Analisis keterkaitan antara pola pengalokasian anggaran dengan kinerja pembangunan di provinsi Jawa Barat

(1)

ABSTRAK

AGUS SUNARTO. Analisis Keterkaitan Antara Pola Penganggaran Dengan Kinerja Pembangunan di Wilayah Jawa Bagian Barat. Dibimbing oleh SUNSUN SAEFULHAKIM dan NOER AZAM ACHSANI.

Adanya sumber daya yang terbatas, maka diperlukan pengalokasian anggaran yang cermat sehingga model pengalokasian anggaran yang tertuang dalam APBD diharapkan akan dapat mempengaruhi secara optimal kinerja pembangunan yang dilaksanakan masing-masing daerah. Dalam konteks spasial, sudah barang tentu terjadi keterkaitan antar daerah dimana masing-masing daerah tersebut terjadi saling mempengaruhi. Kinerja pembangunan suatu daerah akan dipengaruhi oleh pola alokasi anggaran belanja dan keterkaitan masing-masing daerah.

Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Menganalisis dan memetakan konfigurasi spasial pola pengalokasian anggaran belanja daerah. 2) Menganalisis dan memetakan konfigurasi spasial kinerja pembangunan daerah. 3) Menganalisis peran struktur alokasi anggaran belanja dan keterkaitan antar daerah untuk optimalisasi kinerja pembangunan daerah.

Penelitian dilakukan di wilayah Jawa bagian barat yang meliputi tiga propinsi yaitu: Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten. Agar lebih terfokus kepada suatu permasalahan , maka penelitian menitikberatkan kepada indikator kinerja pembangunan di bidang perekonomian dengan tanpa bermaksud mengecilkan indikator-indikator bidang lainnya. Satuan wilayah analisis diukur untuk masing-masing kabupaten/kota. Untuk menjawab tujuan 1, dilakukan perhitungan analisis belanja bidang per kapita, analisis belanja bidang per luas wilayah (km2), analisis persentase PAD terhadap total belanja, persentase belanja tak terduga dan indeks diversitas pola penganggaran (entropi). Tujuan 2 dengan menghitung persentase PAD terhadap total penerimaan, rataan persentase laju pertumbuhan ekonomi, PDRB perkapita dan PDRB perluas lahan. Sedangkan tujuan 3 menggunakan input dari hasil analisis penganggaran dan analisis kinerja pembangunan. Analisis ini menggunakan tiga metode yaitu multiple regressive, spatial auto regresive dan spatial durbin model.

Belanja yang berpengaruh secara nyata terhadap kinerja pembangunan adalah: Total Belanja, Bidang Administrasi Pemerintahan, Perikanan, Perindustrian dan Perdagangan, Lingkungan Hidup, Kependudukan, Olah Raga, Kepariwisataan, Pertanian, Pertambangan Dan Energi, Perkoperasian, Ketenagakerjaan, Kesehatan, Pendidikan dan Kebudayaan, Sosial, Permukiman, Pekerjaan Umum, Perhubungan, Kehutanan dan Perkebunan, Penataan Ruang dan Penanaman Modal. Sedangkan berdasarkan tingkat produktifitas ekonomi dan tingkat pertumbuhan ekonomi, maka wilayah Jawa bagian barat dapat diklasifikasikan dalam enam macam tipologi. Meskipun semakin besar penganggaran maka kinerja pembangunan makin baik, tetapi hasil analisis menunjukkan bahwa wilayah yang menspesialisasikan diri ke dalam sektor tertentu akan memperoleh nilai yang lebih. Sedangkan bentuk-bentuk keterkaitan antar daerah masih kurang dalam meningkatkan kinerja pembangunan sehingga perlu upaya untuk lebih meningkatkan keterkaitan antar daerah yang mendorong kinerja pembangunan.


(2)

PENGANGGARAN DENGAN KINERJA PEMBANGUNAN

DI WILAYAH JAWA BAGIAN BARAT

AGUS SUNARTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Keterkaitan Antara Pola Penganggaran Dengan Kinerja Pembangunan Di Wilayah Jawa Bagian Barat adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Maret 2007

Agus Sunarto


(4)

ABSTRAK

AGUS SUNARTO. Analisis Keterkaitan Antara Pola Penganggaran Dengan Kinerja Pembangunan di Wilayah Jawa Bagian Barat. Dibimbing oleh SUNSUN SAEFULHAKIM dan NOER AZAM ACHSANI.

Adanya sumber daya yang terbatas, maka diperlukan pengalokasian anggaran yang cermat sehingga model pengalokasian anggaran yang tertuang dalam APBD diharapkan akan dapat mempengaruhi secara optimal kinerja pembangunan yang dilaksanakan masing-masing daerah. Dalam konteks spasial, sudah barang tentu terjadi keterkaitan antar daerah dimana masing-masing daerah tersebut terjadi saling mempengaruhi. Kinerja pembangunan suatu daerah akan dipengaruhi oleh pola alokasi anggaran belanja dan keterkaitan masing-masing daerah.

Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Menganalisis dan memetakan konfigurasi spasial pola pengalokasian anggaran belanja daerah. 2) Menganalisis dan memetakan konfigurasi spasial kinerja pembangunan daerah. 3) Menganalisis peran struktur alokasi anggaran belanja dan keterkaitan antar daerah untuk optimalisasi kinerja pembangunan daerah.

Penelitian dilakukan di wilayah Jawa bagian barat yang meliputi tiga propinsi yaitu: Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten. Agar lebih terfokus kepada suatu permasalahan , maka penelitian menitikberatkan kepada indikator kinerja pembangunan di bidang perekonomian dengan tanpa bermaksud mengecilkan indikator-indikator bidang lainnya. Satuan wilayah analisis diukur untuk masing-masing kabupaten/kota. Untuk menjawab tujuan 1, dilakukan perhitungan analisis belanja bidang per kapita, analisis belanja bidang per luas wilayah (km2), analisis persentase PAD terhadap total belanja, persentase belanja tak terduga dan indeks diversitas pola penganggaran (entropi). Tujuan 2 dengan menghitung persentase PAD terhadap total penerimaan, rataan persentase laju pertumbuhan ekonomi, PDRB perkapita dan PDRB perluas lahan. Sedangkan tujuan 3 menggunakan input dari hasil analisis penganggaran dan analisis kinerja pembangunan. Analisis ini menggunakan tiga metode yaitu multiple regressive, spatial auto regresive dan spatial durbin model.

Belanja yang berpengaruh secara nyata terhadap kinerja pembangunan adalah: Total Belanja, Bidang Administrasi Pemerintahan, Perikanan, Perindustrian dan Perdagangan, Lingkungan Hidup, Kependudukan, Olah Raga, Kepariwisataan, Pertanian, Pertambangan Dan Energi, Perkoperasian, Ketenagakerjaan, Kesehatan, Pendidikan dan Kebudayaan, Sosial, Permukiman, Pekerjaan Umum, Perhubungan, Kehutanan dan Perkebunan, Penataan Ruang dan Penanaman Modal. Sedangkan berdasarkan tingkat produktifitas ekonomi dan tingkat pertumbuhan ekonomi, maka wilayah Jawa bagian barat dapat diklasifikasikan dalam enam macam tipologi. Meskipun semakin besar penganggaran maka kinerja pembangunan makin baik, tetapi hasil analisis menunjukkan bahwa wilayah yang menspesialisasikan diri ke dalam sektor tertentu akan memperoleh nilai yang lebih. Sedangkan bentuk-bentuk keterkaitan antar daerah masih kurang dalam meningkatkan kinerja pembangunan sehingga perlu upaya untuk lebih meningkatkan keterkaitan antar daerah yang mendorong kinerja pembangunan.


(5)

ANALISIS KETERKAITAN ANTARA POLA

PENGANGGARAN DENGAN KINERJA PEMBANGUNAN

DI WILAYAH JAWA BAGIAN BARAT

AGUS SUNARTO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2007


(6)

Judul Tesis : Analisis Keterkaitan Antara Pola Pengalokasian Anggaran dengan Kinerja Pembangunan di Propinsi Jawa Barat

Nama : Agus Sunarto

NRP : A. 253050014

Program Studi : Perencanaan Wilayah (PWL)

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. H. R. Sunsun Saefulhakim, M.Agr Dr. Ir. Noer Azam Achsani, M.S.

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan

Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pasca Sarjana

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Prof. Dr. Ir. Khoiril Anwar Notodiputro, M.S.


(7)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah pola penganggaran dan hubungan antar daerah kaitannya dengan kinerja pembangunan, dengan judul Analisis Keterkaitan Antara Pola Pengalokasian Anggaran dengan Kinerja Pembangunan di Propinsi Jawa Barat.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. H. R. Sunsun Saefulhakim, M.Agr dan Bapak Dr. Ir. Noer Azam Achsani, M.S. selaku pembimbing yang telah mencurahkan segenap waktu dan pikiran dan banyak memberi masukan dan saran dalam penulisan karya ilmiah ini, Dr. Ir. Setia Hadi Hakim sebagai penguji luar komisi yang memberi masukan bagi kelengkapan penulisan, Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) Sekolah Pascasarjana IPB atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan. Rasa terima kasih yang mendalam penulis sampaikan kepada Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan atas ijin yang telah diberikan untuk mengikuti pendidikan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Pusbindiklatren Bappenas yang telah memberikan beasiswa kepada penulis selama mengikuti pendidikan.

Penulis mengucapkan terima kasih juga kepada teman-teman di Kelas Khusus Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah tahun 2005 atas segala bantuannyanya, serta langkah-langkah penuh keceriaan dan kenangan di kampus IPB yang tak akan terlupakan. Tak lupa, penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih kepada ayah, ibu, mertua, istri, anak-anakku tersayang, serta seluruh keluarga atas segala doa, kasih sayang, serta pengorbanan yang telah diberikan selama ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2007


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sleman pada tanggal 3 Februari 1973 dari ayah Basri dan ibu Sholihah. Penulis merupakan putra pertama dari empat bersaudara. Buah dari perkawinannya dengan Widi Widayanti pada tahun 2000, penulis mendapatkan dua putra yang bernama Fuad Hawari Winarto (6 tahun) dan Akmal Hidayat Winarto (1 tahun).

Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah Menengah Pertama diselesaikan penulis di tempat kelahirannya Sleman. Sekolah Menengah Atas ditempuh di kota Yogyakarta. Sedangkan pendidikan sarjana ditempuh pada Jurusan Teknik Eloktro Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada yang ditamatkan pada tahun 1998.

Pada tahun 2005, penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Program Pascasarjana IPB pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL). Beasiswa pendidikan diperoleh dari Pusbindiklatren Bappenas.

Setelah lulus dari Jurusan Teknik Elektro, penulis diterima bekerja di lingkungan Departemen Keuangan pada akhir tahun 1998 dan tempat tugas pertama penulis adalah Direktorat Jenderal Anggaran (DJA), Depkeu pada Pusat Pengolahan Data dan Informasi Anggaran Bandung. Selanjutnya pada tahun 2000, penulis dialihtugaskan ke Direktorat Informasi dan Evaluasi Anggaran Jakarta (masih di lingkungan DJA). Tahun 2004, penulis kembali alih tugas ke tempat yang baru di Badan Pengkajian Ekonomi Keuangan dan Kerjasama Internasional (BAPEKKI) pada Pusat Pengkajian Ekonomi Keuangan. Pada tahun 2006 BAPEKKI berganti nama menjadi Badan Kebijakan Fiskal (BKF). Tempat kedudukan terakhir penulis saat ini sebagai staf pada Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan sampai dengan sekarang.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

DAFTAR SINGKATAN... xvii

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Batasan Penelitian ... 3

1.3. Hipotesis Penelitian ... 3

1.4. Tujuan Penelitian... 4

1.5. Lingkup Penelitian ... 4

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembangunan Daerah /Wilayah ... 5

2.1.1. Pembangunan Ekonomi Daerah ... 6

2.2. Pengukuran Kinerja Pembangunan Daerah ... 7

2.2.1. Indikator-Indikator Kinarja Pembangunan ... 8

2.2.1.1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ... 9

2.3. Anggaran Pendapatan Daerah (APBD) ... 11

2.3.1. Pendapatan Asli Daerah ... 12

2.3.2. Dana Bagi Hasil ... 16

2.3.3. Dana Alokasi Umum ... 17

2.3.4. Dana Alokasi Khusus ... 17

2.4. Interaksi Spasial 2.4.1. Teori/Model-Model Interaksi Spasial ... 17

2.4.1.1. Model Grafitasi... 18

2.4.1.2. Analisis Diversitas (Entropi)... 19

2.4.1.3. Linear Programming Transport Model... 20

2.4.2. Spatial Econometrics... 22

2.4.2.1. Spatial Autoregressive Model ... 22

2.5. Sistem Informasi Geografis... 24

2.6. Identifikasi Penciri Utama: Principal Components Analysis (PCA)... 26

3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian ... 36

3.2. Kerangka Pemikiran ... 36

3.3. Kerangka Pendekatan ... 38

3.3.1. Analisis Konfigurasi Spasial Kinerja Pembangunan Daerah ... 39

3.3.1.1. Laju Pertumbuhan Ekonomi... 40


(10)

3.3.1.3. Struktur Perkonomian/ Indeks Diversivikasi 9

Sektor... 42

3.3.1.4. Indeks Daya Saing aktifitas Ekonomi ... 43

3.3.1.5. Pendapatan Perkapita ... 43

3.3.1.6. Variabel-Variabel Yang Diturunkan Dari Data APBD ... 44

3.3.2. Ananlisis Konfigurasi Spasial Pola Pengalokasian Anggaran Belanja Daerah ... 44

3.3.2.1. Penyusunan Variabel Pola Pengalokasian Anggaran Daerah ... 45

3.3.2.2. Analisis Komponen Utama ... 47

3.3.3. Analisis Hubungan Fungsional Antara Konfigurasi Spasial Pola Pengalokasian Anggaran Belanja Daerah Dengan Konfigurasi Spasial Kinerja Pembangunan Daerah ... 48

3.3.4. Analisis Deskripsi Logika Verbal ... 51

3.4. Pengumpulan Data ... 55

4. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN... 57

4.1. Propinsi Jawa Barat ... 57

4.1.1. Geografi... 57

4.1.2. Topografi ... 58

4.1.3. Iklim ... 58

4.1.4. Populasi ... 58

4.1.5. Sosial Budaya ... 59

4.2. Propinsi Banten ... 59

4.2.1. Letak Geografis dan Ekosistem ... 60

4.2.2. Iklim dan Curah Hujan ... 61

4.2.3. Kependudukan ... 61

4.3. Propinsi DKI Jakarta ... 62

4.3.1. Iklim ... 62

4.3.2. Kondisi Geologis ... 63

4.3.3. Letak Geografis ... 63

4.3.4. Ekonomi ... 63

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pola Penganggaran ... 65

5.1.1. APBD Belanja per Kapita ... 65

5.1.2. APBD Belanja per Luas Wilayah ... 69

5.1.3. Belanja Tidak Tersangka ... 74

5.1.4. Indeks Diversitas Pola Penganggaran ... 75

5.2. Kinerja Pembangunan Daerah ... 78

5.2.1. Persentase PAD Terhadap Total Penerimaan ... 78

5.2.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi ... 81

5.2.3. PDRB Per Kapita ... 82

5.2.4. PDRB per Luas Lahan ... 83

5.2.5. PCA Variabel-variabel Kinerja Pembangunan ... 84


(11)

5.3. Hubungan Antara Pola Penganggaran dan Keterkaitan Antar Daerah

dengan Kinerja Pembangunan ... 91 5.3.1. Pengujian Tingkat Produktifitas Ekonomi ... 92

5.3.1.1. Model Pertama dengan Analisis Multiple

Regressive Model... 92 5.3.1.2. Model Kedua dengan Spatial Auto Regressive

Model... 94 5.3.1.2.1. Pembobot Spasial Matriks

Ketetanggaan ... 95 5.3.1.2.2. Pembobot Spasial Matriks

Kebalikan Jarak Centroid ... 96 5.3.1.2.3. Pembobot Spasial Matriks Aliran

Barang ... 96 5.3.1.3. Model Ketiga dengan Analisis Spatial Durbin

Model ... 97 5.3.1.3.1. Pembobot Spasial Matriks

Ketetanggaan ... 97 5.3.1.3.2. Pembobot Spasial Matriks

Kebalikan Jarak Centroid ... 100 5.3.1.3.3. Pembobot Spasial Matriks Aliran

Barang ... 101 5.3.2. Pengujian Laju Pertumbuhan Ekonomi... 104 5.4. Faktor-Faktor Penyusunan Anggaran yang Mempengaruhi Kinerja

Pembangunan ... 106 6. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

6.1. Simpulan ... 110 6.2. Implikasi Kebijakan ... 112 7. DAFTAR PUSTAKA ... 113


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Tabel 3.1. Data-data APBD untuk menyusun variabel proxy kinerja

pembangunan daerah ... 49 2. Tabel 3.3 : MatrikTujuan Penelitian, Data, Sumber Data, Pendekatan

Analisis dan Output yang diharapkan ... 60 3. Tabel.3.4. Kebutuhan Data Penelitian ... 62 4. Tabel 3.5. Peraturan perundangan ... 63 5. Tabel 5.1. Eigenvalues. Extraction: Principal components APBD

Bidang per jumlah penduduk ... 65 6. Tabel 5.2. Factor loading dan communalities APBD Bidang per

kapita ... 67 7. Tabel 5.3. Eigenvalues. Extraction: Principal components APBD

Bidang per luas wilayah ... 69 8. Tabel 5.4. Factor loading dan communalities APBD Bidang per luas

wilayah ... 71 9. Tabel 5.5. Tipologi wilayah berdasarkan pola penganggaran ... 73 10. Tabel 5.6. Hasil Perhitungan variabel-variabel Pola Penganggaran dari

APBD Belanja ... 77 11. Tabel 5.7. Variabel-variabel Kinerja Pembangunan ... 80 12. Tabel 5.8. Eigenvalues. Extraction: Principal components

:Variabel-variabel Kinerja Pembangunan ... 84 13. Tabel 5.9. Factor loading dan communalities variabel-variabel

Kinerja Pembangunan ...……… 85 14. Tabel 5.10. Nilai factor scores hasil PCA variabel-variabel kinerja

pembangunan ... 86 15. Tabel 5.11. Kategori daerah berdasarkan tingkat produktifitas dan

tingkat pertumbuhan ... 88 16. Tabel 5.12. Hasil regresi berganda variabel tingkat produktifitas


(13)

17. Tabel 5.13. Hasil Spatial Auto Regressive Model Y1 dengan pembobot

spasial matriks ketetanggaan ... 95 18. Tabel 5.14. Hasil Spatial Auto Regressive Model Y1 dengan pembobot

spasial matriks kebalikan jarak ... 96 19. Tabel 5.15. Hasil Spatial Auto Regressive Model dengan pembobot

spasial matriks aliran barang ... 97 20. Tabel 5.16. Hasil Spatial Durbin Model variabel Y1 dengan pembobot

spasial matriks ketetanggaan ... 98 21. Tabel 5.17. Hasil Spatial Durbin Model terhadap Y1 dengan pembobot

spasial matriks kebalikan jarak centroid ... 101 22. Tabel 5.18. Hasil Spatial Durbin Model terhadap Y1 dengan pembobot

spasial matriks aliran barang ... 102 23. Tabel 5.19. Rangkuman hasil analisis pengujian tingkat produktifitas

ekonomi (Y1) dan tingkat pertumbuhan ekonomi (Y2) ... 105

24. Tabel 5.20. Hasil PCA Communalities dan factor loading keterkaitan antara belanja APBD kabupaten/kota terhadap sektor-sektor


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Gambar 3.1. Diagram alir kerangka pemikiran penelitian... 37

2. Gambar 3.2. Diagram alir kerangka pendekatan penelitian ... 39

3. Gambar 3.3. Bagan alir analisis konfigurasi spasial kinerja pembangunan daerah ... 40

4. Gambar 3.4. Diagram alir analisis konfigurasi spasial Pola Pengalokasian Anggaran ... 45

5. Gambar 3.5. Diagram alir kerangka analisis hubungan fungsional antara pola pengalokasian anggaran dan kinerja pembangunan ... 56

6. Gambar 3.6. Kerangka analiasis untuk memberi rekomendasi pola pengalokasian anggaran untuk optimalisasi kinerja pembangunan ... 59

7. Gambar 5.1. Plot eigenvalues APBD Bidang perkapita ... 66

8. Gambar 5.2. Pola Spasial belanja administrasi dan produksi perkapita. ... 68

9. Gambar 5.3. Pola Spasial belanja penanaman modal perkapita ... 68

10. Gambar 5.4. Plot eigenvalues APBD bidang per luas wilayah ... 70

11. Gambar 5.5. Pola Spasial Factor Scores I (belanja sarana prasarana) APBD Bidang per luas wilayah ... 72

12. Gambar 5.6. Pola spasial factor scores II (belanja tata ruang dan hutbun) APBD bidang per luas wilayah ... 72

13. Gambar 5.7. Pola spasial tipologi wilayah berdasarkan pola penganggaran ... 74

14. Gambar 5.8. Pola spasial persentase belanja tidak tersangka terhadap total belanja APBD ... 75

15. Gambar 5.9. Pola spasial indeks entropi APBD Belanja Bidang ... 76

16. Gambar 5.10. Grafik Persentase PAD terhadap Total Penerimaan tahun 2003 ... 79


(15)

17. Gambar 5.11. Pola spasial % PAD terhadap total Penerimaan tahun

2003 ... 79

18. Gambar 5.12. Pola spasial laju pertumbuhan ekonomi ... 81

19. Gambar 5.13. Pola spasial PDRB per kapita tahun 2004 ... 82

20. Gambar 5.14. Pola spasial PDRB per luas lahan tahun 2004 ... 83

21. Gambar 5.15. Plot eigenvalues variabel-variabel kinerja pembangunan ... 84

22. Gambar 5.16. Pola spasial kategori daerah berdasarkan tingkat produktifitas 87 23. Gambar 5.17. Pola spasial kategori daerah berdasarkan tingkat pertumbuhan 87 24. Gambar 5.18. Grafik plot antara variabel produktifitas ekonomi dan variabel pertumbuhan ekonomi ... 88

25. Gambar 5.19. Pola spasial kategori daerah berdasarkan Tingkat Produktifitas (Y1) dan Tingkat Pertumbuhan (Y2) ... 89

26. Gambar 5.20. Pola spasial indeks diversitas struktur ekonomi PDRB 9 sektor ... 90

27. Gambar 5.21. Pola spasial nilai error analisis Spatial Durbin Model menggunakan matriks ketetanggaan. ... 99


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. PDRB kabupaten/kota di provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten tahun 2004 atas dasar harga konstan 2000 menurut lapangan usaha ( juta rupiah ) ... 115 2. PDRB kabupaten/kota di provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten

tahun 2000 atas dasar harga konstan 2000 menurut lapangan usaha ( juta rupiah ) ... 116 3. Matriks ketetanggaan/ batas administrasi kabupaten/kota di Provinsi DKI

Jakarta, Jawa Barat dan Banten ... 117 4. Matriks kebalikan jarak antar centroid kabupaten/kota di Provinsi DKI

Jakarta, Jawa Barat dan Banten ... 118 5. Matriks data aliran barang kabupaten/kota di Provinsi DKI Jakarta, Jawa

Barat dan Banten ... 119 6. Lampiran 6 : Pengujian Tingkat Produktifitas Ekonomi (Y1)

6.1. Model Pertama dengan Analisis Multiple Regressive Model ... 120 6.2. Model Kedua dengan Analisis Spatial Auto Regressive Model

6.2.1. Menggunakan Matriks W1 (Ketetanggaan) ... 121

6.2.2. Menggunakan Matriks W2 (Kebalikan Jarak) ... 122

6.2.3. menggunakan matriks W2 (Data Aliran Barang) ... 123

6.3. Model Ketiga dengan analisis Spatial Durbin Model

6.3.1. Menggunakan Matriks W1 (Ketetanggaan) ... 124

6.3.2. Menggunakan Matriks W2 (Kebalikan Jarak) ... 125

6.3.3. menggunakan matriks W2 (Data Aliran Barang) ... 126

7. Lampiran 7 : Pengujian Tingkat Pertumbuhan Ekonomi (Y2)

7.1. Model Pertama dengan Analisis Multiple Regressive Model ... 127 7.2. Model Kedua dengan Analisis Spatial Auto Regressive Model


(17)

7.2.2. Menggunakan Matriks W2 (Kebalikan Jarak) ... 129

7.2.3. menggunakan matriks W2 (Data Aliran Barang) ... 130

7.3. Model Ketiga dengan analisis Spatial Durbin Model

7.3.1. Menggunakan Matriks W1 (Ketetanggaan) ... 131

7.3.2. Menggunakan Matriks W2 (Kebalikan Jarak) ... 132


(18)

DAFTAR SINGKATAN

APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah BUMD : Badan Usaha Milik Daerah

CAR : Conditional Auto Regresssions DAK : Dana Alokasi Khusus

DAK DR : Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi DAK Non-DR : Dana Alokasi Khusus Non Dana Reboisasi DAU : Dana Alokasi Umum

DBH : Dana Bagi Hasil

DKI : Daerah Khusus Ibukota LPE : Laju Pertumbuhan Ekonomi

LQ : Location Quotient

MREG : Multiple Regressive

PAD : Pendapatan Asli Daerah

PCA : Principal Components Analysis PDB : Produk Domestik Bruto

PDRB : Produk Domestik Regional Bruto

PEMDA : Pemerintah Daerah

PODES : Potensi Desa

SAR : Spatial Auto Regressive SDM : Spatial Durbin Model SIG : Sistem Informasi Geografis


(19)

BAB I. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Sejak tahun 2001 pemerintah bertekad untuk melaksanakan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang kemudian direvisi menjadi Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua undang-undang tersebut mengandung semangat otonomi daerah dan desentralisasi pemerintahan sebagai upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pelayanan umum dalam kerangka pemberdayaan pembangunan daerah secara berkesinambungan.

Agar desentralisasi sesuai yang diharapkan, maka perlu memperhatikan beberapa hal. Menurut Seabright (1996), beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan desentralisasi adalah : 1)Desentralisasi merupakan bentuk tanggung jawab pemerintah terhadap pembangunan wilayah yang beragam; 2)Desentralisasi yang diterapkan harus juga memperhatikan dampak eksternalitas antar wilayah; 3)Jika dalam wilayah tidak cukup homogen, maka desentralisasi menjadi tidak menguntungkan; 4)Sentralisasi dapat lebih menguntungkan tergant ung dari kondisi yang ada; 5)Kebijakan untuk memberi wewenang kepada suatu wilayah, tingkatannya sangat bergantung dengan kondisi wilayah tersebut, sehingga bisa bervariasi dari kasus ke kasus.

Dalam rangka mengemban misi dan tugas yang terkandung dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 33 tahun 2004, Pemerintah daerah diberikan sejumlah kewenangan dan sumber pembiayaan baik yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan yang terdiri dari bagi hasil, alokasi dana umum dan alokasi dana khusus, pinjaman dan lain-lain pendapatan yang sah.

APBD sebagai salah satu kebijakan pembangunan tahunan yang mencerminkan dukungan PEMDA terhadap pembangunan daerah, mekanisme


(20)

penyusunan, penetapan, pelaksanaan, pengawasan, dan pertanggungjawabannnya telah diatur dalam UU nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dengan mengalokasikan anggaran ke dalam sektor yang tepat maka kinerja pembangunan akan lebih dapat ditingkatkan.

Model pengalokasian anggaran yang tertuang dalam APBD diharapkan akan dapat mempengaruhi kinerja pembangunan yang dilaksanakan masing-masing daerah. Agar mempermudah dalam melakukan penilaian kinerja pembangunan maka dibuat suatu indikator kinerja yang merupakan ukuran kuantitatif level pencapaian dan daya tumbuh yang dimiliki oleh masing-masing daerah.

Indikator-indikator kinerja tersebut dibangun atas dasar variabel-variabel penting yang dianggap bisa menggambarkan tingkat perkembangan dan pertumbuhan atau mampu menjelaskan tingkat ukuran kinerja pembangunan daerah dapat dirumuskan dengan indeks/rasio. Indeks/rasio tersebut diantaranya adalah : 1) Bidang perekonomian : diukur dengan tingkat laju pertumbuhan ekonomi, struktur perekonomian, pendapatan perkapita, tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, tingkat pemerataan pendapatan,tingkat daya beli, tingkat tabungan masyarakat, tingkat investasi, realisasi penerimaan APBD, dan lain-lainnya. 2) Bidang ketertiban umum: diukur dari jenis kasus kejahatan, konflik, kecelakaan, dan lain-lainnya. 3)Bidang kesehatan : jumlah penduduk sakit, tingkat kematian, tingkat harapan hidup, angka kelahiran, dan lain-lainnya. 4) Bidang pendidikan : diukur dengan tingkat pendidikan, angka putus sekolah, rataan lama sekolah, angka buta dan melek huruf, dan lain-lainnya. 5)Bidang tata ruang, lingkungan dan pemerintahan umum : diukur dengan kepadatan penduduk, rumah prmanen dan non permanen, penyimpangan penggunaan lahan dari rencana tata ruang, tingkat ketersediaan ruang terbuka hijau, pencemaran lingkungan, dan lain-lainnya.

Dipilih wilayah Jawa bagian barat sebagai obyek penelitian dilatarbelakangi oleh hal-hal sebagai berikut: 1)merupakan salah satu pusat pertumbuhan/pusat industri di Indonesia;2)terdapat 29 kabupaten/kota sehingga secara statistik cukup untuk suatu analisis;3)memiliki tingkat variasi PDRB antar kab/kota yang cukup tinggi (PDRB tahun 2004).


(21)

1.2. Batasan Penelitian

Agar lebih terfokus kepada suatu permasalahan, maka penelitian menitikberatkan kepada indikator kinerja pembangunan di bidang perekonomian dengan tanpa bermaksud mengecilkan indikator-indikator bidang lainnya. Satuan wilayah pengukuran kinerja pembangunan diukur untuk masing-masing kabupaten/kota, dengan wilayah penelitian meliputi Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten.

1.3Hipotesis Penelitian

Perhitungan pendapatan dengan menggunakan metode/pendekatan pengeluaran adalah menjumlahkan semua pengeluaran, baik yang dilakukan oleh rumah tangga konsumen (C), rumah tangga swasta / produsen (I), rumah tangga pemerintah (G), dan eksport netto (X-M) sehingga pola penganggaran pemerintah adalah termasuk dalam pengeluaran pemerintah (G). Wilayah Jawa bagian barat memiliki kondisi daerah yang sangat bervariasi (berdasarkan PDRB tahun 2004), sehingga besarnya pengaruh dari pola penganggaran terhadap kinerja pembangunan satu daerah tergantung dari kondisi daerah bersangkutan. Berdasarkan latar belakang, kerangka pemikiran, dan hal-hal tersebut di atas, maka sebagai hipotesis dalam penelitian ini adalah :

1. Peran pemerintah yang diwujudkan dalam pola penganggaran untuk optimalisasi kinerja pembangunan adalah:

a. Untuk daerah maju: pola penganggaran berpengaruh sangat kecil karena untuk daerah yang sudah maju pada umummya faktor-faktor konsumsi, investasi dan ekspor sudah cukup besar.

b. Untuk daerah sedang: pola penganggaran cukup memberi pengaruh. c. Untuk daerah tertinggal: pengaruh pola penganggaran sangat sangat

besar karena pengaruh dari faktor-faktor konsumsi, investasi dan ekspor masih sangat kecil.

2. Interaksi spasial/ interaksi antar wilayah yang baik dan mendorong kinerja pembangunan adalah interaksi yang menuju keberimbangan, yaitu keberimbangan dalam hal sumber daya manusia, sumber daya alam dan sumber daya buatan.


(22)

1.4Tujuan Penelitian

1. Menganalisis dan memetakan konfigurasi spasial pola pengalokasian anggaran belanja daerah.

2. Menganalisis dan memetakan konfigurasi spasial kinerja pembangunan daerah.

3. Menganalisis peran struktur alokasi anggaran belanja dan keterkaitan antar daerah untuk optimalisasi kinerja pembangunan daerah.

1.5. Lingkup Penelitian

Penelitian yang dilakukan akan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pembangunan suatu daerah yaitu: 1)Pola pengalokasian anggaran suatu daerah, 2)Pola pengalokasian anggaran daerah sekitarnya, dan 3)Kinerja pembangunan daerah lain disekitarnya. Dengan kata lain kinerja pembangunan suatu daerah tidak hanya dipengaruhi oleh pola pengalokasian anggaran daerah yang bersangkutan, tetapi akan dipengaruhi oleh kondisi daerah lain di sekitarnya dalam hal ini adalah pola pengalokasian anggaran dan kinerja pembangunan daerah di sekitarnya. Hal ini dapat diilustrasikan dengan contoh sederhana : bila di kabupaten tetangga terdapat fasilitas rumah sakit maka kabupaten yang bersangkutan tidak perlu membangun rumah sakit karena penduduknya dapat ikut menggunakan rumah sakit tersebut.


(23)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pembangunan Daerah/Wilayah

Sejalan dengan perkembangan dan dinamika masyarakat, maka konsep perencanaan dan pelaksanaan pembangunan dilakukan dengan pendekatan wilayah. Menurut Rustiadi et al (2004) wilayah didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik (tertentu) dimana komponen-komponen wilayah tersebut (sub wilayah) satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Sedangkan menurut Undang-Undang nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Suatu wilayah terkait dengan beragam aspek, sehingga definisi baku mengenai wilayah belum ada kesepakatan di antara para ahli. Berdasarkan fungsinya wilayah dibedakan menjadi tiga bentuk yaitu wilayah homogen, wilayah nodal, dan wilayah perencanaan.

Strategi pengembangan suatu wilayah sangat ditentukan oleh karakteristik dan potensi yang terdapat di wilayah tersebut. Oleh karena itu, sebelum melakukan perumusan kebijakan yang akan dilaksanakan perlu diketahui tipe/jenis wilayahnya. Dengan mengetahui ciri suatu wilayah, maka dapat dirumuskan kebijakan yang tepat dilakukan dalam pengembangan wilayah.

Pada era otonomi daerah saat ini, maka salah satu konsep pengembangan wilayah yang perlu mendapat perhatian adalah pengembangan ekonomi wilayah. Oleh karena itu konsep pengembangan ekonomi wilayah harus berorientasi pada pertumbuhan ekonomi wilayah dengan menggali potensi produk unggulan daerah. Salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam kegiatan pengembangan wilayah adalah menyusun perencanaan wilayah. Menurut Tarigan (2004) perencanaan wilayah adalah perencanaan penggunaan ruang wilayah (termasuk perencanaan pergerakan di dalam wilayah) dan perencanaan kegiatan pada ruang wilayah tersebut. Perencanaan penggunaan ruang wilayah diatur dalam bentuk perencanaan tata ruang wilayah, sedangkan perencanaan kegiatan dalam wilayah


(24)

diatur dalam perencanaan pembangunan wilayah. Tata ruang wilayah merupakan landasan dan juga sekaligus sasaran dari perencanaan pembangunan wilayah. Perencanaan pembangunan wilayah tidak mungkin terlepas dari apa yang sudah ada saat ini di wilayah tersebut. Aktor/pelaku pembangunannya adalah seluruh masyarakat yang ada di wilayah tersebut termasuk di dalamnya pemerintah daerah serta pihak-pihak luar yang ingin melakukan kegiatan di wilayah tersebut. Paling tidak terdapat dua peran pemerintah daerah yang cukup penting dalam pembangunan wilayah yakni sebagai pengatur atau pengendali (regulator) dan sebagai pemacu pembangunan (stimulator). Dana yang dimiliki pemerintah dapat digunakan sebagai stimulan untuk mengarahkan investasi swasta atau masyarakat umum ke arah yang diinginkan oleh pemerintah.

Salah satu pendekatan dalam perencanaan pembangunan menurut Tarigan (2004) adalah pendekatan sektoral. Pendekatan sektoral dilakukan dengan mengelompokkan kegiatan pembangunan kedalam sektor-sektor. Selanjutnya masing-masing sektor dianalisis satu persatu untuk menetapkan apa yang dapat dikembangkan atau di tingkatkan dari sektor-sektor tersebut guna lebih mengembangkan wilayah.

2.1.1. Pembangunan Ekonomi Daerah

Salah satu aspek yang perlu mendapat perhatian dalam pelaksanaan pembangunan daerah adalah aspek ekonomi. Menurut Arsyad (1999) pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut.

Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya – sumberdaya yang ada dan membentuk kemitraan antara pemerintah daerah dan sector swasta untuk menciptakan lapangan kerja baru dan menumbuhkan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) daerah tersebut. Dalam kebijakan pembangunan ekonomi


(25)

daerah penekanannya didasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan (endogenous development) dengan menggunakan potensi sumberdaya manusia dan sumberdaya fisik secara lokal.

Agar pembangunan ekonomi tersebut dapat mencapai sasaran sesuai dengan tujuan, yaitu meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja dan pertumbuhan ekonomi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka diperlukan suatu strategi pembangunan yang tepat. Program pembangunan di kebanyakan negara sedang berkembang sering lebih ditekankan pada pembangunan prasarana untuk mempercepat pembangunan sektor produktif, hal ini dimaksudkan guna meningkatkan produktivitas barang dan jasa sehingga PDP/PDRB negara/daerah tersebut juga akan meningkat, oleh karena itu PDB/PDRB merupakan salah satu indikator yang digunakan dalam mengukur pertumbuhan ekonomi suatu negara/daerah.

Sejalan dengan terjadinya pergeseran paradigma dalam pembangunan ekonomi, maka ukuran keberhasilan pembangunan ekonomi juga mengalami pergeseran, tidak hanya dari aspek pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) atau kenaikan pendapatan per kapita penduduknya namun lebih jauh lagi ke arah perkembangan masyarakat. Menurut Arsyad (1999), pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu negara dalam jangka panjang, yang disertai oleh perbaikan sistem kelembagaan. Jadi pembangunan ekonomi harus dipandang sebagai suatu proses dimana saling keterkaitan dan saling mempengaruhi antara faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pembangunan ekonomi tersebut dapat diidentifikasi dan dianalisis dengan seksama.

2.2. Pengukuran Kinerja Pembangunan Daerah

Pertumbuhan ekonomi merupakan alat ukur kinerja pembangunan yang mudah dilakukan dan sangat populer. Namun demikian pertumbuhan ekonomi yang pesat tersebut, jika disertai munculnya berbagai masalah berupa penurunan distribusi pendapatan, peningkatan jumlah pengangguran, peningkatan keluarga dibawah garis kemiskinan, serta pengrusakan sumbar daya alam akan sangat


(26)

berbahaya. Adanya permasalahan-permasalahan tersebut memaksa para pakar pembangunan di tahun 70-an mulai mengkaji ulang tolok ukur tersebut bukan hanya pertumbuhan PDB, tatapi harus disertai beberapa tolok ukur lain Dari berbagai pendekatan yang ada, setidaknya terdapat tiga kelompok cara dalam menetapkan indikator pembangunan, yakni : 1) indikator berbasis tujuan pembangunan. 2) indikator berbasis kapasitas sumber daya, dan 3)indikator berbasis proses pembangunan(Rustiadi et al. 2004).

2.2.1.Indikator-Indikator Kinerja Pembangunan

Indikator merupakan ukuran kuantitatif dan atau kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, indikator kinerja harus merupakan sesuatu yang akan dihitung dan diukur serta digunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat tingkat kinerja, baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan maupun tahap setelah kegiatan selesai dan berfungsi (Rustiadi et al. 2004).

Dalam pembangunan, keberlanjutan merupakan salah satu asas yang sangat penting karena prinsip pembangunan adalah menjamin ketersediaan kebutuhan hidup manusia di waktu sekarang maupun yang akan datang. Penerapan pembangunan berkelanjutan yang kompleks dapat disederhanakan dengan penggunaan sejumlah indikator yang tepat. Ketepatan indikator yang dipilih menentukan pada penilaian akhir karena indikator bersifat spesifik untuk masing-masing kondisi. Pemilihan banyaknya indikator pun perlu diperhitungkan karena jika terlalu banyak tidak saja akan memakan biaya dan waktu yang banyak, tetapi juga dapat mengaburkan fokus yang ingin dicapai. Sebaliknya bila terlalu sedikit, dirasakan adanya kelemahan, bahkan kekeliruan dalam menerjemahkan keadaan. Karena itu penetapan sekumpulan indikator yang tepat untuk menggambarkan pembangunan berkelanjutan menjadi satu tugas yang sulit.

Indikator-indikator kinerja tersebut dibangun atas dasar variabel-variabel penting yang dianggap bisa menggambarkan tingkat perkembangan dan pertumbuhan atau mampu menjelaskan tingkat ukuran kinerja pembangunan daerah dapat dirumuskan dengan indeks/rasio. Indeks/rasio tersebut diantaranya


(27)

adalah : 1) Bidang perekonomian : diukur dengan tingkat laju pertumbuhan ekonomi, struktur perekonomian, pendapatan perkapita, tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, tingkat pemerataan pendapatan (indeks gini), tingkat daya beli, tingkat tabungan masyarakat, tingkat investasi, perdagangan luar negeri (ekspor impor), imdeks harga bangunan, realisasi penerimaan APBD, dll. 2) Bidang ketertiban umum: diukur dengan luas wilayah dan jumlah penduduk berdasarkan jenis konflik/kejadian, penduduk berdasarkan jenis kasus/kejadian,kecelakaan, kebakaran hutan dll. 3)Bidang kesehatan : jumlah penduduk sakit, tingkat kematian, tingkat harapan hidup, angka kelahiran, dll. 4) Bidang pendidikan : diukur dengan tingkat pendidikan, angka putus sekolah, rataan lama sekolah, angka buta dan melek huruf, dll. 5)Bidang tata ruang, lingkungan dan pemerintahan umum : diukur dengan kepadatan penduduk, rumah prmanen dan non permanen, penyimpangan penggunaan lahan dari rencana tata ruang, tingkat ketersediaan ruang terbuka hijau, pencemaran lingkungan, dll (Saefulhakim, 2005).

2.2.1.1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Dalam perekonomian setiap negara, masing-masing sektor tergantung pada sektor yang lain, satu dengan yang lain saling memerlukan baik dalam tenaga, bahan mentah maupun hasil akhirnya. Sektor industri memerlukan bahan mentah dari sektor pertanian dan pertambangan, hasil sektor industri dibutuhkan oleh sektor pertanian dan jasa-jasa. Untuk menghasilkan suatu barang atau jasa diperlukan barang lain yang disebut faktor produksi. Total nilai barang dan jasa yang diproduksi di wilayah (regional) tertentu dalam waktu tertentu (satu tahun) dihitung sebagai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dapat dikatakan sebagai ukuran produktifitas wilayah yang paling umum diterima secara luas sebagai standar ukuran pembangunan dalam skala wilayah. Oleh karenanya, walaupun memiliki berbagai kelemahan, PDRB dinilai sebagai tolok ukur pembangunan yang paling operasional dalam skala negara di dunia (Rustiadi et al. 2004).


(28)

Pada dasarnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan Produk Domestik Bruto (PDB) didefinisikan hampir sama hanya size geografi saja yang membedakan pemahamannya, PDB diartikan sebagai nilai barang-barang dan jasa-jasa yang diproduksikan di dalam Negara tersebut dalam satu tahun tertentu, sedangkan PDRB didefinisikan sebagai keseluruhan jumlah barang dan jasa final (final goods and sevices) yang diproduksi oleh suatu daerah pada suatu periode waktu tertentu.

Apabila PDRB diukur dengan harga berlaku saat ini, maka hasil perhitungannya disebut dengan PDRB nominal sehingga jika pada suatu kondisi harga – harga dalam perekonomian meningkat menjadi dua kali lipat maka PDRB nominal juga akan meningkat dua kali lipat meskipun masyarakat tidak menikmati adanya keuntungan dari peningkatan dua kali lipat PDRB ini. Karenanya PDRB nominal seringkali bukan merupakan indikator yang baik dalam mengukur perekonomian suatu daerah.

Sedangkan jika PDRB diukur berdasarkan harga konstan pada tahun dasar tertentu maka hasil perhitungannya disebut dengan PDRB Riil. “ Riil merefleksikan ukuran dimana barang dan jasa diukur pada harga yang tetap, sehingga perhitungan pertumbuhan jika jumlah barang benar – benar berubah, dengan kata lain suatu riil PDRB yang meningkat dua kali lipat menggambarkan jumlah final produk yang dihasilkan oleh suatu daerah memang meningkat dua kali lipat.

Cara perhitungan PDRB dapat diperoleh melalui 3 (tiga) pendekatan, yaitu: pendekatan produksi, pendekatan pendapatan dan pendekatan pengeluaran, yang selanjutnya dijelaskan sebagai berikut:

a. Menurut pendekatan produksi, PDRB adalah jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu (satu tahun). Unit-unit produksi tersebut dalam penyajiannya, dikelompokkan menjadi 9 (sembilan) sektor atau lapangan usaha, yaitu: Pertanian, Pertambangan dan Penggalian, Industri Pengolahan, Listrik, Gas dan Air Bersih, Bangunan, Perdagangan, Hotel dan Restoran, Pengangkutan dan Komunikasi, Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan, Jasa-jasa.


(29)

b. Menurut pendekatan pengeluaran, PDRB adalah penjumlahan semua komponen permintaan akhir, yaitu:

1. Pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak mencari untung.

2. Konsumsi pemerintah.

3. Pembentukan modal tetap domestik bruto. 4. Perubahan stok.

5. Ekspor netto, dalam jangka waktu tertentu (satu tahun). Ekspor netto adalah ekspor dikurangi impor.

c. Menurut pendekatan pendapatan, PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi dalam suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu (satu tahun). Balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah upah dan gaji, sewa rumah, bunga modal dan keuntungan. Semua hitungan tersebut sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak lainnya.

PDRB sebagai tolok ukur pembangunan mempunyai beberapa kelemahan yang mendasar, yaitu : kegiatan perbaikan atau kerusakan lingkungan pada gilirannya akan dihitung sebagai tambahan terhadap PDRB. Hal ini terhitung karena adanya upah yang harus dibayar kepada tukang sampah atau petugas perbaikan lingkungan lainnya. Di lain pihak, pengeluaran-pengeluaran sebagai gaji petugas kebersihan lingkungan tersebut pada dasarnya merupakan biaya (cost) yang harus dibayar atas rusaknya lingkungan (Rustiadi et al. 2004).

2.3. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah. Menurut Undang-undang nomor 32 tahun 2004, APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah.

Bentuk dan hubungan keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah semenjak berlakunya otonomi daerah meliputi hubungan desentralisasi, dekonsentrasi, tugas pembantuan, dan pinjaman daerah. Penyelenggaraan urusan


(30)

pemerintah daerah dalam rangka desentralisasi didanai melalui APBD, urusan pemerintah pusat yang dilaksanakan oleh gubernur/bupati /walikota dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi didanai melalui APBN, sedangkan dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan didanai atas beban anggaran pemerintah yang menugaskan. Sumber-sumber pendanaan pemerintah daerah sesuai UU 33 Tahun 2004 terdiri atas Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah, dan Lain-Lain Pendapatan Yang Sah.

Dana Perimbangan merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN. Terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Perimbangan selain dimaksudkan untuk membantu daerah dalam mendanai kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintah antara pusat dan daerah. serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintah antardaerah.

Pinjaman daerah merupakan salah satu sumber pembiayaan yang bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Pembiayaan yang bersumber dari pinjaman harus dikelola secara benar agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi keuangan daerah sendiri serta stabilitas ekonomi dan moneter secara nasional.

2.3.1. Pendapatan Asli Daerah

Menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah menyatakan : PAD bersumber dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan Lain-lain PAD yang sah.

Lain-lain PAD yang sah meliputi hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, dan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.


(31)

Dari pernyataan kedua pasal di atas diketahui bahwa sumber-sumber penerimaan Pendapatan Asli Daerah meliputi Pajak Daerah, Retribusi Daerah, pengelolaan kekayaan Daerah, Laba Perusahaan Milik Daerah dan lain-lain pendapatan yang sah.

2.3.1.1. Pajak Daerah

Menurut Pasal 1 ayat 6 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah mengatakan bahwa Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut pajak, adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan Daerah dan pembangunan Daerah.

Pajak merupakan sumber umum penerimaan Pemerintah yang hampir tidak berubah dan benar-benar dijaga oleh Pemerintah Pusat. Pembagian hasil penerimaan ini dengan cara penyerahan atau pembagian adakalanya dicantumkan dalam undang-undang. Beberapa cara Pemerintah Daerah di negara kesatuan memperoleh penerimaan yang berasal dari pajak pendapatan sebagian karena dimungkinkan oleh sistem pajak nasionalnya dan lainnya karena perbedaan dasar pajak yang ditetapkan. Pengaturan pembagian hasil pajak yang dimaksud antara lain dicantumkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yaitu pada pasal yang menerangkan tentang pembagian hasil Pajak Bumi dan Bangunan dan Perolehan Hak atas Bumi dan Bangunan.

Sistem pajak pendapatan nasional memiliki ciri - ciri umum tertentu, yang membedakan antara pajak yang dikenal atas penghasilan perorangan dan laba yang diperoleh sebuah perusahaan. Penetapan bagi pajak perorangan dengan cara mengenakan pajak atas pendapat hasil seseorang setelah dikurangi biaya-biaya dan potongan yang biasanya berbeda antara satu keluarga dengan yang lainnya. Pajak perusahaan dikenakan atas laba yang diperoleh suatu perusahaan setelah diperhitungkan dana untuk penyusutan. Pajak pendapatan perorangan biasanya


(32)

bersifat progresif sedangkan tingkat pajak yang berbeda dikenakan terhadap laba suatu perusahaan yang biasanya dimulai dari prosentase yang lebih tinggi. Tingkat pajak perorangan seringkali dibedakan antara pendapatan dan penghasilan yang diperoleh seseorang akan tetapi bukan merupakan suatu pendapatan dimana yang terakhir ini tingkat pajaknya dikenakan lebih tinggi. Tunjangan yang diberikan kepada perorangan (personal allowances) adalah untuk meringankan golongan berpenghasilan rendah. Bagi negara-negara berkembang hal ini secara efektif memberikan keringanan untuk sebagian terbesar dari jumlah penduduknya. Dalam hal ini administrasi pajak pendapatan nasional secara nyata memusatkan perhatian pada gaji di sektor formal yang diterima oleh pegawai pemerintah, swasta dan laba atas perusahaan.

2.3.1.2. Retribusi Daerah

Pasal 1 ayat 26 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 menyatakan bahwa Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan pribadi atau badan.

Berhubungan dengan retribusi daerah, Pemerintah Daerah hendaknya dapat mengembangkan inisiatif dan upaya untuk meningkatkan penerimaan retribusi daerah. Upaya ini antara lain dilakukan dengan cara memberikan pelayanan publik secara profesional dan mampu memberikan kepuasan kepada setiap penerima pelayanan. Hal ini menjadi penting untuk dipertimbangkan secara cermat dan komprehensif bagaimana teknis penerimaan tersebut dibarengi dengan kemampuan memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Dalam konteks pengelolaan sumber-sumber penerimaan Pendapatan Asli Daerah dari jenis retribusi tentu mempunyai konsekuensi yang harus dipikirkan oleh Pemerintah Daerah. Artinya, Pemerintah Daerah tidak boleh hanya memikirkan bagaimana memperoleh penerimaan yang sebesar-besarnya dari pemungutan retribusi, tetapi Pemerintah Daerah pun harus bertanggungjawab atas konsekuensi pemungutan retribusi tersebut. Dalam hal ini persoalannya adalah


(33)

bagaimana biaya yang dikeluarkan untuk memberikan pelayanan dengan tingkat pemasukan yang diterima dari pemungutan retribusi atas pelayanan tersebut.

2.3.1.3. Laba Usaha Daerah

Adanya Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) serta penyertaan modal Daerah ke dalam berbagai bentuk usaha patungan merupakan upaya Pemerintah Daerah untuk memperbanyak sumber Pendapatan Asli Daerah. Dengan membentuk badan usaha Pemerintah Daerah tentu berharap dapat memperoleh pendapatan yang lebih.

Dengan demikian, masing-masing Daerah dapat mengembangkan potensi perekonomian Daerah melalui badan usaha yang dikelolanya. Adapun ciri pokok dari perusahaan daerah adalah adanya kesatuan produksi (regional) dalam arti luas termasuk memberi jasa, menyelenggarakan kemanfaatan umum dan memupuk pendapatan.

Jenis usaha yang dikelolah Pemerintah Daerah sangat beraneka ragam. Hal ini tergantung pada kebutuhan dan kemampuan masing-masing Daerah. Semakin banyak potensi dan peluang usaha yang dapat dikembangkan, maka semakin besar pula kesempatan untuk meningkatkan kontribusi laba usaha Daerah terhadap Pendapatan Asli Daerah.

2.3.1.4. Lain-lain Pendapatan yang sah

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah menjelaskan : Lain-lain PAD yang sah meliputi Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, dan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.

Berbeda dengan pengelolaan pajak daerah, retribusi daerah dan laba usaha milik daerah, pengelolaan lain-lain penerimaan Pendapatan Asli Daerah yang sah ini tampaknya sangat terbatas dan sumbernya pun bersifat khusus, seperti misalnya hibah, penjualan asset tetap Daerah, dan jasa giro. Perhitungan terhadap


(34)

pengelolaan sumber-sumber penerimaan seperti ini tentu kurang optimal bagi perumusan kebijakan keuangan Daerah. Namun demikian, hal terpenting dalam menganalisis kinerja keuangan Daerah adalah bagaimana secara kreatif masing-masing Daerah dapat mengembangkan atau memperluas penerimaan dari lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah, dengan tetap memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini tergantung pada kemampuan dan kreativitas Daerah dalam menilai potensi sumber-sumber penerimaannya, termasuk dalam mengelola sistem keuangannya.

2.3.2. Dana Bagi Hasil

Dana Perimbangan yang berasal dari Dana Bagi Hasil (DBH) bersumber dari penerimaan pajak dan sumber daya alam. Untuk mengurangi kesenjangan vertikal (vertical imbalance) antara pusat dan daerah dilakukan sistem bagi hasil penerimaan pajak dan bukan pajak antara pusat dan daerah. Pola bagi hasil penerimaan ini dilakukan dengan persentase tertentu yang didasarkan atas daerah penghasil.

2.3.3. Dana Alokasi Umum

Tujuan dari Dana Alokasi Umum adalah untuk mengurangi ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan dan penguasaan pajak antara Pusat dan Daerah . Jumlah total DAU dialokasikan sebesar minimal 26 persen dari pendapatan dalam negeri netto yang telah ditetapkan dalam APBN (Pasal 27 UU 33/2004). Dengan dana perimbangan ini, diharapkan akan memberikan kepastian bagi pemerintah daerah dalam memperoleh sumber-sumber pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawabnya.

Kebutuhan DAU oleh suatu daerah ditentukan dengan menggunakan pendekatan fiscal gap, dimana kebutuhan DAU suatu daerah ditentukan oleh kebutuhan daerah (fiscal need) dan potensi daerah (fiscal capacity). Berdasarkan konsep fiscal gap ini, distribusi DAU kepada daerah-daerah yang memiliki kemampuan relatif lebih besar akan lebih kecil dan sebaliknya daerah-daerah yang


(35)

mempunyai kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh DAU yang besar.

2.3.4. Dana Alokasi Khusus

Dana Alokasi Khusus adalah dana yang disediakan di dalam APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus. Sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999 jo PP Nomor 104 Tahun 2000, DAK dialokasikan kepada daerah untuk memenuhi kebutuhan khusus dengan memperhatikan ketersediaan dana dari APBN. Kriteria kebutuhan khusus tersebut meliputi, pertama, kebutuhan yang tidak dapat diperhitungkan dengan menggunakan rumus alokasi umum, kedua, kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional, dan ketiga, kebutuhan untuk membiayai kegiatan reboisasi dan penghijauan oleh daerah penghasil. Berdasarkan kriteria kebutuhan khusus tersebut, DAK dibedakan atas DAK dana reboisasi (DAK DR) dan DAK non-dana reboisasi (DAK Non-DR).

2.4. Interaksi Spasial

2.4.1. Teori/Model-Model Interaksi Spasial

Interaksi spasial adalah istilah umum mengenai pergerakan spasial dan aktifitas-aktifitas manusia dan model interaksi spasial yang paling umum digunakan adalah model gravitasi. Dua prinsip pokok interaksi spasial adalah:

1. Mesin penggerak dari pergerakan dan interaksi adalah kekuatan dorong-tarik dari supply-demand.

2. Penghambat pergerakan dan interaksi adalah pengaruh “friction dan distance”.

Interaksi antara dua tempat (dua kala) dipengaruhi oleh produksi yang dihasilkan oleh masyarakat di dua tempat tersebut, jarak antara dua tempat tersebut dan besarnya pengaruh jarak dua tempat tersebut.

Interaksi antar wilayah merupakan suatu mekanisme yang menggambarkan dinamika yang terjadi disuatu wilayah karena aktivitas yang dilakukan oleh


(36)

sumberdaya manusia di dalam suatu wilayah. Aktivitas-aktivitas yang dimaksudkan mencakup di antaranya mobilitas kerja, migrasi, arus informasi dan arus komoditas, mobilitas pelajar dan aktifitas-aktifitas konferensi, seminar, lokakarya atau kegiatan sejenisnya, pemanfaatan fasilitas pribadi dan atau fasilitas umum, bahkan tukar menukar pengetahuan.

2.4.1.1. Model Gravitasi

Model grafitasi adalah salah satu model yang umum dipakai di dalam menjelaskan fenomena interaksi antar wilayah. Model gravitasi merupakan salah satu alat analisis yang memungkinkan kita menjelaskan keberadaan kegiatan pada suatu lokasi. Model gravitasi adalah model yang paling banyak digunakan untuk melihat besarnya daya tarik dari suatu potensi yang berada pada suatu lokasi. Model ini sering digunakan untuk melihat kaitan potensi suatu lokasi dan besarnya wilayah pengaruh dari potensi tersebut.

Model ini pada dasarnya merupakan bentuk analogi fenomena Hukum Fisika Gravitasi Newton yang dikembangkan untuk ilmu sosial. Dalam perkembangnnya model gravitasi lebih lanjut, interaksi antar dua wilayah i dan j

dimodelkan sebagai fungsi dari massa kedua wilayah mi dan mj, serta jarak antar

kedua wilayah dij, sebagai berikut:

c ij

j i ij

d

m

m

k

T

β α

=

dimana:

Tij : Interaksi spasial i dan j (perjalanan, arus barang/orang, dll)

mi : massa wilayah asal i (populasi, PDRB, rasio lahan urban,dll), push factor

mj : massa wilayah tujuan j (populasi, PDRB, rasio lahan urban, dll), pull

factor

dij : jarak antar wilayah i dan j (jarak jalan, waktu tempuh, ongkos perjalanan, dll)

α, β, c: koefisien peubah massa wilayah asal i, massa wilayah tujuan j dan jarak d k : konstanta


(37)

Penyelesaian dari persamaan diatas dapat dipecahkan dengan pendekatan fungsi regresi linier dengan terlebih dahulu mentranformasikan persamaaan diatas ke dalam bentuk logaritma natural (ln), sehingga menjadi:

ij

d

c

j

m

i

m

k

ij

T

ln

ln

ln

ln

ln

=

+

α

+

β

Nilai parameter-parameter yang dihasilkan dari analisis di atas dapat menggambarkan karakteristik suatu wilayah. Wilayah dengan nilai α lebih besar dari β, menunjukkan karakter wilayah produksi, dimana kegiatan interaksi wilayah terutama ditimbulkan oleh aktivitas produksi di wilayah tersebut. Sedangkan wilayah dengan β yang lebih tinggi dari α adalah karakteristik wilayah pasar. Daya tarik pasar menjadi faktor daya tarik yang dominan di dalam interaksi antar sub-wilayah di wilayah tersebut. Nilai c menunjukkan elastisitas perubahan interaksi (Tij) untuk setiap perubahan/peningkatan jarak, artinya, terdapat dampak

yang tinggi dari setiap perubahan jarak (aksesibilitas) terhadap interaksi antar-wilayah.

2.4.1.2. Analisis Diversitas (Entropi)

Perkembangan suatu sistem dapat dipahami dari semakin meningkatnya jumlah komponen system serta penyebaran (jangkauan spasial) komponen sistem tersebut. Kedua hal tersebut pada dasarnya bermakna peningkatan kuantitas komponen serta perluasan hubungan spasial dari komponen di dalam sistem maupun dengan sistem luar. Artinya suatu sistem dikatakan berkembang jika jumlah dari komponen/aktifitas sistem tersebut bertambah atau aktifitas dari komponen sistem tersebar lebih luas. Perluasan jumlah komponen aktifitas ini dapat dianalisis dengan menghitung indeks diversifikasi dengan konsep entropi.

Prinsip pengertian indeks entropi ini adalah semakin beragam aktifitas atau semakin luas jangkauan spasial, maka semakin tinggi entropi wilayah. Artinya wilayah tersebut semakin berkembang.

Persamaan umum entropi salah satunya adalah adalah Shanon entropi index

sebagai berikut :


(38)

Pi n

i

=1

= 1 (Proporsi)

dimana : Pi adalah peluang yang dihitung dari persamaan :

Xi Xi

Dalam identifikasi tingkat perkembangan sistem dengan konsep entropi ini berlaku bahwa makin tinggi nilai entropi maka tingkat perkembangan suatu system akan semakin tinggi. Nilai entropi itu sendiri selalu lebih besar atau paling tidak sama dengan 0 ( S ≥ 0 ). Wilayah dengan nilai S paling tinggi dibanding yang lain adalah merupakan wilayah yang paling berkembang. Sektor yang terdapat disemua lokasi (nilai S merata) kurang memusat jika dibandingkan sektor yang nilai S nya tidak merata.

2.4.1.3. Linear Programming Transport Model

Linear Programming merupakan teknik matematis untuk menemukan keputusan optimum dengan memperhatikan kendala (contraints) tertentu dalam bentuk ketidaksamaan linear yang dinyatakan dalam bentuk variabel-variabel tertentu. Optimasi menyangkut masalah maksimisasi atau minimisasi.

Jika variabel x dan y adalah fungsi dari z, maka nilai z maksimum apabila setiap pergerakan dari titik itu menyebabkan menurunnya nilai nilai x dan begitu sebaliknya.

Apabila biaya dan harga per unit berubah bersama besarnya output, masalah itu bukan merupakan masalah linear, tetapi jika keduanya tidak berubah bersama output masalahnya adalah masalah linear.

Dengan demikian linear programming dapat didefinisikan sebagai suatu metode untuk menetapkan kombinasi optimal faktor-faktor untuk memproduksi

output tertentu atau kombinasi optimal produk yang akan diproduksi. Asumsi linear programming:

1. Adanya kendala tertentu atau keterbatasan sumber tertentu, misalnya kredit, bahan mentah, keterbatasan ruang.


(39)

3. Hubungan linear antara berbagai variabel yang mencerminkan adanya proporsi yang konstan antara input dan output didalam suatu proses.

4. Harga dan koefisien input dan output adalah tertentu dan konstan dan keduanya dapat diketahu dengan pasti.

5. Sumber total yang dipakai harus sama dengan jumlah sumber yang dipakai oleh masing-masing perusahaan.

6. Faktor kelembagaan diasumsikan konstan.

Penggunaan linear programming dalam perencanaan misalnya dalam pemilihan alternatif optimum dan minimisasi biaya pada suatu lokasi tertentu. Berbagai masalah transportasi dalam memecahkan masalah angkutan seperti: pemilihan rute, transportasi barang, alokasi alat transportasi yang digunakan.

Keterbatasan linear programming:

1. Tidak mudah menetapkan fungsi tujuan tertentu.

2. Tidak mudah menemukan adanya berbagai kendala sosial, kelembagaan, finasial yang mungkin menghambat pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.

3. Kendala-kendala tersebut tidak dapat dinyatakan secara langsung sebagai ketidaksamaan linear.

4. Jika masalah diatas dapat diatasi, masalah pokoknya adalah memperkirakan nilai yang relevan dari berbagai koefisien konstan yang masuk kedalam masalah linear programming yaitu populasi, harga dan sebagainya.

5. Kebanyakan hubungan adalah nonlinier, sedangkan linear programming diasumsikan hubungan input dan output.

6. Teknik ini mengasumsikan adanya persaingan murni dalam produk dan pasar faktor.

Teknik yang terdapat dalam linear programming adalah sama dengan teknik yang dipergunakan di dalam analisa input-output industri.


(40)

2.4.2. Spatial Econometrics

Menurut LeSage (1999), berhubungan dengan masalah data spasial, ada 2 hal yang perlu diperhatikan dalam masalah data yang berhubungan dengan komponen lokasi, yaitu:

1) ketergantungan spasial (spatial dependence): pengamatan pada suatu lokasi tergantung pula pada lokasi yang lain.

yi= f(yj), i = 1, . . . , n j ≠i

2) spatial heterogeneity : variasi hubungan antar tempat

yi= Xiβi+ εi

dimana Xi adalah explannatory variable berupa vektor yang diasosiasikan

dengan parameter βi, yi adalah dependent variable dalam observasi (atau

lokasi).

Karena regresi biasa kurang mengakomodir masalah-masalah yang berhubungan dengan komponen lokasi tersebut, maka dikembangkan regresi spasial untuk mngakomodirnya.

2.4.2.1. Spatial autoregressive models

Prinsip dasar Spatial Autoregressive Model mirip dengan regresi berbobot (weighted regression), dengan variable yang menjadi pembobot adalah faktor lokasi. Kedekatan dan keterkaitan antar lokasi ini menyebabkan munculnya fenomena ‘autokorelasi spasial’. Spatial autoregressive merupakan pengembangan dari regresi sederhana, yang digunakan untuk data spasial. Misalnya untuk mengetahui tingkat perkembangan di suatu wilayah selain dipengaruhi veriabel bebas (hasil olah PCA) juga dipengaruhi oleh variable lain, yaitu hubungan spasial.

Spatial Autoregressive Model ini digunakan untuk membuat model pendugaan terhadap nilai dari variabel penjelas. Prasyarat dalam analysis Spatial Autoregressive Model adalah sample harus independent. Untuk itu sebelum dilakukan model ini, data harus diolah terlebih dahulu salah satunya dengan


(41)

menggunakan PCA (Principal Component Analysis).

Data yang digunakan untuk variabel bebas (x) berasal dari komponen utama hasil pengolahan PCA. Representasi faktor lokasi pada spatial autoregressive model dalam bentuk matriks kedekatan yang disebut matriks pembobot spasial. Untuk perhitungan matriks pembobot spasial (W) yang paling umum digunakan adalah ketetanggaan (batas wilayah) antar kabupaten/kota (kontiguity) dan fungsi jarak antar wilayah misalnya kebalikan jarak antar kabupaten/kota. Tidak menutup kemungkinan, pembobot spasial (W) juga menggunakan aspek-aspek lain misalnya : aliran komoditas barang antar wilayah atau aliran kendaraan antar wilayah

Rumus umum Spatial Autoregressive Model adalah sebagai berikutl:

r r n

k

r k k n

k

r k k

r

W

Y

W

X

X

Y

=

α

+

ρ

+

ρ

+

β

+

ε

=

= 1

. 2 1

. 1

dimana :

Yr : Fungsi tujuan/peubah respon/dependent variable , misalnya Kinerja

Pembangunan Daerah r

α

,

β

: Konstanta/koefisien fungsi regresi

ρ1.k

: Koefisien regresi

W

k : Matriks pembobot spasial antar wilayah

ρ2.k

: Konstanta/koefisien regresi

X : Variabel bebas/peubah penjelas/independent variabel misalnya: pola pengalokasian anggaran

n : banyaknya jenis pembobot spasial

Seperti dalam Kelley (1997), bahwa teknik econometrics dibagun dari data-data yang terikat oleh observasi dari waktu ke waktu. Secara nyata, ketergantungan data yang melibatkan observasi antar ruang sedikit mendapat perhatian. Meskipun demikian ada beberapa teknik untuk mengakomodasi data spasial tersebut diantaranya adalah Spatial Auto Regressions (SAR), Conditional Auto Regresssions (CAR), dan kriging. Dalam operasi ekonometrics diperlukan perhitungan-perhitungan determinan, invers, dan perkalian matriks (n x n) dimana


(42)

n adalah jumlah observasi yang dilakukan.Karenanya, sering terjadi proses estimasi spasial memerlukan sebanyak n3 operasi. Sehingga bila jumlah data sangat banyak akan memerlukan proses komputasi yang cukup berat. Untuk matriks yang banyak elemen nol (0) atau disebut matriks jarang (sparse matrix), teknik matriks jarang akan mengurangi alokasi memori yang diperlukan dan mempercepat waktu komputasi. Salah satu perangkat lunak yang mendukung operasi matriks jarang adalah MATLAB.

2.5. Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan suatu sistem (berbasiskan komputer) yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi geografis. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan dan menganalisis obyek-obyek dan fenomena-fenomena dimana lokasi geografis merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Dengan demikian SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan dalam menganalisis data yang berreferensi geografis, yaitu masukan, keluaran, manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data) serta analisis dan manipulasi data.

SIG memungkinkan pengguna untuk memahami konsep-konsep lokasi, posisi, koordinat, peta, ruang dan permodelan spasial secara mudah. Selain itu dengan SIG pengguna dapat membawa, meletakkan dan menggunakan data yang menjadi miliknya sendiri ke dalam sebuah bentuk (model) representasi miniatur permukaan bumi untuk kemudian dimanipulasi, dimodelkan atau dianalisis baik secara tekstual, secara spasial maupun kombinasinya (analisis melalui query

atribut dan spasial), hingga akhirnya disajikan dalam bentuk sesuai dengan kebutuhan pengguna.


(43)

2.6. Identifikasi Penciri Utama: Principal Components Analysis (PCA)

2.6.1.Tujuan Dasar

Ada dua tujuan dasar dari PCA , yakni:

1. Ortogonalisasi Variabel: mentransformasikan suatu struktur data dengan variabel-variabel yang saling berkorelasi menjadi struktur data baru dengan variabel-variabel baru (yang disebut sebagai Komponen Utama atau Faktor) yang tidak saling berkorelasi.

2. Penyederhanaan Variabel: banyaknya variabel baru yang dihasilkan, jauh lebih sedikit dari pada variabel asalnya, tapi total kandungan informasinya (total ragamnya) relatif tidak berubah.

2.6.2.Manfaat Pokok

Ada dua manfaat pokok dari PCA, yakni:

1. Salah satu asumsi (prasyarat) dasar yang membolehkan penggunaan analisis regresi berganda (pendugaan parameter struktur hubungan linier antara satu variabel tujuan dengan lebih dari satu variabel penjelas), atau Analisis Fungsi Diskriminan (pendugaan parameter struktur hubungan linier antara satu variabel pengelompokan dengan lebih dari satu variabel penjelas perbedaan antar kelompok), adalah tidak terjadinya apa yang disebut dengan multicollinearity (fenomena saling berkorelasi antar variabel penjelas). Dengan demikian, PCA dapat membantu kita dalam menyelesaikan permasalahan multicollinearity ini.

2. Menyajikan data dengan struktur yang jauh lebih sederhana tanpa kehilangan esensi informasi yang terkandung didalamnya, maka kita akan lebih mudah memahami, mengkomunikasikan, dan menetapkan prioritas penanganan terhadap hal-hal yang lebih pokok dari struktur permasalahan yang kita hadapi. Dengan demikian efisiensi dan efektifitas penanganan permasalahan dapat lebih ditingkatkan.

2.6.3.Konsep Dasar PCA

Secara sederhana, Gambar 2.1 mengilustrasikan konsep dasar PCA, yakni: pentransformasian variabel-variabel yang dapat diukur (observable) yang satu


(44)

sama lain saling berkorelasi (multicollinearity) ke dalam variabel-variabel yang tak dapat diukur (unobservable) yang satu sama lain tidak saling berkorelasi (orthogonal) yang disebut komponen utama.

Y

1

Y

2

Gambar 2.1: Ilustrasi Konsep Dasar PCA Notasi yang digunakan pada Gambar 2.1, adalah:

Y1 dan Y2 : Observable Variable yang telah distandardisasikan (masing-masing dibuat nilai rata-ratanya sama dengan nol, dan ragamnya sama dengan satu)

F1 dan F2 : Unobservable Principal Components atau Unobservable Common Factors yang bersifat baku dan ortogonal (masing-masing nilai rata-ratanya sama dengan nol, dan ragamnya sama dengan satu; koefisien korelasi antar keduanya sama dengan nol)

ε1 dan ε2 : Unobservable Specific Factors yang bersifat baku dan ortogonal c11 dan c12 : Masing-masing merupakan koefisien pembobot untuk variabel Y1

dan Y2 dalam membangun/menduga Principal Component Scores (atau Common Factor Scores) F1; atau disebut juga sebagai Score Coefficients untuk Principal Component (atau Common Factor) F1 c21 dan c22 : Masing-masing merupakan koefisien pembobot untuk variabel Y1

dan Y2 dalam membangun/menduga Principal Component Scores (atau Common Factor Scores) F2; atau disebut juga sebagai Score Coefficients untuk Principal Component (atau Common Factor) F2

F

1

F

2

r

12

>0

c

21

c

11

c

12

c

22

Obse

rva

b

le

Unobs

erv

abl

e

Hubungan korelasi Arah transformasi


(45)

l11 dan l12 : Masing-masing merupakan koefisien pembobot untuk Principal Components (atau Common Factors) F1 dan F2 dalam merekonstruksi variabel Y1; atau disebut juga sebagai Principal Component Loadings (atau Factor Loadings) untuk variabel Y1 l21 dan l22 : Masing-masing merupakan koefisien pembobot untuk Principal

Components (atau Common Factors) F1 dan F2 dalam merekonstruksi variabel Y2; atau disebut juga sebagai Principal Component Loadings (atau Factor Loadings) untuk variabel Y2

e1 : Koefisien pembobot untuk Specific Factor ε1 dalam

merekonstruksi variabel Y1

e2 : Koefisien pembobot untuk Specific Factor ε2 dalam

merekonstruksi variabel Y2

Dari Gambar 2.1, dapat ditulis hubungan matematis sebagai berikut:

2 22 1 21 2 2 12 1 11 1 Y c Y c F Y c Y c F + = + =

Secara matriks, dapat ditulis: ⎟⎟

⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ = ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ 2 1 22 21 12 11 2 1 Y Y c c c c F F

Atau: F =CY

2.6.4.Format Data Dasar

Format data dasar yang kita akan analisis dengan PCA adalah seperti disajikan pada Tabel 2.1. Struktur data dasar pada tabel ini mengilustrasikan hasil pengukuran (dalam skala kuantitatif, yakni: skala interval atau skala ratio/kardinal) terhadap p buah variabel dari n buah kasus (sampel, individu, dsb.) yang diteliti.


(46)

Tabel 2.1: Struktur data asal Variabel Asal

X1 X2 ... Xj ... Xp

1 x11 x12 ... x1j ... x1p

2 x21 x22 ... x2j ... x2p

... ... ... ... ... ... ...

i xi1 xi2 ... xij ... xip

... ... ... ... ... ... ...

Kasus

n xn1 xn2 ... xnj ... xnp

Rataan μ1 μ2 ... μj ... μj

Simpangan

Baku s1 s2 ... sj ... sj

2.6.5. Standarisasi Variabel Asal

Sebelum kita melakukan analisis PCA, kita perlu menstandardisasikan masing-masing variabel pada Tabel 2.1 tersebut. Artinya, kita transformasikan masing-masing variabel Xj (j=1,2,...,p) yang memiliki nilai rataan masing-masing

sama dengan μj dan simpangan baku masing-masing sama dengan sj, menjadi

variabel baku Yj (j=1,2,...,p) yang memiliki nilai rataan masing-masing sama

dengan nol dan simpangan baku dan ragam masing-masing sama dengan satu. Secara matematis hubungan antara data untuk variabel asal (xij) dengan data untuk

variabel yang telah distandarisasikan (yij) dapat ditulis sebagai berikut:

j j ij ij

s x

y = −μ (1)

Tujuan dasar dari penstandardisasian variabel ini adalah menghilangkan variasi data antar variabel yang diakibatkan oleh hal-hal yang tidak esensial, seperti:

1. Hanya karena perbedaan titik nol pengukuran yang digunakan untuk masing-masing variabel, seperti perbedaan data pengukuran temperatur titik beku air antara metode Fahrenheit dengan metode Celcius


(47)

2. Hanya karena perbedaan sistem penskalaan yang digunakan untuk masing-masing variabel, seperti perbedaan data pengukuran temperatur titik didih air antara metode Celcius dengan metode Reaumur (100°C=80°R, padahal 0°C=0°R).

Setelah distandardisasikan, maka kita memperoleh data seperti pada Tabel 2.2 berikut.

Tabel 2.2. Struktur data setelah semua variabel distandardisasikan Variabel Baku

Y1 Y2 ... Yj ... Yp

1 y11 y12 ... y1j ... y1p

2 y21 y22 ... y2j ... y2p

... ... ... ... ... ... ...

i yi1 yi2 ... yij ... yip

... ... ... ... ... ... ...

Kasus

n yn1 yn2 ... ynj ... ynp

Rataan 0 0 ... 0 ... 0

Ragam 1 1 ... 1 ... 1

Kalau sekiranya perbedaan variasi data antar variabel dalam Tabel 2.1 sama seperti perbedaan variasi data antar ketiga metode pengukuran temperatur (Celcius vs. Fahrenheit vs. Reamur), maka setelah distandardisasikan akan ditunjukkan dalam Tabel 2.2 bahwa antar variabel tersebut tidak ada perbedaan sama sekali.

Karakteristik penting lainnya dari variabel-variabel yang telah distandardisasikan adalah:

1. Perkalian vektor antar dua variabel yang berbeda adalah sama dengan koefisien korelasi antar kedua variabel tersebut.

(

)

' ' ' 2 ' 1 2 1 jj nj j j nj j j r y y y y y y = ⎟ ⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ = ′ M L j' jY

Y (2)

2. Perkalian matriks antar variabel adalah sama dengan matriks koefisien korelasi antar variabel tersebut.


(48)

R Y Y = ⎟ ⎟ ⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ = ⎟ ⎟ ⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎟ ⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ = ′ 1 1 1 2 1 2 21 1 12 2 1 2 22 21 1 12 11 2 1 2 22 12 1 21 11 L M O M M L L L M O M M L L L M O M M L L p p p p np n n p p np p p n n r r r r r r y y y y y y y y y y y y y y y y y y (3)

2.6.6.Ortogonalisasi Variabel

Selanjutnya, baik dalam PCA maupun FA, kita melakukan ortogonalisasi terhadap variabel-variabel pada Tabel 2 tersebut. Artinya, kita mentransformasikan masing-masing variabel Yj (j=1,2,...,p) yang memiliki

karakteristik:

1. Satu sama lain saling berkorelasi dengan koefisien korelasi sebesar rjj’ ≠ 0,

2. Nilai rataan masing-masing sama dengan nol, dan 3. Nilai ragam masing-masing sama dengan satu,

menjadi variabel baru Zα (α=1,2,...,qp) yang memiliki karakteristik: 1. Satu sama lain tidak saling berkorelasi, yakni: rαα = 0,

2. Nilai rataan masing-masing tetap sama dengan nol, dan

3. Nilai ragam masing-masing Zα sama dengan λα≥ 0, dimana ∑αλα= p.

Struktur data baru yang dihasilkan setelah proses ortogonalisasi dapat disajikan seperti dalam Tabel 2.3 berikut.

Tabel 2.3. Struktur Data Setelah Diortogonalisasikan Variabel Baru Ortogonal

Z1 Z2 ... Zα ... Zqp

1 z11 z12 ... z1α ... z1q

2 z21 z22 ... z2α ... z2q

... ... ... ... ... ... ...

i zi1 zi2 ... ziα ... ziq

... ... ... ... ... ... ...

Kasus

n zn1 zn2 ... znα ... znq

Rataan 0 0 ... 0 ... 0

Ragam λ1 λ2 ... λα ... λq

Secara matematis hubungan antara data pada Tabel 2.3 dengan data pada Tabel 2.2 adalah sebagai berikut:


(1)

7.2.1.

Model Kedua dengan Analisis Spatial Auto Regressive Model

menggunakan matriks W1 (ketetanggaan)

Regression Summary for Dependent Variable: Y2 R= .69359676 R²= .48107647 Adjusted R²= .27350706 F(8,20)=2.3177 p<.06093 Std.Error of estimate: .18636

Beta Std.Err. B Std.Err. t(20) p-level

of Beta of B

Intercept -0,093846 0,29731 -0,315651 0,755538

X1 0,166552 0,52952 0,209882 0,66728 0,314533 0,756374

X2 -0,119015 0,244652 -0,120822 0,248366 -0,486468 0,631924

X3 -0,077978 0,518089 -0,089551 0,594984 -0,15051 0,88187

X4 -0,055764 0,202975 -0,070194 0,255501 -0,274731 0,786341

X5 0,672533 0,174479 0,132689 0,034424 3,854529 0,000988

X6 0,23359 0,20139 0,390742 0,336878 1,15989 0,259754

X7 0,130383 0,187197 0,265484 0,381167 0,696502 0,494131

W1Y2 -0,055214 0,168408 -0,067336 0,20538 -0,327859 0,746426

Durbin- Serial

Watson d Corr.

Estimate 2,142703 -0,073021

Distribution of Raw residuals Expected Normal

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

N

o

of

ob


(2)

7.2.2.

Model Kedua dengan Analisis Spatial Auto Regressive Model

menggunakan matriks W2 ( kebalikan jarak centroid)

Regression Summary for Dependent Variable: Y2 R= .69492178 R²= .48291627 Adjusted R²= .42086623 F(3,25)=7.7827 p<.00078 Std.Error of estimate: .16639

Beta Std.Err. B Std.Err. t(25) p-level

of Beta of B

Intercept 0,45095 0,214325 2,10406 0,045598 X5 0,591947 0,148486 0,11679 0,029296 3,98654 0,000513 W2Y2 -0,262232 0,147078 -1,64876 0,924739 -1,78295 0,086743

X1 0,174186 0,145256 0,2195 0,183045 1,19917 0,241706

Durbin- Serial

Watson d Corr.

Estimate 1,926914 0,01168

Distribution of Raw residuals Expected Normal

-0.4 -0.3 -0.2 -0.1 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0

2 4 6 8 10 12 14 16

N

o

of


(3)

7.2.3.

Model Kedua dengan Analisis Spatial Auto Regressive Model

menggunakan matriks W3 (data aliran barang)

Regression Summary for Dependent Variable: Y2 R= .69275944 R²= .47991565 Adjusted R²= .27188191 F(8,20)=2.3069 p<.06195 Std.Error of estimate: .18657

Beta Std.Err. B Std.Err. t(20) p-level

of Beta of B

Intercept -0,097656 0,298533 -0,327121 0,746975

X1 0,278265 0,593952 0,350658 0,748474 0,468498 0,644494

X2 -0,090451 0,261269 -0,091823 0,265235 -0,346197 0,73281

X3 -0,178593 0,588092 -0,205099 0,675377 -0,303682 0,764507

X4 -0,082872 0,208055 -0,104318 0,261896 -0,398318 0,694616

X5 0,680651 0,17386 0,13429 0,034302 3,914944 0,000858

X6 0,213101 0,201496 0,356468 0,337055 1,057595 0,302848

X7 0,121177 0,191404 0,246738 0,389733 0,633095 0,533844

W3Y2 -0,049025 0,195925 -0,061438 0,245531 -0,250224 0,804967

Durbin- Serial

Watson d Corr.

Estimate 2,177497 -0,089211

Distribution of Raw residuals Expected Normal

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

No

o

f

o

b


(4)

7.3.1

Model Ketiga dengan Analisis Spatial Durbin Model

menggunakan matriks W1 (ketetanggaan)

Regression Summary for Dependent Variable: Y2 R= .69794909 R²= .48713293 Adjusted R²= .40165509 F(4,24)=5.6989 p<.00227 Std.Error of estimate: .16913

Beta Std.Err. B Std.Err. t(24) p-level

of Beta of B

Intercept -0,063473 0,11231 -0,56516 0,577209

X5 0,648478 0,14798 0,127943 0,029196 4,3822 0,0002

X6 0,249864 0,152981 0,417964 0,255901 1,6333 0,115458

W1X4 0,197627 0,147565 0,844914 0,630886 1,33925 0,193036

W1X3 -0,170944 0,152484 -0,329004 0,293475 -1,12106 0,273354

Durbin- Serial

Watson d Corr.

Estimate 2,130808 -0,07501

Distribution of Raw residuals Expected Normal

-0.4 -0.3 -0.2 -0.1 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

N

o

of

ob


(5)

7.3.2

Model Ketiga dengan Analisis Spatial Durbin Model

menggunakan matriks W2 (kebalikan jarak centroid)

Regression Summary for Dependent Variable: Y2 R= .79437000 R²= .63102370 Adjusted R²= .50803161 F(7,21)=5.1306 p<.00161 Std.Error of estimate: .15336

Beta Std.Err. B Std.Err. t(21) p-level

of Beta of B

Intercept 1,66511 0,643802 2,58638 0,017222

X5 0,52792 0,145955 0,10416 0,028797 3,61697 0,001617 W2Y2 -0,56638 0,202555 -3,56106 1,273547 -2,79617 0,010822 X1 0,61122 0,272676 0,77024 0,343616 2,24157 0,03592 W2X6 -1,03717 0,379473 -6,56959 2,403637 -2,73318 0,012457

W2X3 0,2343 0,465547 1,49371 2,967891 0,50329 0,619999

W2X4 -1,17324 0,728025 -2,55297 1,584187 -1,61154 0,121992

W2X1 0,9077 0,834287 5,24358 4,819513 1,08799 0,288929

Durbin- Serial

Watson d Corr.

Estimate 1,453839 0,271467

Distribution of Raw residuals Expected Normal

-0.4 -0.3 -0.2 -0.1 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

N

o

of

ob


(6)

7.3.3

Model Ketiga dengan Analisis Spatial Durbin Model

menggunakan matriks W3 (aliran barang)

Regression Summary for Dependent Variable: Y2 R= .79361422 R²= .62982353 Adjusted R²= .52886631 F(6,22)=6.2385 p<.00061 Std.Error of estimate: .15007

Beta Std.Err. B Std.Err. t(22) p-level

of Beta of B

Intercept 0,03364 0,144575 0,2327 0,818144

X5 0,633318 0,131593 0,12495 0,025963 4,81271 0,000083 W3X4 0,991921 0,284527 8,47375 2,430654 3,4862 0,002092 W3Y2 -0,554036 0,191304 -0,69431 0,23974 -2,8961 0,00838 W3X7 -0,743494 0,280421 -1,40311 0,529205 -2,65135 0,014583

W3X2 0,185984 0,180544 0,56179 0,545352 1,03013 0,31414

X1 0,135401 0,1332 0,17063 0,167853 1,01652 0,320431

Durbin- Serial

Watson d Corr.

Estimate 2,716255 -0,358288

Distribution of Raw residuals Expected Normal

2 4 6 8 10 12 14 16

N

o

of