Metode dan Jenis Penelitian

Hamka merupakan singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah, yang juga merujuk kepada nama ayahnya, Haji Abdul Karim Amrullah. 3 Menurut Floriberta Aning S, dalam bukunya yang berjudul 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia, pada tahun 1929 Hamka menikah dengan Siti Raham binti Endah Sutan dan kemudian dari hasil perkawinan tersebut mereka dikaruniai 12 orang anak, 2 diantaranya meninggal dunia. Dan pada tahun 1973 ia menikah untuk yang kedua kalinya dengan seorang perempuan asal Cirebon, yaitu Hj. Siti Chadijah setelah ditinggal wafat istri pertamanya satu setengah tahun sebelumnya. Hamka dikenal sebagai salah satu tokoh organisasi Islam modern Muhammadiyah. Bahkan Hamka bisa disebut sebagai tokoh utama berdirinya organisasi itu di wilayah Sumatera Barat. 4 2. Pendidikan Hamka Menurut Samsul Nizar, sejak kecil Hamka menerima dasar-dasar agama dan membaca Al- Qur‟an langsung dari ayahnya. Ketika usia 6 tahun, ia dibawa ayahnya ke Padangpanjang. Pada usia 7 tahun, ia kemudian dimasukkan ke sekolah desa dan mengenyam pendidikan di sana selama 3 tahun lamanya. Ia juga memiliki hobi menonton film yang kemudian banyak memberinya inspirasi untuk mengarang. 5 Pendidikan formal yang dilaluinya sangat sederhana. Mulai tahun 1916 sampai 1923, ia belajar agama pada lembaga pendidikan Diniyah School di Padangpanjang, serta Sumatera Thawalib di Padangpanjang dan di Parabek. Walaupun pernah duduk di kelas VII, akan tetapi ia tidak memiliki ijazah. Guru-gurunya pada waktu itu antara lain; Syeikh Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo Abdul Hamid Hakim, Sutan Marajo, dan Syeikh Zainuddin Labay el-Yunusiy. 3 Abdul Rouf, Tafsir Al Azhar: Dimensi Tasawuf HAMKA, Selangor: Piagam Intan SDN. BHD, 2013, Cet. I, h. 19 4 Floriberta Aning S, 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia: Biografi Singkat Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah Indonesia di Abad 20, Jakarta: Pt. Buku Kita, Cet. III, 2007, h. 81 5 Samsul Nizar, op. cit., h. 25-26 Pelaksanaan pendidikan waktu itu masih bersifat tradisional dengan menggunakan sistem halaqah. Pada tahun 1916, sistem klasikal baru diperkenalkan di Sumatera Thawalib Jembatan Besi. Hanya saja, pada saat itu sistem klasikal yang diperkenalkan belum memiliki bangku dan alat belajar mengajar lainnya. Materi pendidikan masih berorientasi pada pengajian kitab- kitab klasik, seperti nahwu, sharaf, manthiq, bayan, fiqh, dan sejenisnya. Pendekatan pendidikan dilakukan dilakukan dengan menekankan pada aspek hafalan. Pada waktu itu, sistem hafalan merupakan cara yang paling efektif bagi pelaksanaan pendidikan. Meskipun kepadanya diajarkan membaca dan menulis huruf Arab dan Latin, akan tetapi yang lebih diutamakan adalah mempelajari kitab-kitab Arab klasik dengan standar buku-buku pelajaran sekolah agama rendah di Mesir. Pendekatan pelaksanaan pendidikan tersebut tidak diiringi dengan belajar menulis secara maksimal. Akibatnya banyak di antara teman-temannya yang fasih dalam membaca kitab, akan tetapi tidak bisa menulis dengan baik. Di antara metode-metode yang digunakan guru-gurunya, hanya metode pendidikan yang digunakan Zainuddin Labay el Yunusiy yang menarik hatinya. Pendekatan yang dilakukan gurunya ini, bukan hanya mengajar transfer of knowledge, akan tetapi juga melakukan pro ses “mendidik” transformation of value. Melalui Diniyah School Padangpanjang yang didirikannya, ia telah memperkenalkan bentuk lembaga Islam modern dengan menyusun kurikulum pendidikan yang lebih sistematis, memperkenalkan sistem pendidikan klasikal dengan menyediakan kursi dan bangku tempat duduk siswa, menggunakan buku-buku di luar kitab standar, serta memberikan ilmu-ilmu umum seperti : bahasa, matematika, sejarah, dan ilmu bumi. Secara formal, pendidikan yang ditempuh Hamka tidaklah tinggi. Hanya sampai kelas 3 di sekolah desa, lalu, sekolah agama yang ia jalani di Padangpanjang dan Parabek juga tak lama, hanya selama tiga tahun. Selebihnya ia belajar sendiri. Kesukaannya di bidang bahasa membuatnya cepat sekali menguasai Bahasa Arab. Dari sinilah ia mengenal dunia secara