Seputar Takdir dalam Islam
ada di dalam akal tuhan. Kejahatan bukan berasal dari takdir tuhan. Kebebasan manusia menuju kesempurnaan tidak dibatasi oleh takdir tuhan, tetapi oleh rintangan
materi yang amat padat itu hayûla. Hayûla inilah yang merintangi manusia bagi terwujudnya kemampuan yang dikehendaki tuhan.
100
Pemikiran takdir menurut Aristoteles sejalan dengan pemikirannya dengan sifat Tuhan. Menurutnya, Tuhan sama sekali tidak mencampuri urusan alam dan
semua yang ada di dalamnya, baik yang bernyawa maupun tidak. Karena itu Tuhan tidak menentukan urusan apapun juga bagi alam, sebab takdir tidak sesuai dengan
kesempurnaan sifat kemutlakan Tuhan. Zat yang sempurna dan mutlak kesempurnaannya tidak membutuhkan apapun juga selain zat-Nya, tidak
menghendaki sesuatu, dan tidak memikirkan sesuatu salain zat-Nya sendiri. Hubungan antara Tuhan dan alam tidak lebih dari sebagai penggerak pertama yang
tidak bergerak. Sejalan dengan pemikirannya tersebut, Aristoteles menga-takan bahwa setiap manusia bebas memilih sesuatu bagi dirinya sendiri. Tidak ada qadâ
‘ maupun qadar. Setidaknya manusia bisa menahan diri jika ia tidak bisa melakukan
suatu perbuatan. Sedangkan tujuan bagi setiap makhluk hidup ialah mewujudkan sesuatu yang diperlukan oleh eksistensinya menurut cara yang sesuai dengan
eksistensinya.
101
Ibrahim Madkour beranggapan mustahil jika problematika takdir dalam Islam telah berkobar pada masa awal perkembangan umat Islam. Problematika takdir
mendapatkan porsi ketika fitnah yang menimpa khalifah Usman bin Affan di mana
100
Abbas Mahmud al-Aqqad, Filsafat Qur‘an, h. 203-204
101
Ibid., h. 204-206.
sesama umat Islam bersengketa antara yang mendukung tahkîm perdamaian dan yang menolak. Setelah itu mulai dipertanyakan tentang posisi orang yang melakukan
dosa kecil dan besar, apakah masih termasuk mukmin, kafir, atau justru berada di antara keduanya. Madkour menyimpulkan bahwa problematika takdir dalam Islam
terjadi pada paruh kedua dari abad pertama Hijrah.
102
Muslim pertama yang mengangkat problematika takdir ialah Ma‟bad al- Juhani m. 80H698M dan Ghailan al-Dimasyqi m. 105H722M. Keduanya dikenal
sebagai pelopor paham Qadariah dan bertemu di Damaskus. Ma‟bad mengunjungi Damaskus dan Ghailan memang menetap di sana. Damaskus merupakan pintu
gerbang kebudayaan Islam terbesar pada abad pertama, tempat pertemuan berbagai kebudayaan, serta dekat dengan sebagian aliran Kristen Timur. Salah seorang pemikir
Kristen yang memiliki pengaruh terhadap para pemikir Muslim ialah Yahya al- Dimasyqi m. 127H749M yang lahir pada masa Muawiyah bin Abu Sofyan. Salah
satu karyanya yang menguatkan adanya dialog keagamaan pada masa itu antara umat Kristen dan Muslim berjudul “Naqsy bain Masîhi wa Muslim”.
103
Yahya al-Dimasyqi berpendapat bahwa perbuatan manusia ada dua macam, yakni terpaksa jabariah dan bebas memilih ikhtiariah. Jabariah ialah perbuatan
yang terjadi tanpa terasa seperti pertumbuhan tubuh, dorongan karena pengaruh kebutuhan alami seperti makan, atau yang terjadi dikarenakan faktor kesalahan
seperti anak panah yang diarahkan kepada binatang buruan tetapi kebetulan mengenai manusia. Sedangkan perbuatan-perbuatan ikhtiariah ialah perbuatan yang
102
Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, h. 140.
103
Ibid., h. 139-152.
timbul dari kehendak manusia secara murni, setelah adanya pemikiran dalam rangka merealisir kelezatan atau manfaat. Perbuatan ikhtiariah ini merupakan perbuatan
yang dibarengi dengan adanya kemampuan dan kehendak yang berada dalam jangkauan manusia untuk mengerjakan atau meninggalkannya. Perbuatan jabariah
merupakan perbuatan Tuhan, sedangkan perbuatan ikhtiariah adalah ciptaan manusia.
104
Ma‟bad al-Juhani ialah seorang tabi‘i dan ahli hadis yang tidak setuju dengan sikap penguasa yang melegitimasi kekuasaan mereka dengan paham takdir. Dalam
sikapnya, ia mengingkari takdir yang bisa menegasikan kebebasan kehendak manusia. Sikap Ghailan al-
Dimasyqi terhadap takdir sama seperti Ma‟bad, di sisi lain ia adalah orang kedua yang mengangkat problematika setelah Ma‟bad. Diantara butir
pemikirannya ialah bahwa Allah tidak berbuat kecuali yang baik, perbuatan manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri, dan Allah tidak akan menyiksa hasil
perbuatannya sendiri sedangkan Dia adalah Zat yang Mahaadil.
105
Sebagai “tandingan” paham Qadariah tersebut kemudia lahir paham Jabariah yang dipelopori oleh al-
Ja‟d bin Dirham abad VIII M dan Jahm bin Safwan m. 127 H745 M. Paham ini mengatakan bahwa perbuatan manusia diciptakan oleh Tuhan
dalam diri manusia. Manusia tidak memiliki kekuatan dan daya untuk mewujudkan perbuatannya. Menurut Jabariah manusia diibaratkan sebagai wayang yang tidak
bergerak kecuali digerakkan oleh dalang. Bertolak belakang dengan Qadariah,
104
Ibid., h. 150-151.
105
Ibid., h. 153-155.
menurut Jabariah manusia tidak memiliki kebebasan, semua perbuatannya telah ditentukan oleh Tuhan semenjak azal.
106
Jabariah memegang prinsip bahwa perbuatan manusia telah ditentukan semenjak zaman azali. Manusia tidak memiliki daya untuk melakukan sesuatu.
“Segalanya berasal dari Tuhan.” Tuhan memiliki kekuatan absolut terhadap segala sesuatu, termasuk kehendak dan perbuatan manusia. Abdul Hye menyebut pandangan
Jabariah ini dengan “pure fatalistic view‖.
107
Pada hakikatnya paham Jabariah menyakini bahwa bahwa semua perbuatan dan gerak-gerik manusia ialah perbuatan Allah yang dialirkan melalui hamba-Nya.
Sehingga dengan keyakinan itu manusia tidak perlu usaha, ikhtiar, maupun inisiatif sama sekali.
108
Meskipun demikian ada juga diantara kaum Jabariah yang berfikir moderat berpendapat bahwa perbuatan
—sebagaimana adanya—terjadi karena kekuasaan Allah. Akan tetapi dalam hal taat dan durhaka, perbuatan itu terjadi atas
kemauan manusia sendiri.
109
Selanjutnya paham Qadariah kebanyakan diwakili oleh para pemikir dari kaum Muktazilah. Muktazilah dipelopori oleh Wasil bin „Atha‟, seorang yang dikenal
i‘tizâl memisahkan diri dari majlis al-Hasan al-Bashri karena ketidakcocokannya dengan gurunya mengenai posisi orang Mukmin yang mela-kukan dosa besar di
akhirat nanti. Tidak puas dengan jawaban gurunya, Washil mengatakan, “Saya
106
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya jilid II Jakarta: UI-Press, 2002, edisi II, h. 33.
107
M. Abdul Hye, „Ash‟arishm‟dalam MM Syarif, ed., A History of Muslim Philosophy Delhi: Low Price Publication, 1995, cet. IV h. 229.
108
Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Aqidah Seorang Muslim. Penerjemah: Salim Bazemool Solo: Pustaka Mantiq, 1994, h. 113.
109
Abbas Mahmud al-Aqqad, Filsafat al-Quran, h. 235.
berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi di antara keduanya; tidak mukmin dan tidak pula kafir.”
110
Harun Nasution mengatakan bahwa diantara penyebab Wasil mendirikan paham Muktazilah ialah ketidaksetujuannya dengan kaum Khawarij maupun
Murji‟ah mengenai masalah yang sama. Kaum Khawarij berpendapat bahwa orang Mukmin yang melakukan dosa besar adalah kafir. Sedangkan kaum Murji‟ah yang
muncul sebagai reaksi terhadap kaum Khawarij yang mengatakan bahwa orang Mukmin yang melakukan dosa besar tidaklah menjadi kafir, tetapi tetap Mukmin.
Persoalan mengenai dosa besarnya diserahkan kepada Tuhan di akhirat nanti. Wasil mengatakan bahwa orang tersebut tidak mukmin dan tidak pula kafir, melainkan
mengambil posisi diantara keduanya. Jika sebelum meninggal ia bertobat maka akan masuk surga dan jika sampai meninggal ia tidak sempat bertobat maka nasibnya akan
sama dengan orang kafir dan tidak akan masuk surga.
111
Paham ini dikenal dengan al- manzilatu bain al-manzilatain.
Aliran Muktazilah memegang prinsip bahwa manusia memiliki kekuatan penuh untuk melakukan sesuatu dan memiliki kebebasan dalam memilih pilihannya.
Meskipun demikian mereka tetap mengatakan bahwa segala kekuatan yang dimiliki manusia diciptakan oleh Tuhan.
112
Kekuasaan Tuhan tidaklah mutlak, melainkan sudah terbatas dikarenakan beberapa faktor. Diantara faktor yang membatasi
kekuasaan Tuhan ialah kebebasan yang telah diberikan kepada manusia, hukum alam
110
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah , Analisa, Perbandingan Jakarta: UI Press, 1986, h. 98.
111
Harun Nasution, Islam ditinjau..., h. 31-37.
112
M. Abdul Hye, „Ash‟arishm‟, h. 229.
sunnatullah yang tidak akan mengalami perubahan, norma-norma keadilan, dan kewajiban Tuhan terhadap manusia. Menurut Muktazilah, manusia diciptakan Tuhan
sekaligus memiliki kemampuan menciptakan perbuatannya baik atau buruk.
113
Muktazilah mengatakan bahwa problematika takdir dan kebebasan kehendak berkaitan erat dengan prinsip keadilan Tuhan yang mereka kembangkan. Mereka
menetapkan bahwa keadilan Tuhan ditujukan kepada hikmah yang bisa diketahui oleh akal dan dimaksudkan untuk merealisir kebaikan dan yang terbaik. Keadilan
Allah menolak dari memberi kewajiban taklîf kepada seseorang yang tidak mampu ia lakukan atau meng-hisâb apa yang dilakukannya atas paksaan dari-Nya. Untuk itu
pada umumnya mereka menolak secara tegas prinsip jabariah. Mereka me- Mahasucikan Allah dari melakukan perbuatan-perbuatan maksiat dan jelek. Manusia
ialah pelaku atas perbuatannya dengan kekuasaan qudrah dan kemampuan istitâ
‘ah yang diberikan Tuhan kepadanya. Pandangan ini mengandung sikap berpegang pada kekuasaan dan perhatian Allah. Akhirnya manusia harus memilih apa
yang dilakukannya, karena perbuatan itu lahir dari niatnya dan merupakan salah satu hasil kehendaknya. Namun hal ini bukan berarti manusia bermaksiat kepada Allah
secara terpaksa atau bisa melakukan sesuatu yang tidak dikehendaki Tuhan.
114
Manusia hanya terbatas oleh kodratnya sebagai manusia. Dengan memegang prinsip seperti demikian, bukan berarti Muktazilah tidak
mempercayai takdir Tuhan, melainkan mereka mendefinisikannya dengan cara yang berbeda dengan Jabariah. Pendefinisian mereka kurang lebih sesuai dengan apa yang
113
Syahrin Harahap, Islam: Konsep..., h. 32.
114
Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, h. 161-174.
dikatakan Quraish Shihab bahwa jika dikatakan Allah telah menakdirkan sesuatu berarti Allah telah memberi kadar, ukuran, atau batas tertentu dalam diri, sifat, atau
kemampuan maksimal makhluk-Nya. Istilah takdir mirip dengan sunnatullah atau hukum alam, tetapi takdir setingkat diatasnya karena hukum-hukumnya tidak hanya
terjadi pada alam, melainkan juga pada hukum-hukum kemasyarakatan.
115
Selanjutnya aliran Asy‟ariah muncul sebagai respon yang „menandingi‟ kekuatan Muktazilah yang pada masa itu disokong oleh para Khalifah Abbasiyah,
khususnya al- Ma‟mun yang menjadikan Muktazilah sebagai mazhab resmi negara.
Sesuai namanya aliran ini didirikan oleh Imam al- Asy‟ari yang dilahirkan di Basrah
Irak pada 260 H873 M dan meninggal pada 324 H935 M.
116
Sedang kan kata „Asy‟ariah‟ ditujukan kepada para murid dan pengikut dari Imam al-Asy‟ari itu
sendiri. Al-
Asy‟ari tumbuh dan dididik dalam lingkungan Muktazilah. Ia nyaris tidak pernah
berontak dari
pemikiran Muktazilah
hingga kegelisahan
mulai menghinggapinya. Hal ini terjadi pada usianya yang keempat puluh di mana secara
terbuka ia mengumumkan bahwa ia tidak lagi mengikuti pemikiran-pemikiran Muktazilah dan sebagai konsekuensinya ia akan menunjukkan kelemahan-kelemahan
dari mazhab lamanya itu.
117
Jika Muktazilah muncul sebagai respon atas pertentangan kaum Khawarij dan Murji‟ah maka Asy‟ariah muncul sebagai tanggapan atas dua kutub ekstrim yang ada
115
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran, h. 61-65.
116
A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam; edisi revisi Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, 2003, cet. VIII, h. 127.
117
Ibid., h. 127-128.
pada saat itu —walaupun sering dikatakan lebih dekat kepada Jabariah. Aliran yang
pertama adalah Muktazilah yang terlalu memuja akal pikiran dan kaum hasywiyah antropomorpis yang hanya memegangi secara tekstual nash-nash agama dengan
meninggalkan jiwanya yang hampir menyeret Islam ke dalam kejumudan. Jalan tengah tersebut dapat diterima oleh mayoritas kaum Muslimin.
118
Penerimaan kaum Muslimin terhadap ajaran al- Asy‟ari bukan tanpa alasan,
melainkan diikutii oleh beberapa faktor yang mendukungnya. Pertama, kaum Muslimin pada saat itu sudah bosan dengan perbedaan dan pertentangan mengenai
persoalan bahwa al-Quran adalah makhluk yang dicetuskan oleh aliran Muktazilah yang berakibat kebencian mereka terhadap aliran tersebut. Kedua, sosok Imam al-
Asy‟ari yang ulung dalam perdebatan dan memiliki ilmu yang cukup mendalam, terkenal juga sebagai seorang yang saleh dan takwa, sehingga dapat menarik banyak
orang dan mendapat kepercayaan mereka. Ketiga, sejak masa al-Mutawakkil tahun 232H pemerintahan telah meninggalkan aliran Muktazilah. Sebagaimana suatu
semboyan bahwa agama raja adalah agama rakyat dan hal ini tidak terkecuali pada kondisi Islam saat itu. Keempat, Imam al-
Asy‟ari memiliki pengikut-pengikut yang kuat yang selalu menyebarkan ajaran-ajarannya dan memberikan alasan untuk itu.
Kelima, pemerintahan Bani Buwaih yang bercorak Syi‟ah dan yang menjadi tulang
punggung aliran Muktazilah telah digantikan dengan pemerintahan Turki Seljuk yang bercorak Sunni dan menyokong aliran Ahlussunnah.
119
118
Ibid., h. 129.
119
Ibid., h. 129-130.
Sebelum mengemukakan pandangan Asy‟ariah mengenai takdir ada baiknya di sini dikemukakan terlebih dahulu dua prinsip Muktazilah yang amat berkaitan
dalam permasalahan ini. Muktazilah mengenal prinsip istitâ ‘ah dan tawallud. Secara
etimologi istitâ ‘ah berarti kemampuan, tetapi para ulama Muktazilah tidak bersepakat
mengenai hakikat dari istitâ ‘ah itu sendiri apakah ia semata-mata merupakan
kesehatan dan keselamatan, aksidensia yang terpisah dari orang yang mampu atau merupakan bagian daripadanya. Mereka juga berbeda pendapat apakah istitâ
‘ah itu tetap ada setelah seseorang melakukan perbuatan atau ia hidup bersamaan dengan
selesainya perbuatan itu. Jelasnya bahwa istitâ ‘ah itu terjadi sebelum perbuatan, bisa
berarti berbuat tetapi bisa sebaliknya, dan istitâ ‘ah tidak mengharuskan perbuatan.
120
Tawallud merupakan pemikiran orisinal Muktazilah. Teori ini berkaitan dengan prinsip kausalitas dan juga dengan pemikiran balasan dan tanggung jawab
seperti yang dikemukakan oleh Bisyr al- Mu‟tamir m. 210 H826 M, seorang pendiri
kelompok i‘tizâl di Baghdad. Muktazilah membagi perbuatan menjadi perbuatan
langsung yang merupakan perbuatan yang secara primer meng-akibatkan suatu tindakan dan perbuatan tidak langsung yang merupakan unsur sekunder dan disebut
al- af‘âl al-mutawallidah. Bisyr berpendapat agak ekstrim mengatakan bahwa sebab
yang terjadi karena kita, baik di dalam maupun di luar diri kita, merupakan perbuatan kita. Abu Huzail al-Allaf berusaha memperkecil ekstrimitas ini dengan mengatakan
bahwa perbuatan yang keluar tawallud yang kita ketahui prosesnya, baik di dalam maupun di luar diri kita, merupakan perbuatan kita. Sedangkan perbuatan yang
prosesnya tidak diketahui seperti warna, rasa, panas, dan dingin merupakan
120
Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, h. 166.
perbuatan-perbuatan Allah. Madkour mengatakan bahwa definisi yang paling jelas ialah apa yang dikatakan al-Iskafi m. 240 H855
M, yakni “Setiap perbuatan yang mungkin salah tanpa dikehen-daki adalah perbuatan mutawallid. Sedangkan
perbuatan yang tidak bisa terjadi kecuali harus dikehendaki dan setiap bagiannya membutuhkan pembaharuan niat dan kehendak merupakan perbuatan yang berada di
luar ketentuan tawallud dan masuk ke dalam kualifikasi perbuatan langsung.”
121
Dalam problematika takdir, al- Asy‟ari berada diantara paham Jabariah dan
Muktazilah. Jika Jabariah mengatakan manusia tidak memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu dan Muktazilah berpegang bahwa manusia dapat melakukan
perbuatan atas kekuasaan yang diberikan Tuhan kepadanya, maka al- Asy‟ari
mengatakan bahwa manusia tidak berkuasa menciptakan sesuatu, tetapi berkuasa untuk memperoleh kasb suatu perbuatan.
122
Teori yang dikenal dengan kasab inilah yang menjadi fokus pembahasan Asy‟ariah mengenai takdir dan perbuatan manusia.
Teori inilah yang menjadi sasaran kritik baik dari ulama Islam masa modern maupun para cendekiawan Barat yang menurut mereka ajaran mengenai kasab ini
mengidentikkan Asy‟ariah—sebagai golongan terbesar umat Islam—dengan paham predeterminasi atau jabariah.
Dalam pengakuan terbuka di masjid Jami‟ Basrah al-Asy‟ari memfo-kuskan pembicaraan pada tiga problematika khusus yang membedakannya dengan
Muktazilah, yakni mengenai pendapat bahwa al-Quran adalah makhluk, melihat
121
Ibid., h. 168-169.
122
A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, h. 133-134.
Allah dengan mata kepala, dan perbuatan manusia.
123
Ternyata sejak awal proble- matika takdir telah menjadi perhatian al-
Asy‟ari. Kemudian ia mengeluarkan teori kasab untuk „meredam‟ kedua ekstrimitas yang dianggapnya akan menjadi berbahaya
bagi umat Islam itu sendiri. Konsentrasi al- Asy‟ari lebih banyak ditujukan kepada
kritik terhadap Muktazilah, sehingga menurut Harun Nasution teoti kasab al- Asy‟ari
lebih dekat kepada paham Jabariah atau fatalisme daripada paham Qadariah atau kebebasan manusia.
124
Al- Asy‟ari mengatakan bahwa semua perbuatan, baik maupun buruk,
diciptakan oleh Allah. Tidak ada keraguan sama sekali dalam masalah ini. Merupakan kesalahan tersendiri jika mengatakan bahwa orang kafir itu mencip-takan sendiri
perbuatannya, karena seseorang tidak menciptakan kecuali apa yang dituju dan diinginkannya. Kekafiran merupakan sesuatu yang rusak dan jelek, tidak patut untuk
diinginkan, dan kekafiran tidak mungkin terjadi tanpa kesenga-jaan dari penciptanya. Pada hakikatnya, yang bukan pencipta tidak boleh men-cipta. Sehingga kemungkinan
penciptanya tinggal Allah semata. Di sini al- Asy‟ari ingin menegaskan bahwa ada
perbuatan-perbuatan yang terjadi pada manusia justru tidak sesuai atau kebalikan dari kehendaknya dan tidak mungkin ia sebagai penciptanya selama Iradah kehendak
Tuhan sebagai satu-satunya sumber aksi. Allah menakdirkan dan menentukan perbuatan-perbuatan maksiat, tetapi tidak berarti Dia memerintahkan agar hal itu
dilakukan.
125
123
Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, h. 180.
124
Harun Nasution, Islam ditinjau..., h. 42.
125
Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, h. 182-183.
Al- Asy‟ari menerima istitâ
‘ah yang dikembangkan Muktazilah, tetapi menurutnya istitâ
‘ah itu bagian dari manusia, karena jika istitâ‘ah itu merupakan bagian dari manusia niscaya ia akan selalu bersama manusia. Manusia terkadang
mampu tetapi terkadang juga tidak mampu. Istitâ ‘ah ini merupakan aksidensia yang
diberikan Allah kepada manusia pada saat diperlukan. Ia ada pada saat manusia berbuat, tetapi tidak tetap dalam dua masa, seperti halnya aksidensia-aksidensia yang
lain. Ia tidak sejalan dengan Muktazilah yang mengatakan bahwa istitâ ‘ah itu
mendahului perbuatan manusia. Dalam pada itu al-As y‟ari tidak mendukung teori
tawallud dengan argumen bahwa prinsip kausalitas tidak mendukung teori ini.
126
Al- Asy‟ari mengatakan bahwa manusia memiliki kasab dan ikhtiar. Kasab
berarti semata-mata hubungan qudrah dan kehendak manusia dengan perbuatan, sedangkan perbuatan itu merupakan ciptaan Allah, karena qudrah manusia sama
sekali tidak bisa berpengaruh terhadap yang dikodratinya, karena ia sendiri ialah makhluk Allah. “Allah menjalankan sunnah-sunnah-Nya dengan menciptakan—
bersamaan dengan qudrah yang baru —perbuatan yang dikehendaki dan disengaja
akal manusia.” Kasab dan ikhtiar ini memiliki keterkaitan erat dengan hisâb pembalasan dan menurut al-
Asy‟ari, manusia dihisab karena kasab dan ikhtiarnya.
127
Pendapat al- Asy‟ari mengenai takdir tidak dapat disamakan secara holistik
menjadi paham Asy‟ariah. Para murid dan pengikut al-Asy‟ari baca: Asy‟ariah tidak bertaklid secara sepenuhnya terhadap pendapat Imam mereka. Diantara mereka ada
126
Ibid., h. 183-184.
127
Ibid.
yang mengembangkan paham kasab itu sendiri, seperti Imam al-Baqillani dan bahkan ada yang mengkritik paham tersebut. Al-Baqillani sependapat dengan al-
Asy‟ari bahwa qudrah baru tidak bisa menciptakan apa-apa, tetapi ia mengkhususkan wujud,
karena ia berpengaruh dalam perbuatan-perbuatan manusia dari segi ia menciptakannya secara khusus pada waktu dan ruang tertentu. Jadi, terjadinya
perbuatan-perbuatan ini dari perbuatan Allah, tetapi pengkhususan kejadian ini dalam kondisi tertentu merupakan perbuatan manusia. Dengan demikian kasab lahir semata-
mata dari hubungan dan bersamaan dengan qudrah Allah, yang menurut al-Baqillani menjadi suatu bentuk perbuatan walaupun pengaruhnya terbatas.
128
Imam al-Haramain al-Juwaini —seorang tokoh besar Asy‟ariah—mengkritik
sudut pandang al- Asy‟ari yang menegaskan bahwa semua perbuatan diciptakan oleh
Allah, karena tidak ada Pencipta selain-Nya. Al-Juwaini berpendapat bahwa manusia adalah pencipta perbuatannya sendiri dengan cara menciptakan kemampuan-
kemampuan qudrah untuk itu. Dengan teori ini, perbuatan-perbuatan itu tidak disifati sebagai objek qadar Allah, karena satu objek qadar maqdûr tidak bisa
berhubungan dengan dua qudrah. Pada diri manusia terdapat qudrah yang diberikan oleh Allah kepadanya. Qudrah ini merupakan salah satu aksidensia, padahal
aksidensia tidak bisa tetap dalam dua masa karena ia menyertai perbuatan dan berakhir dengan berakhirnya perbuatan itu. Qudrah ini memiliki bukan hanya satu
maqdûr objek qudrah, karena Allah menciptakan qudrah untuk berbuat dan qudrah untuk tidak berbuat pada diri seseorang. Selanjutnya al-Juwaini menisbahkan
perbuatan-perbuatan mutawallidah kepada pelakunya dan mengembalikan semuanya
128
Ibid., h.187.
kepada Allah. Ini merupakan kritik terhadap pandangan Muktazilah yang juga dapat diambil dari krtitik yang dilakukan Ibn Rawandi, seorang tokoh Muktazilah, terhadap
teori tawallud Muktazilah.
129
Selain tiga aliran di atas ada juga aliran Maturidiah yang memiliki konsep takdir yang cukup menarik. Aliran Matudiriah, sesuai namanya, ialah para pengikut
Imam Abu Mansur al-Maturidi yang dilahirkan di daerah Samarkand termasuk daerah Uzbekistan. Al-Maturidi hidup sezaman dengan al-
Asy‟ari dan meninggal pada 333 H. Keduanya memiliki tujuan yang sama dalam mambangun paham
teologinya, yakni membendung dan melawan paham Muktazilah. Jika al- Asy‟ari
membangun mazhabnya di Bashrah dan Irak pada umumnya, maka al-Maturidi menghadapi Muktazilah di negerinya, yakni Samarkand dan Iran pada umumnya.
130
Dalam menyelesaikan problematika takdir, al-Maturidi berusaha terlebih dahulu untuk mensucikan keadilan, ilmu, dan kehendak Allah, sekaligus memper-
kokoh prinsip taklif dan tanggung jawab. Al-Maturidi mengatakan bahwa masing- masing orang tahu bahwa dirinya bebas memilih apa yang dilakukannya; ia adalah
pelaku yang kâsib memiliki kasab. Perbuatan-perbuatan manusia, walaupun merupakan kasab baginya, juga diciptakan oleh Allah. Perbuatan manusia itu ialah
“karya bersama” manusia dengan Tuhan. Allah yang menciptakan dan manusia yang mengkasabnya. Semua ini tentunya merupakan pangkal dari perbuatan-perbuatan
ikhtiariah, sedangkan perbuatan-perbuatan individual berasal dari Allah semata.
131
129
Ibid., h. 189.
130
A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, h. 167-169.
131
Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, h. 194.
Berbeda dengan al- Asy‟ari, kasab menurut al-Maturidi berarti kesengajaan
al-qasd dan ikhtiar. Kasab merupakan proses amal positif yang mendahului aksi, sedangkan kasab al-
Asy‟ari semata-mata kebersamaan qudrah haditsah kemampuan temporal dengan maqdur objek qadar, karena kasab di sini baca: al-
Asy‟ari merupakan persoalan negatif yang terjadi bersama dengan aksi tidak
mendahuluinya.
132
Dalam Maturidiah, al-qasd unsur kesengajaan merupakan salah satu unsur penting bagi kebebasan kehendak. Al-qasd merupakan pangkal bagi taklif perintah
agama, prinsip bagi pahala dan dosa, juga pujian dan celaan. Jika seseorang berniat melakukan perbuatan baik, maka Allah pun menciptakan kemampuan qudrah pada
dirinya agar bisa melakukannya dan berhak menerima pahala karena niatnya itu. Sebaliknya jika ia berniat melakukan perbuatan jelek, maka Allah menciptakan
kemampuan pada dirinya agar bisa melakukannya dan ia berdosa karena niatnya itu. Al-Qasd itu murni, tetapi merupakan amal manusia. Al-qasd memang merupakan
amal hati, tetapi mengakibatkan pengaruh-pengaruh eksternal. Perbuatan itu sendiri tidak mengkonsekuensikan pahala atau dosa tetapi al-qasd dari seseoranglah yang
mengkonsekuensikan pahala dan dosa, dengan argumen bahwa orang yang tidak memiliki al-qasd tidak terkena taklif seperti anak kecil dan orang yang sedang tidur.
Perbuatan itu sendiri baik jika dimaksudkan untuk melakukan kebaikan dan menjadi buruk jika dimaksudkan untuk melakukan kejelekan.
133
132
Ibid., h. 194-195.
133
Ibid.
Al-Qasd harus disertai kemampuan untuk berbuat, yakni yang disebut istitâ
‘ah. Al-Maturidi membagi istitâ‘ah menjadi dua macam, istitâ‘ah mumkinah kemampuan yang mungkin dan istitâ
‘ah muyassirah kemampuan yang memudahkan. Istitâ
‘ah mumkinah berarti keselamatan sebab, alat, dan anggota tubuh yang kesemuanya merupakan pemberian dari Allah yang berfungsi mem-bantu
seseorang untuk melakukan perbuatan. Ia harus ada sebelum seseorang melakukan perbuatan, tidak ada taklif tanpa istitâ
‘ah ini. Istitâ‘ah muyassirah berarti kemampuan temporal qudrah haditsah yang menyebabkan manusia bisa berbuat.
Kemampuan ini diberikan Allah ketika menusia berniat melakukan suatu perbuatan, karena qudrah ini bersamaan dengan aksi tetapi juga selalu baru dan setiap aksi ada
qudrah-nya sendiri. Jadi, ada istitâ ‘ah yang mendahului perbuatan dan ada pula yang
bersamaan dengan perbuatan.
134
Jika dilihat dari keterangan di atas, maka posisi Maturidiah dalam permasalahan takdir berada diantara al-
Asy‟ari dan Muktazilah. Disebut al-Asy‟ari di si
ni dikarenakan diantara tokoh Asy‟ariah pun terdapat pertentangan dengan pendapat al-
Asy‟ari itu sendiri. Demikian juga dengan Muktazilah. Di dalamnya terdapat perbedaan-perbedaan perdapat yang pada dasarnya bersifat furû
‘iyyah cabang sehingga masing-masing tokoh dari setiap aliran tidak melenceng jauh dari prinsip
pokok alirannya. Satu hal yang dapat disimpulkan dari pembahasan ini ialah tidak dapat mengklaim suatu aliran dengan pandangan yang menyudutkan dari sisi negatif
atau kekurangan dari suatu pendapat, apalagi klaim bahwa Islam membawa ajaran predeterminisme yang membuat umatnya hanya pasrah terhadap takdir.
134
Ibid., h. 195-196.
Kembali kepada Maturidiah, al-Matudiri mengatakan bahwa kebebasan kehendak tidak bertentangan dengan qadâ
‘ dan qadar Allah, karena qadâ‘ pada hakikatnya ialah meletakkan sesuatu pada tempatnya dan qadar menjadi sesuatu
berupa kebaikan atau keburukan yang ada. Jadi Allah meng-qadâ ‘ perbuatan maksiat
dan jelek dan meng-qadar-nya. Sedangkan melakukannya bukanlah dari Allah, tetapi berasal dari manusia dengan kemampuan, ikhtiar, dan niatnya. Memang pada
akhirnya semua kembali kepada Allah, karena Ia adalah Tuhan dan pencipta segala sesuatu. Tetapi demikian tidaklah pantas
—demi sopan santun—untuk mengatakan bahwa Allah adalah pencipta perbuatan-perbuatan maksiat. Dengan demikian,
kebebasan kehendak terbatas pada kesengajaan dan niat, yang dari Maturidiah ini dapat dijadikan benang merah dalam lapangan pembahasan yang luas itu baca:
takdir.
135
Harun Nasution mengatakan bahwa sejak abad kedua puluh terdapat kecenderungan untuk mengangkat kembali paham bercorak rasional yang dibawa
oleh Muktazilah, khususnya di kalangan terpelajar Islam. Walaupun demikian aliran Asy‟ariah tetap menjadi mayoritas paham yang dipegang oleh umat Islam.
136
Demi kelengkapan dan kapasitas kajian ini maka akan dibahas beberapa pendapat mengenai
takdir dari para ulama maupun cendekiawan dari masa modern dan kontemporer. Pelopor utama gerakan yang bertujuan untuk membangkitkan umat Islam dari
keterlenaan terhadap masa silam ialah Jamaluddin al-Afghani. Al-Afghani ialah orang yang mempropagandakan Pan-Islamisme untuk menyatukan kembali negeri-
135
Ibid.,
136
Harun Nasution, Islam ditinjau..., h. 41.
negeri Muslimin yang telah terpecah belah baik karena faktor dari dalam umat Islam itu sendiri maupun pengaruh dari penjajah asing, khususnya negeri-negeri Barat.
Dalam pada itu al-Afghani juga menyikapi takdir dengan pandangan yang “melenceng” dari mayoritas Muslimin. Al-Afghani menolak dengan tegas jika ajaran
mengenai takdir disamakan dengan paham fatalistik. Menurutnya, takdir mengandung pengertian bahwa segala sesuatu terjadi menurut ketentuan sebab akibat. Kemauan
manusia merupakan salah satu mata rantai hukum sebab akibat. Qadâ dan qadar menurutnya sinonim dengan hukum dan ciptaan Tuhan.
137
Pemikiran-pemikiran al-Afghani menjadi cikal bakal perkembangan pemikiran modern yang secara khusus muncul pada abad kesembilan belas. Diantara
para mujaddid dan reformis yang mengumandangkan semangat kebangkitan Islam, Muhammad Abduh adalah tokoh terdepan. Dalam menyikapi problematika takdir
Muhammad Abduh mengatakan bahwa ada dua perkara fundamental yang merupakan tiang kebahagiaan dan pembimbing segala perbuatan manusia. Pertama, bahwa
manusia memiliki usaha yang bebas dengan kemauan dan kehendaknya untuk mencari jalan yang dapat membawanya kepada kebahagiaan. Kedua, bahwa qudrah
Allah adalah tempat kembalinya segala makhluk. Diantara kekuasaan tersebut ialah bahwa Allah sanggup memisahkan manusia dari apa yang diinginkannya dan tidak
seorang pun selain-Nya yang bisa menolong manusia dalam apa yang tidak mungkin dicapainya.
138
137
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Bandung: Mizan, 1995, cet. III h. 149-150.
138
Muhammad Abduh, „Perbuatan-perbuatan Manusia‟ dalam Pandangan Para Ahli Pikir tentang Takdir dan Ikhtiar, ed. Mohammad Thalib Surabaya: Bina Ilmu, 1977, h. 67-68.
Abduh mengatakan bahwa setiap individu bisa mempertimbangkan perbuatan-perbuatan ikhtiarnya, menghukum dengan akalnya, dan merinci dengan
kehendaknya. Jika telah mantap dengan suatu pandangan, seorang individu akan melaksanakannya dengan kehendaknya semata. Semua itu merupakan fenomena yang
dapat dirasakan semua orang dan tidak bisa dipungkiri. Semua manusia berjalan di atas jalurnya, sehingga ia dapat benar dan salah, tanpa mesti terlebih dahulu
mengetahui apa yang ditetapkan dalam ilmu Allah atau mengerti secara penuh apa yang telah tertulis sejak azali. Abduh mengatakan bahwa merupakan kesia-siaan jika
seseorang atau suatu paham membentengi diri dengan prinsip takdir yang determinis untuk membela dosa yang dilakukan atau menghindarkan diri dari tanggung jawab
yang mesti dipikul. Kadang manusia berhasil, kadang pula gagal. Kegagalan manusia dapat dikarenakan keterbatasan dan administrasi yang buruk atau terkadang
disebabkan oleh faktor-faktor yang berada di luar dirinya. Dengan kata lain Abduh menawarkan untuk mengakui adanya faktor yang berada di atas kemampuan manusia,
tetapi hal ini tidak menjadikan manusia untuk menyia-nyiakan wujudnya dan faktor ini juga tidak membelenggu niat dan kehendak manusia.
139
Syaikh Mahmud Syaltut —guru besar al-Azhar—dengan tegas mengatakan
bahwa yang disebut takdir baca: qadâ dan qadar semata-mata ialah undang-undang aturan yang kekal yang tidak pernah terjadi kekeliruan di dalamnya. Diantara
undang-undang tersebut ialah bahwa manusia diciptakan berikut kebebasan untuk memilih perbuatannya tanpa didorong ataupun dipaksa. Dengan kebebasan tersebut
manusia dapat memilih antara petunjuk atau kesesatan maupun kebaikan atau
139
Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, h. 202.
kejahatan. Kesempurnaan ilmu Allah yang mengetahui segala sesuatu yang akan terjadi bukan berarti paksaan atau belenggu kepada manusia untuk memilih
pilihannya. Lantaran demikian Islam melarang manusia untuk menyimpang dari garis-garis perintah dalam akidah maupun agama dan melontarkan alasan mengenai
penyimpangan tersebut dengan dalih takdir. Jika terjadi demikian maka menurut Syaltut seluruh kewajiban agama menjadi batal, demikian pula halnya dengan risalah
para nabi, penurunan kitab-kitab, seruan mengajak kepada agama Allah berikuta segala kewajibannya, janji Allah berupa pahala untuk kebaikan, dan balasan siksa
bagi pelaku kejahatan.
140
Fazlur Rahman mengakui bahwa di akhir Zaman Pertengahan terdapat kecenderungan yang kuat dalam masyarakat Muslim dengan paham predeterminisme.
Menurutnya predeterminisme ini tidak bersumber dari ajaran al-Quran, tetapi disebabkan faktor-faktor yang sedemikian banyak. Hal inilah yang mempengaruhi
pandangan orang-orang Barat tentang Islam. Namun demikian Rahman mengatakan bahwa ajaran predeterminisme ini merupakan kesimpulan yang salah dan terlalu
simplistis.
141
Rahman mengatakan bahwa qadar itu sebenarnya berarti “memberi ukuran
atau keterhinggaan”. Ide yang terkandung di dalamnya ialah bahwa hanya Allah saja yang mutlak tidak terbatas. Setiap yang selain-
Nya memiliki “keterbatasan” dalam setiap potensi yang telah digariskan untuknya. Setiap potensi tersebut memiliki
140
Mahmud Syaltut, Islam, Akidah,dan Syari‘ah edisi revisi. Penerjemah: Abdurrahman Zain
Jakarta: Pustaka Amani, 1998, h. 78.
141
Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur`an. Penerjemah: Anas Mahyuddin Bandung: Pustaka, 1996, cet. II, h. 35.
keterbatasan meskipun dalam konteks manusia jangkauan potensi-potensi itu sangat luas. Al-Quran tidak membicarakan akltualisasi potensi-potensi ini, melainkan hanya
berbicara mengenai potensi-potensi tersebut. Setiap makhluk diciptakan dengan potensi-potensi dan hukum tingkah laku atau hidayah sehingga ia menuruti sebuah
pola tertentu dan menjadi sebuah faktor di dalam kosmos. Manusia merupakan satu- satunya kekecualian dalam hukum universal ini karena diantara semua makhluk
hanya manusialah yang diberikan kebebasan untuk menaati ataupun mengingkari perintah-Nya.
142
Dari beberapa pandangan dari zaman modern dan kontemporer tersebut dapat dilihat adanya kecenderungan untuk “mengembalikan” ajaran mengenai takdir
kepada hukum alam dengan tingkatan yang lebih tinggi dari hukum yang hanya bersifat kosmos atau pergerakan yang nyata. Terdapat kecenderungan untuk
menyadarkan umat Islam bahwa setiap manusia telah diberikan potensi yang sedemikian besarnya tanpa ada paksaan atau belenggu dalam perbuatan maupun
keinginannya. Manusia memiliki keinginan yang bebas. Pada titik inilah —seperti apa
yang dikatakan Harun Nasution —seakan-akan konsep Muktazilah tentang takdir
menjadi solusi bagi keterbelakangan umat Islam secara garis besar. Dengan perkataan ini bukan berarti Muhammad Abduh dan yang lainnya merupakan pengikut
Muktazilah, tetapi yang dapat disimpulkan ialah bahwa kaum Muktazilah telah memberikan suatu warisan yang berharga bagi perkembangan pemikiran dalam Islam
itu sendiri.
142
Ibid., h. 35-36.
1