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut berdasarkan pendapat the 2nd founding parents serta tafsir resmi dari Mahkamah Konstitusi . Rujukan Dasar Rujukan yang melatarbelakangi perumusan Bab XA Hak Asasi Manusia UUD 1945 adalah Ketetapan MPR Nomor XVIIMPR1998. Hal ini dikemukakan oleh Lukman Hakim Saefuddin dan Patrialis Akbar, mantan anggota Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR PAH 89 http:www.endradharmalaksana.comcontentview18146lang,indonesia Universitas Sumatera Utara I BP MPR yang bertugas menyiapkan rancangan perubahan UUD 1945, pada persidangan resmi di Mahkamah Konstitusi bertanggal 23 Mei 2007. Ketetapan MPR tersebut kemudian melahirkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Semangat keduanya, baik itu Ketetapan MPR Nomor XVIIMPR1998 maupun Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 adalah sama yakni menganut pendirian bahwa hak asasi manusia bukan tanpa batas. Dikatakan pula bahwa semangat yang sama juga terdapat dalam pengaturan tentang hak asasi dalam UUD 1945, yaitu bahwa hak asasi manusia bukanlah sebebas- bebasnya melainkan dimungkinkan untuk dibatasi sejauh pembatasan itu ditetapkan dengan undang-undang. Semangat inilah yang melahirkan Pasal 28J UUD 1945. Pembatasan sebagaimana tertuang dalam Pasal 28J itu mencakup sejak Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945. Oleh karenanya, hal yang perlu ditekankan di sini bahwa hak-hak asasi manusia yang diatur dalam UUD 1945 tidak ada yang bersifat mutlak, termasuk hak asasi yang diatur dalam Pasal 28I ayat 1 UUD 1945. Jika kita menarik dari perspektif original intent pembentuk UUD 1945, bahwa seluruh hak asasi manusia yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945 keberlakuannya dapat dibatasi. Original intent pembentuk UUD 1945 yang menyatakan bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi juga diperkuat oleh penempatan Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945 tersebut. Mengutip pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 2- 3PUU-V2007, maka secara penafsiran sistematis sistematische interpretatie, hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945. Sistematika pengaturan mengenai hak asasi manusia dalam UUD 1945 ini sejalan pula dengan sistematika pengaturan dalam Universal Declaration of Human Rights yang juga menempatkan pasal tentang pembatasan hak asasi manusia sebagai pasal penutup, yaitu Pasal 29 ayat 2 yang berbunyi, “In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society.” Konstitusionalisme Indonesia Dalam perkara yang sama, Mahkamah menilai bahwa apabila kita melihat dari sejarah perkembangan konstitusionalisme Indonesia , sebagaimana tercermin dalam konstitusi-konstitusi yang pernah berlaku, yakni UUD 1945 sebelum Perubahan, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, dan UUD 1945 sesudah Perubahan, tampak adanya kecenderungan untuk tidak memutlakkan hak asasi manusia, dalam arti bahwa dalam hal-hal tertentu, atas perintah konstitusi, hak asasi manusia dapat dibatasi oleh suatu undang-undang. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut: 1. UUD 1945 sebelum Perubahan bahkan tidak memuat secara eksplisit dan lengkap pengaturan tentang hak asasi manusia, termasuk tentang hak untuk hidup, meskipun dalam Alinea ke-4 memuat apa yang kemudian disebut sebagai Pancasila yang salah satunya adalah sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab”; 2. Pasal 32 ayat 1 Konstitusi RIS 1949 memuat ketentuan tentang pembatasan “Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia” sebagai berikut, “Peraturan-peraturan undang-undang tentang melakukan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diterangkan dalam bagian ini, jika perlu, akan menetapkan batas-batas hak-hak dan kebebasan itu, akan tetapi Universitas Sumatera Utara hanyalah semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan yang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil untuk ketenteraman, kesusilaan dan kesejahteraan umum dalam suatu persekutuan yang demokrasi”; 3. Pasal 33 UUDS 1950 juga membatasi HAM Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia sebagai berikut, “Melakukan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diterangkan dalam bagian ini hanya dapat dibatasi dengan peraturan-peraturan undang-undang semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan yang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil untuk ketenteraman, kesusilaan dan kesejahteraan dalam suatu masyarakat yang demokratis”; 4. UUD 1945 pasca Perubahan, melalui Pasal 28J nampaknya melanjutkan paham konstitusi konstitusionalisme yang dianut oleh konstitusi Indonesia sebelumnya, yakni melakukan pembatasan tentang hak asasi manusia sebagaimana telah diuraikan di atas; Sejalan dengan pandangan konstitusionalisme Indonesia tentang HAM sebagaimana telah diuraikan di atas, ketika kemudian dikeluarkan Ketetapan MPR Nomor XVIIMPR1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam UU HAM, kedua produk hukum ini tampak sebagai kelanjutan sekaligus penegasan bahwa pandangan konstitusionalisme Indonesia tidaklah berubah karena ternyata keduanya juga memuat pembatasan terhadap hak asasi manusia. Sebagai contoh yaitu adanya pembatasan mengenai hak untuk hidup right to life: 1. Tap MPR Nomor XVIIMPR1998 memuat “Pandangan dan Sikap Bangsa Terhadap Hak Asasi Manusia” yang bersumber dari ajaran agama, nilai moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Dalam Pasal 1 Piagam Hak Asasi Manusia dimuat ketentuan tentang hak untuk hidup yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya”, namun dalam Pasal 36-nya juga dimuat pembatasan terhadap hak asasi manusia termasuk hak untuk hidup sebagai berikut, “Di dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”; 2. UU HAM dalam Pasal 9 ayat 1 dimuat ketentuan tentang hak untuk hidup dan dalam Pasal 4 ditentukan bahwa hak untuk hidup termasuk hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun. Namun, Penjelasan Pasal 9 UU HAM menyatakan bahwa hak untuk hidup dapat dibatasi dalam dua hal, yaitu dalam hal aborsi untuk kepentingan hidup ibunya dan dalam hal pidana mati berdasarkan putusan pengadilan. Selain itu, Pasal 73 UU HAM juga memuat ketentuan mengenai pembatasan terhadap hak asasi manusia sebagai berikut, “Hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, sematamata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa”. Selain itu, putusan Mahkamah Konstitusi yang dapat kita jadikan rujukan mengenai pembatasan terhadap HAM di Indonesia yaitu Putusan Nomor 065PUU-II2004 mengenai pengujian terhadap diterapkannya ketentuan hukum yang berlaku surut dalam Undang-undang Nomor Universitas Sumatera Utara 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang diajukan oleh Pemohon Abilio Jose Osorio Soares Sebagaimana dipahami, dalam Pasal 28I ayat 1 UUD 1945, terdapat sejumlah hak yang secara harfiah dirumuskan sebagai “hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”, termasuk di dalamnya hak untuk hidup dan hak untuk tidak dituntut berdasarkan aturan hukum yang berlaku surut . Dalam konteks ini, Mahkamah menafsirkan bahwa Pasal 28I ayat 1 haruslah dibaca bersama-sama dengan Pasal 28J ayat 2, sehingga hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut tidaklah bersifat mutlak. Oleh karena hak-hak yang diatur dalam Pasal 28I ayat 1 UUD 1945 yaitu yang termasuk dalam rumusan “hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun” dapat dibatasi, maka secara prima facie berbagai ketentuan hak asasi manusia di luar dari Pasal tersebut, seperti misalnya kebebasan beragama Pasal 28E, hak untuk berkomunikasi Pasal 28F, ataupun hak atas harta benda Pasal 28G sudah pasti dapat pula dibatasi, dengan catatan sepanjang hal tersebut sesuai dengan pembatasan-pembatasan yang telah ditetapkan oleh Undang-undang. Kesimpulan Adanya tafsir resmi Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusannya terkait dengan pembatasan HAM di Indonesia telah memberikan kejelasan bahwasanya tidak ada satupun Hak Asasi Manusia di Indonesia yang bersifat mutlak dan tanpa batas. Penulis sangat memahami apabila banyak pihak yang beranggapan bahwa konstruksi HAM di Indonesia masih menunjukan sifat konservatif, terutama apabila dibandingkan dengan negara-negara lain di berbagai belahan dunia lainnya. Lebih lanjut, apabila kita menggunakan salah satu dari pilihan penafsiran hukum tata negara yang berjumlah sebanyak dua puluh tiga macam, sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Jimly Asshiddiqie dalam bukunya “Pengantar Hukum Tata Negara”, tentunya semakin membuahkan hasil penafsiran yang beraneka ragam. Namun demikian, Hukum Tata Negara haruslah kita artikan sebagai apa pun yang telah disahkan sebagai konstitusi atau hukum oleh lembaga yang berwenang, terlepas dari soal sesuai dengan teori tertentu atau tidak, terlepas dari sama atau tidak sama dengan yang berlaku di negara lain, dan terlepas dari soal sesuai dengan keinginan ideal atau tidak. Inilah yang disebut oleh Prof. Mahfud M.D sebagai “Politik Hukum ” dalam buku terbarunya berjudul “Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi”. Menurutnya, Hukum Tata Negara Indonesia tidak harus sama dan tidak pula harus berbeda dengan teori atau dengan yang berlaku di negara lain. Apa yang ditetapkan secara resmi sebagai hukum tata negara itulah yang berlaku, apa pun penilaian yang diberikan terhadapnya. Terlepas dari semua hal tersebut di atas, satu hal yang perlu kita kita garis bawahi di sini bahwa Konstitusi haruslah dapat mengikuti perkembangan jaman sehingga acapkali ia dikatakan sebagai a living constitution. Oleh karena itu, konsepsi pembatasan terhadap HAM pada saat ini dapat saja berubah di masa yang akan datang. Sekarang tinggal bagaimana mereka yang menginginkan adanya perubahan konstruksi pemikiran ke arah tertentu, dapat memanfaatkan jalur-jalur konstitusional yang telah tersedia, misalnya dengan menempuh constitutional amandmend, legislative review, judicial review , constitutional conventions, judicial jurisprudence, atau pengembangan ilmu hukum sebagai ius comminis opinio doctorum sekalipun. 90 90 Ibid Universitas Sumatera Utara B.1 Hubungan Kepala Daerah Dengan DPRD Pasca Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD. 91 Setiap daerah dipimpin oleh kepala pemerintah daerah yang disebut Kepala Daerah. Kepala Daerah untuk provinsi disebut Gubernur, untuk kabupaten disebut Bupati, dan untuk kota disebut Walikota. Kepala Daerah harus bekerjasama serta mitra yang sejajar dengan DPRD dalam hal : 1. Memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD; 2. Menetapkan Perda yang telah ditetapkan mendapat persetujuan bersama DPRD; 3. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama. Kepala Daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah Pasal 5 PP Nomor 58 Tahun 2005. Kepala daerah sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dapat melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaan kepada aparat yang ada di bawahnya, hal tersebut diatur dalam Pasal 156 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang dinyatakan sebagai berikut : 91 Pasal 19 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Universitas Sumatera Utara 1 Kepala Daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah. 81 2 Dalam melaksanakan kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 Kepala Daerah melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaannya yang berupa perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban, serta pengawasan keuangan daerah kepada pejabat perangkat daerah 3 Pelimpahan sebagian atau seluruh kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 di daerah pada prinsip pemisahan kewenangan antara yang memerintahkan, menguji, dan yang menerima mengeluarkan uang. 92 Kepala Daerah menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah APBD kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan paling lambat enam bulan setelah tahun anggaran berakhir. 93 Pelimpahan kekuasaan tersebut dimaksudkan jangan sampai terjadi kekuasaan menumpuk kepada Kepala Daerah saja yang mengakibatkan beban yang begitu berat pada Kepala Daerah, dan yang lebih penting dari itu adalah untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan wewenang dan sewenang-wenang. Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah RAPBD yang telah mendapatkan persetujuan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD harus ditindak lanjuti oleh Kepala Daerah dengan mengeluarkan Keputusan Kepala Daerah GubernurBupatiWalikota sebagai pelaksanaan pengelolaan keuangan 92 Nur Basuki Minarno,Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsi, Laksbang Mediatama, Yogyakarta,2008, hal. 128. 93 Ahmad Yani, Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia., Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 409. Universitas Sumatera Utara daerah yang telah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah APBD. Biaya kegiatan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dibebankan kepada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah APBD diatur dalam Pasal 112 Undang- undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Dokumen penyusunan anggaran yang disampaikan masing-masing satuan kerja perangkat daerah SKPD yang disusun dalam format rencana kerja dan anggaran RKA SKPD harus dapat menyajikan informasi yang jelas termasuk dalam hal pemilihan Kepala Daerah . Baik mengenai tujuan, sasaran serta korelasi antara besaran anggaran dengan manfaat dan hasil yang ingin dicapai masyarakat dari suatu kegiatan yang dianggarkan. Disamping itu, juga perlu dilakukan perbaikan sistem pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah yang handal. Salah satunya dengan memperbaiki faktor sumberdaya manusia baik dari segi kualitas, integritas maupun keserasiannya Pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah oleh Kepala Daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan Negara jo. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah jo. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah APBD diatur dalam Pasal 31 ayat 1 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 jo. Pasal 184 ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo. Pasal 100 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa : 94 http:arsip.pontianakpost.comberitaindex.asp?berita=kotaid=132828index.asp.html Universitas Sumatera Utara ”GubernurBupatiWalikota menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah APBD kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan, selambat-lambatnya 6 enam bulan setelah tahun anggaran berakhir ”. Berdasarkan surat Edaran Mendagri Nomor 9032429SJ tanggal 21 September 2005 ditentukan batas waktu penetapan Raperda Perhitungan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah APBD menjadi Perda Perhitungan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah APBD untuk tahun anggaran 2005 masih tetap mengacu pasal 92 ayat 2 Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah Serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yaitu 3 tiga bulan setelah tahun anggaran berakhir. Laporan pertanggungjawaban Kepala Daerah menyangkut 2 dua hal : pertama, menyampaikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada pemerintah pusat serta menginformasikan kepada masyarakat Pasal 27 ayat 2 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, kedua, menyampaikan laporan Rancangan Peraturan Daerah Raperda tentang Pertanggungjawaban pelaksanaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah APBD kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan BPK paling lambat 6 enam bulan setelah tahun anggaran Universitas Sumatera Utara berakhir Pasal 31 ayat 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 jo. Pasal 184 ayat 1 Undang-Undang UU Nomor 32 tahun 2004 . Laporan penyelenggaraan pemerintah daerah oleh Gubernur disampaikan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri, kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur untuk laporan penyelenggaraan pemerintah daerah kebupatenkotamadya. Format laporan penyelenggaraan pemerintah daerah diatur dalam Surat Mendagri Nomor 1201306SJ tanggal 7 Juni 2005 perihal Penyampaian Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah dan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan daerah. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2006 mengatur tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun 2007 secara singkat, pedoman tersebut meliputi : a.Sinkronisasi kebijakan Pemerintah Pusat dengan kebijakan Pemerintah Daerah b. Prinsip dan kebijakan penyusunan APBD dan perubahan APBD . Penyusunan APBD dengan prinsip-prinsip : 1. Partisipasi Masyarakat 2. Transparansi dan akuntabilitas anggaran APBD harus dapat menyajikan informasi secara terbuka dan mudah diakses oleh masyarakat meliputi tujuan, sasaran, sumber pendanaan pada setiap jenis objek belanja serta korelasi antara besaran anggaran dengan manfaat dan hasil yang ingin dicapai dari suatu kegiatan. Universitas Sumatera Utara B.2. Wewenang DPRD Dalam Pilkada Langsung UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah KPUD yang bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pengawasan penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dibentuklah panitia pengawas pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang keanggotaannya terdiri dari unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers, dan tokoh masyarakat. Dalam mengawasi penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, dibentuk panitia pengawas pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang keanggotaannya terdiri atas unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers, dan tokoh masyarakat yang diatur dalam Pasal 57 ayat 3 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Panitia pengawas pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dibentuk oleh dan bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD dan berkewajiban menyampaikan laporannya. 95 Dalam penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, pengawasan dilakukan Panitia Pengawas Panwas yang dibentuk dan bertanggungjawab kepada DPRD. Anggota Panitia Pengawas untuk provinsi dan kabupatenkota berjumlah masing-masing lima orang, sedangkan untuk kecamatan, anggotanya tiga orang. Anggota panitia pengawas terdiri dari unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers, dan tokoh masyarakat. Apabila di salah satu daerah kabupaten kota kecamatan tidak terdapat unsur-unsur tersebut diatas, dapat diisi oleh unsur lainnya. Calon anggota panitia pengawas kecamatan diusulkan oleh KPUD kabupatenkota untuk ditetapkan oleh DPRD. 96 95 Pasal 57 ayat 7 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 96 Rozali Abdullah, Op.Cit, hal.62 Universitas Sumatera Utara Pengangkatan anggota panitia pengawas pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD, dalam pelaksanaannya nanti bisa menimbulkan masalah. Ada kekhawatiran dalam proses pengangkatan tersebut ikut terjadi kepentingan politik tertentu sehingga independensi panitia pengawas panwas pemilihan kepala daerah pilkada diragukan. Sebaiknya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD hanya menetapkan saja, sedangkan perekrutannya diserahkan kepada suatu panitia badan yang independen. Sebagai pegangan bagi panitiabadan ini di dalam menjalankan tugasnya, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD membuat aturan tata cara pengangkatan anggota panitia pengawas panwas pemilihan kepala daerah pilkada. 97 Pasal 1 ayat 6 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menyatakan bahwa Komisi Pemilihan Umum, selanjutnya disebut KPU, adalah lembaga penyelenggaraan Pemilu yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Pasal 60 ayat 1 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menyatakan bahwa Bawaslu, Panwaslu propinsi, Panwaslu kabupatenkota melakukan pengawasan atas pelaksanaan verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPR, DPRD propinsi, dan DPRD kabupatenkota yang dilakukan oleh KPU, KPU propinsi, dan KPU kabupatenkota. 97 Ibid , hal.63 Universitas Sumatera Utara Pasal 60 ayat 2 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menyatakan bahwa pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat 1 adanya unsur kesengajaan atau kelalaian anggota KPU, KPU propinsi , dan KPU kabupatenkota sehingga merugikan bakal calon anggota DPR, DPRD propinsi, dan DPRD kabupatenkota maka Bawaslu, Panwaslu propinsi, dan Panwaslu kabupatenkota menyampaikan temuan kepada KPU, KPU propinsi, dan KPU kabupatenkota.

C. Mekanisme Tahapan Pelaksanaan Pilkada Langsung