Kesimpulan KESIMPULAN DAN SARAN

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dari pembahasan pada bab-bab terdahulu, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:: 1. Kontribusi terbesar dalam realisasi penerimaan APBD gabungan Jawa Barat dan Banten disumbang oleh Kabupaten Bandung, Kabupaten Bogor dan Kota Bandung, masing- masing rata-ratanya bertururt-turut 10,26 persen, 7,99 persen dan 7,36 persen. Jika dilihat secara parsial untuk kabupatenkota Propinsi Banten saja dibandingkan terhadap gabungan Propinsi Jawa Barat dan Banten ditempati Kabupaten Tangerang dengan kontribusi sebesar 4,91 persen. Sedangkan peringkat berikutnya adalah Kabupaten Serang dengan kontribusi sebesar 4,10 persen terhadap gabungan kabupatenkota di propinsi Jawa Barat dan Banten. Kalau dilihat dari sisi penyumbang terkecil terhadap penerimaan total kabupatenkota Propinsi Jawa Barat dan Banten, maka kota Cirebon merupakan pemberi kontribusi terkecil dengan hanya sebesar 1,52 persen. 2. Seirama dengan struktur pengeluaran, kontribusi terbesar dalam rea lisasi pengeluran APBD gabungan Jawa Barat dan Banten juga disumbang oleh kabupaten Bandung, Kabupaten Bogor dan Kota Bandung, masing- masing rata- ratanya berturut-turut 10,71 persen, 8,19 persen dan 7,28 persen. Jika dilihat secara parsial untuk kabupatenkota Propinsi Banten saja dibandingkan dengan gabungan Propinsi Jawa Barat dan Banten ditempati kabupaten Tangerang dengan kontribusi sebesar 4,40 persen. Sedangkan peringkat berikutnya adalah Kabupaten Serang dengan kontribusi sebesar 4,05 persen terhadap gabungan kabupatenkota di Propinsi Jawa Barat dan Banten. Kalau dilihat dari sisi penyumbang terkecil terhadap pengeluaran total kabupatenkota Propinsi Jawa Barat dan Banten, maka Kota Cirebon merupakan pemberi kontribusi terkecil dengan hanya sebesar 1,51 persen 3. Hasil penghitungan Indeks Williamson untuk melihat ketimpangan wilayah kabupatenkota di masing- masing propinsi, diperoleh Indeks Williamson untuk 80 kabupatenkota di Propinsi Jawa Barat sebesar 0.4158 dan di Propinsi Banten sebesar 0.5846. Dari hasil ini dapat disimpulkan kesenjangan antar wilayah kabupatenkota di Propinsi Banten lebih besar dibanding kesenjangan antar wilayah kabupatenkota di Propinsi Jawa Barat. 4. Tipologi wilayah yang menampilkan IPM dan IKM. Untuk IPM, kabupatenkota yang mempunyai nilai indeks tertinggi adalah Kota Bandung dengan nilai 74,3 untuk tahun 1996 dan 70,7 untuk tahun 1999. IPM terendah terdapat di kabupaten Indramayu, yaitu berturut-turut sebesar 63,4 dan 60,9 untuk tahun 1996 dan 1999. Sedangkan untuk IKM yang menunjukkan tingkat kemiskinan, tertinggi terdapat di Kabupaten Cianjur dengan nilai 35,3 persen. Sedangkan terendah tingkat kemiskinannya adalah Kota Cirebon dengan indeks sebesar 12,6. Untuk variabel Angka melek huruf, pada tahun 1996, kabupatenkota yang memiliki persentase tertinggi adalah Kota Sukabumi dengan persentase sebesar 99,0 persen. Sedangkan persentase terendah untuk tahun 1996 terjadi di Kabupaten Indramayu dengan persentase sebesar 67,0 persen. Pada tahun 1996 angka melek huruf untuk tingkat propinsi Jawa Barat termasuk Banten sebesar 89,7 persen. Pada tahun 1999 angka melek huruf di Propinsi Jawa Barat termasuk Banten meningkat menjadi 92,1 persen. Pada tingkat kabupatenkota tahun 1999 ini, angka tertinggi terdapat di Kota Bandung dengan persentase sebesar 98,3 persen. Untuk angka terendah masih terdapat di Kabupaten Indramayu, dengan persentase sebesar 66,7 persen. 5. Kinerja pembangunan Jawa Barat dan Banten untuk tahun 2000 sampai 2003, secara umum perekonomiannya sudah mulai recovery, hal ini ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi wilayah, rata-ratanya berkisar antara 2 persen sampai 4 persen. Struktur perekonomian antar kabupatenkota di Jawa Barat cukup bervariasi, misalnya untuk Kabupaten Bekasi, Bogor dan Purwakarta mempunyai peranan yang sangat signifikan pada sektor industri pengolahan. Pada tahun 2002, peranannya berturut-turut sebesar 82,87 persen, 49,27 persen dan 44,72 persen. Sedangkan untuk Kabupaten Indramayu dinominasi oleh sektor pertambangan dan penggalian, dimana perannya sebesar 45,15 persen seluruh kegiatan perekonomian di daerah tersebut. Kabupaten Subang, Garut, dan Cirebon 81 mempunyai peran yang menonjol di sektor pertanian, perannya berturut-turut sebesar 42,80 persen, 40,96 persen dan 37,47 persen. Seperti yang terjadi di Jawa Barat, struktur perekonomian antar kabupatenkota di Banten juga cukup bervariasi, misalnya untuk Kota Cilegon dan Kabupaten Tangerang mempunyai peranan yang sangat signifikan pada sektor industri pengolahan. Pada tahun 2002, kontribusinya masing- masing sebesar 61,84 persen dan 56,28 persen. Sedangkan untuk kabupaten Lebak dan Pandeglang dinominasi oleh sektor pertanian dengan peran berturut-turut sebesar 40,35 persen dan 36,13 persen 6. Sejalan dengan temuan pada kajian struktur pada produk domestik regional bruto, hasil hitungan Kuosien Lokasi juga menunjukkan bahwa di kabupatenkota tertentu sangat dominan di sektor tertentu. Misalnya untuk kabupaten Indramayu di propinsi Jawa Barat sangat dominan di sektor pertambangan dan penggalian, hal ini juga ditunjukkan oleh nilai LQ yang sangat besar yaitu, 6,38. Demikian juga halnya, dimana hasil temuan dengan analisa struktur untuk Kabupaten Subang, Garut dan Cirebon sangat dominan pada sektor [pertanian, nilai LQnya juga menunjukkan nilai yang cukup signifikan, yaitu berturut-turut sebesar 1,6048, 1,2475 dan 0,8305. Pada kajian struktur untuk sektor industri pengolahan juga menunjukkan hal yang sama, dimana untuk Kabupaten Bekasi dan Bogor memiliki kontribusi yang besar, juga sejalan dengan nilai LQnya masing-masing sebesar 0,8954 dan 0,7919. 7. Ada keterkaitan antara kinerja pembangunan daerah yang diwakili oleh variabel pertumbuhan ekonomi riil kabupatenkota dengan tipologi permasahan daerah yang diwakili oleh variabel tingkat buta huruf orang dewasa kabupatenkota. Besar korelasi antara dua variabel tersebut cukup kuat, yaitu -0.817 dengan P- Value 0.000 yang menunjukkan tingkat signifikansi sangat tinggi P-Value,5. Korelasi pertumbuhan ekonomi yang merupakan cerminan dari kinerja pembangunan kabupatenkota dengan rasio alokasi dana pengeluaran untuk pendidikan dalam APBD kabkota adalah sebesar 0,726 dengan P-Value 0.000, juga mempunyai tingkat signifikansi sangat tinggi P-Value5.. 8. Analisis regresi menggambarkan adanya keterkaitan antara kinerja pembangunan dengan struktur penganggaran daerah dan tipologi permasalahan daerah. Kinerja 82 pembangunan dipengaruhi oleh rasio pengeluaran pendidikan dalam APBD kabupatenkota dengan koefisien sebesar 0,419. Variabel tingkat buta huruf berpengaruh negative yang sangat kuat terhadap kinerja pembangunan dengan koefisien negatif 0,580. Model ini sangat layak digunakan, karena mempunyai tingkat signifikan yang sangat tinggi dengan P-Value 0.000000 jauh dibawah 5. Model ini juga memberikan Multiple R sebesar 0.913439 dan R-Square yang cukup signifikan yaitu sebesar 0.834370. 9. Implementasi pembangunan berkelanjutan dan good governance di Propinsi Jawa Barat dan Propinsi Banten merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan wilayah Indonesia secara keseluruhan. Se hingga pola dan program pembangunan nasional akan selalu diikuti dan diimplementasikan di propinsi ini. Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009 Bab 14 disebutkan bahwa salah satu agenda pembangunan nasional adalah menciptakan tata pemerintahan yang bersih, dan berwibawa. Agenda tersebut merupakan upaya untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, antara lain: keterbukaan, akuntabilitas, efektifitas dan efisiensi, menjunjung tinggi supremasi hukum, dan membuka partisipasi masyarakat yang dapat menjamin kelancaran, keserasian dan keterpaduan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.

6.2. Saran