Kajian Mengenai Takdir Menurut al-Razi
Keeempat, mereka yang memegang pendapat bahwa manusia tidak memiliki pengaruh apakah dalam melakukan atau merubah perbuatan. Tuhanlah yang
menciptakan perbuatan dan kemampuan manusia yang berkaitan dengan perbuatan tersebut. Al-Razi menyandarkan pandangan ini pada al-
Asy‟ari. Di samping klasifikasi di atas al-Razi juga mengklasifikasi pandangan
Muktazilah kepada dua bagian: pertama, yang mempertahankan bahwa pengetahuan mengenai kebebasan manusia ialah bersifat darûrî tidak membutuhkan pemikiran.
Kedua, mereka yang mempercayai bahwa pengetahuan tersebut bersifat demonstratif membutuhkan pemikiran lebih lanjut.
144
Al-Razi memposisikan
dirinya pada
golongan pertama
dengan mengemukakan bahwa bukan saja manusia ditentukan oleh berbagai faktor internal
dan eksternal, melainkan lebih jauh perbuatan manusia sangat tergantung oleh faktor- faktor tersebut. Titik argumen al-Razi ialah pada faktor kunci yang disebutnya al-
dâ‘i faktor kausal atau penyebab yang diberi penekanan yang besar terhadapnya sebagai
agen utama dalam setiap perbuatan manusia. Faktor kausal al- dâ‘i ini tidak dapat
terjadi tanpa kapasitas manusia. Manusia tidak dapat melakukan sesuatu tanpa keputusan dan keputusan tersebut dimotifasi oleh faktor kausal yang bukan berasal
dari kapasitas manusia, melainkan berasal dari kekuatan ketuhanan. Konklusi dari pernyataan tersebut ialah bahwa dalam perbuatannya manusia ditentukan oleh faktor-
faktor yang melebihi kekuatannya dan tidak memiliki kebebasan secara total.
145
144
Ibid., h. 156-157.
145
Ibid., h. 157-158.
Al-Razi mengatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari manusia banyak hal yang berada di luar pengetahuan manusia atau sesuatu yang diabaikannya seperti
pergerakan dalam tubuh yang tidak disadarinya. Hal ini menguatkan argumen al-Razi bahwa manusia bukanlah penulis sejati dari kebiasaannya. Ide bahwa manusia
sebenar-benarnya independen dalam perbuatannya membawa pada asumsi bahwa ketika suatu perbuatan diinginkan oleh manusia tetapi tidak dikehendaki Tuhan, maka
tidak akan ada pilihan. Bagaimanapun juga kehendak Tuhan akan mengalahkan kehendak manusia dan hal ini akan menyangkal kebebasan dari kehendak manusia.
146
Sebagai seorang determinis al-Razi menghadapi banyak keberatan yang dikeluarkan oleh Muktazilah seperti pertanyaan jika manusia dideterminasi oleh
faktor-faktor di luar kekuasaannya dan tidak memiliki kemauan bebas maka untuk apa kewajiban-kewajiban yang datang dari Tuhan? Mengapa orang beriman mesti
mendapat kesenangan sebagai ganjaran dari perbuatannya dan orang kafir mesti mendapat balasan dari kekafirannya jika keimanan dan kekufuran telah ditentukan
oleh Tuhan? Bagaimana kriteria janji dan ancaman pada alam akhirat? Apa peran Nabi dalam teori predestinasi? Untuk menghadapi berbagai kesulitan tersebut al-Razi
mengambil jalan lain dalam teori al- Asy‟ari bahwa setiap kewajiban dapat
dibebankan kepada manusia meskipun berada di luar kemampuannya taklîf mâ lâ yutâq. Hal ini sama saja dengan dikatakan bahwa meskipun manusia tidak memiliki
kekuatan untuk melakukan perbuatan menurut kemauan bebasnya, dan segala sesuatu yang dia lakukan telah ditentukan oleh kekuatan ketuhanan, ia tetap diperintahkan
146
Ibid., h. 158-159.
untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu. Sebagai contoh, seseorang yang ditetapkan menjadi kafir dapat diajak untuk menjadi beriman.
147
Muktazilah tidak menerima argumen ini dalam wilayah bahwa hal itu akan membawa kita untuk membenarkan kakafiran, dan segala bentuk kejahatan sebagai
perbuatan Tuhan, dan membenarkan orang kafir dan yang berbuat kejahatan sebagai tak berdosa, di mana Tuhan di atas segala perbuatan mereka itu. Posisi ini membawa
Muktazilah pada pandangan bahwa perbuatan tercela bukan berasal dari Tuhan dan bahwa Tuhan selalu mengajak kepada kebaikan ashlah.
148
Untuk membuktikan bahwa prinsip-prinsip pembebanan dari kewajiban- kewajiban yang tidak dapat dipenuhi adalah valid, al-Razi mengemukakan beberapa
argumen lebih lanjut. Pertama, Tuhan, dengan pengetahuan-Nya yang tak terhingga, mengetahui bahwa orang kafir akan menjadi kafir. Namun demikian Tuhan tetap
memintanya untuk beriman, satu hal yang tidak dapat dilakukannya. Jika suatu waktu dia menjadi beriman, maka berarti pengetahuan Tuhan keliru dan hal ini tidak dapat
diterima. Kedua, dalam al-Quran Tuhan telah menetapkan bahwa Abu Lahab, yang semasa dengan Nabi, akan tidak beriman. Sekalipun demikian Abu Lahab tetap
diminta oleh Nabi untuk percaya pada al-Quran, yang juga berisi tentang statemen bahwa ia Abu Lahab tidak akan beriman. Jadi, Abu Lahab diminta untuk percaya
bahwa dia tidak akan beriman yang merupakan suatu kontradiksi. Ini membuktikan bahwa Abu Lahab dipaksa untuk melakukan suatu yang tidak mungkin. Ketiga,
keyakinan seseorang bergantung pada rencana-rencana atau keputusan yang
147
Ibid., h. 159-160.
148
Ibid., h. 160.
bergantung pada konsepsi. Konsepsi tidak muncul dalam pikiran pada saat menginginkan, dan bukan merupakan ciptaan manusia. Rencana bergantung pada
konsepsi yang melebihi kekuatan manusia. Rencana juga merupakan suatu hal yang dideter-minasi. Jadi, keimanan ataupun kekufuran seseorang berada di luar
kemampuannya. Keempat, bagaimana orang kafir diminta untuk meyakini suatu keyakinan yang benar dan pengetahuan tertentu, mengingat lawan dari keyakinan dan
pengetahuan tersebut, seperti kekafiran dan kelalaian telah dimudahkan untuk mereka. Jika kekafiran dan kelalaian dicari kembali kepada sebab-sebab sebelumnya
akan membawa kepada kebuntuan dari kemunduran yang tidak terbatas. Untuk memecahkan kesulitan tersebut harus diterima bahwa kelalaian dan kekafiran
diciptakan oleh Tuhan.
149
Al-Razi juga mengemukakan faktor-faktor lingkungan dan kepercayaan turun- temurun dalam menentukan pendirian manusia. Diantara faktor-faktor tersebut ialah
adat dan tradisi, kepercayaan di mana ia terdidik, pendidikan, struktur psikologi, kekuatan mental, karakteristik biologis, dan sebagainya. Menghadapi pertanyaan
meskipun seluruh faktor lingkungan ini mempengaruhi kebiasaan manusia, bisa saja dikatakan bahwa manusia dapat merasa memiliki kebebasan dan mampu melakukan
keputusan dengan cara tertentu, al-Razi menjawab bahwa kondisi yang juga termasuk kondisi yang determinan tersebut adalah bahwa faktor penyebab al-
dâ‘i tidak dapat dipertentangkan dengan hal demikian. Jika ada kesempatan merubah keadaaan bukan
berarti situasi ini berasal dari kebebasan manusia. Hal ini dalam faktanya merupakan hasil dari beberapa faktor determinan lainnya yang tak bisa dihindari. Menurutnya ide
149
Ibid., h. 160-161.
yang mengatakan bahwa manusia adalah bebas sebenar-benarnya dalam melakukan perbuatannya ialah ilusi belaka. Walaupun manusia merasa mampu melakukan
sesuatu menurut yang diinginkan, tetapi dalam faktanya manusia tidak berkehendak untuk berkehendak will to will.
150
Ekspalanasi lain al-Razi untuk membuktikan sifat predeterminasi dari perbuatan manusia ialah bahwa al-Razi menyamakan perbuatan manusia dengan
perbuatan ketuhanan. Seluruh kesatuan dan semua kemunculan dari kejadian membutuhkan faktor determinan. Dari premis ini al-Razi melanjutkan kepada
konklusi bahwa paham Jabariah yang dinyatakan menolak eksistensi Tuhan tidak dapat dibuktikan.
151
Al-Razi mengemukakan solusi dalam permasalahan paradoksial dari determinasi absolut di satu sisi dan kewajiban di sisi lain dengan mengembalikan
kepada ayat-ayat berikut yang merupakan fakta-fakta dalam al-Quran dalam ketidakmungkinan menjawab pertanyaan tersebut.
―Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya.‖
―Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.‖
― Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.‖
150
Ibid.,h. 161-162.
151
Ibid.
Poin penting lainnya dalam permasalahan takdir ialah apakah kemampuan manusia ada sebelum atau simultan dengan perbuatan manusia. Permasalahan ini
dalam Muktazilah disebut sebagai konsep istit â‘ah. Muktazilah mengatakan bahwa
istit â‘ah ada sebelum perbuatan dan di sisi lain al-Asy‟ari menyatakan bahwa
istit â‘ah secara simultan berada pada saat manusia melakukan perbuatan. Al-Razi
berada pada posisi bahwa istit â‘ah berkenaan dengan potensialitas dari tubuh untuk
melakukan perbuatan ada sebelum perbuatan, tetapi sejauh pertimbangan dari perbuatan yang berkaitan dengan faktor kausal eksternal tersebut dibutuhkan, maka
istit â‘ah berada bersamaan dengan perbuatan.
152
Al- Razi menolak teori „penerimaan‟ kasab dari al-Asy‟ari yang disebutnya
sebagai “suatu kata untuk konsep yang tanpa makna”. Al-Razi juga menolak pendapat al-Baqillani yang mengatakan bahwa kemauan manusia menggolongkan
perbuatan manusia sebagai dasar bagi ketaatan ataupun kedurhakaan kepada Tuhan. Dasar sanggahan al-Razi ialah bahwa manusia tidak memiliki kemampuan untuk
menciptakan atau mencegah faktor kausal al- dâ‘i yang mendorong kepada
perbuatan.
153
Menurut al-Razi kasab ialah objek qadar yang diciptakan dengan qadar baru atau objek qadar yang mengganti qudrah dan penciptaan adalah objek qadar dengan
qadar yang qadim, atau objek qadar yang tidak menggantikan qudrah. Dengan kata lain al-Razi menyebut kasab sebagai qudrah kemampuan dan iradah kemauan
sebagai realitas baru. Iradah inilah yang menyebabkan seseorang menerima taklif
152
Ibid., h. 163.
153
Ibid., h. 162.
atau tanggung jawab dan barang siapa yang tidak memiliki iradah maka ia akan terlepas dari tanggung jawab. Qudrah haditsah kemampuan temporal merupakan
persoalan substansial dzâtiah yang ada pada seseorang sebelum dan pada saat melakukan perbuatan. Al-Razi tidak menolak pendapat yang mengatakan bahwa
qudrah kemampuan bisa diterapkan pada dua hal yang berlawanan. Penekanan al- Razi ialah bahwa qudrah haditsah kemampuan temporal semata tidak mencukupi
untuk menciptakan, tetapi harus diikuti oleh kondisi dan syarat tertentu, yang tanpa itu perbuatan tidak akan terjadi.
154
Dari penekanan al-Razi terhadap faktor-faktor di luar kekuatan manusia inilah Yassin Ceylan menyebut al-Razi sebagai seorang determinis.
155
Al-Razi sangat realistis dalam eksplanasinya terhadap berbagai macam kondisi yang berpengaruh
terhadap keyakinan dan tingkah laku seseorang. Komentarnya terhadap sifat-sifat dari bukti-bukti dogmatis dan aturan-aturannya merepre-sentasikan kedalaman dari garis
pemikirannya. Hal yang seperti ini akan sulit ditemukan pada para teolog setelahnya. Secara persuasif fakta-fakta ini menunjukkan bahwa al-Razi merupakan seorang free
thinker sejati dalam kerangka dari nilai-nilai yang tersedia baginya.
156
Terlihat dari penafsiran dan berbagai tulisan lainnya al-Razi memainkan perannya sebagai teolog
dan filosof. Al-Razi membela akal melebihi Muktazilah. Dalam setiap tulisannya al-
154
Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, h. 191-192.
155
Paham determinisme menyatakan bahwa pilihan manusia dikuasai oleh kondisi sebelumnya. Seluruh alam, termasuk manusia, merupakan rangkaian yang tak terputuskan dari hukum
sebab akibat.
156
Yasin Ceylan, Theology and Tafsir..., h. 165.
Razi selalu ingin memadukan antara akal dan naql , karena baginya “mengkritik akal
untuk mengoreksi naql mengkonsekuensikan mengkritik akal”.
157