Penafsiran al-Razi Terhadap Surat al-Baqarah Ayat 26

Kata “menyesatkan” dalam hal ini berarti menjadikan sesuatu sesat sebagaimana digunakan dalam pengertian memasukkan atau mengeluarkan yang berarti menjadikan sesuatu itu masuk atau keluar. Penafsiran seperti ini menurut Muktazilah tidak dibolehkan baik secara bahasa ataupun penjelasan secara aqliah. Menurut Muktazilah tidak sah secara bahasa jika dikatakan bahwa seseorang menyesatkan orang lain secara paksa bahwa dia yang membuatnya sesat. Tetapi yang lebih tepat ialah bahwa orang itu menghalangi dari petunjuk sehingga membuat orang lain itu sesat. Jadi menurut Muktazilah dalam ayat ini Allah tidak menyesatkan seseorang, melainkan menghalanginya dari petunjuk sehingga orang itu menjadi sesat atau kafir. Di dalam al-Quran Allah menerangkan bahwa Firaun dan iblis telah menyesatkan orang-orang, akan tetapi mereka bukanlah pencipta dari kesesatan atau kekafiran dari orang-orang yang menerima ajakan mereka. Maksud Muktazilah di sini ialah bahwa kata “menyesatkan” tidak dapat diartikan dengan menjadikan sesat, melainkan memalingkan seseorang dari petunjuk. 163 Muktazilah melanjutkan penjelasan secara akal bahwa sekiranya Allah menciptakan kesesatan pada hamba-Nya kemudian memerintahkan mereka untuk beriman sama saja Allah membebani mereka dengan keduanya, dan itu merupakan kebodohan dan kezaliman. Allah sama sekali tidak zalim terhadap hambanya. Jika Allah telah menciptakan kesesatan pada hamba-Nya, maka diturunkannya kitab-kitab dan para rasul menjadi hal yang sia-sia. Kekafiran seseorang tidak lain disebabkan karena mereka sendiri yang mengingkari syariat yang dibawa oleh para rasul tersebut, 163 Ibid., h. 151-152. sebagaimana pada akhir ayat dikatakan bahwa tidak ada yang disesatkan kecuali mereka yang fasik. Dalam ayat-ayat lainnya justru Allah mengajarkan manusia untuk berlindung kepada-Nya dari iblis dan seterunya yang mengajak kepada kesesatan. Pendapat Jabariah di atas menurut Muktazilah bertentangan dengan ayat-ayat yang mengatakan bahwa Allah tidak menghalangi umat untuk beriman jika datang kepada mereka hidayah. Jika Allah menyesatkan hamba-Nya sebagaimana iblis mengajak kepada kesesatan maka Allah akan mendapatkan kebencian serupa, sedangkan yang terjadi adalah tidak demikian. 164 Argumen lain yang dikemukakan Muktazilah ialah bahwa apabila seseorang telah melakukan kesesatan yang disebabkan oleh suatu faktor maka akan dikatakan bahwa faktor itulah yang menyebabkannya sesat. Dalam ayat ini Allah menyandarkan kesesatan dan petunjuk dengan zat-Nya setelah menyandarkan keduanya karena perbuatan mereka masing-masing. Padahal penyandaran terhadap Allah di sini ditujukan sebagai ujian. Dengan kata lain mereka menjadi sesat atau mendapat petunjuk disebabkan perbuatan mereka sendiri dengan pengujian terhadap suatu perumpamaan —dalam hal ini penciptaan nyamuk—apakah mereka menjadi sesat atau mendapat petunjuk. Penyandaran seperti ini juga berlaku pada kebiasaan sebagaimana misalnya jika seseorang mengatakan bahwa ia sakit karena memakan sesuatu. Makna dari kalimat ini bahwa sebenarnya dialah yang menjadi penyebab sakitnya, bukan makanan. Dengan makna seperti inilah penyandaran kepada Allah 164 Ibid., h. 152. menjadi sah bahwa orang-orang kafir menjadi sesat dikarenakan ayat-ayat Allah yang berupa ujian sebagaimana terdapat dalam ayat ini. 165 Muktazilah berpendapat bahwa manusia sendiri yang berbuat kesesatan atas dirinya. Dalam kasus ayat ini mesti dilihat kalimat selanjutnya yang masih berkaitan dan memiliki peran yang signifikan. Dalam kalimat selanjutnya dikatakan bahwa Allah sama sekali tidak menyesatkan dengan perumpamaan tersebut kecuali mereka yang fasik. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa kefasikan merekalah yang membuat mereka menjadi sesat. 166 Zamakhsyari dalam tafsirnya mengatakan bahwa makna “menyesatkan” dan “memberi petunjuk” yang digunakan dalam ayat ini ialah sebagaimana makna ayat ―maka sebagian dari kamu itu beriman dan sebagian dari kamu itu kafir‖. Maksudnya ialah bahwa Allah tidak akan membuat seseorang menjadi sesat kecuali orang tersebut mengetahui bahwa ia tidak beriman dan Allah tidak akan memberi petuntuk kecuali kepada orang yang mengetahui bahwa dia beriman. Penyesatan di sini bukan berarti membuat sesat tetapi bermakna memalingkan dari petunjuk. Sedangkan hidayah bermakna memberikan petunjuk dan kekuatan untuk menuju kepadanya. Ayat ini menurut Zamakhsyari merupakan sindiran yang ditujukan kepada orang kafir atas kekafiran mereka. 167 Al-Razi tidak sependapat dengan Muktazilah dengan mengemukakan konsepnya tentang al- dâ‘i faktor kausal. Bahwa ilmu Allah yang tidak berubah 165 Ibid., h. 154-155. 166 Ibid., h. 159. 167 Abu al-Qasim al-Zamakhsyari, al- Kasysyâf ‗an Haqâiq al-Tanzîl wa Uyûn al-Aqâwil fî wujûal- Ta‘wîl Juz II Taheran: Intisyarat Aftab, tt, h. 367. tidak akan menjadikan suatu yang berlawanan seperti ilmu dan kebodohan atau petunjuk dan kesesatan berlaku kecuali dengan apa yang telah ditetapkan pada pengetahuan Allah sejak azali. Perbuatan seseorang bergantung pada konsep yang telah ada pada ilmu Allah sehingga manusia tidak berkuasa atas kehendak yang berada di luar kemampuannya. Seseorang tidak akan mencari sesuatu yang tidak terbersit dalam pikirannya. Dalam hal kesesatan dan petunjuk seseorang tidak akan mencapai satu diantara keduanya tanpa didahului oleh faktor kausal tersebut. Jadi al- Razi mengatakan bahwa kesesatan atau petunjuk kembali kepada penyebab terakhir dari segala sebab, yakni Allah Swt. 168 Selanjutnya ayat ini juga berhubungan dengan konsep petunjuk hudâ. Adapun hidayah yang secara etimologi berarti petunjuk menghasilkan dua kemungkinan, yakni apakah seseorang akan mengikutinya atau menginkarinya. Muktazilah mengatakan bahwa hidayah telah datang baik kepada orang Mukmin maupun kafir, tetapi terdapat perbedaan terhadap keduanya dalam hal penerimaan. Orang Mukmin menerima hidayah tersebut yang dapat saja berupa bisikan hati maupun apa yang tertera dalam al-Quran yang berisi petunjuk dan ajakan untuk mengikutinya. Sedangkan orang-orang kafir memilih untuk tidak mengikuti petunjuk tersebut, bahkan mereka menolak dan menginkarinya. Hidayah dapat juga didefinisikan sebagai ajakan, apakah ajakan kepada kesesatan atau petunjuk itu sendiri. Di samping itu hidayah bisa dikatakan sebagai taufik dari Allah yang mengajak kepada keimanan dan diberikan kepada orang-orang yang beriman sebagai ganjaran atas keimanan mereka dan pertolongan Allah sehingga menghasilkan 168 Fakhr al-Din al-Razi, Mafâtih al-Ghaib, h. 156-157. bertambahnya keimanan tersebut. Hidayah ini tidak diberikan kepada orang-orang yang berbuat zalim dikarenakan terlebih dahulu telah datang kepada mereka penjelasan melalui ayat-ayat al-Quran. 169 Jabariah memiliki definisi yang berbeda dengan apa yang telah dikemukakan Muktazilah. Menurut mereka yang dimaksud hidayah ialah menciptakan petunjuk dan ilmu pengetahuan. Kaum Qadariah mengkritik pendapat tersebut dengan argumen bahwa secara kaidah bahasa tidak sah jika perbuatan yang dilakukan dengan ketidaksenangan dan keterpaksaan merupakan perbuatan yang diberi hidayah. Jika terjadi demikian maka batallah segala perintah dan larangan serta ganjaran dan balasan. Qadariah mengatakan bahwa hidayah bukanlah ciptaan Allah, melainkan perbuatan manusia 170 Al-Razi kemudian mengkritik pendapat yang mengatakan bahwa Allah tidak menciptakan hidayah, tetapi hidayah ialah merupakan perbuatan manusia. Pertama al- Razi berargumen bahwa terjadinya pergerakan perbuatan ini adakalanya dengan penciptaan Allah dan adakalanya tidak. Jika merupakan penciptaan Allah maka ketika Allah menciptakannya mustahil bagi seorang hamba untuk menolaknya. Jika Allah tidak menciptakan perbuatan itu maka mustahil bagi seseorang untuk melakukannya. Sebaliknya jika Allah telah menciptakan suatu perbuatan maka mustahil bagi manusia untuk menolaknya atau tidak melakukan perbuatan tersebut. Al-Razi mengatakan bahwa terdapat beberapa kesulitan dalam permasalahan ini. Jika dikatakan bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan seseorang melainkan seseorang menciptakan 169 Ibid. 170 Ibid., h. 160. perbuatannya sendiri, maka yang demikian itu merupakan pendapat kaum Muktazilah yang dibantah al-Razi dalam argumen berikutnya. 171 Argumen kedua al-Razi jika dikatakan bahwa penciptaan itu bagi Allah dan perbuatan itu bagi manusia, maka hal ini tidak akan keluar dari salah satu diantara tiga perkara. Pertama, adakalanya Allah menciptakan atau tidak menciptakan suatu perbuatan kemudian seseorang melakukan perbuatan tersebut. Kedua, seseorang melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan kemudian Allah menciptakan perbuatan tersebut. Ketiga, kedua hal tersebut terjadi secara bersamaan. Jika yang terjadi ialah perkara pertama, maka keadaan makhluk itu terpaksa majbûr dan inilah yang menjadi kelaziman; jika yang terjadi perkara kedua, maka Allah terpaksa majbûr terhadap makhluk-Nya; dan jika terjadi bersamaan maka suatu perbuatan akan terjadi apabila telah terjadi kesepakatan antara Allah dan makhluk-Nya dan kesepakatan itu merupakan hal yang tidak diketahui, maka kesepakatan itu tidak akan terjadi. Dengan argumen ini al-Razi mengatakan bahwa pencipta dari perbuatan manusia ialah Allah, apakah dengan perantara ataupun tidak. 172 Konsep al-Razi tentang hidayah ini berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh al-Zamakhsyari. Menurut al-Zamakhsyari hidayah merupakan karunia yang diberikan Allah disebabkan oleh kesungguhan manusia dalam menempuh jalan Allah dan tunduk kepada hukum-hukum-Nya. Maka dikarenakan kesungguhan itulah Allah membimbing dan menolong mereka menuju kepada hidayah tersebut. Jika manusia memilih untuk berbuat kefasikan maka niscaya ia tidak akan mendapat pertolongan 171 Ibid. 172 Ibid., h. 160-161. dan bimbingan tersebut, melainkan akan menjadi sesat dikarenakan perbuatan mereka sendiri. 173 Penafsiran al-Zamakhsyari tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan Quraish Shihab bahwa kefasikan merupakan suatu sifat yang membuat manusia keluar dan menjauh dari jalan kebenaran dan keadilan. Kefasikan yang dilakukan manusia ialah atas dasar kemauannya sendiri yang menyebabkannya keluar dari jalan hidayah. Atau dapat juga bermakna dikarenakan mereka berbuat fasik maka mereka akan mudah untuk dikeluarkan dari jalan kebenaran yang sebelumnya melekat pada diri mereka. 174

D. Penafsiran al-Razi Terhadap Surat al-Kahfi Ayat 29

                                ‖Dan Katakanlah: Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin beriman hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin kafir biarlah ia kafir. Sesungguhnya kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. ‖ Al-Razi mengatakan bahwa ayat ini merupakan dalil yang digunakan Muktazilah mengenai perkara keimanan dan kekufuran, serta ketaatan dan kemaksiatan. Menurut Muktazilah semua hal ini bergantung kepada seseorang dan ikhtiarnya. Barangsiapa mengingkari pendapat ini maka berarti menyalahi kejelasan 173 Abu al-Qasim al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf …., h. 475. 174 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran Vol. I Jakarta: Lentera Hati, 2007, cet. Kesepuluh, h. 113. lafal dalam al-Quran. Secara jelas ayat mengatakan bahwa keimanan atau kekufuran seseorang bergantung pada kehendak akan keimanan atau kekufuran tersebut. 175 Al- Zamakhsyari mengatakan bahwa kebenaran itu telah datang dan tidak akan memperoleh kebenaran melainkan dengan mengusahakan agar tercapai kebenaran tersebut. Sedangkan keinginan manusia berada pada satu diantara dua pilihan, apakah jalan kebenaran atau jalan kehancuran. Ayat ini berisi perintah dan pilihan, maka faidah dari susunan tersebut ialah bahwa manusia diberikan kebebasan dalam hal memilih antara dua jalan dan manusia akan meraih sesuai apa yang dipilih dan diinginkannya. 176 Al-Razi mengatakan bahwa ayat ini juga secara jelas menguatkan pendapatnya bahwa terjadinya keimanan dan kekufuran bergantung kepada adanya kehendak keimanan dan kekufuran tersebut. Secara akal juga mustahil jika keimanan dan kekufuran itu terjadi tanpa adanya kehendak dan ikhtiar. Selanjutnya Al-Razi menjelaskan bahwa kehendak dan ikhtiar itu akan terjadi dengan syarat jika didahului oleh kehendak dan ikhtiar lain. Dengan kata lain suatu perbuatan tidak akan terjadi tanpa adanya faktor-faktor yang berada di luar manusia. Keadaan faktor-faktor lain itu juga mesti didahului oleh faktor-faktor lain yang mendahuluinya sampai tak terbatas. Keadaan sampai tak terbatas itu merupakan hal yang mustahil dan mesti diakhiri kepada kehendak dan ikhtiar yang diciptakan Allah. Kehendak dan ikhtiar ini diciptakan Allah secara serta merta darûri yang mewajibkan terjadinya suatu perbuatan bagi manusia. Manusia tidak akan menghendaki suatu perbuatan jika dalam 175 Fakhr al-Din al-Razi, Mafâtih al-Ghaib Juz 21, h. 119-120. 176 Abu al-Qasim al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf …., h. 482.