Karakterisasi dan Uji Aktivitas Edible Film dari Campuran Tepung Tapioka, Kitosan, Sisik Ikan Gurami (Oshpronemus gouramy) dan Gliserin Untuk Pembungkus Sosis

(1)

KARAKTERISASI DAN UJI AKTIVITAS EDIBLE FILM DARI

CAMPURAN TEPUNG TAPIOKA,KITOSAN, SISIK IKAN

GURAMI (Oshpronemus gouramy)DAN GLISERIN

UNTUK PEMBUNGKUS SOSIS

SKRIPSI

MANDAYANI SIMATUPANG

130822029

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(2)

2

KARAKTERISASI DAN UJI AKTIVITAS EDIBLE FILM DARI

CAMPURAN TEPUNG TAPIOKA,KITOSAN, SISIK IKAN

GURAMI (Oshpronemus gouramy) DAN GLISERIN

UNTUK PEMBUNGKUS SOSIS

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

MANDAYANI SIMATUPANG

130822029

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(3)

i

PERSETUJUAN

Judul : Karakterisasi dan Uji Aktivitas Edible Film dari Campuran Tepung Tapioka, Kitosan, Sisik Ikan Gurami (Oshpronemus gouramy) dan Gliserin Untuk Pembungkus Sosis

Kategori : Skripsi

Nama : Mandayani Simatupang

Nomor Induk Mahasiswa : 102401006

Program Studi : Sarjana (S1) Kimia

Departemen : Kimia

Fakultas : Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Sumatera Utara

Disetujui di Medan, November 2015

Komisi Pembimbing

Pembimbing II Pembimbing I

Dra. Emma Zaidar, Nst M.Sc Drs. Firman Sebayang, MS

NIP.19551281987012001 NIP.195607261985031001

Diketahui/Disetujui Oleh

Departemen Kimia FMIPA USU Ketua,

Dr. Rumondang Bulan, MS NIP.195408301985032001


(4)

ii

PERNYATAAN

KARAKTERISASI DAN UJI AKTIVITAS EDIBLE FILM DARI

CAMPURAN TEPUNG TAPIOKA,KITOSAN, SISIK IKAN

GURAMI (Oshpronemus gouramy) DAN GLISERIN

UNTUK PEMBUNGKUS SOSIS

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, November 2015

MANDAYANI SIMATUPANG 130822029


(5)

iii

PENGHARGAAN

Bismillahirrahmanirrohim

Alhamdulillahirabbil’alamin penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmad serta hidayah dan kasih sayang Nya kepada kita semua. Dan tidak lupa selawat dan salam kita ucapkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Karakterisasi dan Uji Aktivitas Edible Film dari Campuran Tepung Tapioka, Kitosan, Sisik Ikan Gurami (Oshpronemus gouramy) dan Gliserin untuk Pembungkus Sosis”. Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Sains pada Departemen Kimia di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara (FMIPA USU).

Penulis menyadari bahwa sepenuhnya skripsi ini jauh dari kata sempurna karena keterbatasan penulis baik dari segi kemampuan, waktu dan wawasan. Tetapi penulis berharap skripsi ini dapat berguna bagi penulis dan semua pihak yang membaca, khususnya bagi lingkungan Universitas Sumatera Utara pada umumnya.

Terselesaikan skripsi ini tidak lepas dari dukungan serta bantuan dari beberapa pihak. Untuk itu penulis mengucapkan termakasih kepada :

1. Ibunda Rusni Lubis beserta saudara kandung penulis Masriza dan Marwanji yang memberikan semangat serta perhatian yang cukup besar selama masa perkuliahan saya. Dan untuk seluruh saudara yang juga selalu memberikan dukungan serta doa sehingga skripsi ini dapat terselesaikan

2. Bapak Drs.Firman Sebayang, MS sebagai dosen pembimbing I dan Ibu Dra. Emma Zaidar, Nst M.Sc sebagai dosen pembimbing II yang telah sabar

membimbing dan memberikan arahan kepada penulis hingga skripsi ini selesai

3. Dr. Rumondang Bulan Nst, M. S selaku Ketua Departemen Kimia FMIPA USU dan Dr. Darwin Yunus, M. S selaku Koordinator Ekstensi Kimia


(6)

iv

FMIPA USU Dekan dan Pembantu Dekan FMIPA USU, seluruh Staff dan Dosen Kimia FMIPA USU

4. Seluruh sahabat dan orang terdekat saya khusus nya kepada Nadia, Darma, Dimas, Putri, Isti, Fadlan, Rizky, Reza yang selalu memberi dukungan kepada penulis.

Hanya doa yang dapat penulis sampaikan kepada Allah SWT mudah-mudahan kebaikan yang diterima penulisdari semua pihak yang telah membantu kiranya Allah SWT membalas kebaikan tersebut. Penulis dengan segala kemampuan berusaha menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Apabilaada kekurangan kritik dan saran penulis terima dengan senang hati.

Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih dan berharap semoga tulisan ini bermanfaat bagi yang membaca.

Medan, November 2015


(7)

v

KARAKTERISASI DAN UJI AKTIVITAS EDIBLE FILM DARI CAMPURAN TEPUNG TAPIOKA,KITOSAN, SISIK IKAN

GURAMI (Oshpronemus gouramy) DAN GLISERIN UNTUK PEMBUNGKUS SOSIS

ABSTRAK

Karakterisasi dan uji aktivitas edible film dari sisik ikan gurami (oshpronemus gouramy) untuk aplikasi pembungkus sosis dilakukan dengan penambahan tepung tapioka, kitosan dan gliserin sebagai plastisizer. Edible film dibuat dengan mencampurkan sisik ikan dengan variasi penambahan 0,1 g ; 0,2 g ; 0,3 g ; 0,4 g dan 0,5 g yang ditambahkan dengan 25 ml akuades, 1,5 g tepung tapioka, 12 ml kitosan 2% dan dengan penambahan gliserin sebanyak 1 ml sebagai plastisizer. Setelah homogen dicetak di atas plat akrilik , dikeringkan di dalam oven pada suhu 40ºC selama 2 hari. Karakterisasi edible film secara fisik diperoleh ketebalan 0,14 mm, kuat tarik 0,135 KgF/mm2 dan kemuluran 29,31%. Uji morfologi SEM (Scanning Electron Microscopy) menghasilkan edible film dengan morfologi yang rata. Serta analisa FTIR (Fourier Transform Infrared) menunjukkan spektrum pada daerah 2931,80 cm-1 yaitu adanya CH alifatis dan 3410,15 cm-1 menunjukkan adanya gugus hidroksil pada edible film. Uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH menghasilkan absorbansi yang berkurang dari 0,702 hingga 0,4555 dengan persen peredaman yang semakin meningkat dari 0% hingga 35,18%. Uji aktivitas antibakteri edible film dengan metode Kirby Bauer menghasilkan uji negatif terhadap bakteri staphylococcus aureus dan escherichia coli yang menandakan bahwa edible film tidak memiliki zona hambat. Namun dilihat dari pertumbuhan koloni bakteri dengan metode Standart Count Plate pada edible film sebagai pembungkus sosis menghasilkan jumlah koloni yang lebih sedikit dibandingkan sosis yang tidak dibungkus dengan edible film.


(8)

vi

CHARACTERIZATION AND EDIBLE FILM’S TEST ACTIVITIES OF TAPIOCA STARCH, CHITOSAN, CARP FISH SCALES (Oshpronemus

gouramy) AND GLYCERINE AS PLASTICIZERS

FOR APPLICATIONS WRAPPING SAUSAGE

ABSTRACT

Characterization and edible film’s test activities of carp fish scales (oshpronemus gouramy) for applications wrapping sausage are done by addition of tapioca starch, chitosan and glycerine as plasticizers. Edible films made by mixing fish scales with a variation of the addition 0.1 g; 0.2 g; 0.3 g; 0.4 g and 0.5 g were added to 25 ml of aquadest, 1.5 g of tapioca starch, 12 ml of 2% chitosan and with the addition of 1 ml glycerin as a plasticizer. After homogeneous printed on acrylic plate, dried in an oven at a temperature of 40°C for 2 days. Physical characterization of edible film obtained thickness of 0.14 mm, tensile strength of 0.135 KgF/mm2 and elongation 29.31%. Morphology test of SEM (Scanning Electron Microscopy) produce edible film is a flat morphology. And analysis of FTIR (Fourier Transform Infrared) shows the spectrum at 2931.80 cm-1 region that CH alifatis group and 3410.15 cm-1 indicate the presence of hydroxyl group. Test of the antioxidant activity with DPPH absorbance reduced decrease 0.702 percent to 0.4555 with damping increased from 0% to 35.18%. Antibacterial activity test edible film by Kirby Bauer’s method produces a test negative for the bacteria staphylococcus aureus and escherichia coli which indicates that the edible film does not have a zone of inhibition. But seen from the growth of colonies of bacteria by a method Standard Plate Count on edible film for packaging sausage produce the number of colonies that are less than the sausages were not wrapped in edible film.


(9)

vii

DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan i

Pernyataan ii

Penghargaan iii

Abstrak v

Abstract vi

Daftar Isi vii

Daftar Tabel viii

Daftar Gambar ix

Daftar Lampiran x

BAB 1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 3

1.3 Pembatasan Masalah 3

1.4 Tujuan Penelitian 3

1.5 Manfaat Penelitian 4

1.6 Lokasi Penelitian 4

1.7 Metodologi Penelitian 4

BAB 2. Tinjauan Pustaka

2.1 Sisik Ikan 6

2.2 Sisik Ikan sebagai Bahan Pengisi 7

2.3 Manfaat Sisik Ikan Gurami 9

2.4 Edible Film 9

2.5 Bahan Tambahan Edible Film 10

2.5.1 Tepung Tapioka Bahan Pembuatan Film Layak Makan 10

2.5.2 Plasticizer Gliserol 11

2.5.3 Kitosan 12

2.6 Sifat-Sifat Edible Film 14

2.7 Karakterisasi Edible Film 15

2.7.1 Scanning Electron Microscope (SEM) 15

2.7.2 Spektroskopi Infra Merah dan FTIR 16

2.7.3 Antioksidan 18

2.7.4 Uji Aktivitas Mikrobiologi Pangan 20

2.9 Sosis 21

BAB 3. Metodologi Penelitian

3.1 Alat 22

3.2 Bahan 23

3.3 Prosedur Penelitian 24

3.3.1 Pembuatan Larutan Pereaksi 24

3.3.2 Penyediaan Sisik Ikan 24

3.3.3 Pembuatan Edible Film 24

3.3.4.1 Pembuatan Edible Film Campuran Kitosan 2%


(10)

viii

3.3.4.2 Pembuatan Edible Film Campuran Sisik Ikan

Kitosan 2% Tepung Tapioka Gliserin 25

3.4 Karakterisasi Edible Film 25

3.4.1 Uji Tarik/Uji Keregangan 25

3.4.2 Pengukuran Ketebalan 26

3.4.3 Analisa SEM (Scanning Electron Microscopy) 26 3.4.4 Analisa FTIR (Fourier Transform Infra Red) 27 3.4.5 Uji Aktivitas Antioksidan dengan Metode DPPH 27

3.4.6 Uji Aktivitas Antibakteri 28

3.5 Bagan Penelitian 29

BAB 4. Hasildan Pembahasan

4.1 Hasil Penelitian 36

4.1.1. Hasil Analisa Kuat Tarik 36

4.1.2. Hasil Analisa SEM (Scanning Electron MIcrooscopy) 38

4.1.3. Hasil Analisa FTIR 38

4.1.4. Hasil Uji Aktivitas Antioksidan Edible Film 40 4.1.1. Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Edible Film 41

4.2. Pembahasan Penelitian 43

4.2.1. Analisa Karakterisasi Edible Film 43

4.2.1.1. Kuat Tarik 43

4.2.1.2. Ketebalan 43

4.2.1.3. Keregangan 44

4.2.2. Analisa SEM (Scanning Electron Microscopy 44 4.2.3. Analisa FTIR (Fourier Transform Infra Red) 45 4.2.4. Uji Aktivitas Antioksidan Edible Film 45 4.2.5. Uji Aktivitas Antibakteri Edible Film 47 BAB 5. Kesimpulan dan Saran

5.1 Kesimpulan 49

5.2 Saran 49

Daftar Pustaka 50


(11)

ix

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman Tabel

4.1. Hasil Analisa Karakterisasi Edible Film dari Sisik Ikan Gurami 47 (Oshpronemus gouramy) dengan Penambahan Tepung Tapioka,

Kitosan dan Gliserin sebagai Plastisizer

4.2. Interpretasi Gugus Fungsi Senyawa Hasil Analisa FT-IR 51 4.3. Hasil Pengukuran Absorbansi Edible Film 52 4.4. Hasil Pengkuran Diameter Zona Hambat beberapa Kultur Bakteri oleh

Edible Film Perbandingan Spektra FT-IR Kitosan degan Standarnya 53 4.5 Hasil Pengamatan Pertumbuhan Koloni pada Sosis yang Dibungkus

Edible Film, Dicelup dengan Edible Film Liquid dan Dibungkus dengan Plastik Biasa ... 53


(12)

x

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman Gambar

2.1. Ilustrasi Sisik Ikan Tipe Stenoid 4

2.2. Struktur Kitin .. 12

2.3. Skema Bahan Pengisi 14

2.4. Struktur Polimer Kitosan 20

4.1. Spektrum FTIR Edible Film 49 4.2. Spektrum Senyawa Hasil Penelitian dengan FTIR .. 50 4.3. Grafik % Peredaman Vs Konsentrasi Edible Film 52

4.4. Reaksi DPPH .. 57


(13)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

Lampiran

1. Tabel Hasil Karakterisasi Edible Film 65 2. Hasil Analisa Permukaan SEMEdible Film 66

3. Hasil Spektrum FT-IR Edible Film 67 4. Hasil Uji Aktivitas Antioksidan Edible Film 69

5. Sampel yang Digunakan Dalam Penelitian 73 6. Edible Film yang Dihasilkan dalam Penelitian 74 7. Hasil Uji Aktiviitas Antibakteri dengan Pengkuran Zona Hambat 75 8. Hasil Uji Aktivitas Antibakteri dengan Metode SPC 76


(14)

v

KARAKTERISASI DAN UJI AKTIVITAS EDIBLE FILM DARI CAMPURAN TEPUNG TAPIOKA,KITOSAN, SISIK IKAN

GURAMI (Oshpronemus gouramy) DAN GLISERIN UNTUK PEMBUNGKUS SOSIS

ABSTRAK

Karakterisasi dan uji aktivitas edible film dari sisik ikan gurami (oshpronemus gouramy) untuk aplikasi pembungkus sosis dilakukan dengan penambahan tepung tapioka, kitosan dan gliserin sebagai plastisizer. Edible film dibuat dengan mencampurkan sisik ikan dengan variasi penambahan 0,1 g ; 0,2 g ; 0,3 g ; 0,4 g dan 0,5 g yang ditambahkan dengan 25 ml akuades, 1,5 g tepung tapioka, 12 ml kitosan 2% dan dengan penambahan gliserin sebanyak 1 ml sebagai plastisizer. Setelah homogen dicetak di atas plat akrilik , dikeringkan di dalam oven pada suhu 40ºC selama 2 hari. Karakterisasi edible film secara fisik diperoleh ketebalan 0,14 mm, kuat tarik 0,135 KgF/mm2 dan kemuluran 29,31%. Uji morfologi SEM (Scanning Electron Microscopy) menghasilkan edible film dengan morfologi yang rata. Serta analisa FTIR (Fourier Transform Infrared) menunjukkan spektrum pada daerah 2931,80 cm-1 yaitu adanya CH alifatis dan 3410,15 cm-1 menunjukkan adanya gugus hidroksil pada edible film. Uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH menghasilkan absorbansi yang berkurang dari 0,702 hingga 0,4555 dengan persen peredaman yang semakin meningkat dari 0% hingga 35,18%. Uji aktivitas antibakteri edible film dengan metode Kirby Bauer menghasilkan uji negatif terhadap bakteri staphylococcus aureus dan escherichia coli yang menandakan bahwa edible film tidak memiliki zona hambat. Namun dilihat dari pertumbuhan koloni bakteri dengan metode Standart Count Plate pada edible film sebagai pembungkus sosis menghasilkan jumlah koloni yang lebih sedikit dibandingkan sosis yang tidak dibungkus dengan edible film.


(15)

vi

FOR APPLICATIONS WRAPPING SAUSAGE

ABSTRACT

Characterization and edible film’s test activities of carp fish scales (oshpronemus gouramy) for applications wrapping sausage are done by addition of tapioca starch, chitosan and glycerine as plasticizers. Edible films made by mixing fish scales with a variation of the addition 0.1 g; 0.2 g; 0.3 g; 0.4 g and 0.5 g were added to 25 ml of aquadest, 1.5 g of tapioca starch, 12 ml of 2% chitosan and with the addition of 1 ml glycerin as a plasticizer. After homogeneous printed on acrylic plate, dried in an oven at a temperature of 40°C for 2 days. Physical characterization of edible film obtained thickness of 0.14 mm, tensile strength of 0.135 KgF/mm2 and elongation 29.31%. Morphology test of SEM (Scanning Electron Microscopy) produce edible film is a flat morphology. And analysis of FTIR (Fourier Transform Infrared) shows the spectrum at 2931.80 cm-1 region that CH alifatis group and 3410.15 cm-1 indicate the presence of hydroxyl group. Test of the antioxidant activity with DPPH absorbance reduced decrease 0.702 percent to 0.4555 with damping increased from 0% to 35.18%. Antibacterial activity test edible film by Kirby Bauer’s method produces a test negative for the bacteria staphylococcus aureus and escherichia coli which indicates that the edible film does not have a zone of inhibition. But seen from the growth of colonies of bacteria by a method Standard Plate Count on edible film for packaging sausage produce the number of colonies that are less than the sausages were not wrapped in edible film.


(16)

BAB 1

PENDAHULAN

1.1. Latar Belakang

Pangan yang bersumber dari hasil ternak termasuk produk pangan yang cepat mengalami kerusakan. Salah satu cara untuk memperkecil faktor penyebab kerusakan pangan adalah dengan metode pengemasan. Pengemasan pangan saat ini adalah menggunakan kemasan plastik yang banyak menimbulkan masalah lingkungan. Hal ini disebabkan oleh mikroba, teknologi bahan kemasan ramah lingkungan saat ini terus dikembangkan menggunakan edible packaging yang mudah diuraikan oleh mikroba yang ada pada lingkungan (biodegradable). Edible film adalah suatu lapisan tipis yang terbuat dari bahan yang dapat dimakan. Salah satu jenis kemasan yang bersifat ramah lingkungan adalah kemasan edible (edible packaging). Keuntungan dari edible packaging adalah dapat langsung dimakan serta aman bagi lingkungan. Edible film dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu pelapis (edible coating) dan berupa lembaran (edible film). Fungsi dari edible film sebagai penghambat perpindahan uap air, menghambat pertukaran gas, mencegah kehilangan aroma, mencegah perpindahan lemak, meningkatkan karakteristik fisik, dan sebagai pembawa zat aditif. (Hui,2006).

Sosis merupakan suatu makanan yang terbuat dari daging cincang, lemak hewan, ternak dan rempah, serta bahan bahan laut. Sosis umumnya dibungkus dalam suatu pembungkus berupa plastik yang banyak menimbulkan masalah lingkungan salah satunya membutuhkan ratusan tahun untuk terurai secara alami dan bahan-bahan yang terkandung pada plastik dapat membahayakan kesehatan. Ada beberapa cara untuk mengurangi penggunaan plastik yaitu pengembangan plastik yang bersifat biodegradable seperti edible film yaitu lapisan tipis yang mampu melapisi bahan pangan dan aman dikonsumsi.

Edible film dapat dibuat dari karbohidrat atau bahan yang tidak berbahaya untuk dikonsumsi yakni bahan-bahan yang dapat dimakan untuk mengantisipasi


(17)

13

agar lebih mudah terdegradasi dibandingkan material polimer. Selain itu dalam kemasan edible film dapat ditambahkan bahan baku seperti antimikroba. Kemasan antimikroba adalah sistem kemasan yang mampu menghambat atau mengurangi pertumbuhan bakteri pada permukaan makanan. Dalam hal ini kitosan sebagai biopolimer dan D-glukosamin yang dihasilkan dari deasetilasi kitin dengan menggunakan alkali kuat. Kitosan sebagai antibakteri memiliki sifat dengan protein membran sel (Sugita,2009). Bahan tambah lain yang berfungsi sebagai bahan pengisi dari edible film mampu menambah kualitas dari film, karena semakin baik komposisi film maka semakin baik kualitasnya. Sisik ikan sebagai bahan pengisi memiliki sifat fisik kimia yang baik untuk kesehatan seperti protein, karbohidrat, lemak dan komponen terbanyaknya adalah kolagen. (Yogaswari, 2009).

Selama ini penelitian mengenai edible film telah banyak dilakukan. Pada penelitian Puji (2013) yang meneliti pemanfaatan mikrokristal selulosa limbah tandan kelapa muda sebagai bahan pengisi dalam film layak makan, pati tapioka dengan gliserol sebagai plastisizer menghasilkan edible film yang transparan dan fleksibel. Sedangkan pada penelitian wini (2013) karakterisasi edible film dari poliblen pati sukun menunjukkan hasil terbaik pada edible film dengan penambahan kitosan memberikan kualitas edible film yang lebih kuat dan ketahanan air yang cenderung lebih meningkat dengan perbandingan 6:4.

Oleh karena itu berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk memanfaatkan sisik ikan gurami sebagai bahan pengisi pada edible film dengan kitosan sebagai antmikroba serta dengan penambahan sumber karbohidrat dari tepung tapioka dan gliserin sebagai plastisizer dalam pembuatan edible film. Untuk mendapatkan pembungkus makanan layak makan dan menambah nilai mutu makanan, khususnya pada sosis.


(18)

14

1.2. Perumusan Masalah

Permasalahan pada penelitian ini adalah :

1. Bagaimana karakterisasi dari edilble film yang dibuat dari campuran tepung tapioka, kitosan, sisik ikan gurami (oshpronemus gouramy) meliputi kuat tarik, ketebalan, keregangan, analisa SEM, analisa FT-IR 2. Apakah edible film yang dihasilkan dapat bersifat sebagai antioksidan dan

antibakteri.

3. Apakah edible film yang dihasilkan efektif untuk pembungkus sosis

1.3. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini objek masalah dibatasi sebagai berikut :

1. Sisik ikan diperoleh dari pedagang ikan di pasar Pancing, Belawan

2. Parameter yang diteliti adalah sifat mekanik (ketebalan, kemuluran. keregangan) dan sifat fisik (analisa scanning electron microscope / SEM dan analisa Spectroscopy Fourier Transform Infra Red / FT-IR)

3. Analisa sifat edible film sebagai antibakteri dan antioksidan serta pembungkus sosis

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk :

1. Untuk mengetahui karakterisasi dari edible film yang meliputi kuat tarik, ketebalan, keregangan serta analisa dari SEM dan FT-IR

2. Untuk mengetahui sifat edible film sebagai antioksidan dan sebagai antibakteri


(19)

15

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah :

1. Menghasilkan edible film sebagai bahan pengemas makanan yang bersifat sebagai antibakteri dan antioksidan

2. Memberikan informasi tentang pengembangan ilmu khususnya pemanfaatan edible film.

1.6. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di laboratorium Biokimia dan Polimer Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) USU. Pengujian sifat mekanik edible film di laboratorium Teknik Kimia USU. Penentuan gugus fungsi pada edible film ditentukan dengan spektroskopi FTIR di laboratorium anorganik UGM. Analisa morfologi edible film dengan mikroskopi di laboratorium penelitian FMIPA USU. Uji antibakteri dengan metode Kirby Baurer dan Standart Plate Count di laboraturium Mikrobiologi USU.

1.7. Metodologi Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium, adapun langkah-langkah analisisnya sebagai berikut :

1. Serbuk sisik ikan gurami diperoleh dengan merendam sampel menggunakan NaOH 0,1 M selama 3 hari lalu dikeringkan dan dihaluskan lalu diayak untuk memperoleh sisik ikan yang halus.

2. Edible film dibuat dengan mencampurkan serbuk sisik ikan, tepung tapioka dan akuades, kemudian diaduk sambil dipanaskan hingga homogen, ditambahkan dengan larutan kitosan dan asam asetat 1% diaduk kembali kemudian ditambahkan gliserin dan diaduk kembali. Setelah homogen dicetak diatas plat akrilik kemudian dimasukkan kedalam oven pada suhu 40oC selama ± 48 jam (2 hari), untuk hasil tersebut diuji tarik/ketebalan/keregangan, SEM, FT-IR, antioksidan dan antibakteri. 3. Analisa SEM edible film ditentukan dengan analisa mikroskopi.


(20)

16

4. Analisa FT-IR edible filmditentukan dengan analisa spektroskopi.

5. Uji Kuat tarik edible film ditentukan dengan menggunakan alat Torsee’s Electrinic system Tokyo testing machine.

6. Pengujian sifat edible film sebagai antioksidan

7. Pengujian sifat edible film sebagai antimikroba terhadap bakteri Eschercia coli dan Staphylococcus aureus


(21)

17

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sisik Ikan Gurami(Oshpronemus gouramy)

Sisik ikan dapat dianggap sebagai kerangka luar dan susunan sisik seperti susunan genting dengan bagian belakangnya bebas, dengan demikian ada bagian sisik yang tertutup oleh sisik lainnya. Sebagian besar ikan tubuhnya ditutupi oleh sisik. Sisik berasal dari lapisan kulit yang dinamakan dermis, sehingga kulit sering disebut rangka dermis. Beberapa ikan sisiknya menjadi keras karena bahan penyusunnya. Ikan yang tingkat evolusinya lebih modern, kekerasan sisiknya sudah tereduksi menjadi sangat lentur (Rahardjo et al. 1988). Sisik ikan adalah jaringan yang mengandung osteoblast dan osteoclast seperti yang ditemukan pada tingkat vertebrata yang lebih tinggi, namun regulasi aktivitas sel dalam jaringan masih sedikit diketahui (Rotllant et al. 2005). Sisik juga mempunyai karakteristik yang ditemukan dalam struktur-struktur lain seperti tulang, gigi dan urat daging yang bermineral. Semua bahan ini sebagian besar dibentuk oleh suatu komponen organik (yaitu kolagen), suatu komponen mineral (yaitu hydroxyapatite) dan air (Torres et al. 2007).

Jenis sisik gurami adalah stenoid Nikol’skii (1961). Sisik stenoid tedapat pada sebagian besar golongan Osteichthyes, yang masing-masing terdapat pada golongan ikan berjari-jari sirip lemah (Malacopterygii). Sisik ini sangat tipis, fleksibel, transparan, dan tidak mengandung dentin ataupun enamel. Bagian-bagian sisik sikloid pada dasarnya sama dengan sisik stenoid, kecuali Bagian-bagian posterior sisik stenoid dilengkapi dengan stenii (semacam gerigi kecil). Bentuk sisik stenoid sebagai berikut :


(22)

18

Bagian yang tertanam pada dermis bagian yang tampak Alur

(radi/radius)

Anulus I fokus

geligi

Garis tepi (stenii)

depan

kromatofor

Sirkulus Garis gelap

Gambar 2.1. Ilustrasi Sisik Ikan Tipe Stenoid pada Ikan Bertulang Punggung (bony ridge)

2.2. Sisik Ikan sebagai Bahan Pengisi

Bahan pengisi dapat diklasifikasikan menurut sifat-sifat kimia dan fisiknya. Pada awalnya pengisi dibagi atas pengisi organik dan anorganik tetapi dapat juga dibagi atas pengisi berserat dan partikulat seperti pada Gambar di bawah ini.


(23)

19 Pengisi

Organik Anorganik

Berserat: Tidak Berserat: Berserat: Tidak berserat:

- kapas -karbon hitam -asbestos -silika

- serbuk kayu -grafit -serat jaca -tanah liat

- kelapa sawit -abu sekam padi -serat kevlar -kalsium

- dsb -dsb -serat aramid -mika

-dsb -dsb

Gambar 2.3. Skema Bahan Pegisi

Pengunaan pengisi alamiah sebagai penguat memberikan beberapa keuntungan dibanding bahan pengisi mineral yaitu kuat dan pejal, ringan, ramah lingkungan, sangat ekonomis dan sumber dapat diperbaharuhi. Pengisi alamiah juga memiliki kelemahan dan kekurangan yaitu, mudah terurai karena kelembaban, adhesi permukaan yang lemah pada polimer hidrofobik, Diantara berbagai jenis bahan pengisi yang umum digunakan dalam komposit ialah serat kaca, serat karbon, serat kevlar, dan serat alamiah seperti serat kelapa, serat nenas, serat kelapa sawit, serat pohon karet, serbuk kayu dan sebagainya. Luo dan Netravali (1999) telah meneliti dan membuktikan bahwa sifat-sifat regangan dan fleksibilitas yang dihasilkan pada komposit dengan kandungan serat nenas yang berbeda-beda, lebih baik dibandingkan dengan resin tanpa pengisi. Belmeras et al, (1983) menemukan bahwa serat-serat sisal dan kelapa sawit memiliki sifat regangan, sifat kimia dan fisika yang sama sehingga baik digunakan sebagai bahan pengisi (Abubakar,2009).

Penggunaan sisik ikan sebagai bahan pengisi karena diketahui memiliki rendemen berkisar 3,8 dan sampai 4,9 % diperoleh berdasarkan bobot molekul


(24)

20

tertentu. Sisik ikan memiliki sifat fisik kimia yang baik untuk kesehatan seperti protein, karbohidrat, lemak dan kadar airnya. Kandungan air 70%, protein 27%, lipid 1% dan abu 2%, komponen organik dari sisik ikan yaitu 40-90% dan komponen terbanyaknya adalah kolagen. Diketahui sisik ikan dengan bobot gurami rata-rata 1,2 kg dengan rendemen 3,85% memiliki protein 35,16%, air 33,68%, abu 24,82%, karbohidrat 5,68%, lemak 0,66% kalsium 7,32%, kitin 0,99% (Yogaswari, 2009).

2.3. Manfaat Sisik Ikan Gurami(Oshpronemus gouramy)

Sisik ikan merupakan limbah padat yang selama ini hanya dibuang dan langsung mencemarkan lingkungan. Padahal sisik ikan banyak mengandung kolagen yang langsung mencair pada tubuh pada suhu 8 ºC sehingga sangat mudah diserap oleh tubuh. Sumber kolagen paling banyak pada kulit dan sisiknya. Sisik ikan banyak mengandung senyawa organik antara lain protein sebesar 41-81% berupa kolagen. (Noor, A.M, 2010). Kolagen selain berfungsi di dalam tubuh juga berfungsi di berbagai bidang industri. Di dalam tubuh kolagen berfungsi untuk melindungi tulang dari kerusakan untuk memperkuat dan merangsang pertumbuhan akar rambut serta memperkuat kuku. Dibidang industri, kolagen digunakan sebagai bahan tambahan pada pembuatan produk perawatan rambut, wajah dan tubuh seperti sampo, kondisioner, sabun, body lotion dan kosmetik lainnya. (Rosmawati,2007)

2.4. Edible Film

Edible film adalah suatu lapisan tipis yang terbuat dari bahan yang dapat dimakan, dibentuk melapisi makanan dengan cara pembungkusan, pencelupan, penyikatan atau penyemprotan. Salah satu jenis kemasan yang bersifat ramah lingkungan adalah kemasan edible (edible packaging). Keuntungan dari edible packaging adalah dapat langsung dimakan serta aman bagi lingkungan. Edible film dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu pelapis (edible coating) dan berupa lembaran (edible film). Bahan pengemas telah memainkan peranan yang sangat


(25)

21

penting dalam rantai distribusi produk makanan olahan dan telah menjadi satu bagian baik dalam proses pembuatan makanan tersebut maupun dalam proses pendistribusiannya. Bahan pengemas digunakan untuk melindungi makanan dari lingkungan sekitarnya seperti cahaya, mikroba, abu, tekanan mekanis,uap air dan lain-lain. Bahan pengemas harus mampu melindungi makanan dari berbagai macam kemungkinan kerusakan yang akan dialaminya seperti misalnya akibat dari proses fisiologis (contoh proses respirasi pada sayuran dan buah-buah segar), proses kimiawi (contoh oksidasi lemak), proses fisika (contoh dehidrasi), aspek mikrobiologis (contoh timbulnya jamur) dan pencemaran oleh serangga. Edible packaging pada bahan pangan pada dasarnya dibagi menjadi tiga jenis bentuk, yaitu edible film, edible coating dan enkapsulasi.Edible coating langsung dibentuk pada produk sedangkan pada edible film pembentukannya tidak secara langsung pada produk yang akan dilapisi atau dikemas. Fungsi dari edible film sebagai penghambat perpindahan uap air, menghambat pertukaran gas, mencegah kehilangan aroma, mencegah perpindahan lemak, meningkatkan karakteristik fisik, dan sebagai pembawa zat aditif. Jumlah karbondioksida dan oksigen yang kontak dengan produk merupakan salah satu yang harus diperhatikan untuk mempertahankan kualitas produk dan akan berakibat pula terhadap umur simpan produk. Edible film yang terbuat dari lipida dan juga film dua lapis (bilayer) ataupun campuran yang terbuat dari lipida dan protein atau polisakarida pada umumnya baik digunakan sebagai penghambat perpindahan uap air dibandingkan dengan edible film yang terbuat dari protein dan polisakarida dikarenakan lebih bersifat hidrofobik (Hui,2006).

2.5. Bahan Tambahan Edible Film

2.5.1. Tepung Tapioka Bahan Pembuatan Film Layak Makan

Tepung tapioka (kanji) dibuat secara langsung dari singkong segar.Tepung tapioka adalah pati dari umbi singkong yang dikeringkan dan dihaluskan. Tepung tapioka merupakan produk awetan singkong. Singkong yang diolah menjadi tepung tapioka dapat bertahan selama 1-2 tahun dalam penyimpanan (apabila


(26)

22

dikemas dengan baik). Perlakuan selama proses produksi menyebabkan kadar HCN (asam sianida) turun drastis mencapai ambang batas aman bagi konsumen.

Pada proses pembuatan tepung tapioka dapat dicapai rendemen 25%, artinya setiap 100 kg singkong dapat dihasilkan tepung tapioka sebanyak 25 kg. Beberapa hal yang mempengaruhi pencapaian rendemen tersebut adalah umur singkong kurang dari 9 bulan, mesin atau alat parut yang kurang baik sehingga hasil parutan kurang halus, proses pemerasan kurang sempurna sehingga tidak seluruh bagian tepung terekstraksi dan lain-lain.

Tepung tapioka memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan bahan bakunya (singkong), yaitu lebih tahan dalam penyimpanan, lebih mudah didistribusikan karena praktis, ringan dan aman. Tepung tapioka dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku ataupun campuran/tambahan pada berbagai macam produk antara lain kerupuk, biskuit, kue kering, alkohol, lem. Selain itu tepung tapioka dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengental (thickener), bahan pemadat, bahan pengisi (filler), bahan pengikat pada industri makanan olahan, dan juga sebagai bahan penguat benang (warp seizing) pada industri testil. (Suprapti,2005).

2.5.2. Plasticizer Gliserol

Plasticizer adalah bahan non volatile dengan titik didih tinggi yang apabila ditambahkan ke dalam bahan lain akan merubah sifat fisik atau fisik mekanik dari bahan tersebut (Krochta,et.al, 1994). Penggunaan plasticizer dengan jumlah yang berbeda-beda. Biasanya dengan bahan biopolimer dan dengan penambahan plasticizer. Masing-masing komponen akan memberikan kontribusi pada sifat keseluruhan, misalnya dalam pembuatan plastik dengan penambahan plasticizer memiliki sifat yang lebih fleksibel namun penambahan yang berlebihan juga dapat memberikan pengaruh yang tidak baik. Gliserol merupakan salah satu plasticizer yang efektif dan murah dan cenderung dapat menghasilkan plastik yang fleksibel bahkan pada suhu yang sangat rendah.

Gliserol atau gliserin atau 1,2,3-propanatriol adalah alkohol jenuh bervalensi tiga, alkohol primer atau alkohol sekunder. Pada suhu kamar berupa zat


(27)

23

cair yang tidak berwarna, kental, netral terhadap lakmus dan rasanya manis. Dalam keadaan murni mempunyai sifat hidrokopis. Dapat bercampur dengan air tetapi tidak larut dalam karbon tetraklorida, kloroform, dietil eter, karbon disulfide dan benzene. Gliserol dapat mencegah terbentuknya endapan pada reaksi antara tembaga sulfat encer dan natrium hidroksida encer. Hal ini disebabkan oleh terbentuknya senyawa komplek yang larut. Hasil oksidasi gliserol tergantung pada kekuatan oksidator yang digunakan. Dengan oksidator lemah akan terbentuk gliseral-dehida sedangkan dengan oksidator kuat akan terbentuk asam gliserat. Gliserol mempunyai banyak kegunaan, terutama sebagai bahan dasar untuk sintesis senyawa organik lainnya. Pada konsentrasi 25% gliserol bekerja sebagai antiseptik. Selain sebagai pelarut dan pemanis, gliserol juga digunakan sebagai pengawet vaksin dan fermen (Steven,E.S, 2002).

2.5.3. Kitosan

Kitosan adalah poli - ( 2 – amino – 2 – deoksi – β - ( 1 – 4 ) – D – glukopiranosa ) dengan rumus molekul (C6H11NO4)n yang dapat diperoleh dari deasetilasi kitin. Kitosan juga dijumpai secara alamiah di beberapa organisme.

Gambar 2.4 Struktur Polimer Kitosan

Proses deasetilasi kitosan dapat dilakukan dengan cara kimiawi maupun enzimatik. Proses kimiawi menggunakan basa, misalnya NaOH dan dapat menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi yang tinggi yaitu mencapai 85-93%. Namun proses kimiawi menghasilkan kitosan dengan bobot molekul yang beragam dan deasetilasinya juga sangat acak, sehingga sifat fisik dan kimia kitosan tidak seragam. Selain itu proses kimiawi juga dapat menimbulkan pencemaran lingkungan, sulit dikendalikan dan melibatkan banyak reaksi samping


(28)

24

yang dapat menurunkan rendemen. Proses enzimatik dapat menutupi kekurangan proses kimiawi. Pada dasarnya deasetilasi secara enzimatik bersifat selektif dan tidak merusak struktur rantai kitosan, sehingga menghasilkan kitosan dengan karakterisasi yang lebih seragam agar dapat memperluas bidang aplikasinya. Kitosan merupakan padatan amorf yang berwarna putih kekuningan dengan rotasi spesifik [α]D11-3 hingga -100 (pada konsentrasi asam asetat 2%). Kitosan larut pada kebanyakan larutan asam organik pada pH sekitar 4,0 tetapi tidak larut pada pH lebih besar dari 6,5, juga tidak larut dalam pelarut air, alkohol, dan aseton. Dalam asam mineral pekat seperti HCl dan HNO3, kitosan larut pada konsentrasi 0,15-1,1%, tetapi tidak larut pada konsentrasi 10%. Kitosan tidak larut dalam H2SO4 pada berbagai konsentrasi, sedangkan di dalam H3PO4 tidak larut pada konsentrasi 1 % sementara pada konsentrasi 0,1% sedikit larut. Perlu untuk kita ketahui, bahwa kelarutan kitosan dipengaruhi oleh bobot molekul, derajat deasetilasi dan rotasi spesifiknya yang beragam bergantung pada sumber dan metode isolasi serta transformasinya. Sifat fisika dan kimia kitosan di atas telah dijadikan bagian dalam penentuan spesifikasi kitosan niaga.

Kitosan dalam bentuk terprotonasi menunjukkan kerapatan muatan yang tinggi dan bersifat sebagai polielektrolit kationik dan sangat efektif berinteraksi dengan biomolekul bermuatan negatif dan biomolekul permukaan, sedangkan dalam bentuk netralnya kitosan mampu mengompleks ion logam berat berbahaya seperti Cu, Cr, Cd, Mn, Co, Ph, Hg, Zn dan Pd.

Dewasa ini aplikasi kitin dan kitosan sangat banyak dan meluas. Dibidang industri, kitin dan kitosan berperan antara lain sebagai koagulan polielektrolit pengolahan limbah cair, pengikat dan penjerap ion logam, mikroorganisme, mikroalga, pewarna, residu pestisida, lemak, tannin, PCB (poliklorinasi bifenil), mineral dan asam organik, media kromatografi afinitas, gel dan pertukaran ion, pembentuk film dan membran mudah terurai, meningkatkan kualitas kertas, pulp, dan produk tekstil. Sementara dibidang pertanian dan pangan, kitin dan kitosan digunakan antara lain untuk pencampur pakan ternak, antimikroba, anti jamur, serat bahan pangan, penstabil, pembentuk gel, pembentuk tekstur, pengental dan pengemulsi produk olahan pangan, pembawa zat aditif makanan, flavor, zat gizi, pestisida, herbisida, virusida tanaman, dan deasidifikasi buah-buahan, sayuran dan


(29)

25

penjernih sari buah.fungsinyasebagai antimikroba dan antijamur jugaditerapkan dibidang kedokteran. Kitin dan kitosan dapat mencegah pertumbuhan Candida albicans dan Staphylacoccus aureus. selain itu, biopolimer tersebut juga berguna sebagai antikoagulan, antitumor, antivirus, pembuluh darah-kulit dan ginjal sintetik, bahan pembuat lensa kontak, aditif kosmetik, membran dialisis, bahan shampoo dan kondisioner rambut, zat hemostatik, penstabil liposom, bahan ortopedik, pembalut luka dan benang bedah yang mudah diserap, serta mempertinggi daya kekebalan, antiinfeksi (Sugita, 2009).

2.6. Sifat-Sifat Edible film

Sifat fisik dari film yaitu sifat mekanik dan penghambatan. Sifat fisik menunjukkan kemampuan kekuatan film dalam menahan kerusakan bahan selama pengolahan, sedangkan sifat penghambatan menunjukkan kemampuan film melindungi produk yang dikemas dengan menggunakan film tersebut.

1. Ketebalan edible film

Ketebalan merupakan sifat fisik edible film yang besarnya dipengaruhi oleh konsentrasi padatan terlarut. Ketebalan film akan mempengaruhi laju transmisi uap air, gas dan senyawa volatil. Sebagai kemasan, semakin tebal edible film maka semakin sulit dilewati uap air.

2. Perpanjangan edible film atau elongasi

Perpanjangan edible film atau elongasi merupakan kemampuan perpanjangan bahan saat diberikan gaya tarik. Nilai elongasi edible film menunjukkan kemampuan rentangnya.

3. Kekuatan peregangan edible film atau tensile strength

Peregangan edible film merupakan kemampuan bahan dalam menahan tekanan yang diberikan saat bahan tersebut berada dalam regangan maksimumnya. Kekuatan peregangan menggambarkan tekanan maksimum yang dapat diterima oleh bahan atau sampel.

4. Kelarutan edible film

Kelarutan film merupakan faktor yang penting dalam menentukan biodegradibilitas film ketika digunakan sebagai pengemas. Ada film yang


(30)

26

dikehendaki tingkat kelarutannya tinggi atau sebaliknya tergantung jenis produk yang dikemas.

5. Laju transmisi uap air

Laju transmisi uap air merupakan jumlah uap air yang hilang per satuan waktu dibagi dengan luas area film. Oleh karena itu salah satu fungsi edible film adalah untuk menahan migrasi uap maka permebelitasnya terhadap uap air harus serendah mungkin.

6. Warna Edible film

Perubahan warna edible film dipengaruhi oleh jumlah konsentrasi bahan pembentuk edible film dan suhu pengeringan. Warna edible film akan mempengaruhi penampakan produk sehingga lebih menarik.

2.7. Karakterisasi Edible Film

2.7.1. Scanning Electron Microscope (SEM)

Scanning Electron Microscope (SEM) dikembangkan untuk mempelajari secara langsung struktur permukaan, mikrostruktur, dan morfologi bahan. Alat SEM yang digunakan pada penelitian ini dilengkapi dengan EDS (Energy Dispersive Spectroscopy). EDS dihasilkan dari Sinar-X karakteristik, yaitu dengan menembakkan sinar-X pada posisi yang ingin kita ketahui komposisinya. Maka setelah ditembakkan pada posisi yang diinginkan maka akan muncul puncak – puncak tertentu yang mewakili suatu unsur yang terkandung.

Scanning Electron Microscope (SEM) merupakan sejenis mikroskop yangmenggunakan elektron sebagai pengganti cahaya untuk melihat benda dengan resoles itinggi. Analisa SEM bermanfaat untuk mengetahui mikrostruktur (termasuk porositasdan bentuk retakan) benda padat. Berkas sinar elektron dihasilkan dari filamen yang dipanaskan, disebut elektron gun. Cara kerja SEM adalah gelombang elektron yang dipancarkan elektron gun terkondensasi dilensa kondensor dan terfokus sebagai titik yang jelas oleh lensa objekstif. Scanning coil yang diberi energi menyediakan medan magnetik bagi sinar elektron. Berkas sinar elektron yang mengenai cuplikan menghasilkan elektron sekunder dan kemudian dikumpulkan oleh detektor sekunder atau detektor backscatter. Gambar yang


(31)

27

dihasilkan terdiri dari ribuan titik berbagai intensitas dipermukaan Cathoda Ray Tube (CRT) sebagai topografi gambar. Pada sistem ini berkas elektron dikonsentrasikan pada spesimen, bayangannya diperbesar dengan lensa objektif dan diproyeksikan pada layar.

Cuplikan yang akan dianalisis dalam kolom SEM perlu dipersiapkan dahulu, walaupun telah ada jenis SEM yang tidak memerlukan pelapisan (coating) cuplikan. Terdapat tiga tahap persiapan cuplikan, antaralain:

1. Plat dipotong dengan menggunakan gergaji intan. Seluruh kandungan air, larutan dan semua benda yang dapat menguap apabila divakum, dibersihkan.

2. Cuplikan dikeringkan pada suhu 60°C minimal selama 1 jam.Cuplikan non logam harus dilapisi dengan emas tipis atau logam lainnya, seperti Pt. 3. Cuplikan logam dapat langsung dimasukkan dalam ruang cuplikan.

Sistem penyinaran dan lensa pada SEM sama dengan mikroskop cahaya biasa. Pada pengamatan yang menggunakan SEM lapisan cuplikan harus bersifat konduktif agar dapat memantulkan berkas elektron dan mengalirkannya ke ground.

Bila lapisan cuplikan tidak bersifat konduktif maka perlu dilapisi dengan emas atau Pt. Pada pembentukan lapisan konduktif, spesimen yang akan dilapisi diletakkan pada tempat sampel disekeliling anoda. Ruang dalam tabung kaca dibuat memliki suhu rendah dengan memasang tutup kaca rapat dan gas yang ada didalam tabung dipompa keluar. Antara katoda dan anoda dipasang tegangan 1,2 kV sehingga terjadi ionisasi udara yang bertekanan rendah. Elektron bergerak menuju anoda dan ion positif dengan energi yang tinggi bergerak menumbuk katoda emas. Hal ini menyebabkan partikel emas menghambur dan mengendap dipermukaan spesimen. (Gunawan dan Azhari, 2010).

2.7.2. Spektroskopi Infra Merah dan FTIR

Spektroskopi adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu tentang interaksi antara materi dengan radiasi elektromagnetik (REM). Interaksi yang terjadi dalam spektroskopi inframerah ini merupakan interaksi dengan REM melalui absorbansi


(32)

28

radiasi. Pancaran inframerah pada umumnya mengacu pada bagian spektrum elektromagnetik yang terletak diantara daerah tampak dan gelombang mikro. Molekul menyerap radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang yang khusus. Absorbansi cahaya ultraviolet mengakibatkan pindahnya sebuah elektron ke orbital dengan energi yang lebih tinggi. Radiasi inframerah tidak cukup mengandung energi untuk melakukan eksitasi tersebut, absorbsinya hanya mengakibatkan membesarnya amflitudo getaran atom-atom yang terikat satu sama lain (Sudarmadji, 1989).

Energi dari kebanyakan vibrasi molekul berhubungan dengan daerah vibrasi molekul yang dideteksi dan dapat diukur pada spektrofotometer infra merah. Spektra didaerah infra merah dapat digunakan untuk mempelajari sifat-sifat bahan, perubahan struktur yang sedikit saja dapat memberikan perubahan yang dapat diamati pada spectrogram panjang gelombang versus transmitasi. Menurut Sastrohamidjojo (1992), panjang gelombang yang diserap oleh berbagai tipe ikatan tergantung pada jenis vibrasi ikatan tersebut. Oleh karena itu berbagai jenis ikatan mengabsorbsi radiasi inframerah pada panjang gelombang yang berbeda.Perubahan ini sangat spesifik dan merupakan sidik jari suatu molekul dengan membandingkan spektogram yang dihasilkan oleh bahan yang diuji terhadap bahan yang sudah diketahui secara kualitatif. Penerapan secara kualitatif dapat dilakukan dengan membandingkan fungsi puncak pada panjang gelombang terkait yang dihasilkan oleh zat-zat yang diujikan dan zat standart. Spectra inframerah ditujukan terutama untuk senyawa organik yaitu analisis gugus fungsi yang dimiliki oleh senyawa tersebut (Mulja, M. 1995).

Kebanyakkan spektrum inframerah merekam panjang gelombang atau frekuensi versus %T. Tidak adanya serapan atau suatu senyawa pada suatu panjang gelombang tertentu direkam sebagai 100%T (dalam keadaan ideal). Bila suatu senyawa menyerap radiasi pada suatu panjang gelombang tertentu, intensitas radiasi yang diteruskan oleh contoh akan berkurang. Ini menyebabkan suatu penurunan %T dan terlihat didalam spektrum sebagai suatu sumur, yang disebut sebagai puncak absorpsi atau pita absorpsi. Bagian spektrum dimana %T menunjukkan angka 100 (atau hampir 100) disebut garis dasar (baase line), yang didalam spektrum inframerah direkam pada bagian atas (Fessenden, 1992).


(33)

29

2.7.3. Antioksidan

Sejak perang dunia pertama telah dikenal lebih kurang sebanyak 500 macam persenyawaan kimia yang mempunyai aktivitas antioksidan, yaitu dapat menghambat atau mencegah kerusakan lemak atau bahan pangan berlemak akibat proses oksidaasi. Pada pertama kali, bahan kimia tersebut ditambahkan untuk menghambat kerusakan oleh oksidasi pada karet, gasoline, plastik atau bahan non pangan lainnya dan belum digunakan dalam bahan pangan karena pada saat itu belum diketahui sampai berapa jauh pengaruh racun yang mungkin dapat ditimbulkannya. Sekarang antioksidan tersebut telah banyak digunakan atau ditambahkan ke dalam lemak atau bahan pangan berlemak. Berdasarkan penelitian Food Laboratories of Eastman Chemical Product Inc, telah diketahui efektifitas beberapa jenis antioksidan, sifat sinergis dari fosfolipid serta pengaruh asam sitrat dan asam fosfat terhadap aktifitas antioksidan pada kondisi tertentu. (Ketaren. S, 2005).

Sebagian penyakit disebabkan oleh adanya reaksi oksidasi yang berlebihan di dalam tubuh. Tampaknya oksigen merupakan sesuatu yang diparadoksial dalam kehidupan. Molekul ini sangat dibutuhkan oleh organisme aerob karena memberikan energi pada proses metabolisms dan represi, namun pada kondisi tertentu keberadaan dapat berimplikasi pada berbagai penyakit dan kondisi degenetatif seperti kanker. Reaksi oksidasi terjadi setiap saat, ketika kita bernafas pun terjadi reaksi oksidasi. Reaksi ini mencetuskan terbentuknya radikal bebas yang sangat aktif yang dapat merusak struktur serta fungsi sel. Namun reaktivitas radikal bebas itu dapat dapat dihambat oleh sistem antioksidan yang melengkapi sistem kekebalan tubuh. Para ahli kimia menyebutkan bahwa radikal bebas merupakan salah satu bentuk senyawa oksigen reaktif, yang secara umum diketahui sebagai senyawa yang memiliki elektron yang tidak berpasangan. Senyawa ini terbentuk didalam tubuh dipicu oleh bermacam-macam faktor. Radikal bebas bisa terbentuk, misalnya ketika komponen makanan diubah menjadi bentuk energi melalui proses metabolisme. Pada proses metabolisme ini sering kali terjadi kebocoran elektron. Dalam kondisi demikian mudah sekali terbentuk radikal bebas, seperti anion superoksida, hidroksil dan lain-lain. Radikal bebas juga dapat terbentuk dari senyawa lain yang sebenarnya bukan radikal


(34)

30

bebas, tapi mudah berubah menjadi radikal bebas. Misalnya hidrogen peroksida (H2O2), ozon dan lain-lain. Kedua kelompok senyawa tersebut sering diistilahkan sebagai Senyawa Oksigen Reaktif (SOR) atau Reaktive Oxygen Species (ROS). Senyawa ini juga memiliki aktivitas yang sama dan memberikan akibat yang hampir sama, meskipun melalui proses yang berbeda. Sebagai contoh dampak reaksi H2O2 (Sebagai antioksidan) dan radikal bebas hidroksil (OH•) terhadap glutation (GSH) atau reduktor. Radikal bebas memiliki reaktivitas yang sangat tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh sifatnya yang segera menarik atau menyerang elektron disekelilingnya, senyawa radikal bebas juga dapat mengubah suatu molekul menjadi suatu radikal. Berdasarkan sifat ini, radikal bebas dianggap sama dengan oksidan. Pemahaman radikal bebas sebagai oksidan memang tidak salah, tetapi perlu diketahui bahwa tidak setiap oksidan merupakan radikal bebas. Radikal bebas lebih berbahaya dibandingkan dengan senyawa oksigen non-radikal. Hal ini berkaitan dengan tingginya reaktivitas senyawa radikal bebas tersebut, yang mengakibatkan terbentuknya senyawa radikal baru. Bila senyawa radikal baru tersebut bertemu dengan molekul lain akan terbentuk radikal baru lagi dan seterusnya sehingga akan terjadi reaksi berantai. Reaksi seperti ini akan berlanjut terus dan baru akan berhenti apabila reaktivitasnya diredam oleh senyawa yang bersifat antioksidan seperti glutation (Winarsi,H.2007).

Pembentukkan radikal bebas dan reaksi oksidasi pada biomolekul akan berlangsung sepanjang hidup. Inilah penyebab utama dari proses penuaan dan berbagai penyakit degenetatif. Radikal bebas yang penting dalam makhluk hidup dan yang sangat berbahaya adalah radikal bebas oksigen (RBO), yaitu hidroksil (OH•), superoksida (O2-), nitrogen monooksida (NO), dan peroksil (RO2•), peroksinitrit (ONOO-), asam hipoklorit (HOCl), hidrogen peroksida (H2O2), oksigen singlet (1O2) dan ozon (O3) bukanlah radikal tetapi dengan mudah dapat menjurus ke reaksi-reaksi radikal bebas. (Silalahi.J,2007)

2.7.3.1. Pengukuran Aktivitas Antioksidan dengan DPPH

Peredaman radikal merupakan suatu mekanisme utama dari antioksidan berperan dalam makanan. Metode yang telah dikembangkan dalam perhitungan nilai


(35)

31

aktivitas antioksidan oleh peredaman radikal sintetis dalam pelarut organik polar pada suhu kamar. Dalam pengujian DPPH peredaman radikal-radikal DPPH diikuti dengan memantau penurunan absorbansi yang disebabkan karena reduksi oleh antioksidan (AH) atau reaksi dengan spesi radikal (R•),

DPPH • + AH DPPH-H + A•

DPPH • + R • DPPH-R

Reaksi cepat terjadi pada radikal DPPH dengan beberapa senyawa fenolik, tetapi reaksi selanjutnya lambat yang disebabkan terjadinya penurunan absorbansi. Oleh karena itu, keadaan dasar tidak akan tercapai untuk bebarapa jam. Kebayakan dokumentasi untuk penggunaan metoe DPPH adalah peredaman 15 atau 30 menit untuk reaksi. Hasil uang dituliskan berupa IC50 yang merupakan suatu konsentrasi sampel antioksidan yang diuji mampu melakukan perdeman 50% terhadap radikal DPPH dalam jangka waktu tertentu. (Murkovic,M.2015)

2.7.4. Uji Aktivitas Mikrobiologi Pangan

Sejumlah besar penelitian memperlihatkan bahwa makanan tambahan yang dioalah dalam kondisi yang tidak higenis kerapkali terkontaminasi berat dengan bakteri patogen dan merupakan faktor resiko utama dalam penularan penyakit, Dalam kemasan edible film dapat ditambahkan bahan baku seperti antimikroba. Kemasan antimikroba adalah sistem kemasan yang mampu mengendalikan, mengurangi, menghambat atau memperlambat pertumbuhan mikroorganisme patogen dan mengurangi kontaminasi permukaan makanan.

Berdasarkan pewarna gram karena perbedaan struktur dinding selnya, bakteri digolongkan menjadi dua yaitu bakteri gram positif dan bakteri gram negatif.

1. Escherichia Coli

Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif, berbentuk batang dengan panjang sekitar 2 mikrometer dan diameter 0,5 mikrometer, bersifat anaerob fakulatif, biasanya dapat bergerak dan tidak membenruk spora. Bakteri ini umumnya hidup pada rentang 20-40ºC, optimum pada 37ºC. Escherichia coli merupakan bakteri yang secara normal terdapat di dalam usus dan berperan dalam


(36)

32

proses pembusukan sisa-sisa makanan. Keberadaan bekteri ini merupakan parameter ada tidaknya materi fekal di dalam suatu habitat khusunya air, Escherichia coli adalah salah satu jenis bakteri yang ada dalam tinja manusia dan dapat mengakibatkan gangguan pencernaan seperti diare.

2. Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif, aerob atau anaerobfakultatif berbentuk bola atau kokus berkelompok tidak teratur, diameter 0,8 – 1,0 μm, tidak membentuk spora dan tidak bergerak, koloni berwarna kuning. Bakteri ini tumbuh cepat pada suhu 37ºC tetapi paling baik membentuk pigmen pada suhu 20-25ºC. Koloni pada pembenihan padat berbentuk bulat halus, menonjol dan berkilau membentuk berbagai pigmen. Bakteri ini terdapat pada kulit, selaput lender, bisul dan luka. Dapat menimbulkan penyakit melalui kemampuannya berkembang biak dan menyebar luas dalam jaringan.

Usaha untuk menjaga agar mikroorganisme perusak tidak mencemari bahan makanan dapat mengurangi kerusakan makanan, memudahkan pengawetan pangan dan memperkecil kemungkinan adanya patogen. Pengepakan (kemasan) makanan, pengalengan makanan yang telah diolah dan pelaksanaan metode yang memenuhi syarat kebersihan dalam menangani bahan makanan merupakan contoh penanganan aseptik (Jawetz,2001).

2.9. Sosis

Sosis merupakan suatu makanan yang terbuat dari daging cincang, lemak hewan, ternak dan rempah, serta bahan bahan laut. Sosis umumnya dibungkus dalam suatu pembungkus yang secara tradisional menggunakan usus hewan, tapi sekarang sering kali menggunakakan bahan sintetis, serta diawetkan dengan suatu cara, misalnya dengan pengasapan. Pembuatan sosis merupakan suatu teknik produksi dan pengawetan makanan yang telah dilakukan sejak sangat lama.


(37)

33

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Alat

Adapun alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Plat akrilik

Cutter Blender Saringan

Batang Pengaduk Spatula

Pipet tetes Magnetic stirer

Erlenmeyer pyrex

Oven

Neraca analitis mettle toledo

Gelas beaker pyrex

Gelas ukur pyrex

Thermometer YZ

Botol reagen Botol aquadest Hotplate

SEM JSM-6360

Corong

Ayakan EFL1 mk3

Indikator universal Inkubator

Spketroskopi FT-IR


(38)

34 Jangka Sorong

Labu Takar Permacolor

Cawan Petri Tabung Reaksi Rak Tabung

Pipet volume Pyrex

Plastik

3.2 Bahan

Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Sisik Ikan Gurami

Tepung Tapioka Etanol 96%

CH3COOH(aq) p.a. (E-Merk)

NaOH 0,1 m HCl 1N Blank Disc Aquadest Kitosan

Gliserin p.a. (E-Merk)

Nutrien agar (NA)

Mueller Hinton Agar (MHA) Larutan standar McFarland Plate Count Agar (PCA) Sosis


(39)

35

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Pembuatan Larutan Pereaksi

3.3.1.1 Pembuatan larutan CH3COOH 1%

Dipipet 1 ml larutan CH3COOH glasial kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Diencerkan dengan akuades hingga garis tanda. Kemudian dihomogenkan.

3.3.1.2 Pembuatan Larutan Kitosan 2%

Ditimbang 1 g kitosan kemudian dimasukkan kedalam gelas beaker. Ditambahkan 50 mL larutan CH3COOH 1%. Didiamkan selama ± 1 jam hingga seluruh kitosan

larut.

3.3.2 Penyediaan Sisik Ikan

Sisik ikan gurami yang sudah diambil dibersikan terlebih dahulu dengan menggunakan air agar terpisah dari kotoran, kemudian direndam dengan menggunakan larutan NaOH 0,1 M selama 3 hari (dengan penggantiaan larutan setiap hari), kemudian sisik ikan disaring dengan kertas saring biasa lalu dicuci dengan menggunakan akuades sampai pH nya netral, kemudian dikeringkan dengan suhu 60ºC. Setelah itu dihaluskan dan diayak.

3.3.3 Pembuatan Edible Film

3.3.3.1 Pembuatan Edible Film dengan Campuran Tepung Tapioka, Gliserin dan Kitosan 2%

Sebanyak 1,5 g tepung tapioka dimasukkan kedalam gelas beaker yang telah diisi dengan 25 mL akuades, ditambahkan 1 ml Gliserin.Diaduk hingga homogen.Dipanaskan diatas hotplate pada suhu ±50oC hingga bercampur menjadi cairan putih kental.Kemudian ditambahkan larutan kitosan 2% sebanyak 12 ml. Diaduk hingga homogen. Campuran dituang ke plat akrilik dan diratakan. Dikeringkan didalam oven pada suhu ±40oC selama ± 2 hari. Kemudian hasil


(40)

36

dikarakterisasi dengan uji tarik, uji keregangan, pengukuran ketebalan, analisa permukaan dengan SEM, analisa FT-IR, uji antioksidan, uji antibakteri.

3.3.3.2 Pembuatan Edible Film dengan Campuran Tepung Tapioka, Sisik Ikan Gurami, Gliserin dan Kitosan 2%

Sebanyak 1,5 g tepung tapioka dimasukkan kedalam gelas beaker yang telah diisi dengan 25 mL akuades, ditambah 1 ml Gliserin dan 0,1 g sisik ikan gurami.Diaduk hingga homogen.Dipanaskan diatas hotplate pada suhu ±50oC hingga bercampur menjadi cairan putih kental.Kemudian ditambahkan larutan kitosan 2% sebanyak 12 ml. Diaduk hingga homogen. Campuran dituang ke plat akrilik dan diratakan. Dikeringkan didalam oven pada suhu ±40oC selama ± 2 hari. dilakukan hal yang sama untuk variasi berat sisik ikan sebanyak 0,2 g ; 0,3g ; 0,4g; dan 0,5 g. Kemudian hasil dikarakterisasi dengan uji tarik, uji keregangan, pengukuran ketebalan, analisa permukaan dengan SEM, analisa FT-IR, uji antioksidan, uji antibakteri.

3.4. Karakterisasi Edible Film

3.4.1. Uji Tarik / Uji Keregangan

Kekuatan tarik suatu bahan didefinisikan sebagai besarnya beban maksimum (Fmaks) yang digunakan untuk memutuskan spesimennya bahan dibagi dengan luas penampang awal (A0).

�=Fmaks A0 Keterangan :

σ = kekuatan tarik bahan (kgf/mm2) F = tegangan maksimum (kgf) A0 = luas penampang (mm2)

Disamping bersama kekuatan tarik ( σ ) sifat mekanik bahan juga diamati dari sifat kemulurannya (� ) yang dilakukan dengan memilih hasil spesimen dengan ketebalan 0,1 mm dan dipotong membentuk spesimen untuk penguji kemuluran.


(41)

37

Kedua spesimen dijepit pada alat kemuluran kemudian dicatat perubahan panjang (mm) berdasarkan besar kecepatan 50 mm/menit.

Perhitungan dilakukan sebagai berikut :

� =It−I0

I0 × 100% �= ������

I0 × 100% Keterangan:

� = Kemuluran (%)

I0 = Panjang spesimen mula-mula (mm)

It = Panjang spesimen setelah diberi beban (mm)

3.4.2 Pengukuran Ketebalan Edible Film

Dilakukan pengukuran ketebalan edible film dengan menggunakan jangka sorong pada tiga tempat yang berbeda kemudian dihitung ketebalan rata-rata edible film.

3.4.3 Analisa SEM ( Scanning Electron Microscopy )

Analisa SEM dilakukan untuk mempelajari sifat morfologi dari film yang dihasilkan. Hasil analisis SEM dapat kita lihat rongga-rongga hasil pencampuran serbuk sisik ikan gurami, kitosan, tepung tapioka dan gliserin. Informasi dari analisa ini akan mendapatkan gambaran seberapa baik bahan-bahan tersebut bercampur.

3.4.4 Analisa FT-IR (Fourier Transform Infra Red)

Analisa FT-IR (Fourier Transform Infra Red) merupakan analisa terhadap interaksi senyawa-senyawa yang terkandung dalam edible film berupa uluran atau lekukan gugus fungsi yang ditampilkan dalam bentuk spektrum gelombang. Dalam hal ini, dilihat spektrum interaksi gugus fungsi dari edible film hasil campuran tepung tapioka dengan kitosan, sisik ikan gurami, dan gliserin


(42)

38

berdasarkan sifat mekanik edible film yang optimal.Film hasil pencampuran dijepit pada tempat sampel kemudian diletakkan pada alat ke arah sinar infrared. Hasilnya akan direkam ke dalam berskala berupa aliran kurva bilangan gelombang terhadap intensitas.

3.4.5. Uji Aktivitas Antioksidan dengan Metode DPPH 3.4.5.2. Pembuatan Larutan DPPH 0,3 mM

Larutan DPPH 0,3 mM dibuat dengan melarutkan 11,85 g serbuk DPPH dalam etanol p.a pada labu takar 100 mL, kemudian dihomogenkan.

3.4.5.3. Pembuatan Variasi Larutan Edible Film

Edible film dibuat larutan induk 1000 ppm : dengan melarutkan 0,025 g edible film dengan pelarut etanol dalam labu takar 25 mL. Kemudian dari larutan induk dibuat larutan 100 ppm, dari larutan 100 ppm dibuat lagi variasi konsentrasi larutan 10 ppm, 20 ppm, 40 ppm, 60 ppm dan 80 ppm untuk diuji aktivitas antioksidannya.

3.4.5.4. Uji Antioksidan 3.4.5.4.1. Larutan Blanko

Sebanyak 1 ml larutan induk DPPH 0,3 mM ditambahkan 2,5 ml etanol p.a dihomogenkan dalam tabung reaksi dan dibiarkan selama 30 menit pada ruang gelap. Setelah itu diukur absorbansi dengan panjang gelombang maksimum 515 nm.

3.4.5.4.2. Uji Aktivitas Antioksidan pada Edible Film

Sebanyak 1 ml larutan DPPH 0,3 mM ditambahkan kedalam 2,5 ml larutan edible film 10 ppm, dihomogenkan dalam tabung reaksi dan dibiarkan selama 30 menit pada ruang gelap. Setelah itu, diukur absorbansi dengan panjang gelombang


(43)

39

maksimum 515 nm. Dilakukan dengan cara yang sama terhadap larutan edible film 20 ppm, 40 ppm, 60 ppm dan 80 ppm.

3.4.6. Uji Aktivitas Antibakteri

3.4.6.1. Uji Aktivitas dengan Metode Kirby Bauer

Dituang media MHA (Mueller Hinton Agar) steril kedalam cawan petri secara aseptis dan biarkan hingga memadat. Dibuat suspensi bakteri uji dengan cara mengambil biakkan bakteri tersebut untuk selanjutnya dihomogenkan kedalam 10 ml garam fisiologis (0,9 %). Konsentrasi bakteri uji selanjutnya disamakan dengan konsentrasi larutan McFarland (108 CFU/mL). Suspensi bakteri uji tersebut selanjutnya diinokulasikan dengan cara menggoresnya menggunakan cotton bud steril hingga merata pada media MHA yang telah memadat. Dimasukkan potongan edible film kedalam media uji untuk selanjutnya diinkubasi pada suhu 34 oC. Diamati dan diukur hasil uji antibakteri yang dihasilkan edible film dimulai dari hari pertama, ketiga dan kelima setelah masa inkubasi.

3.4.6.2. Uji Aktivitas dengan Metode Total Plate Count

Disiapkan 5 buah tabung reaksi yang masing-masing berisi 9 mL akuades steril. Selanjutnya ditimbang sebanyak 1 g sampel uji untuk dimasukkan kedalam tabung reaksi pertama. Dari hasil homogenisasi antara 9 ml akuadest steril dengan 1 g sampel uji diperoleh faktor pengenceran dengan konsetrasi 10-1. Dari hasil pengenceran 10-1 diambil sebanyak 1 ml untuk dimasukkan kedalam tabung ke 2. Hasill homogenisasi pada tabung ke dua akan memperoleh faktor pengenceran dengan konsentrasi 10-2 begitu seterusnya hingga diperoleh faktor pengenceran 10-5. Diambil masing-masing sebanyak 0,1 ml dari pengenceran 10-4 dan 10-5 untuk diinokulasikan kedalam 2 cawan petri yang berbeda. Dituangkan media PCA (Plate Count Agar) pada kisaran suhu ±36 oC kedalam cawan petri yang telah berisi 0,1 ml larutan dari hasil faktor pengenceran 10-4 dan 10-5. Diinkubasi hasil TPC dengan metode cawan tuang tersebut pada suhu 34 oC selama 1 x 24 jam. Dihitung jumlah koloni yang tumbuh setelah masa inkubasi.


(44)

40

3.5. Bagan Penelitian

3.5.1 Preparasi Sampel

Sisik Ikan Gurami

dibersihkan dengan menggunakan air direndam dengan larutan NaOH 0,1 N (selama 3 hari dengan pergantian setiap hari)

disaring dengan kertas saring biasa

dicuci dengan menggunakan akuades sampai pH nya netral

dikeringkan dengan suhu 60ºC dihaluskan


(45)

41

3.5.2 Pembuatan Edible Film

a. Pembuatan Edible Film Tanpa Bahan Pengisi

Tepung Tapioka

ditimbang sebanyak 1,5 g

dimasukkan kedalam beaker glass ditambahkan 25 ml akuades ditambahkan 1 ml gliserin diaduk hingga homogen

dipanaskan di atas hot plate dengan suhu ±50ºC Larutan Putih Susu

ditambahkan larutan kitosan 2% sebanyak 12 ml diaduk hingga homogen

Larutan Putih Kental

dituangkan ke plat akrilik dan diratakan

dikeringkan di dalam oven dengan suhu 40ºC (selama 2 hari)


(46)

42

b. Pembuatan Edible Film dengan Bahan Pengisi (Sisik Ikan Gurami)

Tepung Tapioka

ditimbang sebanyak 1,5 g

dimasukkan ke dalam beaker glass ditambahkan 25 ml akuades ditambahkan 1 ml gliserin

ditambahkan 0,1 g sisik Ikan Gurami diaduk hingga homogen

dipanaskan di atas hotplate dengan suhu 50ºC Larutan Putih Susu

ditambahkan larutan kitosan 2% sebanyak 12 ml diaduk hingga homogen

Larutan Putih Kental

dituangkan ke plat akrilik dan diratakan

dikeringkan di dalam oven dengan suhu 40ºC (selama 2 hari)

Edible Film

Catatan: dilakukan hal yang sama untuk variasi beratsisik ikan sebanyak 0,2 g ; 0,3 g ; 0,4 g ; 0,5 g.


(47)

43

3.5.3 Pengujian Edible Film

Edible Film

Uji Fisik Uji Aktivitas Bakteri Uji Antioksidan

Pengukuran Bakteri E. coli Uji Aktivitas

Ketebalan Bakteri Staphylococcus Antioksidan aureus

Kuat Tarik

Dan

Keregangan SPC

Uji FT-IR


(48)

44

3.5.4 Uji Aktivitas Antioksidan 3.5.4.1. Uji Blanko

1 ml larutan DPPH 0,3 mM

dimasukkan kedalam tabung reaksi ditambahkan 2,5 ml etanol p.a dihomogenkan

dibiarkan selama 30 menit dalam ruangan gelap diukur absorbansi pada panjang gelombang 515 nm Hasil

3.5.4.2. Uji Larutan Edible Film

1 ml larutan DPPH 0,3 mM

dimasukkan ke dalam tabung reaksi

ditambahkan 2,5 ml larutan edible film sesuai dengan variasi konsentrasi

dihomogenkan

dibiarkan selama 30 menit dalam ruangan gelap

diukur absorbansi pada panjang gelombang maksimum 515 nm Hasil


(49)

45

3.5.5. Pengujian Aktivitas Antibakteri Edible Film

3.5.5.1 Uji Aktivitas Edible Film dengan Metode Kirby Bauer

Biakan bakteri Escherichia coli dan Staphyloccus aureus

disuspensi dalam akuades steril dihomogenkan dengan vortex dibandingkan dengan kekeruhan Suspensi bakteri

diencerkan dengan akuades

Steril sampai kekeruhan Media MHA

106 CFU/ml diinkubasi di

Suspensi Bakteri atas media MHA

diinkulasi di atas media MHA

Media MHA Cakram

Edible Film

diletakkan cakram edible film diatas media MHA diinkubasi secara terbaik dalam inkubator pada suhu 32-34ºC selama 24 jam

diukur diameter zona antibakteri


(50)

46

3.5.5.2 Uji Aktivitas Edible Film dengan Metode Standart Plate Count (SPC) pada Sosis

Sosis

dibungkus dengan edible film diletakkan pada suhu kamar dipotong seberat 1 g

dihaluskan dan dimasukkan dalam tabung reaksi ditambah akuades steril sebanyak 9 ml

Kultur awal pengenceran 10-1

diencerkan hingga 10-5

dimasukkan 0,1 ml ke dalam media PCA padat di dalam cawan petri

diratakan dengan hockey stick Media PCA dan kultur

diinkubasi pada suhu 32-34ºC selama 24 jam dihitung isolate bakteri

Hasil

Dilakukan perlakuan yang sama untuk sosis yang dibungkus dengan plastik biasa dan edible film liquid untuk perbandingan.


(51)

47

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

Dari hasil penelitian karakterisasi dan uji aktivitas edible film dari campuran tepung tapioka, kitosan, sisik ikan gurami (oshpronemus gouramy) dan gliserin untuk pembungkus sosis yang telah dilakukan. Diperoleh karakteristik edible film sebagai berikut:

Tabel 4.1. Hasil Analisa Karakterisasi Edible film dari Sisik Ikan Gurami (Oshpronemus gouramy) dengan Penambahan Tepung Tapioka, Kitosan dan Gliserin sebagai Plastisizer

No . Parameter Penambahan Sisik Ikan

0,4 g 0,5 g

1. Kuat tarik 0,061 KgF/mm² 0,135 KgF/mm²

2. Ketebalan 0,14 mm 0,16 mm

3. Keregangan 14,90 % 29,31%

4.1.1. Hasil Analisa Kuat Tarik Edible film dari Sisik Ikan Gurami (Oshpronemus gouramy) dengan Penambahan Tepung Tapioka, Kitosan 2%, dan Gliserin sebagai Plastisizer

Penentuan kuat tarik Edible filmdari sisik ikan gurami (oshpronemus gouramy) dengan penambahan tepung tapioka, kitosan 2% dan gliserin dapat dihitung sebagai berikut :


(52)

48 Kuat Tarik =

A o L o a A o

F m a k s = Keregangan =

Gauge Extension

Dimana:

Load : 0,13 KgF

Extension : 19,928 mm/menit

Gauge : 68 mm

Lebar sampel : 6 mm

Tebal sampel : 0,16 mm

Ao = Lebar sampel x Tebal sampel = 6 mm x 0,16 mm

= 0,96 mm2

Kuat Tarik = 96 , 0 13 , 0

= 0,135 KgF/mm2

Keregangan =

Gauge Extension = 68 928 , 19


(53)

49

4.1.2. Hasil Analisa SEM ( Scanning Electron Microscopy)

Hasil pemeriksaan SEM menunjukkan bentuk permukaan dari edible film dari sisik ikan gurami (oshpronemus gouramy) dengan penambahan tepung tapioka, kitosan 2% dan gliserin sebagai plastisizer. Dari karakterisasi uji tarik dan kemuluran menunjukkan hasil terbaik dengan 0,5 g sisik ikan gurami dengan penambahan 1,5 g tepung tapioka, kitosan 2% sebanyak 12 ml dan 1 ml gliserin sebagai plastisizer, sehingga dilakukan uji fisik SEM ( Scanning Electron Microscopy) yang menunjukkan hasil permukaan dan morfologi yang tidak begitu rata. Hasil SEM dapat dilihat pada lampiran 2.

4.1.3. Hasil AnalisisSpectroscopy Fourier Transform Infra Red(FT-IR)

Edible Film

Analisis karakterisasi FT-IR edible film dilakukan dengan mengidentifikasi gugus-gugus fungsi dan analisa kuantitatif derajat deasetilasi dari edible film yang telah dihasilkan dari penelitian ini. Hasil Karakterisasi gugus fungsi berupa spektrogram FTIR yang ditunjukan pada Gambar 4.1

Gambar 4.1. Spektrum FTIR Edible Film

4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500

0 2 4 6 8 10

% T


(54)

50

Gambar 4.2 Spektrum Senyawa Hasil Penelitian dengan FT-IR

Keterangan : A. Gliserin

B. Tepung tapioka C. Kitosan

D. Sisik ikan E. Edible film


(55)

51

Table 4.2Interpretasi Gugus Fungsi Senyawa Hasil Analisis FT-IR

Gugus Fungsi Frekuensi (cm-1) Hasil Frekuensi (cm-1) Teori

CH

2931,95 (T)

2841-2967 2924,09 (SI)

2935,13 (G) 2870,08 (E)

OH

3297,98 (T)

2500-3333 3425,58 (SI)

3294,29 (G) 3361,17 (K) 3410,15 (E)

OH Free 2931,80 (K) 3571-3636

Keterangan: T = Tepung tapioka ; SI = Sisik ikan ; G= Gliserin ; E = Edible ; K = Kitosan

4.1.4. Hasil Uji Aktivitas Antioksidan Edible Film

Pada edible film dilakukan uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH radikal bebas untuk diperoleh nilai IC50 dengan dilakukan pengamatan secara spectrofotometer UV-Visible pada panjang gelombang maksimum 515 nm. Kemampuan antioksidan diukur sebagai penurunan serapan larutan DPPH (peredeman warna ungu DPPH) dapat dilihat pada tabel 4.3


(56)

52

Tabel 4.3. Hasil Pengukuran Absorbansi Edible Film

Sampel Absorbansi % Peredaman

Larutan Blanko 0,702 0

10 ppm 0,526 25,07 %

20 ppm 0,461 34.33 %

40 ppm 60 ppm 0,455 0,375 35,18 % 46,58 %

80 ppm 0,369 47,44 %

Dari persamaan regresi linier diperoleh nilai IC50 = 49,34 mg/L (49,34 ppm)

Gambar 4.3 Grafik % Peredaman Vs Konsentrasi Edible Film

4.1.5. Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Edible Film

Pada edible film dilakukan uji aktivitas antibakteri dengan menggunakan Metode Kirby Bauer. Aktivitas antibakteri edible film menunjukkan tidak memiliki zona

y = -0,922 X + 95,55 R² = 0.746

0 10 20 30 40 50 60

0 20 40 60 80 100

% P e re d a m a n Konsentrasi (ppm)


(57)

53

hambat pada pertumbuhan bakteri patogen yaitu Staphylococcus aureus dan Eschericia coli.

Tabel 4.4 Hasil Pengukuran diameter zona hambat beberapa kultur bakteri oleh edible film

No Spesies Bakteri Bahan Uji Diameter Zona Hambat (mm)

Indeks

Antimkrobial

1 Staphylococcus aureus

Edible film I. - I. -

(Gram positif) II. - II. -

2 Escherichia

coli

Edible film I. - I. -

(Gram negatif) II. - II. -

4.1.6. Pertumbuhan Koloni Bakteri pada Sosis Dibungkus dengan

Edible Film, Dicelup dengan Edible Film Liquid dan Dibungkus

dengan Plastik Biasa Metode StandartPlate Count

Dengan menggunakan metode Standard Plate Count (SPC) pada media plate count agar (PCA), jumlah koloni yang tumbuh pada sosis yang dibungkus dengan edible film dapat dihitung. Perhitungan jumlah koloni dilakukan dengan menggunakan counter pada jangka waktu 24 jam. Sebagai kontrol jumlah koloni juga dilakukan terhadap sosis yang dicelup dengan edible film liquid dan dibungkus dengan plastik biasa. Berikut hasil perhitungan jumlah koloni yang tumbuh pada media PCA.

Tabel 4..5 Hasil Pengamatan Pertumbuhan Koloni pada Sosis Dibungkus denganEdible Film, Dicelup dengan Edible FilmLiquid, dan Dibungkus dengan Plastik Biasa


(58)

54

No Sampel Jumlah Koloni

1 Sosis dibungkus dengan edible film 3 x 10 4 2 Sosis dicelup dengan edible film liquid 35 x 10 4 3 Sosis dibungkus dengan plastik biasa 28 x 104

4.2. Pembahasan Penelitian

4.2.1. Analisa Karakterisasi Edible Film 4.2.1.1. Kuat Tarik

Kuat tarik dan kemuluran berhubungan dengan sifat kimia film. Kuat tarik adalah ukuran untuk kekuatan film secara spesifik, merupakan tarikan maksimum yang dapat dicapai sampai film tetap bertahan sebelum putus atau sobek. Pengukuran ini digunakan untuk mengetahui besarnya gaya yang dibutuhkan untuk mencapai tarikan maksimum pada setiap luas area film. Pengujian kekuatan tarik dilakukan dengan alat uji tarik terhadap spesimen dengan ketebalan dan ukuran yang sesuai dengan spesimen uji kekuatan tarik. Berdasarkan hasil pengukuran kuat tarik, Alat uji tarik terlebih dahulu dikondisikan pada beban 100 KgF dengan kecepatan tarik 5 mm/menit, kemudian spesimen dijepit kuat dengan penjepit dan alat. Lalu mesin dihidupkan dan spesimen akan tertarik ke atas dan diamati sampai putus. Edible film yang dihasilkan dari penelitian dengan variasi 0,4 g sisik ikan, 1,5 g tepung tapioka, 12 ml kitosan 2% dan 1 ml gliserin uji tarik yang diperoleh 0,061 KgF/mm². Sedangkan pada edible film dengan variasi 0,5 g sisik ikan, 1.5 g tepung tapioka, 12 ml kitosan 2% dan 1 ml gliserin diperoleh kuat tarik yang lebih tinggi yaitu sebesar 0,135 KgF/mm². Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa edible film dengan variasi penambahan 0,5 sisik ikan lebih kuat. Hal ini dikarenakan semakin banyak sisik ikan yang dicampurkan secara merata dan lebih stabil menimbulkan gaya intermolekul antara penyusun tepung tapioka yang saling menguatkan ditambah dengan kandungan sisik ikan yang memiliki sifat kekerasan sisik yang tereduksi menjadikannya juga lentur.


(59)

55

4.2.1.2. Ketebalan

Pengukuran ketebalaan film dilakukan pada lima titik yang diukur secara acak dengan menggunakan mikrometer sekrup. Hasil dari pengukuran ketebalan edible film pada variasi 0,5 g sisik ikan, 1,5 g tepung tapioka, 12 ml kitosan 2% dan 1 ml gliserin yaitu 0,16 mm lebih tinggi dibandingkan dengan ketebalan edible film dengan variasi 0,4 g sisik ikan, 1,5 g tepung tapioka, 12 ml kitosan 2% dan 1 ml gliserin yaitu 0,14 mm. Hal ini dikarenakan dengan adanya perbedaan variasi pada penambahan sisik ikan. Sisik ikan yang terdapat dalam film mempengaruhi komposisi film sehingga semakin banyak sisik ikan yang ditambahkan sebagai bahan pengisi mempengaruhi ketebalan film.

4.2.1.3. Keregangan

Keregangan film adalah kemampuan bertambah panjang ketika ada beban tarik yang dialami film. Nilai elongasi menggambarkan ukuran kemampuan film untuk merenggang atau memanjang. Keregangan film dinyatakan dalam kemuluran saat putus dengan satuan % yang menunjukkan pertambahan panjang sebelum putus dibandingkan panjang awal. Sifat keregangan atau kemuluran ini sangat berguna mengingat sifat pembungkus harus mampu melindungi makanan yang ada di dalam edible film. Berdasarkan hasil uji keregangan edible film dengan variasi 0,5 g sisik ikan, 1,5 g tepung tapioka, 12 ml kitosan 2% dan 1 ml gliserin dihasilkan persen keregangan 29,31% sedangkan variasi 0,4 g sisik ikan, 1,5 g tepung tapioka, 12 ml kitosan2% dan 1 ml gliserin dihasilkan persen keregangan 14,90%. Hal ini dapat disimpulkan semakin kuat suatu film maka semakin kuat juga persen keregangan karena film yang kuat tidak mudah putus ketika terjadi tarikan.

4.2.3. Analisa SEM (Scanning Electron Microscopy)

Morfologi permukaan dianalisis dengan SEM. Hasil yang didapat dipengaruhi oleh bahan penyusun dari edible film, apakah bahan yang digunakan dapat bercampur atau tidak antara matriks, filler maupun plastisizer yang ditambahkan,


(60)

56

dilihat dari uji karakterisasi yang tertinggi dilakukan analisa SEM terhadap edible film. Edible film yang dianalisa SEM adalah edible film dengan hasil uji kuat tarik dan keregangan terbaik. Hasil terbaik yang diperoleh adalah edible film dengan variasi 0,5 g sisik ikan, 1,5 g tepung tapioka, 12 ml kitosan 2% dan 1 ml gliserin. Pada analisa SEM ini dihasilkan dapat dilihat pada perbesaran 2000 x permukaan dari edible film yang cukup teratur dan pori-pori yang rapat namun struktur dari edible film masih kelihatan tidak begitu rata karena filler berupa sisik ikan tidak tercampur sempurna.

4.2.4. Analisa FTIR (Fourier Transform Infra Red)

Dari lampiran 3 dapat dilihat untuk hasil spektrum yang terlihat pada daerah 3297,98 cm-1 menunjukkan adanya gugus hidroksil (OH) yang berasal dari α -glukosa, spektrum dengan serapan pada daerah 2924,09 cm-1 menunukkan adanya gugus hidroksil (OH) yang berasal dari sisik ikan, spektrum dengan serapan pada daerah 3294,29 cm-1 menunjukkan adanya gugus hidroksil (OH) yang berasal dari gliserin, spektrum dengan serapan pada daerah 3361,17 cm-1 menunjukkan adanya gugus hidroksil (OH) yang berasal dari kitosan. Dari lampiran 3 dapat dilihat untuk hasil spektrum yang terlihat pada daerah 2931,95 cm-1 menunjukkan adanya CH alifatis yang berasal dari tepung tapioka, spekrum dengan serapan pada daerah 2924,09 cm-1 menunjukkan adanya CH alifatis yang berasal dari sisik ikan. Spektrum dengan serapan pada daerah 2935,13 cm-1menunjukkan adanya CH alifatis yang berasal dari gliserin,

Spektrum dengan serapan pada daerah 3410,15 cm-1 menunjukkan adanya gugus hidroksil (OH) pada edible film. Perbedaan ini juga jelas terlihat pada gabungan spektrum yang ditunjukkan pada gambar 4.2 diatas dan pada spektrum dengan serapan pada daerah 2893,22 cm-1 menunjukkan adanya CH alifatis yang berasal dari edible film. Nilai spectrum ini menunjukkan bahwa adanya interaksi antara semua bahan yang dicampurkan kedalam film yaitu sisik ikan, tepung tapioka, kitosan dan gliserin.


(61)

57

Antioksidan merupakan zat yang mampu memperlambat atau mencegah proses oksidasi. Berdasarkan tabel 4.2 menunjukkan hasil dari pengujian aktivitas antioksidan edible film, bahwa adanya penurunan absorbansi DPPH dengan penambahan edible film pada larutan DPPH dibandingkan dari larutan blanko tanpa penambahan edible film. Dari nilai absorbansi yang diperoleh menunjukkan aktivitas antioksidan dalam meredam radikal bebas DPPH yang kuat. DPPH atau 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (α,α-difenil-βpikrilhidrazil) merupakan suatu radikal bebas yang stabil dan tidak membentuk dimer akibat delokalisasi dari elektron bebas pada seluruh molekul. Delokalisasi elektron bebas ini juga mengakibatkan terbentuknya warna ungu pada larutan DPPH sehingga bisa diukur absorbansinya pada panjang gelombang sekitar 520 nm. Ketika elektron pada DPPH menjadi berpasangan maka warna larutan berubah dari ungu tua menjadi kuning terang dan absorbansi pada panjang gelombang maksimumnya akan hilang. Intensitas warna dari larutan uji diukur melalui spektrofotometri UV-Vis pada panjang gelombang sekitar 520 nm. Hasil dari uji ini diinterprestasikan sebagai IC50, yaitu jumlah antioksidan yang diperlukan untuk menurunkan konsentrasi awal DPPH sebesar 50% Penurunan nilai absorbansi terjadi karena larutan uji meredam DPPH dan peredaman terjadi karena adanya transfer elektron atom hidrogen antioksidan kepada DPPH.

Gambar 4.4 Reaksi DPPH

Penurunan absorbansi yang semakin menurun menunjukkan adanya aktivitas antioksidan dalam meredam radikal bebas DPPH dikarenakan adanya gugus hidroksil pada edible film dimana dapat bertindak sebagai donor hidrogen terhadap radikal bebas.


(62)

58

Nilai IC50 diperoleh berdasarkan persamaan regresi linier yang didapatkan dengan cara memplot konsentrasi larutan uji dan persen peredaman DPPH sebagai parameter aktivitas antioksidan, di mana konsentrasi larutan uji (ppm) sebagai absis (sumbu X) dan nilai persen peredaman sebagai ordinat (sumbu Y). Hasil persamaan regresi linier yang diperoleh untuk edible film memiliki persamaan regresi linier Y = -0,922 X + 95,55. Hasil analisis IC50 diperoleh 49,40 mg/L. Dari literatur dapat diketahui bahwa jika nilai IC50 yang dihasilkan 50-10 mg/L, maka senyawa tersebut dapat dikatakan memiliki aktivitas antioksidan yang sangat kuat. Tingkat kekuatan senyawa antioksidan menggunakan metode DPPH dapat digolongkan sebagai berikut.

Intensitas Nila IC50

Sangat kuat <50 mg/L

Kuat 50-100 mg/L

Sedang 101-150 mg/L

Lemah >150 mg/L

4.2.6. Uji Aktivitas Antibakteri Edible Film

4.2.6.1 Uji Aktivitas Antibakteri dengan Metode Kirby Bauer

Pengujian aktivitas antibakteri dari edible film dapat dilihat pada tabel 4.3 terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Eschercia coli menunjukkan hasil yang negative, ini ditandai dengan tidak adanya terbentuk larutan bening pada sekitar edible film.

Berdasarkan hasil pengujian diketahui edible film yang dibuat dengan campuran 0,5 g sisik ikan, 1,5 g tepung tapioka, 12 ml kitosan 2% dan 1 ml gliserin tidak menunjukkan adanya zona hambat walaupun yang diketahui pada penelitian-penelitian terdahulu bahwa kitosan mempunyai aktivitas antibakteri dimana bakteri memiliki permukaan sel bakteri sehingga mampu menghambat nutrisi masuk ke dalam sel. Hal ini disebabkan oleh adanya gugus amina pada kitosan yang mempunyai muatan kationik yang dapat mengikat sumber makanan bagi bakteri. Dalam penelitian (Dimas,2015) menerangkan kitosan dalam bentuk


(63)

59

film tidak mengalami perpindahan agent aktif yang berfungsi sebagai antibakteri. Mikroorganisme akan terhambat pertumbuhannya apabila berkontak langsung dengan sisi aktif dari kitosan tersebut. Kitosan yang berbentuk film tidak bisa berdifusi sisi aktif yang bersifat sebagai antibakteri karena kitosan dalam bentuk larutan akan mudah terprotonasi lalu berdifusi ke permukaan sel bakteri. Namun uji lain dapat dilihat bahwa film tersebut memiliki sifat sebagai pelindung pada suatu makanan (sosis) yaitu dilihat dari jumlah bakteri yang tumbuh pada filmnya. Sehingga film ini walaupun tidak memiliki zona hambat cocok untuk sebagai bahan pembungkus makanan.

4.2.6.2 Pertumbuhan Koloni Bakteri pada Sosis yang di Bungkus Edible

Film,di Celup dengan Edible Film dan yang Dibungkus dengan

Plastik Biasa dengan Metode Standart Plate Count

Perhitungan jumlah koloni bakteri diambil dari potongan sosis yang telah dibuat pengenceran 10-1 lalu diinokulasikan pada media PCA. Tabel 4.4 menunjukkan hasil perhitungan jumlah koloni dimana terlihat perbedaan pertumbuhan koloni antara sosis yang dibungkus dengan edible film, sosis yang dicelup dengan edible film liquid dan sosis yang dibungkus dengan plastik biasa. Perlakuan pada sampel sosis yang dibungkus dengan edible film lebih sedikit pertumbuhan koloni yang terlihat dibandingkan dengan sampel sosis yang dicelup dengan edible film liquid ataupun sampel sosis yang dibungkus dengan plastik biasa. Sehingga edible film dari sisik ikan gurami (oshpronemus gouramy) dengan penambahan tepung tapioka, kitosan 2% dan gliserin sebagai plastisizer efektif dalam mengurangi pertumbuhan bakteri/mikroba pada sosis. Sehingga cocok untuk dijadikan bahan pembungkus makanan.


(1)

73

73

SISIK IKAN GURAMI

Bubuk Sisik Ikan Gurami


(2)

74

tapioka. 12 ml kitosan 2% dan 1 ml gliserin

Gambar 6.2 Edible film yang sudah dilepas dari plat akrilik

Lampiran 7. Hasil Uji Aktivitas Antibakteri dengan Pengukuran Zona Hambat Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli


(3)

75

75

Staphylococcus aureus Escherichia coli

Lampiran 8. Hasil Uji Aktivitas Antibakteri dengan Metode Standart Plate Count (SPC)


(4)

76

Gambar 8.3 Jumlah pertumbuhan koloni bakteri dalam waktu 24 jam terhadap sampel sosis yang dibungkus dengan plastik biasa


(5)

77

77

Gambar 8.4 Jumlah pertumbuhan koloni bakteri dalam waktu 24 jam terhadap sampel sosis yang dibungkus dengan edible film liquid


(6)

Dokumen yang terkait

Karakterisasi Edible Film dari Campuran Tepung Tapioka, Kitosan, dan Ekstrak Jambu Biji (Psidium guajava L.) dengan Pemlastis Gliserin

3 64 75

Pembuatan Edible Film Dari Tepung Tapioka Dan Dedak Dengan Penambahan Gliserin Sebagai Kulit Risol Dan Pengaruh Akibat Penggorengan

1 58 65

Karakterisasi Dan Analisa Nutrisi Edible Film Dari Campuran Ekstrak Daun Sirsak (Annona Muricata) Dengan Tepung Tapioka, Kitosan Dan Gliserin

2 17 67

Pembuatan Edible Film Dari Campuran Tepung Tapioka, Kitosan, Gliserin dan Ekstrak Buah Naga Merah (Hylocereus Costaricencis) Sebagai Pengemasan Sosis Sapi

1 12 89

Karakterisasi dan Uji Aktivitas Edible Film dari Campuran Tepung Tapioka, Kitosan, Sisik Ikan Gurami (Oshpronemus gouramy) dan Gliserin Untuk Pembungkus Sosis

0 0 2

Karakterisasi dan Uji Aktivitas Edible Film dari Campuran Tepung Tapioka, Kitosan, Sisik Ikan Gurami (Oshpronemus gouramy) dan Gliserin Untuk Pembungkus Sosis

0 0 5

Karakterisasi dan Uji Aktivitas Edible Film dari Campuran Tepung Tapioka, Kitosan, Sisik Ikan Gurami (Oshpronemus gouramy) dan Gliserin Untuk Pembungkus Sosis

0 4 16

Karakterisasi dan Uji Aktivitas Edible Film dari Campuran Tepung Tapioka, Kitosan, Sisik Ikan Gurami (Oshpronemus gouramy) dan Gliserin Untuk Pembungkus Sosis

0 0 2

Karakterisasi dan Uji Aktivitas Edible Film dari Campuran Tepung Tapioka, Kitosan, Sisik Ikan Gurami (Oshpronemus gouramy) dan Gliserin Untuk Pembungkus Sosis

0 0 15

Pembuatan Edible Film dari Tepung Tapioka dengan Penambahan Ekstrak Buah Jambu Biji (Psidium guajava L.), Kitosan, dan Gliserin Sebagai Pembungkus Dodol dan Sosis

0 1 13