Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
                                                                                menjadi  perdebatan.  Secara  umum  pandangan  terhadap  takdir  terpecah  kepada  dua kutub  besar  di  mana  satu  sisi  berarti  ketetapan  perbuatan  manusia  telah  ditentukan
sejak  zaman  azali,  sebelum  ia  lahir  ke  dunia.  Di  sisi  lain  manusia  mempunyai kebebasan  dalam  menentukan  kemauan  dan  perbuatan  yang  hendak  dilakukannya,
walaupun  tetap  ada  keterbatasan  sesuai  kodratnya  sebagai  manusia.  Dalam  istilah Barat, problem ini dikenal dengan istilah Free Will and Predestination.
4
Tak pelak lagi  penyatuan tema takdir dan kebebasan kehendak, ataupun  free will  and  predestination  membawa  kesan  pereduksian  makna  dari  takdir  menurut
Islam itu sendiri. Penyatuan ini membuat seakan-akan takdir dan kebebasan kehendak merupakan  dua  hal  yang  bertentangan.  Seorang  yang  percaya  akan  adanya  takdir
tidak  mengakui  adanya  kebebasan  kehendak  pada  dirinya,  begitupun  sebaliknya. Hipotesis  awal  penulis  mengatakan  bahwa  kedua  hal  tersebut  tidak  bertentangan.
Tentu  saja  ini  sangat  berkaitan  dengan  atau  tergantung    pada  pendefinisian  kedua term tersebut juga pendekatan yang digunakan dalam mengkajinya.
Pertanyaan  selanjutnya  yang  timbul  dari  permasalahan  ini  apakah  takdir dalam  Islam  identik  dengan  paham  predestinasi  yang  menganggap  manusia  hanya
bagaikan  bulu  yang  bertebaran  mengikuti  angin  bertiup  atau  seperti  wayang  yang dimainkan  oleh  dalang.  Tidak  salah  jika  Muhammad  Ali  mengatakan  bahwa  paham
seperti inilah yang menjadi pandangan umum mayoritas umat Islam saat ini.
5
Hal ini pula  yang  menjadi  sasaran  kritik  pedas  Barat  bahwa  Islam  adalah  agama  yang
4
Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid  Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995, cet. ketiga h. 169.
5
Maulana  Muhammad  Ali,  Islamologi.  Penerjemah:  R.  Kaelan  dan  H.M.  Bachrun  Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1977, h. 215.
membawa  ajaran  predestinasi  yang  mengajarkan  paham  fatalistik  kepada  umatnya.
6
Tetapi kemudian yang menjadi pertanyaan ialah apakah Islam mengajarkan umatnya bertindak fatalistik atau menyerah kepada takdir. Pantaskah umat Islam menyalahkan
takdir  atas  apa  yang  terjadi  pada  mereka  berupa  kemunduran  dalam  beberapa  abad terakhir.
Telah  umum  diketahui  bahwa  Islam  pada  masa  awal  telah  menjadi  kekuatan yang mengguncang dunia, bahkan sempat menjadi “penguasa” dunia sampai sekitar
abad  ke-7  H.13  M.  Kepercayaan  terhadap  takdir  telah  mem-pengaruhi  umat  Islam awal  untuk  bangkit  berjuang  menghadapi  tantangan  yang  membentang  di
hadapannya.  Jika  kepercayaan  kepada  takdir  dianggap  sebagai  hal  yang  membuat umat  Islam  terbelakang  saat  ini,  mengapa  kepercayaan  ter-hadapnya  tidak  membuat
kaum  Muslimin  generasi  awal  tidak  terbelakang,  bahkan  menjadi  generasi  yang paling  maju  diantara  manusia  pada  masanya.
7
Apakah  mereka —kaum  Muslimin
awal —tidak  memiliki  kepercayaan  terhadap  takdir,  atau  apakah  takdir  hanya
direkayasa  oleh  para  teolog  untuk  mendukung  paham  mereka.  Mengatakan  kaum Muslimin  awal  tidak  percaya  takdir  merupakan  asumsi  tak  berdasar,  sebab  term
takdir telah menjadi keyakinan dasar umat Islam  yang landasannya dapat ditemukan baik dalam ayat-ayat al-Quran maupun hadis Nabi saw.
Islam  sebagai  agama  setidaknya  memiliki  dua  hal  yang  menjadi  sumber ajarannya,  yakni al-Quran dan hadis. Setiap Muslim tentu menginginkan keya-kinan
atau  pahamnya  sejalan  dengan  keduanya.  Karena  al-Quran  bersifat  umum,  maka  ia
6
Ibid., catatan kaki no. 61, h. 219.
7
Murtadha  Muthahhari,  Manusia  dan  Agama:  Membumikan  Kitab  Suci,  edisi  2.  Editor: Haidar Bagir Bandung: Mizan, 2007, h. 200.
terbuka terhadap berbagai penafsiran yang tentu saja tidak melenceng dari maknanya. Setiap  paham  teologi,  baik  yang  mengatakan  manusia  sebagai  makhluk  terbelenggu
ataupun makhluk yang bebas menggunakan ayat-ayat al-Quran maupun hadis sebagai dalil. Sebagai contoh paham kebebasan kehendak menggunakan ayat:
 
 
 
―Barangsiapa  yang  ingin  beriman  hendaklah  ia  beriman,  dan  Barangsiapa  yang  ingin kafir Biarlah ia kafir. al-Kahfi: 29
Sedangkan paham yang mengatakan manusia sebagai makhluk terpaksa majbûr menggunakan ayat:
 
 
Artinya: ―Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu. al-Shaffat: 96
Kedua  ayat  tersebut  terkesan  bertentangan  padahal  tidak  ada  pertentangan dalam  al-Quran.  Hal  inilah  yang  mesti  dikaji  lebih  dalam  agar  tidak  terjadi
kesalahpahaman atau terlebih lagi menuduh tanpa disertai bukti yang otentik. Dalam  khazanah  intelektual  Islam,  permasalahan  ini  juga  menjadi  perhatian
para ulama disebabkan kepercayaan akan takdir qadâ` dan qadar disebutkan dalam suatu hadis yang menjadi acuan dalam menentukan rukun iman.
8
Setidaknya terdapat tiga  paham  yang  memiliki  definisi  yang  berbeda  mengenai  takdir.  Paham  pertama
disebut Jabariyah yang —dengan menggunakan kiasan—mengatakan  bahwa manusia
8
Hadis  yang  diriwayatkan  al-Bukhari  dan  Muslim  tentang  kedatangan  Jibril  dalam  bentuk manusia  yang  menanyakan  kepada  Nabi  hal-hal  yang  berkaitan  dengan  iman,  islam,  dan  ihsan.
Diantara  poin  keimanan  disebutkan  kepercayaan  kepada  takdir,  baik  dan  buruknya.  Dikarenakan kepercayaan  kepada  takdir  tidak  secara  jelas  tertera  dalam  al-
Quran,  maka  kaum  Syi‟ah  tidak memasukkannya ke dalam rukun iman.
tidak  lain  adalah  bulu  yang  berterbangan,  mengikuti  angin  yang  membawanya  ke kanan  dan  ke  kiri.  Dengan  kata  lain  paham  ini  mendefinisikan  takdir  sebagai  telah
ditentukan  pada  zaman  azali,  manusia  hanya  bisa  menerima  ketentuan  tersebut. Paham  kedua  disebut  Qadariyah  yang  selanjutnya  diwakili  oleh  para  pengikut
Mu‟tazilah.  Paham  ini  mengatakan  bahwa  manusia  bisa  merubah  nasibnya  sendiri dengan  segala  potensi  yang  telah  diberikan  Tuhan.  Paham  ini  memahami  takdir
dalam arti harfiah, yakni batasan, yang berarti manusia tidak dapat melewati batasnya dalam  kapasitasnya  sebagai  manusia.  Batasan  ini  dapat  dilihat  dalam  fenomena
hukum alam atau sunnatullah. Paham ketiga timbul sebagai reaksi dari pertentangan kedua  paham  sebelumnya  yang  dalam  satu  sisi  menempatkan  manusia  sebagai
makhluk  yang  tak  berdaya  terhadap  ketentuan  Tuhan,  di  sisi  lain  sebagai  makhluk yang  secara  bebas  dan  dinamis  menentukan  sendiri  arah  hidupnya.  Paham  ini
dipelopori  oleh Abu al-Hasan al- Asy‟ari yang kemudian menjadi acuan dalam sekte
Ahlussunnah  wal  Jama‘ah.  Al-Asy‟ari  mengatakan  bahwa  tidak  ada  satupun  usaha manusia  yang  tidak  dikehendaki  Tuhan.  Ini  berarti  bahwa  setiap  usaha  manusia
merupakan  ciptaan  Tuhan.  Dalam  hal  ini  al- Asy‟ari menciptakan teori kasab. Yang
dimaksud  dengan  kasab  ialah  tindakan  yang  diusahakan,  seperti  berjalan,  berlari, berpikir, dan sebagainya.  Kasab ini berbeda dengan perbuatan  yang niscaya, seperti
menggigil karena kedinginan atau gemetar karena demam. Jadi, Tuhan men-ciptakan pada manusia kekuatan untuk bertindak sekaligus tindakan itu sendiri. Di tempat lain
al- Asy‟ari  mengatakan  bahwa  jika  Tuhan  dideskripsikan  berkuasa  menjadikan
sesuatu sebagai usaha manusia, Tuhan juga berkuasa memaksakan usaha tersebut.
9
9
M ulyadi  Kartanegara,  „Ilmu  Kalam‟,  dalam  Taufik  Abdullah  dkk,  Ensiklopedia  Tematis
Fakhr al-Din al-Razi merupakan mufasir Islam terkemuka pada abad keenam Hijriah. Sebagai seorang mufasir al-Razi dapat dikatakan unik dengan metodologinya
sehingga penafsirannya dapat dikategorikan baik dalam corak al- ra‘yi, ilmi, maupun
falsafi,
10
suatu  hal  yang  tentunya  jarang  terjadi  pada  masanya.  Tafsirnya  yang monumental dikenal dengan  Mafâtih al-Ghaib yang juga meru-pakan karya teologis
terbesar dari al-Razi. Dalam kitab ini al-Razi meletakkan ayat al-Quran dalam diskusi filosofis,  walaupun  ia  terkenal  sebagai  salah  seorang  penentang  keras  filsafat.  Para
pengkritiknya  seperti  Abu  Hayyan  dan  Ibn  Taymiyah  mengatakan  bahwa  di dalamnya Mafâtih al-Ghaib terdapat segala sesuatu kecuali tafsir.
11
Kritik ini justru merefleksikan  keluasan  dari  penafsiran  yang  dianggap  melenceng  sehingga
penafsirannya  tidak  dapat  dikategorikan  sebagai  penafsiran.  Di  sisi  lain,  para pembelanya  seperti  Tajuddin  al-Subki  membantah  kritik  ini  dan  mengatakan  bahwa
di dalamnya terdapat segala sesuatu disertai tafsir.
12
Disamping sebagai ahli tafsir dan fiqh, al-Razi juga merupakan seorang teolog dan  filosof.  Ibrahim  Madkour  mengatakan  bahwa  ia  adalah  filosof  Timur  yang
pertama  pada  abad  keenam  Hijriah.  Al-Razi  konsern  dalam  menggeluti  filsafat, logika,  kosmologi,  dan  metafisika.  Ia  berusaha  memadukan  agama  dan  filsafat  dan
mencampur filsafat dengan ilmu kalam teologi Islam.
13
Dengan karya-karyanya dari berbagai  disiplin  keilmuan  seperti  filsafat,  teologi,  hukum,  pengobatan,  astronomi,
Dunia Islam jilid 4, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002, cet. II, h.135-136.
10
Mohammad  Anwar  Syarifuddin,  Metodologi  Penelitian  Tafsir  Hadis:  Laporan  Penelitian Individual
—naskah tidak diterbitkan  Jakarta: FUF UIN Syahid, 2006, h. 33-34.
11
W.  Montgomery  Watt,  Islamic  Philosophy  and  Theology  Edinberg:  Edinberg  University Press, 1985, h. 94-95.
12
Ibid., h. 95.
13
Ibrahim  Madkour,  Aliran  dan  Teori  Filsafat  Islam.  Penerjemah:  Yudian  Wahyudi  Asmin Jakarta: Bumi Aksara, 1995, h. 76-77.
logika,  astrologi,  dan  fisiognomi  ilmu  firasat,  tak  dapat  disangkal  lagi  bahwa  al- Razi merupakan sarjana ulama paling terkemuka pada masanya.
14
Sebagai seorang mufasir dan juga teolog, isu takdir juga menarik perhatian al- Razi.  Ia  dihadapkan  pada  kenyataan  berbagai  pandangan  mengenai  takdir.  Uniknya,
walaupun  dikenal  sebagai  teolog  Asy‟ariyah—sebagian  juga  mengatakan Mu‟tazilah—al-Razi  tidak  mengambil  suatu  pendapat  secara  taklid  atau  membabi
buta.  Dalam  beberapa  isu  teologis  al-Razi  terlihat  memiliki  kecenderungan Mu‟tazilah, seperti dalam pertanyaan tentang sifat-sifat ketuhanan dan kemungkinan
Tuhan untuk dilihat dengan mata kepala di alam akhirat.
15
Hal ini membawa kepada kemungkinan  al-Razi  untuk  bersikap  netral  dan  sikap  ini  pula  yang  mesti  dimiliki
para ulama dan cendekiawan Islam. Beberapa  prolog  di  atas  melatarbelakangi  penulis  untuk  menyusun  skripsi
dengan judul “TAKDIR DALAM PANDANGAN FAKHR AL-DIN AL-RAZI”.
                