Aktivitas Antibakteri Edible Film Dari Pati Tapioka Yang Di Inkorporasi Dengan Minyak Atsiri Daun Attarasa [Litsea Cubeba(Lour.) Pers.]

(1)

TAPIOKA YANG DI INKORPORASI DENGAN MINYAK ATSIRI

DAUN ATTARASA [Litsea Cubeba(Lour.) Pers.]

SKRIPSI

YENI MARDHIA

080822039

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAMUNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(2)

AKTIVITAS ANTIBAKTERI EDIBLE FILM DARI PATI TAPIOKA YANG DI INKORPORASI DENGAN MINYAK ATSIRI DAUN ATTARASA [Litsea

Cubeba(Lour.) Pers.]

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar sarjana sains

YENI MARDHIA 080822039

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAMUNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(3)

PERSETUJUAN

Judul : AKTIVITAS ANTIBAKTERI EDIBLE FILM

DARI PATI TAPIOKA YANG DI INKORPORASI DENGAN MINYAK ATSIRI DAUN ATTARASA [Litsea Cubeba(Lour.) Pers.]

Kategori : SKRIPSI

Nama : YENI MARDHIA

Nomor induk mahasiswa : 080822039

Program : SARJANA (S1) KIMIA EKSTENSI

Departemen : KIMIA

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM (FMIPA)UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Disetujui di Medan, Juni 2010 Komisi pembimbing

Pembimbing 2 Pembimbing 1

Drs. Adil Ginting, M.Sc Cut Fatimah Zuhra,S.Si, M.Si NIP 195307041980031002 NIP 197404051999032001 Diketahui/Disetujui oleh

Departemen kimia FMIPA USU Ketua,

Dr. Rumondang Bulan Nst, MS NIP 195408301985032001


(4)

PERNYATAAN

AKTIVITAS ANTIBAKTERI EDIBLE FILM DARI PATI TAPIOKA YANG DI INKORPORASI DENGAN MINYAK ATSIRI DAUN ATTARASA

[Litsea Cubeba(Lour.) Pers.]

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Juni 2010

YENI MARDHIA 080822039


(5)

PENGHARGAAN

Puji syukur hanya milik Allah SWT yang kerajaanNya meliputi langit dan bumi, atas rahmat, ridho dan hidayahNya yang telah dilimpahkan selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skirpsi ini sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan Sarjana Sains di Fakultas MIPA USU. Salawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarga dan para sahabat.

Selama proses pembuatan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Ayahanda Rusdi Ahmad dan Ibunda Rosdiani atas kasih sayang, dukungan serta doa yang tulus untuk penulis. Penulis juga sangat berterima kasih kepada ibu Cut Fatimah Zuhra,S.Si, M.Si selaku Dosen pembimbing 1 dan bapak Drs. Adil Ginting, M.Sc selaku dosen pembimbing 2 yang telah memberikan nasehat dan bimbingan dari masa perkuliahan hingga masa penelitian dan penyusunan skripsi, juga kepada bapak Dr. Eddy marlinto, M.Sc selaku Dekan, ibu Rumondang bulan, MS dan ……. selaku ketua dan seretaris departemen kimia, staf dan kariawan departemen kimia serta rekan-rekan asisten Laboratorium Kimia Organik, Mikrobiologi dan Polimer di Fakultas MIPA USU.

Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada saudara-saudaraku kak Hasna dan suami, kak Reni dan Aini, kak Ivo dan bang Udin serta rekan-rekan mahasiswa, sahabatku Mila, Anggia, Fitria, Nora, Sarah dan Umi serta pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan serta dukungan, semoga Allah SWT membalas semua kebaikan tersebut, Amin.

Penuilis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan saran, kritik serta masukan yang membangun sehingga skripsi ini menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.


(6)

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang isolasi minyak atsiri daun attarsa [Litsea cubeba (Lour.) Pers.] secara destilasi dengan alat stahl dan uji aktivitas antibakteri dengan metode difusi agar. Minyak attarasa pada konsentrasi 10 %v/v membentuk zona bening terhadap bakteri Escherichia coli, Shigella dan Staphylococcus aureus dengan diameter masing masing 7,33; 7,88 dan 8,17 mm, sementara pada konsentrasi 15 %v/v membentuk zona bening terhadap bakteri Escherichia coli, Shigella dan

Staphylococcus aureus dengan diameter masing masing 6,66; 7,33 dan 10 mm.

Edible film dibuat dari pati tapioka (4% b/b) dengan gliserol(1%b/b) sebagai pemlastis dan diinkorporasi minyak atsiri daun attarasa (1,5% v/b) dan uji aktivitas antibakteri dengan metode difusi agar. Edible film menunjukkan zona bening pada kultur bakteri Escherichia coli (7,8mm), Shigella (7mm) tapi pada kultur bakteri

Staphylococcus aureus tidak menunjukkan zona hambat. Film pati tapioka-minyak

atsiri diaplikasikan untuk membungkus ikan gurami. Kepadatan sel isolat bakteri dihitung dihitung dengan metode Standart Plate Count (SPC). Pengamatan yang dilakukan pada hari ke 1, 3, 5 dan 7 menunjukkan bahwa film pati tapioka - minyak atsiri dapat menghambat pertumbuhan koloni bakteri pada ikan gurami yang di simpan dalam pendingin.


(7)

ANTIBACTERIAL ACTIVITY OF EDIBLE FILM FROM CASSAVA STARCH INCORPORATED WITH ATTARASA LEAVES [LITSEA

CUBEBA(LOUR.) PERS.] ESSENTIAL OIL

ABSTRACT

Isolation of the attarasa leaves [Litsea cubeba (Lour.) Pers.] essential oil has been research by distillation with stahl instrument and and antibacterial activity test with agar diffusion method. Attarasa oil on concentrations 10 %v/v forming zone of transparent againts bacteria Escherichia coli, Shigella dan Staphylococcus aureus with diameters respectively 7,33; 7,88 and 8,17 mm, while on concentrations15% v/v forming zone on transparent to bacteria Escherichia coli, Shigella dan Staphylococcus

aureus with diameters respectively 6,66; 7,33 and 10 mm. edible film has made from

cassava starch (4% b/b) with glycerol (1% b/b) as plasticizer and incorporated attarasa leaves essential oil (1,5% v/b) and antibacterial activity test with agar diffusion method. Edible film showed zone of transparent on bacteria culture Escherichia coli (7,8mm), Shigella (7mm) but on bacteria culture Staphylococcus aureus did not show inhibition zone. Film of cassava starch-essential oil application to warp carp fish. Density of isolat cell of bacterium caunted by Standart Plate Count (SPC) method. Perception done on day 1, 3, 5 dan 7 indicating that film of cassava starch-essential oil can inhibition growth of colony bacterium of carp fish which is keep in refrigerator.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan ii

Pernyataan iii

Penghargaan iv

Abstrak v

Abstract vi

Daftar isi vii

Daftar tabel viii

Daftar gambar

Bab 1 Pendahuluan 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 3

1.3 Tujuan Penelitian 4

1.4 Manfaat Penelitian 4

1.5 Metodologi Penelitian 4

1.6 Lokasi Penelitian 5

Bab 2 Tinjauan Pustaka 6

2.1 Edible Film 6

2.2 Edible Film Antimikroba 9

2.3 Pati 9

2.4 Ubi Kayu (Manihot utillisima) 11

2.5 Minyak Atsiri 13

2.6 Tumbuhan Attarasa [Litsea cubeba (lour.) Pers.] 14

2.7 Mikrobiologi Pangan 16

2.8 Bahan Antimikrobial Kimiawi 18

Bab 3 Metodologi Penelitian 19

3.1 Alat 19

3.2 Bahan-bahan 19

3.3 Prosedur Penelitian 20

3.3.1 Penyediaan Sampel 20

3.3.1.1 Penyediaan Daun Attarasa 20

3.3.1.2 Penyediaan Pati Tapioka 20

3.3.2 Isolasi Minyak Atsiri Daun Attarasa dengan Alat

Destilasi Stahl 20

3.3.3 Pengujian Aktivitas Antibakteri Minyak Atsiri Daun Attarasa 20 3.3.3.1 Pembuatan Media Nutrien Agar (NA) dan Inokulasi

Bakteri 20

3.3.3.2 Pembuatan Media Muller Hinton Agar (MHA) 21 3.3.3.3 Pembuatan Suspensi Bakteri 21 3.3.3.4 Aktivitas Antibakteri Minyak Atsiri Daun Attaras 21


(9)

3.3.4 Pembuatan Edible Film Pati Tapioka yang diinkorporasi

Minyak Atsiri Daun Attarasa 22 3.3.5 Aktivitas Antibakteri Edible Film yang diinkorporasi

Minyak Atsiri Daun Attarasa 22

3.3.6 Perhitungan Jumlah Pertumbuhan Koloni Bakteri dengan

Metode Standart Plate Count (SPC) 22

3.4 Bagan Penelitian 24

3.4.1 Isolasi Minyak Atsiri Daun Attaras dengan Alat Destilasi Stahl 24 3.4.2 Uji Aktivitas Antibakteri Minyak Atsiri Daun Attarasa 24 3.4.3 Pembuatan Edible Film Pati Tapioka yang diinkorporasi

Minyak Atsiri Daun Attarasa 24

3.4.4 Pengujian Aktivitas Antibakteri Edible Film yang

diinkorporasi Minyak Atsiri Daun Attarasa 25 3.4.5 Perhitungan Kepadatan Sel Isolat Bakteri dengan Metode

Standart Plate Count Agar (SPC) 26

Bab 4 Hasil dan Pembahasan 27

4.1Hasil 27

4.1.1 Minyak Atsiri dari Proses Destilasi dengan Alat Stahl 27 4.1.2 Inkorporasi Minyak Atsiri dalam Edible Film Pati Tapioka 28 4.1.3 Pertumbuhan Koloni Bakteri Pada Ikan Gurami yang

dibungkus Edible Film Pati Tapioka yang diinkorporasi

Minyak Atsiri Daun Attarasa 29

4.2Pembahasan 32

Bab 5 kesimpulan dan Saran 34

5.1Kesimpula 34

5.2Saran 34

DAFTAR PUSTAKA


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Kandungan kalori dan komposisi ubi kayu 12 Tabel 4.1 Hasil pengukuran diameter zona hambat beberapa kultur bakteri

oleh minyak atsiri daun Attarasa 27

Tabel 4.3 Hasil pengamatan pertumbuhan koloni pada ikan gurami yang di


(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Struktur Amilos 10

Gambar 2.2 Struktur Amilopektin 11

Gambar 4.1 Zona bening disekitar cakram yang telah direndam minyak atsiri daun attarasa 10% dan 15% v/v dan sebagai kontrol (0) cakram yang telah direndam dengan etanol absolut (95%) 28 Gambar 4.2 Zona hambat disekitar edible film pati tapioka yang diinkorporasi

minyak atsiri daun attarasa (1,5% v/b) terhadap bakteri Shigella dan

Escherichia coli 29

Gambar 4.3 Pertumbuhan koloni bakteri dari ikan gurami yang dibungkus edible film (kiri) dan ikan guramiyang tanpa pembungkus (kanan) 31


(12)

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang isolasi minyak atsiri daun attarsa [Litsea cubeba (Lour.) Pers.] secara destilasi dengan alat stahl dan uji aktivitas antibakteri dengan metode difusi agar. Minyak attarasa pada konsentrasi 10 %v/v membentuk zona bening terhadap bakteri Escherichia coli, Shigella dan Staphylococcus aureus dengan diameter masing masing 7,33; 7,88 dan 8,17 mm, sementara pada konsentrasi 15 %v/v membentuk zona bening terhadap bakteri Escherichia coli, Shigella dan

Staphylococcus aureus dengan diameter masing masing 6,66; 7,33 dan 10 mm.

Edible film dibuat dari pati tapioka (4% b/b) dengan gliserol(1%b/b) sebagai pemlastis dan diinkorporasi minyak atsiri daun attarasa (1,5% v/b) dan uji aktivitas antibakteri dengan metode difusi agar. Edible film menunjukkan zona bening pada kultur bakteri Escherichia coli (7,8mm), Shigella (7mm) tapi pada kultur bakteri

Staphylococcus aureus tidak menunjukkan zona hambat. Film pati tapioka-minyak

atsiri diaplikasikan untuk membungkus ikan gurami. Kepadatan sel isolat bakteri dihitung dihitung dengan metode Standart Plate Count (SPC). Pengamatan yang dilakukan pada hari ke 1, 3, 5 dan 7 menunjukkan bahwa film pati tapioka - minyak atsiri dapat menghambat pertumbuhan koloni bakteri pada ikan gurami yang di simpan dalam pendingin.


(13)

ANTIBACTERIAL ACTIVITY OF EDIBLE FILM FROM CASSAVA STARCH INCORPORATED WITH ATTARASA LEAVES [LITSEA

CUBEBA(LOUR.) PERS.] ESSENTIAL OIL

ABSTRACT

Isolation of the attarasa leaves [Litsea cubeba (Lour.) Pers.] essential oil has been research by distillation with stahl instrument and and antibacterial activity test with agar diffusion method. Attarasa oil on concentrations 10 %v/v forming zone of transparent againts bacteria Escherichia coli, Shigella dan Staphylococcus aureus with diameters respectively 7,33; 7,88 and 8,17 mm, while on concentrations15% v/v forming zone on transparent to bacteria Escherichia coli, Shigella dan Staphylococcus

aureus with diameters respectively 6,66; 7,33 and 10 mm. edible film has made from

cassava starch (4% b/b) with glycerol (1% b/b) as plasticizer and incorporated attarasa leaves essential oil (1,5% v/b) and antibacterial activity test with agar diffusion method. Edible film showed zone of transparent on bacteria culture Escherichia coli (7,8mm), Shigella (7mm) but on bacteria culture Staphylococcus aureus did not show inhibition zone. Film of cassava starch-essential oil application to warp carp fish. Density of isolat cell of bacterium caunted by Standart Plate Count (SPC) method. Perception done on day 1, 3, 5 dan 7 indicating that film of cassava starch-essential oil can inhibition growth of colony bacterium of carp fish which is keep in refrigerator.


(14)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kemasan merupakan salah satu cara/metode untuk memberikan perlindungan pada bahan pangan baik dalam bentuk bungkusan maupun menempatkan produk ke dalam suatu wadah. Hal ini dimaksudkan agar produk dapat terhindar dari pencemaran (senyawa kimia dan mikroba), kerusakan akibat fisik (gesekan, getaran dan benturan), oksigen, uap air dan gangguan binatang seperti serangga, sehingga mutu dan keamanan produk tetap terjaga serta dapat disimpan dalam kurun waktu yang lebih lama. Agar berfungsi dengan benar idealnya pengemas harus memenuhi beberapa persyaratan, diantaranya seperti tidak beracun, dapat melindungi bahan pangan dari kontaminasi biologi, mikroorganisme dan debu(Efriza, 2009). Perkembangan ilmu pengetahuan telah meningkatkan kesadaran manusia untuk hidup sehat. Kemasan yang dibuat diarahkan tidak mencemari lingkungan dan berasal dari bahan yang dapat diperbaharui dengan biaya yang rendah (Bourtoom, 2007).

Salah satu jenis kemasan pangan adalah kemasan edible. Ditinjau dari fungsi pengemasan, kemasan edibel film dapat melindungi bahan pangan dari penyimpangan mutu serta dapat memperbaiki kekurangan dari pengemasan sintetis yaitu bersifat

biodegradable. Edible film adalah lapisan tipis terbuat dari bahan-bahan yang dapat dimakan, dibentuk melapisi komponen makanan (coating) atau diletakkan diantara komponen makanan (film) yang berfungsi sebagai barrier terhadap transfer masa (misalnya kelembaban, oksigen, lipid, cahaya dan zat terlarut), dan atau sebagai carrier bahan makanan dan bahan tambahan, serta untuk mempermudah penanganan makanan. Komponen penyusun edible film terdiri dari capuran hidrokoloid dan lipid. (Krochta, 1997). Komponen tambahan terdiri dari plasticizer, zat anti mikroba, antioksidan, flavor dan pigmen (Efriza, 2009).

Edible film dapat dibuat dari berbagai bahan baku yang memiliki komposisi pati yang cukup tinggi. Pati banyak digunakan pada industri pangan sebagai


(15)

boidegradable film karena ekonomis, dapat diperbaharui dan memberikan

karakteristik fisik yang baik (Bourtoom, 2007). Umbi-umbian, serealia dan biji polong-polongan merupakan bahan baku sebagai sumber pati yang paling penting. Umbi-umbian yang sering dijadikan sumber pati antara lain ubi jalar, kentang dan ubi kayu. Kandungan pati yang terdapat bada ubi kayu mencapai 90%. (Cui, 2005). Menurut biro pusat statistik (2009), produksi tanaman ubi kayu di Indonesia pada tahun 2008 mencapai 20.834.241 ton. Produksi pati yang tinggi, penanaman yang mudah dan mudah di dapatkan di Indonesia menjadikan ubi kayu sangat potensial di jadikan sebagai bahan dasar edible film.

Pembuatan edible film dari pati tapioka memiliki karakteristik yang cukup baik walaupun laju transmisi terhadap uap air cukup tinggi. Ini dikarenakan bahan baku yang digunakan termasuk kelompok hidrokoloid yang bersifat higroskopis. Selain itu sifat organoleptiknya (skor berkisar 5,9 – 6,4 dengan rata-rata 6,2) masih dapat diterima (Harris, 2001).

Dalam kemasan edible film dapat ditambahkan bahan baku seperti antimikroba. Kemasan antimikroba adalah sistem kemasan yang mampu mengendalikan, mengurangi, menghambat, atau memperlambat pertumbuhan mikroorganisme patogen dan mengurangi kontaminasi permukaan makanan. Penggunaan ekstrak tumbuh-tumbuhan diharapkan dapat mengembangkan penggunaan kemasan antimikroba. Beberapa usaha telah dibuat mengembangkan sistem kemasan yang aktif di mana bahan antimikroba di inkorporasikan ke dalam bahan polimer dan dilapisi pada permukaan makanan (Maizura, 2008).

Menurut Muslikhati (1995) bahwa minyak atsiri dati tanaman attarasa [Litsea

cubeba(Lour.) Pers.] terutama daunnya sangat aktif terhadap Candida albicans, Cryptococcus albidus, Fusarium dimerum, dan Mycrosporum gypseum dengan

diameter hambatan lebih dari 20 cm. Seluruh bagian tanaman attarasa atau krangean (jawa) mengandung minyak. Di pulau Jawa ada dua jenis minyak yang dihasilkan dari daun attarasa. Minyak yang diproduksi di Jawa Barat disebut minyak trawas sedangkan yang di Jawa Tengah disebut minyak krangean. Minyak krangean menyembuhkan penyakit jantung dan bersifat anticendawan Alternaria, Aspergilus

niger, Candida albicans, Fussarium spp dan Helminthosporium spp. Sebab minyak

krangean mengandung alkaloida seperti o-metiloblongin, oblongin, xanthoplanin dan magnocararineu (www.trubus-online.co.id).


(16)

Bahan pangan yang berasal dari hewan merupakan sumber utama bakteri penyebab infeksi dan intoksikasi. Mikroorganisme yang terdapat pada hewan hidup dapat terbawa ke dalam bahan pangan seperti ikan atau daging dan mungkin bertahan selama proses pengolahan. Daging dan ikan biasanya diawetkan dengan cara pendinginan karena mikroba yang sering tumbuh tergolong dalam mikroba psikrofilik (mempunyai suhu optimum pertumbuhan 5-150C, suhu minimum 00C, suhu maksimum 200C. Salah satu penanganan aseptik untuk menjaga agar mikroorganisme perusak tidak mencemari bahan makanan yaitu dengan pengepakan (kemasan) bahan makanan karena kontaminasi dan kebusukan ikan biasanya berasal dari mikroorganisme pada permukaannya yang kemudian akan masuk kebagian dalam daging (Fardiaz, 1993).

Berdasarkan hal di atas maka penulis tertarik untuk membuat edible film antimikroba dari pati tapioka yang diinkorporasi dengan minyak atsiri daun attarasa [Litsea Cubeba(Lour.) Pers.] dan menguji aktivitas antimikroba dari edible film tersebut serta menguji efektifitas penggunaannya sebagai pengemas ikan gurami dalam hal menghambat pertumbuhan bakteri.

1.2. Permasalahan

1. Apakah minyak atsiri dari daun tumbuhan attaras bersifat sebagai antimikrobaterhadap bakteri Eschercia coli, Shigella dan Staphylococcus

aureus.

2. Apakah edible film dari pati tapioka yang di inkorporasi minyak atsiri daun Attarasa bersifat sebagai antimikroba terhadap bakteri Eschercia coli,

Shigella dan Staphylococcus aureus.

3. Bagaimana efektifitas edible film dari pati tapioka yang diinkorporasi dengan minyak atsiri daun attarasa [Litsea Cubeba(Lour.) Pers.] sebagai pengemas ikan gurami dalam hal menghambat pertumbuhan bakteri.


(17)

1.3. Tujuan Penelitian

1. Untuk menguji aktivitas antibakteri dari minyak atsiri daun attarasa [Litsea cubeba (Lour.) Pers.] terhadap bakteri Eschercia coli, Shigella dan Staphylococcus Aureus.

2. Untuk membuat edible film antibakteri dari pati tapioka yang inkorporasikan dengan minyak atsiri daun attarasa [Litsea cubeba (Lour.) Pers.] dan menguji sifat antibakteri dari edible film.

3. Untuk mengetahui efektifitas penggunaan edible film dari pati tapioka yang diinkorporasi dengan minyak atsiri daun attarasa [Litsea Cubeba (Lour.) Pers.] sebagai pengemas ikan gurami dalam hal menghambat pertumbuhan bakteri.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan edible film antimikroba dan memberikan informasi tentang sifat antibakteri dari minyak atsiri daun attarasa [Litsea cubeba(Lour.) Pers.] dan edible film dari pati tapioka yang telah diinkorporasi dengan minyak atsiri daun attarasa terhadap bakteri Eschercia coli, Shigella dan

Staphylococcus aureus serta penggunaannya sebagai pengemas ikan dalam hal

menghambat pertumbuhan bakteri.

1.5 Metodologi Penelitian

Penelitian yang dilakukan bersifat eksperimen laboratorium. Minyak atsiri dari daun attarasa [Litsea cubeba (Lour.) Pers.] diisolasi melalui proses destilasi dengan alat stahl dan di uji sifat antibakterinya dengan metode difusi agar. Pati tapioka diperoleh dari ubi kayu yang dihaluskan lalu disaring. Filtrat yang diperoleh dibiarkan sampai pati mengendap lalu pati dikeringkan. Film dibuat dari pati tapioka dengan gliserol sebagai pemlastis dan diinkorporasi dengan minyak atsiri daun attarasa[Litsea


(18)

cubeba (Lour.) Pers.]. Film yang terbentuk diukur ketebalannya dan di uji sifat

antibakterinya dengan metode difusi agar. Pengamatan terhadap pengaruh pengemasan ikan gurami menggunakan film pati tapioka yang diinkorporasi minyak atsiri daun attarasa dalam hal menghambat pertumbuhan bakteri dilakukan melalui penghitungan jumlah koloni bakteri dengan metode Standart Plate Count (SPC).

1.6 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di laboratorium Kimia Organik, laboratorium Polimer dan laboratorium Mikrobiologi FMIPA USU.


(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Edible Film

Kemasan digunakan untuk memperpanjang usia penyimpanan pangan, melindungi secara mekanis dan dari kontaminasi secara kimia dan biologi. Namun dalam memenuhi kebutuhan konsumen telah dikembangkan suatu kemasan aktif yang selain melindungi produk, kemasan juga berinteraksi dengan produk yang dikemas memberikan manfaat tambahan bila dibandingkan dengan kemasan konvensional. Kemasan yang telah dikembangkan sebagian besar diproduksi dengan plastik konvensional dengan bahan dasar minyak bumi. Sebagai alternatif digunakan kemasan

biodegradable film yang diperoleh dari bahan yang dapat di daur ulang seperti edible

film (Attarian, 2006).

Komponen penyusun kemasan edibel terdiri atas 2 bagian. Komponen utama yang terdiri dari hidrokoloid, lipid dan komposit. Komponen tambahan terdiri dari plasticizer, zat anti mikroba, antioksidan, flavor dan pigmen. Kemasan edibel ada 2 jenis yaitu

1. Kemasan edibel yang berasal dari bahan alami (usus ayam, usus sapi dll). Kemasan edibel dapat digunakan pada produk pangan seperti produk daging, kacang dan olahannya, buah-buahan dan sayuran, produk confectionary serta pada produk heterogen.

2. Kemasan edibel yang diformulasi dan dibuat yaitu edibe film, edible coating dan mikroenkapsulasi. (Efriza, 2009).


(20)

- Edible film adalah lapisan tipis dan kontinyu terbuat dari bahan-bahan yang dapat dimakan, dibentuk melapisi komponen makanan (coating) atau diletakkan diantara komponen makanan (film) yang berfungsi sebagai barrier terhadap transfer massa (misalnya kelembaban, oksigen, lipid, cahaya dan zat terlarut), dan atau sebagai carrier bahan makanan dan bahan tambahan, serta untuk mempermudah penanganan makanan. Edible film sangat potensial digunakan sebagai pembungkus dan pelapis produk-produk pangan, industri, farmasi maupun hasil-hasil pertanian

- Edible Coating adalah lapisan tipis dari bahan yang dapat dimakan, yang diaplikasikan pada makanan dengan cara pencelupan, pembusaan, penyemprotan dan penetesan agar terbentuk barrier yang selektif terhadap transmisi gas, uap air dan bahan terlarut serta memberi perlindungan mekanis. Edible coating banyak digunakan untuk pelapis produk daging beku, kamasan semi basah, ayam beku, produk hasil laut, sosis, buah-buahan dan obat-obatan terutama untuk pelapis kapsul. (Krochta, 1997).

- Mikroenkapsulasi merupakan teknik untuk melindungi ”flavor” dengan gelatin atau gum arab yang dapat dianggap sebagai salah satu teknik pengemasan dengan bahan pengemas edibel (Efriza, 2009).

Komponen hidrokolid yang biasa digunakan untuk membuat edible film antara lain karbohidrat (pati, alginat, pektin, gum arab, dan modifikasi karbohidrat lainnya) dan protein (gelatin, kasein, protein kedelai, protein jagung dan glutein gandum). Sedangkan lipid yang biasa digunakan adalah lilin, gliserol dan asam lemak (Krochta, 1997).

Perhatian terhadap edible film dan edible coating sebagai biopolimer semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir, dimana film ini mampu melindungi bahan makanan tanpa menimbulkan suatu pengaruh negatif terhadap lingkungan. Dalam pembuatan edible film, diperlukan dispersi atau pelarutan makromolekul kedalam suatu pelarut (seperti air, alkohol atau asam organik) untuk mendapatkan suatu larutan pembentuk film yang dapat diaplikasikan secara langsung ke produk. Penguapan pelarut akan membentuk suatu lapisan pada permukaan produk.


(21)

Proses pembentukan biofilm dari pati tapioka adalah berdasarkan pembentukan gelatin pati pada temperatur tinggi. Setelah membentuk gelatin, rantai amilosa cenderung untuk tertutup bersama rantai di tengah ikatan hidrogen. Pada proses pengeringan, terjadi penghilangan molekul air yang terikat, menjadikan gelatin membentuk film yang stabil. Ketika granul mulai mengembang akibat pemanasan terjadi suatu peningkatan yang besar dalam viskositas larutan (Careda, 2000).

Untuk memproduksi edible film dengan daya kerja yang baik, suatu plastisizer seperti gliserol sering digunakan. Penambahan gliserol yang didispersikan membuat film lebih mudah di cetak, karena gliserol digunakan sebagai plastisizer. Dari hasil analisis yang telah dilakukan dimana permukaaan spesimen pati dengan gliserol sebagai pemlastis menunjukkan permukaan yang lebih halus dan sedikit gumpalan. Hal ini disebabkan gliserol selain sebagai pemlastis juga membantu kelarutan pati (lebih homogenitas) dimana ini dapat disebabkan karena terbentuknya ikatan hidrogen antara gugus OH pati dengan gugus OH dari gliserol yang selanjutnya interaksi hidrogen ini dapat meningkatkan sifat mekanik (Yusmarlela, 2009). Suhu gelatinisasi terjadi pada rentang suhu 55,120C (mulai transisi) samapi 74,170C (transisi berakhir) dengan puncak pada suhu 64,960C. Bertambahnya jumlah gliserol dalam campuran pati-air mengurangi nilai tegangan dan perpanjangan. Rendahnya kandungan gliserol juga mengakibatkan kuat tarik semakin berkurang (Larotonda, 2004).

Dalam pembuatan larutan film, suhu pemanasan dan waktu pemanasan mempengaruhi kuat tarik dan elongasi. Kuat tarik dari film pati meningkat ketika suhu pemanasan larutan film ditingkatkan dari 80-950C. Hal ini mungkin karena suhu pemanasan yang lebih tinggi dari larutan film yang menyebabkan jumlah dan atau penempatan yang lebih baik dari rantai amilosa dan amilopektin dan dan ikatan yang terbentuk dalam interaksi yang lebih besar antara polimer pati. Kuat tarik cendrung meningkat ketika waktu pemanasan di tingkatkan dari 5-15 menit. Perpanjangan elongasi (%E) juga dipengaruhi suhu dan waktu pemanasan larutan film dimana nilai %E meningkat dari 12,74-57,94% (Bourtoom, 2007). Dari hasil analisa FT-IR bahan campuran pati dan gliserol menunjukkan adanya gugus fungsi C-H, CO dan OH. Hal ini berarti film pati yang dihasilkan merupakan proses blending secara fisika karena tidak ditemukannya gugus fungsi baru sehingga film pati memiliki sifat seperti


(22)

komponen-komponen penyusunnya. Dengan dimilikinya gugus fungsi demikian maka film pati dapat terdegradasi (Yusmarlela, 2009).

2.2 Edible Film Antimikroba

Pertumbuhan bakteri pada permukaan makanan merupakan penyebab utama yang merusak makanan. Selain itu pertumbuhan mikroorganisme dalam bahan pangan juga dapat mengakibatkan perubahan fisik atau kimia yang membuat bahan pangan tersebut tidak layak dikonsumsi karena dapat menimbulkan penyakit.

Kemasan antimikroba merupakan suatu kemasan yang dapat menghentikan, menghambat, mengurangi atau memperlambat pertumbuhan mikroorganisme patogen pada makanan dan bahan kemasan. Penggunaan edible film pada bahan makanan yang ditambahkan suatu antioksida, antimikroba, pewarna atau pewangi telah dipelajari. Adapun metode yang dapat digunakan yaitu inkorporasi bahan antimikroba kedalam edible film. Bahan antimikroba yang digunakan pada makanan mengandung asam-asam organik, bakteriosin, enzim, alkohol dan asam-asam lemak. Minyak atsiri dari ekstraksi kayu manis, daun sereh, cengkeh dan bawang putih telah diselidiki aktivitas antibakterinya. Beberapa penelitian tentang pembuatan edible film antimokroba telah dilakukan. Film antimikroba-alginat yang diinkorporasi minyak bawang putih 0,4%v/v menunjukkan aktivitas antibakterinya terhadap bakteri uji Staphylococcus

aureus dan B.cereus menggunakan metode difusi agar. Inkorporasi minyak bawang

putih pada konsentrasi 0,3% dan 0,4% v/v memberikan perubahan yang signifikan (p<0,05) terhadap kuat tarik dan elongasi dari film alginat (Pranoto, 2004). Edible film pati sagu yang diinkorporasi minyak atsiri daun sereh (konsentrasi 0,4%) sebagai bahan antimikroba, secara signifikan (p<0,05) mampu menghambat pertumbuhan terhadap bakteri uji Escherichia coli O157: H7 dan Salmonella Enteritidis, namun

film tersebut tidak menunjukkan zona hambat terhadap bakteri Staphylococcus aureus (Maizura, 2008).


(23)

2.3 Pati

Pati merupakan karbohidrat yang tersebar dalam tanaman terutama tanaman berklorofil. Bagi tanaman pati merupakan cadangan makanan untuk masa pertumbuhan dan pertunasan yang terdapat pada biji, batang dan pada bagian umbi tanaman. Banyaknya kandungan pati pada tanaman tergantung asal pati tersebut, misalnya pati yang berasal dari biji beras mengandung pati 50-60 %. Pati telah lama digunakan baik sebagai bahan makanan maupun non-food seperti perekat, dalam industri tekstil, polimer atau sebagai bahan tambahan dalam sediaan farmasi. Penggunaan pati dalam bidang farmasi sebagai formula sediaan tablet, baik sebagai bahan pengisi, penghancur maupun sebagai bahan pengikat (Winarno, 1986).

Pati adalah suatu polisakarida yang mengandung amilosa, suatu cabang polimer linier dan amilopektin, polimer dengan banyak cabang (Mali, 2005). Pati bila dipanaskan dalam air , akan terbentuk larutan koloid hingga berat molekulnya tidak dapat ditentukan secara teliti, meskipun demikian berat molekulnya sangat besar. Amilosa merupakan bagian yang larut dalam air (10-20%) yang mempunyai berat molekul 50.000-200.000. Amilopektin merupakan bagian yang tidak larut dalam air (80-90%) dengan berat molekul antara 70.000-106. Kedua bagian tersebut mempunyai rumus empiris (C6H10O5)n. Baik amilosa maupun amilopektin, bila terhidrolisis menunjukkan adanya sifat-sifat karbonil; dan kenyataan pati tersusun atas satuan-satuan maltosa. Struktur amilosa merupakan struktur lurus dengan ikatan α

-(1,4)-D-glukosa. Amilopektin terdiri dari struktur bercabang dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa

dan titik percabangan amilopektin merupakan ikatan α-(1,6) (Lehniger, 1982). Dalam

amilosa satuan-satuan gula dihubungkan dengan ikatan 1,4, sedangkan dalam amilopektin ikatannya pada 1,6 atau dengan kata lain atom C1 dari satu gula dihubungkan dengn atom C6 dari satuan gula berikutnya (Sastrohamidjojo, 2005).


(24)

Gambar 2.2 Struktur Amilopektin

Pati telah banyak digunakan sebagai bahan biopolimer yang mampu membentuk matriks dalam pembuatan edible film. Semakin banyak pati yang digunakan, maka semakin rapat matriks film yang terbentuk. Hal ini berdampak pada peningkatan nilai tensile strength film. Salah satu pati yang banyak digunakan sebagai bahan baku edible film yaitu pati tapioka. Harris (2001) telah menggunakan pati tapioka dalam pembuatan edible film dan film yang dihasilkan memiliki karakteristik fisik yang cukup baik serta dapat digunakan sebagai pengemas produk pangan lempuk. Menurut Careda (2000) film yang dibuat dari pati tapioka dengan konsentrasi pati 3% menghasilkan pori-pori yang kecil. Sedangkan pati yang diesterifikasi dengan konsentrasi 3% menunjukkan granula-granula pati yang saling berdempetan dan pati yang dioksidasi (amilum 320) dengan konsentrasi 3% menunjukkan granula yang utuh dan tidak hancur dalam air. Perbedaan ketiga jenis film tersebut dianalisis menggunakan SEM (Scaning Electron Microscopy). Selain pati tapioka, pati batang aren (Arenga pinnata Merr.) juga telah digunakan sebagai bahan baku edible film. Pati batang aren mengandung amilosa sebesar 29,07%. Edible film dari pati batang aren dengan konsentrasi pati sebesar 3%b/v dan asam palmitat 6% (b/b pati) memiliki karakteristik fisik yang baik (Pranata, 2002).

2.4 Ubi Kayu (Manihot Utilissima)

Ubi kayu merupakan tanaman perdu yang berasal dari Amerika Selatan. Ubi kayu yang matang terdiri dari tiga lapisan yaitu peridermis luar, cortex dan daging bagian tengah. Klasifikasi tanaman ubi kayu sebagai berikut :


(25)

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Euphorbiales Famili : Euphorbiaceae, Genus : Manihot

Spesies : Manihot Utilissima

Ubi kayu mengandung air sekitar 60%, pati 25 – 35%, serta protein, mineral, kalsium dan fospor. Berikut kandungan kalori dan komposisi zat gizi dalam 100g ubi kayu.

Tabel 2.1 Kandungan kalori dan komposisi ubi kayu

Komposisi Jumlah

Energi (kal) Air (g) Protein (g) Karbohidrat (g) Lemak (g) Fe (mg) Ca (mg)

Vitamin C (mg) Vitamin B1(mg) Vitamin B2 (mg) Niacin (mg) 146 62,5 1,2 34,7 0,3 0,7 33 36 0,06 0,03 0,6 (Chan, 1983)

Proses pembuatan pati tapioka secara tradisional terdiri dari tiga tahap yang dilakukan secara terpisah. Tahap pertama adalah proses pemarutan ubi kayu yang sudah dikupas kulitnya, sedangkan tahap kedua dan ketiga adalah proses pemerasan dan penyaringan parutan ketela pohon yang sudah dicampur air, untuk mendapatkan pati tapioka, masing-masing proses tersebut dilakukan secara terpisah, dan manual. Pemarutan ketela pohon dalam menghasilkan pati tapioka bertujuan untuk memecahkan dinding sel pada ubi kayu agar butir tepung / pati yang terdapat di dalam


(26)

ketela pohon tersebut dapat diambil. Setelah proses pemarutan dilakukan, hasil parutan dicampur dengan air kemudian diperas dan disaring. Setelah disaring, campuran yang terdiri dari tepung ketela pohon dan air ini diendapkan. Setelah mengendap dan dipisahkan dari airnya, maka endapan tepung ketela pohon ini kemudian dijemur hingga kering (Soegihardjo, 2005).

2.5 Minyak Atsiri

Minyak atsiri merupakan minyak mudah menguap, atau minyak terbang dan merupakan campuran dari senyawa yang berwujud cairan atau padatan yang memiliki komposisi maupun titik didih yang beragam. Titik didih di defenisikan sebagai suhu pada tekanan atmosfer atau pada tekanan tertentu dimana suatu cairan berubah menjadi uap. Minyak atsiri bagi manusia terutama pada dosis yang tinggi dapat menyebabkan depresi susunan syaraf. Beberapa minyak atsiri dapat digunakan sebagai bahan antiseptik, sebagai bahan analgetik, haemolitik, sedatif dan stimulan untuk obat sakit perut (Guenter, 1987).

Sebagian besar minyak atsiri terdiri dari persenyawaan hidrokarbon isosiklik yang mengandung 10, 15 sampai 40 atom C yang disebut terpen atau terpenoid serta golongan hidrokarbon yang mengikat oksigen seperti alkohol dan fenol. Minyak atsiri terdiri dari berbagai campuran zat yang memiliki sifat fisika dan kimia berbeda-beda dan dapat digolongkan dalam empat kelompok yaitu terpen yang ada hubungan dengan isopren, persenyawaan berantai lurus, turunan benzen dan senyawa lain, seperti turunan alkohol, keton atau aldehid Terpen merupakan senyawa tidak jenuh dan satuan terkecil molekulnya disebut isoprena. Salah satu turuna terpena yang banyak terdapat dalam minyak atsiri yaitu α-pinen, geraniol dan kamfer. Senyawa hidrokarbon beroksigen atau “oxygenated hydrocarbon” merupakan senyawa yang paling penting dalam minyak atsiri karena senyawa tersebut memiliki bau yang lebih wangi dibandingkan senyawa lain dari golongan hidrokarbon (Guenter, 1987).

Salah satu cara produksi minyak atsiri yaitu dengan metode penyulingan (hidrodestilasi). Pada penyulingan komponen senyawa yang memiliki titik didih yang rendah akan menguap terlebih dahulu, lalu suhu pendidihan cairan akan naik hingga


(27)

akhirnya sampai komponen senyawa yang memiliki titik didih yang tinggi. Peristiwa terpenting yang terjadi pada proses penyulingan adalah terjadinya difusi minyak atsiri dan air panas melalui membran bahan yang disuling sehingga terjadi hidrolisa terhadap beberapa komponen minyak atsiri dan terjadi dekomposisi yang disebabkan oleh panas (Rahmayanti, 2000).

Pada umumnya proses isolasi yang terjadi pada minyak atsiri adalah : uap menembus jaringan tanaman dan menguapkan semua senyawa yang mudah menguap. Dalam penyulingan, campuran yang akan dipisahkan dimasukkan kedalam alat penguap dan didihkan., Pendidihan terus dilangsungkan hingga sejumlah tertentu komponen yang mudah menguap terpisahkan dan uap ini kemudian di dinginkan kembali ke dalam bentuk cairan. Selama pendidihan, fraksi komponen yang sukar menguap dalam cairan bertambah besar, sehingga komposisi destilat yang dihasilkan juga berubah terus. Seringkali destilat harus dibagi dalam beberapa fraksi (karena berasal dari daerah titik didih yang berbeda dan ditampung dalam beberapa bejana terbuka. Kenaikan konsentrasi dalam cairan yang didihkan mengakibatkan peningkatan titik didih yang dapat menyebabkan bahaya akumulasi dalam alat penguap pada tahap akhir destilasi. (Sastrohamidjojo, 2004)

2.6 Tumbuhan Attarasa [Litsea cubeba (Lour.) Pers.]

Tanaman [Litsea cubeba (Lour.) Pers.] yang tumbuh di Sumatera Utara dikenal dengan nama attarasa. Klasifikasi Botani tanaman ini sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Bangsa : Rhamnales Suku : Lauraceae Marga : Litsea


(28)

Tumbuhan ini merupakan perdu pohon atau pohon kecil, tinggi 5 m atau paling tinggi 15 m dengan garis tengah batang 6-20 cm. Semua bagian tumbuhan ini berbau harum sekali. Melalui proses penyulingan didapatkan 25 cc minyak atsiri dari 20 g kulit segar kering angin. Minyak atsiri tersebut mengandung citronella. Kulitnya mengandung 0,4% alkaloid, laurotetanin. Daunnya mengandung alkaloid beracun tetapi sedikit sekali (0,05%) serta mengandung lebih dari 30% cineol. Batang bulat tegak, berkayu, berwarna putih kotor dengan percabangan simpodial. Akar tunggang berwarna coklat kehitaman (Heyne, 1987).

Daun tunggal berwarna hijau, berbentuk lonjong dengan tepi rata dan ujung runcing, pangkal meruncing, pertulangan menyirip, panjang 10-14 cm lebar 7-9 cm. Merupakan bunga majemuk berbentuk malai, berkelamin dua. Warna kelopak hijau muda, berbentuk mangkok, berbulu halus, mahkota bulat melengkung, kepala sari bulat berwarna hijau kehitaman (www.iptek.apjii.or.id, 2006). Buah Litsea mengandung minyak esensial yang biasa disebut may chang oil, sedangkan di Indonesia minyak esensial yang dihasilkan dari daun biasa disebut minyak trawas. Kulit batang dan daun mengandung saponin, flavonoid dan tanin (Prosea, 1999).

Hasil penelitian yang telah dilakukan minyak atsiri yang diperoleh dari daun attarasa berwarna kuning pucat dengan kadar 3,2% dari daun attarasa kering. Komponen minyak atsiri daun attarasa antara lain α-pinen, β -pinen,1-metil-4-(1-metiletil)-benzen, eukaliptol, α-terpineol, terpinen-4-ol, kariofilen dimana eukaliptol menjadi komponen utama yang terdapat dalamnya. Oleh sebab itu minyak atsiri daun attarasa memberikan rasa dan aroma yang segar (sejuk) dan beraroma seperti camphor, sehingga minyak atsiri ini dapat digunakan sebagai pemberi cita rasa dalam makanan maupun bahan baku industri obat-obatan dan pewangi (Zuhra, 1999). Selain senyawa-senyawa diatas daun tumbuhan attarasa hasil skrining fitokimia menunjukkan adanya senyawa alkaloida berupa endapan putih dengan pereaksi Meyer, berupa endapan coklat jika dengan pereaksi Wagner dan berupa endapan merah dengan pereksi Dragendorff (Pasaribu, 2005).

Minyak atsiri dari tanaman Litsea cubeba mempunyai aktivitas antimikroba terutama minyak atsiri dari daunnya sangat aktif terhadap Candida albicans,


(29)

diameter hambatan lebih dari 20 cm. Minyak atsiri dari kulit kayunya mempunyai aktivitas paling kuat terhadap bakteri Serratia marcescens, Salmonella paratyphi,

Salmonella typhi.. Minyak atsiri tanaman Litsea cubeba lebih efektif digunakan tanpa

pengenceran (Muslikhati, 1995)

2.7 Mikrobiologi Pangan

Kebanyakan bahan makanan merupakan media yang baik bagi pertumbuhan banyak macam mikroorganisme. Pada keadaan fisik yang menguntungkan, terutama pada kisaran suhu 70 sampai 600C organisme akan tumbuh dan menyebabkan terjadinya perubahan dalam hal penampilan, rasa , bau dan sifat lain pada bahan makanan. Ikan merupakan salah satu bahan makanan yang dapat terkontaminasi dari lingkungan hidup ikan tersebut atau dari lingkungan pengolahan. Bentuk perubahan pangan pada ikan dapat berupa perubahan bentuk dan pembusukan. Dengan kandungan air dan protein tinggi, ikan merupakan tempat sangat cocok sebagai media untuk pertumbuhan mikroba baik patogen maupun nonpatogen. Kerusakan ikan terjadi segera setelah ikan keluar dari air. Kerusakan pada ikan dapat disebabkan oleh faktor internal (isi perut) dan eksternal (lingkungan), maupun cara penanganan di atas kapal, ditempat pendaratan atau di tempat pengolahan (Pelczar, 1988). Ada banyak bakteri patogen yang membahayakan kesehatan manusia. Berikut diantaranya:

Escherichia coli

Escherichia coli merupakan bakteri berbentuk batang, Gram-negatif, bersifat

anaerobik fakultatif, mempunyai flagela peritrikat dan termasuk dalam famili

Enterobacteriaceae. Escherichia coli merupakan mikroflora alami yang terdapat pada

saluran pencernaan manusia dan hewan. Beberapa galur E. coli yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia adalah enterotoksigenik, enterohaemorrhagik,


(30)

Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus merupakan bakteri berbentuk bulat (coccus), yang bila

diamati di bawah mikroskop tampak berpasangan, membentuk rantai pendek, atau membentuk kelompok yang tampak seperti tandan buah anggur. Organisme ini gram-positif, tumbuh secara anaerobik fakultatif, termasuk dalam famili Micrococcaceae.

Staphylococcus aureus tahan garam dan tumbuh baik pada medium yang mengandung

7,5% NaCl, dapat memfermentasi manitol, terdapat pada rongga hidung, kulit, tenggorokan, dan saluran pencernaan manusia dan hewan. Bahan makanan yang disiapkan menggunakan tangan berpotensi terkontaminasi staphylococcus aureus

.Jenis makanan lain yang sering terkontaminasi oleh S. aureus adalah daging dan

produk daging, ayam, telur, salad (telur, tuna, ayam, kentang, dan makaroni), produk bakeri, pastry, pai, sandwich, serta susu dan produk susu (Fardiaz, 1993).

Shigella

Shigella merupakan bakteri gram negatif, bersifat fakultatuf anaerob tapi paling baik

tumbuh secara aerob. Organisme Shigella adalah batang pendek, koloninya koveks, bulat transparan, tidak membentuk spora. Pertumbuhan optimum terjadi pada suhu 370C dalam keadaan aerobik. Shigella termasuk bakteri patogen di usus manusia dan primata penyebab shigella (disentri basher). Makanan yang sering terkontaminasi Shigella adalah salad, sayuran segar (mentah), susu dan produk susu, serta air yang terkontaminasi (Pelczar, 1988).

Usaha untuk menjaga agar mikroorganisme perusak tidak mencemari bahan makanan dapat mengurangi kerusakan makanan , memudahkan pengawetan pangan dan memperkecil kemungkinan adanya patogen. Pengepakan (kemasan) makanan, pengalengan makanan yang telah diolah dan pelaksanaan metode yang memenuhi syarat kebersihan dalam menangani bahan makanan merupakan contoh penanganan aseptik (Pelczar, 1988).


(31)

2.8 Bahan Antimikrobial Kimiawi

Berbagai macam substansi telah dicoba untuk memilih yang paling tepat guna menghilangkan pencemaran oleh jasad renik terhadap benda hidup ataupun mati. Berbagai zat kimia mampu menghambat atau mematikan mikroorganisme. Dari unsur logam berat seperti perak dan tembaga sampai kepada molekul organik yang kompleks. Berbagai substansi tersebut menunjukkan efek antimikrobialnya dalam berbagai cara dan terhadap berbagai macam mikroorganisme. Beberapa kelompok utama bahan antimikrobial kimiawi adalah fenol dan persenyawaan fenolat, alkohol, halogen dan persenyawaan logam berat (yang mengandung merkuri, perak, tembaga dll). Persenyawaan fenol bekerja dengan cara mendenaturasi protein sel dan merusak membran sel. Turunan fenol berinteraksi dengan sel melalui proses adsorbsi yang melibatkan ikatan hidrogen. Alkohol efektif untuk mengurangi flora mikrobe pada kulit dan untuk desinfektan termometer oral. Alkohol dengan konsentrasi di atas 60% efektif terhadap virus tapi keefektifannya sangat dipengaruhi oleh jumlah bahan protein asing dalam campuran. Alkohol merupakan denaturan protein, suatu sifat yang terutama memberikan aktivitas antimikrobial pada alkohol. Disamping itu alkohol juga merupakan pelarut lipid sehingga dapat pula merusak membran sel (Pelczar, 1988)


(32)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Bahan-bahan

1 Serbuk daun tumbuhan Attarasa 2 Na2SO4 anhidrus

3 Pati tapioka 4 Gliserol 87% 7 Aquadest

9 Etanol absolut (95%) 10 Nutrien agar (NA)

11 Mueller Hinton Agar (MHA) 12 Larutan standar McFarland 13 Blankdisc

14 Ikan gurami

15 Plate count agar (PCA)

3.2 Alat

1 Alat stahl

2 Gelas ukur 100 ml Pyrex 3 Gelas erlemeyer 250 ml Pyrex 4 Gelas beaker 250 ml Pyrex 5 Labu destilasi 1000ml

6 Corong pisah 7 Pipet serologi 8 Cawan Petri 9 Bunsen 10 Tabung reaksi 11 Jarum ose


(33)

13 Jangka sorong 14 Hot plate stirer 15 Plat kaca

16 Inkubator Fisher Scientific

17 Oven Galencamp

18 Counter

19 mikrometer skup

3.3 Prosedur penelitian 3.3.1 Penyediaan Sampel

3.3.1.1 Penyediaan Daun Attarasa

Sampel yang diteliti adalah daun tumbuhan attarasa [Litsea cubeba (Lour.) Pers.] yang diperoleh dari daerah Parsoburan, kabupaten Toba Samosir, Propinsi Sumatera Utara. Daun Attarasa dibersihkan dan dikeringkan dengan cara diangin-anginkan di udara terbuka, lalu dihaluskan dengan blender.

3.3.1.2 Penyediaan Pati Tapioka

Pati tapioka diperoleh dari ubi kayu yang diparut lalu di tambahkan air dan di peras. Hasil perasan di diamkan hingga membentuk endapan lalu disaring. Kemudian endapan di keringkan di udara terbuka lalu di haluskan dan diayak (Soegihardjo, 2005).

3.3.2 Isolasi Minyak Atsiri Daun Attarasa dengan Alat Destilasi Stahl

Sebanyak 60 gram daun Attarasa yang telah dikeringkan dan dihaluskan dimasukkan kedalam labu destilasi lalu ditambahkan air. Dirangkai alat destilasi Stahl lalu sampel didestilasi. Destilat yang diperoleh merupakan lapisan minyak dan air lalu dipisahkan dengan corong pisah. Untuk mengikat air yang kemungkinan ikut terbawa, ditambahakan Na2SO4 anhidrat lalu disaring. Filtrat yang diperoleh di uji aktivitas antibakterinya.


(34)

3.3.3.1 Pembuatan Media Nutrien Agar (NA) dan Inokulasi Bakteri

Sebanyak 2,3 gram NA dimasukkan dalam erlemeyer dan dilarutkan dengan 100 mL aquades. Lalu panaskan di atas hot plate sampai mendidih dan di sterilkan dalam autoklaf pada suhu 1210C selama 15 menit. Lalu media dibagi dalam 10 tabung dan ditutup dengan kapas. Media dibiarkan memadat dengan cara memiringkan tabung. Bakteri diinokulasikan di atas permukaan media dengan metode gores lalu di inkubasi selama 24 jam pada suhu 32-340 C.

3.3.3.2 Pembuatan Media Mueller Hinton Agar (MHA)

Sebanyak 3,4 gram MHA dimasukkan dalam erlemeyer dan dilarutkan dengan 100 mL aquades. Lalu panaskan di atas hot plate sampai mendidih dan di sterilkan dalam autoklaf pada suhu 1210C selama 15 menit. Kemudian media dituang ke dalam 10 cawan petri dan didinginkan sampai media memadat.

3.3.3.3 Pembuatan Suspensi Bakteri

Masing-masing inokulat Escherichia coli, shigella SP dan Staphylococcus

aureus di ambil dengan jarum ose steril dan disuspensikan dengan aquadest

steril lalu dihomogenkan dengan vortex hingga diperoleh suspensi sebanding kekeruhan Mcfarland yang sama dengan 108 kolono/mL. Dari masing-masing suspensi bakteri diambil sebanyak 0,1 mL dan diencerkan dalam 9,9 mL aquades steril lalu di vortex sehingga konsentrasi suspensi bakteri menjadi 106 koloni/mL.

3.3.3.4 Aktivitas Antibakteri Minyak atsiri Daun Attarasa

Uji aktivitas antibakteri dilakukan secara aseptik dengan metode difusi agar. Masing-masing suspensi bakteri di inokulasikan di atas permukaan media Mueller Hinton Agar (MHA). Blankdisc yang telah di rendam dalam minyak atsiri daun attarasa dengan konsentrasi 15% v/v dalam etanol absolut diletakkan di atas permukaan media yang telah di inokulasi dengan suspensi bakteri. Sebagai kontrol pada setiap cawan petri diletakkan blankdisc yang telah dibasahi etanol absolut. Kultur bakteri di inkubasi dalam inkubator dengan cara terbalik pada suhu 32-340 C selama 24 jam. Perlakuan dilakukan


(35)

sebanyak 3 kali pada masing-masing bakteri. Di ukur zona antimikrobial yang terbentuk di sekitar cakram menggunakan jangka sorong.

3.3.4 Pembuatan Edible Film Pati Tapioka yang diinkorporasi Minyak Atsiri Daun Attarasa

Sebanyak 4 g pati tapioka ditambah 100 g aquadest lalu diaduk hingga rata. Campuran tersebut dipanaskan diatas hotplate stirer pada suhu 700 C hingga mengental dan ditambahkan 1g gliserol sambil tetap diaduk dan didinginkan pada suhu kamar. Lalu dimasukkan minyak atsiri daun attarasa dengan konsentrasi 1,5%v/w dari larutan pembentuk edible film dan dihomogenkan. Hasilnya dicetak diatas plat kaca (13 x 13 cm) dan dikeringkan dalam oven pada suhu 30-350 C selama 20 - 24 jam. Di uji aktivitas antibakteri dari film yang terbentuk.

3.3.5 Aktivitas Antibakteri Edible Film yang diinkorporasi Minyak Atsiri Daun Attarasa

Uji aktivitas antibakteri dilakukan secara aseptik dengan metode difusi agar. Masing-masing suspensi bakteri di inokulasikan di atas permukaan media Mueller Hinton Agar (MHA). Lalu edible film yang telah dipotong cakram dengan diameter 6 mm diletakkan di atas permukaan media yang telah di inokulasikan suspensi bakteri. Kultur bakteri di inkubasi dalam inkubator dengan cara terbalik pada suhu 32-340 C selama 24 jam. Di ukur zona antimikrobial yang terbentuk di sekitar cakram menggunakan jangka sorong.

3.3.6 Perhitungan jumlah pertumbuhan koloni bakteri dengan metode Standart

Plate Count (SPC)

Potongan ikan gurami dibeli pada pasar lokal. Potongan ikan pertama dengan berat 10 g dibungkus dengan film pati tapioka yang di inkorporasi minyak atsiri daun attarasa dengan konsentrasi 1,5% v/w dan potongan ikan kedua dengan berat 10 g tidak di bungkus sebagai kontrol. Masing-masing potongan ikan di tempatkan dalam cawan petri dan di simpan pada suhu 5 – 100 C selama 7 hari. Jumlah koloni bakteri pada masing-masing perlakuan dihitung dengan metode SPC pada hari ke 0, 1, 3, 5 dan 7. Dari potongan ikan diambil


(36)

sebayka 1 g, dihaluskan lalu dimasukkan ke dalam tabung rekasi dan ditambah aquadest steril sampai volume 10 ml (pengenceran 100). Dari pengenceran tersebut diencerkan menjadi pengenceran 10-1 dan dimasukkan sebanyak 1ml kedalam tabung reaksi yang telah dimasukkan 10 ml media plate count agar (PCA) lalu dihomogenkan dengan vortex dan dituang ke dalam cawan petri. Setelah media padat selanjutnya diinkubasi dalam inkubator selama 24 jam pada suhu 32-340C lalu dihitung jumlah koloni bakteri yang tumbuh pada media tersebut.


(37)

3.4. Bagan Penelitian

3.4.1. Isolasi Minyak Atsiri dari Daun Attarasa dengan Alat Destilasi Stahl

didestilasi

dipisahkan dalam corong pisah

ditambahkan Na2SO4 anhidrat lalu disaring

3.4.2 Uji Aktivitas Antibakteri Minyak atsiri Daun Attarasa

disuspensikan dalam aquadest steril

dihomogenkan dengan vortex

dibandingkan dengan kekeruhan Mcfarland yang setara dengan 108

CFU/mL

diencerkan dengan aquadest sampai kekeruhan 106 CFU/mL Dibasahi dengan minyak

atsiri konsentrasi 10% v/v dan 15%v/v dalam etanol

absolut diinokulasi di atas media MHA

Di letakkan cakram yang telah dibasahi minyak atsiri diatas media MHA

Di inkubasi secara terbalik dalam inkubator pada suhu 32-340C selama 24 jam

Di ukur diameter zona antibakteri disekitar cakram Biakan bakteri Escherichia coli,

shigella dan Staphylococcus aureus

Suspensi bakteri Media MHA Cakram basah Blankdisc Hasil Suspensi bakteri Serbuk Daun Attarasa

Destilat

Minyak atsiri masih mengandung sisa air

minyak atsiri


(38)

3.4.3 Pembuatan Edible Film Pati Tapioka yang diinkorpurasi Minyak Atsiri daun attarasa

Di campur dan diaduk rata

Dipanaskan pada suhu 700 C sampai mengental

Ditambahkan 1 g gliserol dan diaduk rata Di tambahkan minyak atsiri daun attarasa sebanyak 1,5 mL sambil terus diaduk Dicetak diatas plat kaca

3.4.4 Pengujian Aktivitas Antibakteri Edible Film yang diinkorpurasi Minyak Daun Attarasa

disusupensikan dalam aquadest steril di homogenkan dengan vortex

dibandingkan dengan kekeruhan Mcfarland setara dengan 108 CFU/mL

di encerkan dengan aquadest steril sampai kekeruhan 106 CFU/mL dipotong cakram

diameter 6 mm di inokulasi di atas media MHA

di letakkan cakram edible film diatas media MHA di inkubasi secara terbalik dalam inkubator pada suhu 32-340C selama 24 jam

di ukur diameter zona antibakteri disekitar cakram 3 g pati tapioka + 100 g aquadest

Hasil Media MHA Cakram edible film Edible film Suspensi bakteri

Biakan bakteri Escherichia coli,

shigella dan Staphylococcus aureus

Suspensi bakteri

Uji aktivitas antibakteri 3 g pati tapioka + 100 g aquadest

Edible film


(39)

6. Perhitungan Kepadatan Sel Isolat Bakteri dengan metode Standart Plate Count (SPC)

dibungkus dengan film pati tapioka-minyak atsiri dan potongan ikan yang tanpa pembungkus sebagai kontrol disimpan dalam pendingin pada suhu 5-100C

dipotong seberat 1 g

dihaluskan dan dimasukkan dalam tabung reaksi ditambah aquadest steril hingga volume 10 ml

diencerkan hingga 10-1

dimasukkan 1ml dalam tabung yang telah dimasukkan 10 ml media PCA

dihomogenkan dengan vortex

dituang dalam cawan petri dan didiamkan hingga padat diinkubasi pada suhu 32-340C selama 24 jam

isolat bakteri dihitung dengan counter pada selang waktu 1,3,5 dan 7hari

Di lakukan perlakuan yang sama untuk potongan ikan gurami yang tanpa pembungkus sebagai kontrol.

Ikan gurami sebanyak 10 g

Kultur awal pengenceran 100

Media PCA dan kultur

Hasil


(40)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

4.1.1. Minyak atsiri dari proses destilasi dengan alat stahl

Dari hasil destilasi diperoleh minyak atsiri berwarna kuning pucat dengan kadar 1,9% v/b. Minyak atsiri yang kemudian diencerkan dengan etanol absolut (95%) dengan variasi konsentrasi 10% dan 15% v/v. Aktivitas antibakteri minyak atsiri daun attarasa menunjukkan zona hambat pada pertumbuhan beberapa bakteri patogen yaitu

Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan Shigella.

Tabel 4.1 Hasil pengukuran diameter zona hambat beberapa kultur bakteri oleh minyak atsiri daun Attarasa

No Spesies bakteri Konsentrtasi atsiri (%v/v)

Diameter zona hambat (mm) Rata-rata (mm)

1 2 3

1 Escherichia Coli

Gram (-)

0(kontrol) - - - -

10 7 8 7 7,33

15 7 8 8 7,66

2 Staphylococcus Aureus

Gram(+)

0(kontrol) - - - -

10 9 8 7,5 8,17

15 9 11 10 10

3 Shigella

Gram (-)

0(kontrol) - - - -

10 7 7 6,5 6,83


(41)

Escherichia coli (a) Staphylococcus aureus (b)

Shigella (c)

Gambar 4.1 Zona hambat dari minyak atsiri daun attarasa 10%, 15% v/v dan kontrol (0) cakram terhadap kultur bakteri (a) Escherichia coli, (b)

Staphylococcus aureus dan (c) Shigella

Inkorporasi minyak atsiri dalam edible film pati tapioka

Edible film dibuat dari pati tapioka dengan konsentrasi pati 4%, gliserol 1% dan diinkorporasi minyak atsiri daun attarasa dengan konsentrasi 1,5% v/w lalu di cetak dalam plat kaca ukuran 13 x 13 cm. Edible film pati tapioka yang diinkorporasi minyak atsiri daun attarasa memiliki ketebalan 0,17 mm. Aktivitas antibakteri edible film pati tapioka yang diinkorporasi minyak atsiri daun attarasa menunjukkan zona bening di sekitar film terhadap pertumbuhan kultur bakteri uji.

10 15

0

10 15

0

10

0 15


(42)

Tabel 4.2 Pengukuran diameter zona hambat beberapa kultur bakteri oleh edible film yang diinkorporasi minyak atsiri daun attarasa

No Konsentrasi atsiri (% v/b)

Spesies bakteri

Escherichia coli

gram (-) Staphylococcus aureus gram (+) gram (-) Shigella

1 1,5% 7,8 mm

(zona bening) -

7 mm (zona bening)

(a) Escherichia coli (b) Staphylococcus aureus

(c) Shigella

Gambar 4.2 Zona hambat dari edible film pati tapioka yang diinkorporasi minyak atsiri daun attarasa (1,5% v/b) terhadap kultur bakteri (a)


(43)

4.1.2 Pertumbuhan koloni bakteri pada ikan gurami yang di bungkus edible film pati tapioka yang diinkorporasi minyak atsiri daun attarasa

Dengan menggunakan metode Standard plate count (SPC) pada media plate count agar (PCA), jumlah koloni yang tumbuh pada ikan gurami yang telah dibungkus edible film pati tapioka yang diinkorporasi minyak atsiri daun attarasa dapat dihitung. Penghitungan jumlah koloni dilakukan dengan menggunakan counter pada hari ke 1, 3, 5 dan hari ke 7. Sebagai kontrol penghitungan jumlah koloni juga dilakukan terhadap ikan gurami yang tanpa pembungkus. Berikut hasil penghitungan jumlah koloni yang tumbuh pada media PCA.

Tabel 4.3 Hasil pengamatan pertumbuhan koloni pada ikan gurami yang di bungkus edible film dan yang tanpa pembungkus

No Pengamatan hari

Jumlah koloni Ikan yang di

bungkus edible film

Ikan tanpa pembungkus

1 1 12 20

2 3 215 226

3 5 221 255

4 7 246 267

Isolat ikan yang dibungkus edible film Isolat ikan tanpa pembungkus

Hari ke 1


(44)

Hari ke 3

Hari ke 5

Hari ke 7

Gambar 4.3 Perbandingan pertumbuhan koloni pada isolat ikan gurami yang dibungkus edible film (kiri) dengan isolat ikan gurami tanpa pembungkus (kanan)


(45)

4.2 Pembahasan

Tabel 1 menunjukkan bahwa minyak atsiri mampu menghambat pertumbuhan bakteri E. coli, Staphylococcus aureus dan Shigella pada konsentrasi 10%v/v dalam etanol absolut dengan diameter rata-rata daerah hambatan masing-masing 7,33 mm, 8,17 mm dan 6,83 mm. Sedangkan pada konsentrasi 15%v/v dalam etanol absolut dengan diameter rata-rata daerah hambatan masing-masing 7,66mm, 10 mm dan 7,33 mm. Minyak atsiri daun attarasa dapat dikatakan aktif terhadap biakan bakteri E. coli,

Staphylococcus aureus dan Shigella dengan membentuk zona bening disekitar cakram

yang telah dibasahi dengan atsiri. Pengujian aktivitas antibakteri dari minyak atsiri daun attarasa dipengaruhi oleh konsentrasi minyak atsiri yang diencerkan dalam etanol 95% (absolut). Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan, zona bening yang terbentuk pada konsentrasi 15%v/v lebih besar dari pada yang konsentrasi 10%v/v.

Minyak atsiri pada umumnya dibagi menjadi dua golongan yaitu goongan hidrokarbon dan hidrokarbon teroksigenasi. Senyawa hidrokarbon teroksigenasi dan fenol memiliki daya antimikroba yang kuat. Dalam hal ini komponen atsiri daun attarasa mengandung senyawa eukaliptol, α-Terpineol dan Terpinen-4-ol yang termasuk golongan hidrokarbon teroksigenasi.

Eukaliptol α-Terpineol Terpinen-4-ol

O

OH OH M/z = 154 M/z = 154 M/z = 154

Gambar 4.4 Struktur senyawa Eukaliptol, α-Terpineol dan Terpinen-4-ol

Aktivitas antibakteri dari film pati tapioka yang diinkorporasi minyak atsiri 1,5% v/w pada kultur bakteri Escherichia coli membentuk zona bening dengan diameter 7,8 mm, artinya pertumbuhan bakteri pada daerah bening tersebut terhenti. Begitu juga pada kultur bakteri shigella membentuk zona bening dengan diameter 7


(46)

mm di sekitar film, sedangkan pada kultur bakteri Staphylococcus aureus sama sekali tidak membentuk zona bening ataupun zona hambat. Hal ini mungkin disebabkan karena Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif yang mempunyai nm) sehingga staphylococcus aureus lebih sulit untuk dirusak oleh komponen yang berperan sebagai antimikroba dalam minyak atsiri, sedangkan Escherichia coli dan

shigella merupakan bakteri gram negatif, dimana dinding sel peptidoglikan lebih tipis

(2-7 nm) yang terletak diantara membran dalam dan membran luar (tebalnya6-7 nm)(Staf pengajar fakultas kedokteran Universitas Indonesia, 1994). Aktivitas antibakteri dari minyak atsiri yang telah diinkorporasi dalam film pati tapioca lebih kecil dibanding dengan aktivitas antibakteri minyak atsiri daun attarasa. Hal ini mungkin disebabkan karena banyak komponen minyak atsiri yang ikut teruapkan pada proses pengeringan film dalam dalam oven.

Penghitungan jumlah koloni bakteri diambil dari potongan ikan gurami yang telah dibuat pengenceran 10-1 lalu diinokulasikan pada media PCA. Tabel 4.3 menunjukkan hasil penghitungan jumlah koloni dimana pada hari ke 1 terlihat perbedaan jumlah pertumbuhan koloni antara ikan yang dibungkus dengan ikan yang tanpa pembungkus. Perlakuan pada ikan gurami yang di bungkus film, pertumbuhan koloni lebih sedikit dibanding jumlah koloni dari ikan gurami tanpa pembungkus, sehingga edible film pati tapioka efektif dalam menghambat atau mengurangi pertumbuhan mikroba pada ikan gurami. Hal yang sama juga terjadi pada perlakuan hari ke 3, 5 dan ke 7. Dimana sampai hari ke 7 jumlah koloni yang tumbuh semakin bertambah.


(47)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Minyak atsiri daun attarasa [Litsea cubeba (Lour.) Pers.] memilki aktivitas antibakteri terhadap bakteri Eschercia coli, Shigella dan Staphylococcus

aureus.

2. Edible film antibakteri pati tapioka yang inkorporasikan dengan minyak atsiri daun attarasa [Litsea cubeba (Lour.) Pers.] memilki aktivitas antibakteri terhadap bakteri Eschercia coli dan Shigella.

3. Edible film dari pati tapioka yang diinkorporasi dengan minyak atsiri daun attarasa [Litsea Cubeba (Lour.) Pers.] efektif digunakan sebagai pengemas ikan gurami dalam hal menghambat pertumbuhan bakteri.

5.2.1 Saran

Perlu dilakukan analisis lebih lanjut terhadap sifat mekanis dari edible film pati tapioka yang telah diinkorporasikan minyak atsiri daun attarasa [Litsea


(48)

DAFTAR PUSTAKA

Attarian, A.C.L dan Kechichian,V. 2006. Effect of Antimicrobial Edible Additives on

Cassava StarchBiobased Films Characterization. Food Engineering

Laboratory, Brazil: Chemical Engineering Department.

Biro Pusat Statistik. 2009. Statistik Indonesia. Tabel/kat,1/idtabel,111/itemid,165. Harvested Area:Yield Rate And Production Of Cassava By Province.

Bourtoom, T. 2007. Effect of Some Process Parameters on The Properties of

Edible Film Prepared from Starches. Songkhla: Departmentof material

product technology. Challenges and Opportunities. Food Technology 51(2):61-73.

Chan, H.T.,JR. 1983. Handbook of Tropical Foods. New york and Bassel: Marcel Dekker Inc.

Cui, S.W. 2005. Food Carbohidrates Chemistry. Physical Properties and Aplications. New york: CRC Press.

Fardiaz, S. 1993. Analisis Mikrobiologi Pangan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Guenther , E.1987. Minyak Atsiri. Jilid I. Penerjemah S. Ketaren. Jakarta: UI Press. Harris, H. 2001. Kemungkinan Penggunaan Edible Film dari Pati Tapioka untuk

Pengemas Lempuk. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. Bengkulu: Fakultas

Pertanian Universitas Bengkulu.

Heyne, K. 2987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid II cetakan ke-1. Badan

Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta: Departemen Kehutanan.

tanggal 28 November, 2009.

http:/

Efriza. 2009. Farmamin dan Perbekalan Kesehatan. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan.

Krochta, J.M dan Jhonston, C.D.M. 1997. Edible and Biodegradable Films. Challenges and oppotunities. Food technology. 51(2), 61-74

Lehninger, A.L. 1982. Dasar-dasar Biokimia. Terjemahan M. Thenawijaya. Jakarta: Erlangga.


(49)

Maizura, M., Fazilah, A., Norziah, MH and Karim, AA. 2008. Antibacterial Activity

of Modified Sago Starch-Alginate Based Edible Film Incorporated with Lemongrass ( Cymbopogon citratus ) Oil. International food research journal,

15(2), 233-236.

Mali, S. 2005. Water Sorption and mechanical Properties of Cassava Starch Film and

Their Relation to Plasticizing Effect. Carbohydrate Polymers. 6:283

Muslikhati, 1995. Penapisan Aktivitas Minyak Atsiri Tiga Jenis Tanaman Suku

Lauraceae terhadap Mikroba. Skripsi. Departemen Farmasi. Bandung: Institut

Teknologi Bandung.

Pasaribu, J. 2005. Isolasi Senyawa Alkaloida dengan cara Ekstraksi menggunakan

Pelarut Metanol-HCl dari Daun Attarasa (Litsea cubeba(Lour.)Pers.). Skripsi.

Medan: FMIPA USU.

Pelczar, M.J. 1988. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jakarta: UI-Press

Pranata, F.S, Marseno, D.W dan Haryadi. 2002. Karakterisasi Sifat-Sifat Fisik dan Mekanik Edible Film Pati Batang Aren (Arenga pinnata Merr).Biota Vol.VII (3) : 121-130.

Pranoto, Y., Salokhe, VM and Rakshit, SK. 2004. Physical and Antibacterial

Properties of Alginate-Based Edible Film Incoporated with Garlic Oil. Food

Reaserch International 38 (2005) 267-272.

Prosea, 1999. Plant Resources of South-East Asia. Essential-Oil Plants. Bogor: Prosea Foundation.

Rahmayanti. 2000. Perdagangan dan Produksi Minyak Atsiri. Jakarta: Penebar Swadaya.

Sastrohamidjojo, H. 2005, Kimia Organik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Soegihardjom, O. 2005. Perancangan Mesin Pembuat Tepung tepung. Jurnal Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri, Universitas Kristen Petra. Volume. 7, No. 1,: 22 – 27.

Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1994. Buku Ajar

Mikrobiologi Kedokteran. Binarupa Aksara.

Winarno, F.G. 1986. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Penerbit Gramedia.

Yusmarlela, 2009. Studi Pemanfaatan Plastisiser Gliserol dalam Film Pati Ubi Kayu

dengan Pengisi Serbuk Batang Ubi Kayu. Tesis. Medan: PPs USU.

Zuhra, C.F. 1999. Maserasi Menggunakan Pelarut Olein Lesitin dengan

Perbandingan 2:1 untuk Memperoleh Minyak Atsiri dari Daun Attarasa [Litsea cubeba(Lour)Pers]. Tesis. Medan: PPs USU.


(50)

LAMPIRAN

KOMPOSISI MEDIA

Nutrient Agar (NA) : Ekstrak sapi 3g

Pepton 5g

Agar 15g Aquadest 1000ml

pH 6,8

Plate Count Agar (PCA) : Tripton 5g Ekstrak khamir 1,5g

Dekstrosa 1g

Agar 15g Aquadest 1000ml

pH 7,0

Plate Count Agar (PCA) : Tripton 5g Ekstrak khamir 1,5g Dekstrosa 1g Agar 15g Aquadest 1000ml

pH 7,0

Komposisi larutan Standart McFarland : BaCl 1,175% 0,5ml H2SO4 1% 9,95ml


(51)

LAMPIRAN

Daun attarasa Litsea cubeba(Lour.) Pers

Minyak atsiri daun attarasa Litsea cubeba(Lour.) Pers


(1)

mm di sekitar film, sedangkan pada kultur bakteri Staphylococcus aureus sama sekali tidak membentuk zona bening ataupun zona hambat. Hal ini mungkin disebabkan karena Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif yang mempunyai nm) sehingga staphylococcus aureus lebih sulit untuk dirusak oleh komponen yang berperan sebagai antimikroba dalam minyak atsiri, sedangkan Escherichia coli dan shigella merupakan bakteri gram negatif, dimana dinding sel peptidoglikan lebih tipis (2-7 nm) yang terletak diantara membran dalam dan membran luar (tebalnya6-7 nm)(Staf pengajar fakultas kedokteran Universitas Indonesia, 1994). Aktivitas antibakteri dari minyak atsiri yang telah diinkorporasi dalam film pati tapioca lebih kecil dibanding dengan aktivitas antibakteri minyak atsiri daun attarasa. Hal ini mungkin disebabkan karena banyak komponen minyak atsiri yang ikut teruapkan pada proses pengeringan film dalam dalam oven.

Penghitungan jumlah koloni bakteri diambil dari potongan ikan gurami yang telah dibuat pengenceran 10-1 lalu diinokulasikan pada media PCA. Tabel 4.3 menunjukkan hasil penghitungan jumlah koloni dimana pada hari ke 1 terlihat perbedaan jumlah pertumbuhan koloni antara ikan yang dibungkus dengan ikan yang tanpa pembungkus. Perlakuan pada ikan gurami yang di bungkus film, pertumbuhan koloni lebih sedikit dibanding jumlah koloni dari ikan gurami tanpa pembungkus, sehingga edible film pati tapioka efektif dalam menghambat atau mengurangi pertumbuhan mikroba pada ikan gurami. Hal yang sama juga terjadi pada perlakuan hari ke 3, 5 dan ke 7. Dimana sampai hari ke 7 jumlah koloni yang tumbuh semakin bertambah.


(2)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Minyak atsiri daun attarasa [Litsea cubeba (Lour.) Pers.] memilki aktivitas antibakteri terhadap bakteri Eschercia coli, Shigella dan Staphylococcus aureus.

2. Edible film antibakteri pati tapioka yang inkorporasikan dengan minyak atsiri daun attarasa [Litsea cubeba (Lour.) Pers.] memilki aktivitas antibakteri terhadap bakteri Eschercia coli dan Shigella.

3. Edible film dari pati tapioka yang diinkorporasi dengan minyak atsiri daun attarasa [Litsea Cubeba (Lour.) Pers.] efektif digunakan sebagai pengemas ikan gurami dalam hal menghambat pertumbuhan bakteri.

5.2.1 Saran

Perlu dilakukan analisis lebih lanjut terhadap sifat mekanis dari edible film pati tapioka yang telah diinkorporasikan minyak atsiri daun attarasa [Litsea cubeba (Lour.) Pers.]


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Attarian, A.C.L dan Kechichian,V. 2006. Effect of Antimicrobial Edible Additives on Cassava StarchBiobased Films Characterization. Food Engineering Laboratory, Brazil: Chemical Engineering Department.

Biro Pusat Statistik. 2009. Statistik Indonesia. Tabel/kat,1/idtabel,111/itemid,165. Harvested Area:Yield Rate And Production Of Cassava By Province.

Bourtoom, T. 2007. Effect of Some Process Parameters on The Properties of Edible Film Prepared from Starches. Songkhla: Departmentof material product technology. Challenges and Opportunities. Food Technology 51(2):61-73.

Chan, H.T.,JR. 1983. Handbook of Tropical Foods. New york and Bassel: Marcel Dekker Inc.

Cui, S.W. 2005. Food Carbohidrates Chemistry. Physical Properties and Aplications. New york: CRC Press.

Fardiaz, S. 1993. Analisis Mikrobiologi Pangan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Guenther , E.1987. Minyak Atsiri. Jilid I. Penerjemah S. Ketaren. Jakarta: UI Press.

Harris, H. 2001. Kemungkinan Penggunaan Edible Film dari Pati Tapioka untuk Pengemas Lempuk. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. Bengkulu: Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu.

Heyne, K. 2987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid II cetakan ke-1. Badan

Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta: Departemen Kehutanan.

tanggal 28 November, 2009.

http:/

Efriza. 2009. Farmamin dan Perbekalan Kesehatan. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan.

Krochta, J.M dan Jhonston, C.D.M. 1997. Edible and Biodegradable Films. Challenges and oppotunities. Food technology. 51(2), 61-74

Lehninger, A.L. 1982. Dasar-dasar Biokimia. Terjemahan M. Thenawijaya. Jakarta: Erlangga.


(4)

Maizura, M., Fazilah, A., Norziah, MH and Karim, AA. 2008. Antibacterial Activity of Modified Sago Starch-Alginate Based Edible Film Incorporated with Lemongrass ( Cymbopogon citratus ) Oil. International food research journal, 15(2), 233-236.

Mali, S. 2005. Water Sorption and mechanical Properties of Cassava Starch Film and Their Relation to Plasticizing Effect. Carbohydrate Polymers. 6:283

Muslikhati, 1995. Penapisan Aktivitas Minyak Atsiri Tiga Jenis Tanaman Suku Lauraceae terhadap Mikroba. Skripsi. Departemen Farmasi. Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Pasaribu, J. 2005. Isolasi Senyawa Alkaloida dengan cara Ekstraksi menggunakan Pelarut Metanol-HCl dari Daun Attarasa (Litsea cubeba(Lour.)Pers.). Skripsi. Medan: FMIPA USU.

Pelczar, M.J. 1988. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jakarta: UI-Press

Pranata, F.S, Marseno, D.W dan Haryadi. 2002. Karakterisasi Sifat-Sifat Fisik dan Mekanik Edible Film Pati Batang Aren (Arenga pinnata Merr).Biota Vol.VII (3) : 121-130.

Pranoto, Y., Salokhe, VM and Rakshit, SK. 2004. Physical and Antibacterial Properties of Alginate-Based Edible Film Incoporated with Garlic Oil. Food Reaserch International 38 (2005) 267-272.

Prosea, 1999. Plant Resources of South-East Asia. Essential-Oil Plants. Bogor: Prosea Foundation.

Rahmayanti. 2000. Perdagangan dan Produksi Minyak Atsiri. Jakarta: Penebar Swadaya.

Sastrohamidjojo, H. 2005, Kimia Organik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Soegihardjom, O. 2005. Perancangan Mesin Pembuat Tepung tepung. Jurnal Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri, Universitas Kristen Petra. Volume. 7, No. 1,: 22 – 27.

Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1994. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Binarupa Aksara.

Winarno, F.G. 1986. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Penerbit Gramedia.

Yusmarlela, 2009. Studi Pemanfaatan Plastisiser Gliserol dalam Film Pati Ubi Kayu dengan Pengisi Serbuk Batang Ubi Kayu. Tesis. Medan: PPs USU.

Zuhra, C.F. 1999. Maserasi Menggunakan Pelarut Olein Lesitin dengan Perbandingan 2:1 untuk Memperoleh Minyak Atsiri dari Daun Attarasa [Litsea cubeba(Lour)Pers]. Tesis. Medan: PPs USU.


(5)

LAMPIRAN

KOMPOSISI MEDIA

Nutrient Agar (NA) : Ekstrak sapi 3g

Pepton 5g

Agar 15g Aquadest 1000ml

pH 6,8

Plate Count Agar (PCA) : Tripton 5g Ekstrak khamir 1,5g Dekstrosa 1g Agar 15g Aquadest 1000ml

pH 7,0

Plate Count Agar (PCA) : Tripton 5g Ekstrak khamir 1,5g Dekstrosa 1g Agar 15g Aquadest 1000ml

pH 7,0

Komposisi larutan Standart McFarland : BaCl 1,175% 0,5ml H2SO4 1% 9,95ml


(6)

LAMPIRAN

Daun attarasa Litsea cubeba(Lour.) Pers

Minyak atsiri daun attarasa Litsea cubeba(Lour.) Pers


Dokumen yang terkait

Pembuatan Edible Film Dari Ekstrak Kacang Kedelai Dengan Penambahan Tepung Tapioka Dan Gliserol Sebagai Bahan Pengemas Makanan

19 140 66

Analisis Komponen Kimia Dan Uji Aktivitas Antibakteri Minyak Atsiri Daun Pinus (Pinus Merkusii Jungh.Et Devries) Dari Kabupaten Samosir

19 151 82

Analisis Komponen Kimia Dan Uji Aktivitas Antibakteri Minyak Atsiri Daun Legundi (Vitex trifolia L)

12 104 76

Pemanfaatan Gliserol Dan Turunannya Sebagai Plasticizer Pada Edible Film Gelatin Yang Diinkorporasi Dengan Minyak Atsiri Kulit Kayu Manis (Cinnamomum Burmanii) Sebagai Antimikroba

10 107 120

Karakterisasi Edible Film Yang Bersifat Antioksidan Dan Antimikroba Dari Galaktomanan Biji Aren (Arenga pinnata) Yang Diinkorporasi Dengan Minyak Atsiri Daun Kemangi (Ocimum basilicum L.)

24 127 193

Aktivitas Antibakteri Edible Film Dari Pati Tapioka Yang Di Inkorporasi Dengan Minyak Atsiri Daun Attarasa [Litsea Cubeba(Lour.) Pers.]

7 56 51

Analisis Komponen Senyawa Kimia Dan Uji Aktivitas Antibakteri Minyak Atsiri Daun Zodia (Euodia Hortensis J.R &amp; G. Forst)

9 82 87

Karakterisasi Edible Film Yang Bersifat Antioksidan Dan Antimikroba Dari Galaktomanan Biji Aren (Arenga pinnata) Yang Diinkorporasi Dengan Minyak Atsiri Daun Kemangi (Ocimum basilicum L.)

1 1 44

Karakterisasi Edible Film Yang Bersifat Antioksidan Dan Antimikroba Dari Galaktomanan Biji Aren (Arenga pinnata) Yang Diinkorporasi Dengan Minyak Atsiri Daun Kemangi (Ocimum basilicum L.)

0 1 18

Karakterisasi Edible Film Yang Bersifat Antioksidan Dan Antimikroba Dari Galaktomanan Biji Aren (Arenga pinnata) Yang Diinkorporasi Dengan Minyak Atsiri Daun Kemangi (Ocimum basilicum L.)

0 1 22