Pengertian Takdir TAKDIR DALAM ISLAM

menurut batas-batasnya di mana akan sampai sesuatu kepadanya, sebagaimana tercermin dalam al-Quran surat Fushshilat ayat 10. 89                90 KH Taib Thahir setelah melihat penggunaan kata qadâ` dalam al-Quran mengartikan qadâ` dengan hukum yang ditetapkan Tuhan sejak zaman azali mengenai segala apa yang akan terjadi. Qadar diartikan dengan merancang dan merencanakan sesuatu dengan perhitungan paling mendalam dan teliti. Juga mengetahui semua batas, hubungan, dan sebab akibat yang terjadi setelah perencanaan itu terwujud. Dengan demikian Taib melihat secara etimologi tidak terdapat perbedaan mendasar dalam keduanya. Dari sana keduanya disebut qadar atau takdir saja sebagaimana digunakan dalam hadis Nabi saw , “Dan percaya kepada takdir, baik dan buruknya.” 91 Dj a‟far Amir mengartikan takdir dengan ketentuan-ketentuan yang mesti berlaku atas tiap-tiap makhluk, sesuai batas-batas yang telah ditentukan Tuhan sejak zaman azali, baik ketentuan yang baik maupun yang buruk, semua akan terjadi sesuai dengan yang dikehendaki Tuhan. Sedangkan qadâ` berarti keputusan yang telah terjadi sesuai dengan ilmu serta takdir Tuhan sejak zaman azali. 92 89 Arifin Jami‟an, Memahami Takdir Gresik: CV Bintang Pelajar, 1986, h. 32-33. 90 ‖Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan penghuninya dalam empat masa. Penjelasan itu sebagai jawaban bagi orang- orang yang bertanya.‖ 91 Arifin Jami‟an, Memahami Takdir, h. 36. 92 Ibid., h. 47-50. M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa takdir terambil dari kata qaddara, berasal dari akar kata qadara yang antara lain berarti mengukur, memberi kadar atau ukuran. Dicontohkan jika dikatakan bahwa Allah telah menakdirkan demikian, maka berarti Allah telah memberi kadar, ukuran, atau batas tertentu dalam diri, sifat, atau kemampuan maksimal makhluk-Nya. Istilah takdir mirip dengan sunnatullah atau hukum alam, tetapi takdir setingkat di atasnya karena hukum-hukumnya tidak hanya terjadi pada alam, melainkan juga pada hukum-hukum kemasyarakatan. 93 M. Taqi Misbah Yazdi mengatakan bahwa kata qadar berarti ukuran miqdar dan takdir taqdir berarti ukuran sesuatu dan menjadikannya pada ukuran tertentu, atau menciptakan sesuatu dengan ukuran yang ditentukan. Sedangkan qadha` berarti memutuskan dan menuntaskan sesuatu, yang di dalamnya menyiratkan semacam unsur konvensi. Kedua kata ini terkadang digunakan secara sinonim yang berarti nasib. 94 Muthahhari, seorang ulama Syi‟ah, mengatakan bahwa qadâ` berarti penetapan hukum, atau pemutusan dan penghakiman sesuatu. Seorang disebut qâdi karena tugasnya menghakimi dan memutuskan perkara antara dua orang yang bersengketa di pengadilan. Qadar berarti kadar dan ukuran sesuatu. Setiap kejadian alam jika ditinjau dari pengawasan dan kehendak Tuhan dapat dikelompokkan ke dalam qadâ` Ilahi dan jika dilihat dari sudut keterbatasan sifatnya pada ukuran dan 93 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran, h. 61-65. 94 M. Taqi Misbah Yazdi, Iman Semesta: Merancang Piramida Keyakinan. Penerjemah: Ahmad Marzuki Amin Jakarta: al-Huda, 2005, h. 141. kadar tertentu pada kedudukannya di dalam ruang dan waktu dapat dikelompokkan ke dalam qadar Ilahi. 95 Jamaluddin al-Afghani menolak ajaran qadâ` dan qadar yang mengan-dung paham fatalistik. Ia berpendapat bahwa qadâ` dan qadar mengandung arti bahwa segala sesuatu terjadi menurut sebab akibat. Kemauan manusia merupakan salah satu mata rantai hukum sebab akibat. Qadâ`dan qadar menurutnya sinonim dengan hukum dan ciptaan Tuhan. 96 Fazlur Rahman, sejalan dengan al-Afghani, menolak jika takdir disamakan dengan predeterminisme. Ia mengatakan bahwa sebenarnya perkataan qadar berarti memberikan ukuran atau keterhinggaan dan ide yang terkandung dalam doktrin qadar bawa Allah saja yang tak terhingga secara mutlak. Segala sesuatu selain-Nya sebagai ciptaan memiliki tanda ukuran dan keterhinggaan, dengan kata lain memiliki jumlah potensi yang terbatas —walaupun jangkauan potensi-potensi ini, seperti yang terdapat pada manusia kemungkinan sangat luas. 97 Berbagai pengertian mengenai takdir di atas terlihat terpecah kepada dua kutub besar sebagaimana digunakan pada penjelasan secara klasik. Takdir didefinisikan antara hukum atau pengetahuan Tuhan semenjak azali dan juga sebagai kadar atau ukuran segala sesuatu. Namun demikian sebelum definisi-definisi tersebut telah berlaku pendefinisian takdir yang lebih tua dan yang berasal dari aliran-aliran 95 Murtadha Muthahhari, Manusia dan Agama, h. 217. 96 Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Bandung: Mizan, 1995, cet. III, h. 149-150. 97 Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur`an. Penerjemah: Anas Mahyuddin Bandung: Pustaka, 1996, cet. II, h. 35. teologi dalam Islam, yakni Jabariah, Muktazilah, dan Ahlussunnah yang terbagi kepada Asy‟ariah dan Maturidiah.

B. Seputar Takdir dalam Islam

Sejak zaman primitif manusia selalu menyertakan kepercayaan akan takdir bersamaan dengan kepercayaannya terhadap sembahannya. Takdir diilustrasikan sebagai kekuatan luar biasa yang menentukan kesenangan dan kekuasaan hidupnya. Takdir belum terbayangkan sebagai aturan yang telah ditetapkan untuk kelangsungan hidup alam semesta. Takdir dibicarakan baik oleh kaum Hindu, Babilonia, Mesir kuno, Yunani, Yahudi, Kristen, Islam, juga para filosof dari berbagai agama dan kebudayaan tersebut. 98 Berbagai pendapat yang dilontarkan tidak terlepas dari dua paham ekstrim yang mengatakan bahwa manusia memiliki kehendak bebas dan bahwa manusia terikat dalam genggaman takdir. Pembicaraan takdir dalam Islam tidak terlepas juga dari pengaruh berbagai agama dan kebudayaan sebelumnya. Sebagaimana dalam tema lainnya, dalam hal ini pun para teolog maupun filosof Muslim sangat terpengaruh oleh pandangan para filosof Yunani. Plato mengatakan bahwa semua tuhan adalah baik 99 dan dari tuhan- tuhan itu hanya akan lahir kebaikan. Kejahatan timbul akibat dari kurang-nya pengetahuan dan kebodohan. Manusia terjerumus ke dalam kejahatan karena kepadatan materi hayûla merintangi usaha untuk memenuhi kebutuhan spiritualnya. Menurutnya segala sesuatu yang ada di alam wujud merupakan gambaran ideal yang 98 Abbas Mahmud al-Aqqad, Filsafat Qur‘an. Penerjemah: Tim Pustaka Firdaus Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986, h. 197-232. 99 Plato mengatakan demikian karena orang Yunani mengenal banyak tuhan dewa-dewa. ada di dalam akal tuhan. Kejahatan bukan berasal dari takdir tuhan. Kebebasan manusia menuju kesempurnaan tidak dibatasi oleh takdir tuhan, tetapi oleh rintangan materi yang amat padat itu hayûla. Hayûla inilah yang merintangi manusia bagi terwujudnya kemampuan yang dikehendaki tuhan. 100 Pemikiran takdir menurut Aristoteles sejalan dengan pemikirannya dengan sifat Tuhan. Menurutnya, Tuhan sama sekali tidak mencampuri urusan alam dan semua yang ada di dalamnya, baik yang bernyawa maupun tidak. Karena itu Tuhan tidak menentukan urusan apapun juga bagi alam, sebab takdir tidak sesuai dengan kesempurnaan sifat kemutlakan Tuhan. Zat yang sempurna dan mutlak kesempurnaannya tidak membutuhkan apapun juga selain zat-Nya, tidak menghendaki sesuatu, dan tidak memikirkan sesuatu salain zat-Nya sendiri. Hubungan antara Tuhan dan alam tidak lebih dari sebagai penggerak pertama yang tidak bergerak. Sejalan dengan pemikirannya tersebut, Aristoteles menga-takan bahwa setiap manusia bebas memilih sesuatu bagi dirinya sendiri. Tidak ada qadâ ‘ maupun qadar. Setidaknya manusia bisa menahan diri jika ia tidak bisa melakukan suatu perbuatan. Sedangkan tujuan bagi setiap makhluk hidup ialah mewujudkan sesuatu yang diperlukan oleh eksistensinya menurut cara yang sesuai dengan eksistensinya. 101 Ibrahim Madkour beranggapan mustahil jika problematika takdir dalam Islam telah berkobar pada masa awal perkembangan umat Islam. Problematika takdir mendapatkan porsi ketika fitnah yang menimpa khalifah Usman bin Affan di mana 100 Abbas Mahmud al-Aqqad, Filsafat Qur‘an, h. 203-204 101 Ibid., h. 204-206.