Latar Belakang BAB I

A. Latar Belakang BAB I

PENDAHULUAN Demokrasi merupakan suatu sistem untuk mengatur tata tertib masyarakat dan juga mengadakan perubahan masyarakat, menentukan corak kebudayaan sendiri, kebebasan, berkumpul, menentukan kebebasan bergerak, menyatakan pendapat dan tulisan, menganut agama dan kepercayaan dan keyakinan masing- masing. Teorisasi demokrasi melahirkan dua pendekatan yang lazim digunakan apabila hendak menjelaskan konsep demokrasi, yaitu pendekatan klasik normatif yang juga dikenal dengan pendekatan substantif dan pendekatan empiris minimalis atau juga dikenal dengan pendekatan prosedural 1 . Dalam ilmu politik, dikenal dua macam pemahaman tentang demokrasi; pemahaman secara normatif dan pemahaman secara empirik. Untuk pemahaman yang terakhir ini disebut juga sebagai Procedural Democracy 2 . Pendekatan klasik normatif memahami demokrasi sebagai sumber wewenang dan tujuan resep bagaimana demokrasi itu seharusnya, sementara pendekatan empiris minimalis lebih menekankan pada sistem politik yang dibangun deskripsi tentang apa demokrasi itu sekarang. Pendekatan klasik normatif lebih banyak membicarakan ide-ide dan model-model demokrasi secara substantif dan umumnya mendefinisikan demokrasi dengan istilah-istilah kehendak rakyat sebagai sumber alat untuk mencapai kebaikan bersama 3 . 1 Suyatno, Menjelajahi Demokrasi, Liebe Book, Yogyakarta, 2004, hal 37. 2 Afan Gaffar, Politik Indonesia; Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hal. 3. 3 Suyatno, Op.Cit, hal 37. Universitas Sumatera Utara Pada umumnya pendefinisian demokrasi diletakkan pada dasar sebuah pemerintahan dari rakyat, bukannya dari pada Aristokrat, kaum Monarki, Birokrat, para ahli ataupun para pemimpin agama, oleh rakyat dan untuk rakyat. 4 Perkembangan selanjutnya demokrasi ditandai dengan lahirnya Magna Carta Piagam Besar pada 15 juni 1215. Magna Carta merupakan semacam kontrak antara beberapa bangsawan dan Raja Jhon dari Inggris dimana untuk pertama kalinya seorang raja yang berkuasa mengikatkan diri untuk mengakui dan menjamin beberapa hak dari bawahannya sebagai imbalan untuk penyerahan dana bagi keperluan perang dan sebagainya 5 . Magna Carta memiliki dua pesan yang berjangkauan luas; pertama, bahwa kekuasaan pemerintahan adalah terbatas; dan kedua, bahwa hak asasi manusia lebih tinggi dari kekuasaan raja 6 . Rene Descartes 1596-1650 melalui ucapannya Cogito Ergo Sum saya berfikir maka saya ada mengilhami lahirnya gagasan nilai-nilai kebebasan manusia. Gagasan tersebut memberikan ruang leluasa bagi pengembangan demokrasi. Karya-karya yang menyuarakan kebebasan pada gilirannya bertebaran pada masa itu, semisal karya Jhon Locke 1632-1704, Charles de Secondat Montesquieu 1689-1755 dan Jean Jacques Rousseau 1712-1778, yang kesemuanya memiliki tujuan tunggal yakni bagaimana membangun struktur politik yang serasional mungkin 7 . John Locke melalui karyanya ”Two Treatis of Government” menyatakan struktur politik seharusnya didasarkan pada persamaan penuh dan kebebasan 4 Ibid, hal. 33. 5 Mariam Budiarjo, Fungsi Legislatif Dalam Sistem Politik Indonesia, Rajawali Press, AIPI, Jakarta, 1993, hal. 54. 6 Ramdlonnaning, Cita dan Citra Hak Asasi Manusia di Indonesia, Lembaga Krimonologi UI, Jakarta, 1983, hal. 9. 7 Ibid, hal. 18. Universitas Sumatera Utara dibatasi hanya karena harus menghormati satu sama lain dalam kerangka hidup bersama dan damai. Implementasi kekuasaan dijalankan dalam lembaga yang terpisah kewenangannya. Lembaga legislatif membuat hukum sedangkan lembaga eksekutif yang menjalankan hukum serta bertanggung jawab pada monarki dan pemerintahannya. 8 Negara memiliki kekuasaan namun dibatasi oleh hak alamiah yang dimiliki oleh manusia sejak lahir, yaitu hak atas kehidupan, hak atas kemerdekaan dan hak atas milik pribadi 9 . Karya Locke sangat berpengaruh pada perkembangan politik selanjutnya. Menurut John Locke hak-hak politik mencakup hak atas hidup, atas kebebasan dan hak untuk mempunyai hak milik Life, Liberty, and Property 10 . Undang-Undang Dasar adalah sumber utama dari norma-norma hukum tata negara serta mengatur bentuk dan susunan negara, alat-alat perlengkapannya di pusat dan di daerah, mengatur tugas-tugas alat perlengkapan itu serta hubungannya satu sama lain. 11 Undang-Undang Dasar sesuatu negara, akan diketahui bentuk dan susunan negara itu, misalnya bahwa bentuk negara Republik Indonesia adalah ”republik” dengan susunan ”kesatuan”, bukan susunan negara ”serikat” federasi. 12 Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 menghasilkan alat-alat perlengkapan negara yang baru seperti Dewan Perwakilan Daerah, Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi Constitutional Court. 8 Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Pasca Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Fokus Media, hal. 43. 9 Arif Budiman, Teori Negara : Negara, Kekuasaan dan Ideologi, Gramedia, Jakarta, 1996, hal. 24. 10 Mariam Budiarjo, Op.Cit., hal. 56. 11 M.Solly Lubis, Hukum Tatanegara, Mandar Maju, Bandung, 2008, hal. 31. 12 Ibid , hal. 31 Universitas Sumatera Utara Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara baru dalam struktur kelembagaan Negara Republik Indonesia yang dibentuk berdasarkan amanat Pasal 24C jo Pasal III Aturan Peralihan Perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara yang termasuk salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang melakukan fungsi peradilan dalam menangani permasalahan ketatanegaraan berdasarkan otoritas Undang-Undang Dasar 1945, yang meliputi lima perkara pokok yaitu, i menguji konstitusionalitas undang- undang, ii memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan Undang-Undang Dasar 1945, iii memutus pembubaran partai politik, iv memutus perselisihan hasil pemilihan umum, dan v memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden danatau Wakil Presiden. Berdasarkan kewenangannya untuk menguji konstitusionalitas suatu Undang-Undang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya dapat menyatakan bahwa materi rumusan dari suatu undang-undang tidak mempunyai kekuatan hukum karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar yakni melalui penafsiraninterpretasi terhadap Undang-Undang Dasar 1945, Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai peradilan yang secara positif mengoreksi undang-undang yang dihasilkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama-sama Presiden dalam penyelenggaraan negara yang berdasarkan hukum yang mengatur perikehidupan masyarakat bernegara. Dengan demikian undang-undang yang dihasilkan oleh legislatif Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden diimbangi oleh adanya pengujian formal dan materiil dari yudisial c.q Mahkamah Konstitusi. 13 Beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat yakni Yayasan Pusat Reformasi Pemilu, Yayasan Jaringan Masyarakat Pemantau Pemilu Indonesia, Yayasan Jaringan Pendidikan Pemilih, Yayasan Penguatan Partisipasi Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia, Indonesian Corruption Watch , serta beberapa orang Ketua Komisi Pemilihan Umum Propinsi yakni Setia Permana, Indra Abidin, 13 Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Mahkamah Konstitusi Memahami Keberadaannya Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia , Rineka Cipta, Jakarta, 2004, hal. 31-32. Universitas Sumatera Utara Hasyim Asy ari, Wahyudi Purnomo, Suparman Marzuki, Irham Buana Nasution, Pattimura, Yassin H.Tuloli, Rozali Abdullah, Ahmad Syah Mirzan, Yulida Mirzan, Ardiyan Saptawan, Zainawi Yazid mengajukan keberatan atas beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Ketentuan pasal-pasal tersebut yang isinya adalah bertentangan dengan Undang- Undang Dasar 1945 yakni Pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945 yakni ”Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. ”Putusan Mahkamah Konstitusi menghasilkan beberapa hasil revisi Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yakni untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada November 2008 sampai bulan Juli 2009, pilkada dilakukan paling lambat Oktober 2008. Manakala dijumpai putaran kedua, pelaksanaannya paling lambat dilakukan Desember 2008. Berdasarkan Pasal 59 ayat 2a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan dibenarkan adanya calon independen yakni : Pasangan calon perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b dapat mendaftarkan diri sebagai pasangan calon gubernurwakil gubernur apabila memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan : a. Propinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 dua juta jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 6,5 enam koma lima persen; Universitas Sumatera Utara b. Propinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 dua juta sampai dengan 6.000.000 enam juta jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 5 lima persen; c. Propinsi dengan jumlah lebih penduduk lebih dari 6.000.000 enam juta sampai dengan 12.000.000 dua belas juta jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 4 empat persen; d. Propinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 dua belas juta jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 3 tiga persen. Sedangkan calon independen yang didukung oleh sejumlah orang dapat mendaftarkan diri sebagai pasangan calon bupatiwakil bupati apabila memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan : a. Kabupatenkota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 dua ratus lima puluh ribu jiwa didukung sekurang-kurangnya 6,5 enam koma lima persen. b. kabupatenkota dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000 dua ratus lima puluh ribu sampai dengan 500.000 lima ratus ribu jiwa, harus didukung sekurang-kurangnya 5 lima persen; c. Kabupatenkota dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 lima ratus ribu sampai dengan 1.000.000 satu juta jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 4 d. Kabupatenkota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 satu juta jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 3 tiga persen. Universitas Sumatera Utara Jumlah dukungan harus tersebar di lebih 50 lima puluh persen jumlah kabupatenkota di propinsi serta di kabupaten dengan jumlah dukungan tersebar lebih dari 50 lima puluh persen jumlah kecamatan. 14 Berkas dukungan dibuat dalam bentuk pernyataan dukungan yang dilampiri dengan fotocopi Kartu Tanda Penduduk atau Surat Keterangan Tanda Penduduk; 15 Verifikasi dan rekapitulasi dukungan calon independen untuk pemilihan gubernurwakil gubernur dilakukan oleh KPU Komisi Pemilihan Umum Propinsi yang dibantu oleh KPU Komisi Pemilihan Umum KabupatenKota, PPK Panitia Pemilihan Kecamatan, dan PPS Panitia Pemungutan Suara, sedangkan untuk pemilihan bupatiwakil bupati dan walikotawakil walikota dilakukan oleh KPU Komisi Pemilihan Umum KabupatenKota yang dibantu oleh PPK Panitia Pemilihan Kecamatan dan PPS Panitia Pemungutan Suara. 16 Pilkada yang langsung adalah wujud demokrasi yang menitikberatkan kebebasan memilih Kepala Daerah Hukum dan proses pemilihan Kepala Daerah Hukum dalam proses pertarungan yang bebas maka hampir dapat dipastikan sebagai pemenangnya adalah orang yang kuat terutama sumber daya ekonominya. 17 Tahun 2005 ada 192 kabupaten, 32 kota dan 14 provinsi yang melaksanakan pilkada secara langsung. Jawa Tengah misalnya ada 17 14 Pasal 59 butir 2c dan butir 2d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 15 Pasal 59 butir 5a b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 16 Pasal 59 A butir 1 dan 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 17 Zakaria Bangun, Demokrasi dan Kehidupan Demokrasi di Indonesia, Bina Media, Medan, 2008, hal. 97. Universitas Sumatera Utara kabupatenkota. Untuk pertama kalinya pilkada langsung akan dilaksanakan di Kabupaten Luwu Utara, Provinsi Sulawesi Selatan. 18 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 59 ayat 3 mengakomodasikan calon independen sekalipun hanya bersifat implisit dalam pemilihan kepala daerah secara langsung. Walaupun demikian prospek calon independen tampaknya masih sangat sulit untuk memperoleh kesempatan yang sama dengan calon yang berasal dari partai politik. Pengaturan dalam bentuk peraturan pemerintah akan hal ini masih sangat sulit untuk dipastikan, sekalipun setiap partai politik berkewajiban mengakomodasi calon independen. Masalahnya adalah apakah setiap partai politik akan legowo, serta menafsirkan kata ”wajib” mengakomodasi pada saat menerima calon independen sementara pada waktu yang sama setiap partai politik memiliki calon masing-masing ? Jika mekanisme terhadap calon independen yang mencalonkan diri melalui kendaraan partai politik ini tidak jelas, kemungkinan besar calon independen hanya akan menjadi asesoris demokrasi belaka. 19 Penulis berharap dengan adanya pilkada yang langsung di daerah maka demokrasi yang selama ini hanya dipunyai oleh partai politik maka dengan adanya revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maka pemimpin daerah tidak selamanya melalui jalur partai namun bisa melalui perseorangan dengan aturan yang sudah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 18 Suwandi, I.M, Implikasi Pilkada dalam Undan-Undang 322004, Jakarta, 6 November 2004. 19 S.H Sarundajang, Pemerintahan Daerah di Berbagai Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1997, hal. 119-120. Universitas Sumatera Utara Demikianlah hal yang diuraikan di atas dirasakan sangat penting sehingga penulis mengadakan Penelitian tentang Analisis Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Undang-Undang No : 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Dengan Mengacu Kepada Undang-Undang Dasar dianggap sesuatu yang penting untuk memberi masukan kepada Pemerintah dan para stakeholder terkait sebagai sumbangan pemikiran untuk mensukseskan pilkada pada masa yang akan datang.

B. Perumusan Masalah