Sumber Data Alat Pengumpulan Data Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945

2. Sumber Data

Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan library research yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder untuk mendapatkan konsep teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan objek yang diteliti yang dapat berupa peraturan-perundangan dan karya ilmiah. Adapun data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier. a. Bahan Hukum Primer. Sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini diantaranya adalah, yakni Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti misalnya, Rancangan Undang-Undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, serta penelitian lain yang relevan dengan penulisan ini. c. Bahan Hukum Tersier Bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang berupa kamus umum, kamus hukum, Universitas Sumatera Utara ensiklopedia, majalah, surat kabar dan jurnal-jurnal hukum, laporan ilmiah yang akan dianalisa dengan tujuan untuk memahami lebih dalam penelitian.

3. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah studi dokumen dan bahan pustaka. Bahan pustaka yang dimaksud terdiri dari bahan hukum primer yaitu peraturan perundangan-undangan, dokumen-dokumen dan teori yang berkaitan dengan penelitian ini.

4. Analisa Data

Setelah diperoleh data sekunder yakni berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier maka dilakukan inventarisir dan penyusunan secara sistematik kemudian diolah dan dianalisa dengan menggunakan metode kualitatif, yakni pemaparan kembali dengan kalimat yang sistematis untuk dapat memberikan gambaran secara jelas atas permasalahan yang ada yang akhirnya dinyatakan dalam bentuk deskriptif analisis. Universitas Sumatera Utara BAB II KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM KEKUASAAN KEHAKIMAN DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG

A. Badan Kekuasaan Kehakiman

Kekuasaan kehakiman dan peradilan adalah kekuasaan untuk memeriksa dan mengadili serta memberikan putusan atas perkara yang diserahkan kepadanya untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan perundang-undangan. Badan yang memegang kekuasaan kehakiman dan peradilan harus dapat bekerja dengan baik dalam tugasnya sehingga menghasilkan putusan yang obyektif dan tidak memihak dengan senantiasa menjunjung tinggi hukum dan keadilan karena badan ini harus bebas dari pengaruh kekuasaan lain termasuk pemerintahan.

1. Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945

Mahkamah Agung adalah Lembaga Tinggi Negara yang menurut Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 melakukan kekuasaan kehakiman bersama lain-lain badan kehakiman menurut Undang-Undang ayat 1; susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman diatur dengan Undang-Undang ayat 2 Berdasarkan Pasal 10 ayat 3 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, maka fungsi kehakiman yang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara yang tertinggi yang membawahi badan peradilan lainnya sebagai pelaku kekuasaan kehakiman dengan fungsi sebagai berikut : a. Fungsi pokok mengadili meliputi : 1. Fungsi peradilan kasasi; Universitas Sumatera Utara 2. Fungsi peradilan untuk sengketa kewenangan mengadili dan sengketa perampasan kapal asing; 3. Fungsi Peninjauan Kembali PK ; 4. Fungsi hak menguji material materiel toetssingrecht. 33 b. Fungsi administratif meliputi : organisasi, administrasi, dan keuangan yang terdiri dari : 1 Fungsi pengawasan mencakup bidang : a. Masalah teknis peradilan; b. Terhadap perbuatan hukum dan perilaku para hakim serta pejabat kepaniteraan; c. Administrasi peradilan; 2 Fungsi pengaturan c. Fungsi yang bersifat ketatanegaraan 34 meliputi : 1 Fungsi penasihat advieserende functie ; 2 Fungsi pengawasan partai politik; 3 Fungsi pengawasan pemilu pemilihan umum; 4 Fungsi penyelesaian perselisihan antar daerah. Judicial Review diartikan kata perkata tanpa mengaitkan dengan sistem hukum tertentu. Toetsingsrecht berarti hak menguji, sedangkan Judicial review berarti peninjauan oleh lembaga pengadilan sehingga pada dasarnya, kedua istilah tersebut mengandung arti yang sama, yaitu kewenangan untuk menguji atau meninjau. Perbedaannya adalah dalam istilah judicial review sudah secara spesifik 33 Soedirjo, Mahkamah Agung, Kedudukan, Susunan, dan Kekuasaannya, Media Sarana ,Jakarta 1987, hal. 7. 34 Henry P. Panggabean, “Fungsi Mahkamah Agung dalam Praktik Sehari-hari “, Sinar Harapan, Jakarta , 2001, hal. 149. Universitas Sumatera Utara ditentukan bahwa kewenangan tersebut dimiliki oleh pelaksana lembaga pengadilan, yaitu hakim. 1. Hak Menguji Baik dalam kepustakaan maupun dalam praktek dikenal adanya dua macam hak menguji Toetsingsrecht, 35 yaitu : a. hak menguji formal formale Toetsingsrecht; dan b. hak menguji materil materiele Toetsingsrecht. Hak menguji formal adalah wewenang untuk menilai suatu produk legislatif seperti undang-undang, misalnya melalui cara-cara procedure sebagaimana ditentukandiatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak. 36 Pengujian formal biasanya terkait dengan soal-soal prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya. 37 Hak menguji materil adalah suatu kewenangan untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah peraturan perundangan-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu verordenende macht berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. 2. Judicial Review Judicial review , dapat diartikan sebagai berikut : 35 Ph. Kleitjes, sebagaimana dikutip Sri Soementri, Hak Uji Material di Indonesia, Alumni, Bandung, 1997, hal. 28 36 Ibid , hal. 28. 37 Jimly Asshiddiqie, “Menelaah Putusan Mahkamah Agung Tentang Judicial Review atas PP No. 19 Tahun 2000 yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999,” tanpa tempat, tanpa tahun, hal 1. Universitas Sumatera Utara 1. judicial review merupakan kewenangan dari hakim pengadilan dalam kasus kongkret di pengadilan. 2. judicial review merupakan kewenangan hakim untuk menilai apakah legislative acts , executive acts, dan administrative acts bertentangan atau tidak dengan Undang-Undang Dasar tidak hanya menilai peraturan perundang-undangan. Defenisi dari suatu istilah sangat tergantung dari sistem hukum yang dianut oleh negara yang bersangkutan. Definisi judicial review dipakai pada negara yang menganut common law system. Istilah judicial review juga digunakan dalam membahas tentang pengujian pada negara yang menganut civil law system, seperti yang dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie, yaitu judicial review , merupakan upaya pengujian oleh lembaga judicial terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan negara legislatif, eksekutif, ataupun yudikatif dalam rangka penerapan prinsip checks and balances berdasarkan sistem pemisahan kekuasaan negara separation of power. 38 Sebelum diaturnya hak menguji toetsingsrecht yang dimiliki hakim dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, pengaturan hak menguji toetsingsrecht yang dimiliki hakim dalam melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang - Undangan, Undang-Undang Nomor 14 38 Jimly Asshiddiqie. Op.Cit., hal. 1. Universitas Sumatera Utara Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dan PERMA Nomor 1 Tahun 1999 tentang Hak Uji Materil. Secara yuridis terdapat permasalahan dalam peraturan perundang-undangan tersebut, yaitu sebagai berikut : 1. Putusan Mahkamah Agung tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang tercantum dalam Pasal 3 Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang - Undangan . Pasal 56 Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang - Undangan mengatur semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan BupatiWalikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus dibaca peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini. 39 Hal itu berarti bahwa peraturan atau putusan Mahkamah Agung tidak boleh bertentangan dengan lima peraturan perundang-undangan yang tertulis dalam pasal 7 Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang - Undangan, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Undang- UndangPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan 39 Dalam Pasal 54 Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang - Undangan diatur ketentuan : ”Teknik penyusunan danatau bentuk Keputusan Presiden, Keputusan Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat, Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah, Keputusan Ketua Mahkamah Agung, Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi, Keputusan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan, Keputusan Gubernur Bank Indonesia, Keputusan Menteri, Keputusan Kepala Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat, Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi, Keputusan Gubernur, Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah KabupatenKota, Keputusan BupatiWalikota, Keputusan Kepala Desa atau yang setingkat harus berpedoman pada teknik penyusunan danatau bentuk yang diatur dalam Undang-Undang ini ”. Universitas Sumatera Utara Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan daerah. 40 Hal tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, yaitu peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kewenangan Mahkamah Agung untuk melaksanakan hak menguji terhadap peraturan perundang- undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang 41 Perbedaan tentang sifat dari kewenangan Mahkamah Agung dalam melaksanakan hak menguji yang dijelaskan berikut ini : a. Bersifat aktif Hal ini diatur dalam Pasal 5 ayat 3 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Indonesia Nomor IIIMPR2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundangan-undangan yang mengatur bahwa wewenang Mahkamah Agung untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dilakukan secara bersifat aktif dan dapat dilaksanakan tanpa melalui proses peradilan kasasi. 42 40 Lihat Pasal 7. Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang - Undangan 41 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia nomor IIIMPR1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengandan atau antar lembaga-lembaga Tinggi Negara telah dicabut dengan TAP MPR Nomor IMPR2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 samapai dengan Tahun 2002 sehingga yang berlaku adalah TAP MPR Nomor IIIMPR2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundangan- undangan, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IIIMPR2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan sedangkan amanat TAP MPR Nomor IMPR2003 yang memerintahkan pembentukan undang-undang yang mengatur tentang tata urutan peraturan perundang- undangan sehingga berdasarkan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak ada mengatur tentang Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengandan atau antar lembaga – lembaga Tinggi Negara, Pasal 26 ayat 1 Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 31 ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dan Pasal 1 ayat 1 PERMA Nomor 1 Tahun 1999. 42 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IIIMPR2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan perundangan-undangan diatur bahwa ”Pengujian dimaksud ayat 2 bersifat aktif dan dapat dilaksanakan tanpa melalui proses peradilan kasasi.” Universitas Sumatera Utara b. Bersifat pasif menunggu adanya perkara yang diajukan ke Pengadilan atau Mahkamah Agung. 1. Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, yaitu bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan dan Mahkamah Agung adalah lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman. Sebagai suatu lembaga peradilan, Mahkamah Agung harus menunggu kasus yang diajukan sehingga dalam hal ini bersifat pasif. 2. Pasal 26 ayat 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. 43 3. Pasal 31 ayat 3 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1999 tentang Mahkamah Agung. 44 4. Pasal 1 ayat 1 PERMA Nomor 1 Tahun 1999 tentang Hak Menguji Material. 45 3. Perbedaan tentang Hukum acara pelaksanaan pengujian undang-undang adanya perbedaan tentang yang berwenang melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang adalah sebagai berikut : a. Harus melalui proses kasasi 46 43 Dalam Pasal 26 ayat 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman diatur bahwa “Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi.” 44 Dalam Pasal 31 ayat 3 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung diatur dalam ketentuan bahwa “Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi.” 45 Pasal 1 ayat 1 PERMA Nomor 1 Tahun 1999, diatur ketentuan sebagai berikut “Hak Uji Material adalah Hak Mahkamah Agung untuk menguji secara Materil terhadap peraturan perundang-undangan, sehubungan dengan adanya gugatan atau permohonan.” Universitas Sumatera Utara Hal itu berarti terlebih dahulu melalui Pengadilan Tingkat pertama, Pengadilan Tingkat Banding, baru kemudian diperiksa oleh Mahkamah Agung. Berdasarkan hal tersebut, maka ada tiga pengadilan, yaitu Pengadilan Tingkat Pertama. Pengadilan Tingkat Banding, dan Mahkamah Agung sebagai Pengadilan negara Tertinggi yang berwenang melakukan pengujian pada peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang- undang. Hal tersebut tentu saja bertentangan dengan ketentuan yang mengatur bahwa hanya Mahkamah Agung yang berwenang untuk melakukan hak menguji peraturan perundang-undangan. 47 b. Tidak perlu melalui proses kasasi Diajukan ke Mahkamah Agung, baik dengan cara langsung diajukan ke Mahkamah Agung atau diajukan ke Mahkamah Agung melalui Pengadilan Negeri di wilayah hukum tempat kedudukan tergugat. 48 Hal tersebut menunjukkan bahwa hanya Mahkamah Agung yang berwenang melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. 46 Ketentuan tentang hal tersebut diatur dalam : 1. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok kekuasaan kehakiman yang mengatur bahwa “Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubung tidak sahnya peraturan perundang- undangan tersebut dapat diambil berhubungan dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi” 2. Pasal 31 ayat 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yang mengatur bahwa “Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi.” 47 Lihat Pasal 24A Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, Pasal 11 ayat 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IIIMPR1978 tentang kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengandan atau antar lembaga-lembaga Tinggi Negara, Pasal 5 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IIIMPR2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan perundang- undangan, Pasal 26 ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 31 ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dan Pasal 1 ayat 1 PERMA Nomor 1 Tahun 1999. 48 Lihat Pasal 2 ayat 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1999 tentang tata cara pengajuan gugatan dan Pasal 5 ayat 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1999 tata cara pengajuan permohonan keberatan. Universitas Sumatera Utara 4. Ketentuan yang mengatur tentang pencabutan peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah oleh Mahkamah Agung.

2. Kekuasaan Kehakiman Setelah Perubahan UUD 1945