Manusia dalam Pendidikan Islam

sel telur yang ada dalam rahim seorang ibu. Sperma inilah yang merupakan awal mula hayat kehidupan seorang manusia. 20 Pernyataan bahwa awal mula kehidupan di muka bumi ialah bersumber dari air juga pernah diungkapkan oleh filosof bernama Thales, hal ini dikarenakan segala unsur dalam makhluk hidup, air pasti menjadi salah satu kebutuhan dan menjadi bagian dari dirinya. Baik itu hewan, tumbuhan maupun manusia. Pada proses terjadinya manusia, air sebagai sumber kehidupan yang dimaksudkan adalah air sperma yang dihasilkan kaum lelaki, di dalamnya terdapat zat-zat hidup yang nantinya akan membuahi sel telur. Sehingga jasad janin yang nantinya akan tumbuh dalam rahim sang ibu akan dapat hidup dan memiliki karakteristik makhluk hidup pada umumnya, seperti membutuhkan makanan, bergerak, bernafas, dan menanggapi rangsang. c. Tahap ruh Kata ruh berasal dari kata ar-rih yang berarti angin. Oleh karena itu, ar-ruh disebut juga an-nafs, yaitu napas atau nyawa. Menurut ibn Atsir, sebagaimana dikutip oleh Umiarso dan Zamroni, “Ruh itu dipakai dalam berbagai arti, tetapi yang paling umum ialah sesuatu yang dijadikan sandaran bagi jasad. ” 21 Menurut I.R. Poedjawijatna , “Kebanyakan ahli filsafat Yunani berpendapat bahwa ruh itu merupakan satu unsur yang halus, yang dapat meninggalkan badan. Jika dia pergi dari badan, dia kembali ke alamnya yang tinggi, meluncur ke angkasa luar dan tidak mati, sebagaimana ungkapan Phytagoras kepada Diasgenes.” 22 20 Ibid. 21 Umiarso dan Zamroni, op. cit., h. 77 22 I.R. Poedjawijatna, Manusia dengan Alamnya Filsafat Manusia, Jakarta: Bina Aksara, 1983, Cet. III, h. 67 Adanya proses peniupan ruh yang ditiupkan Tuhan dalam diri manusia dan kemudian diiringi dengan pemberian pendengaran, penglihatan, dan hati merupakan bukti bahwa yang menjadi pimpinan dalam diri manusia adalah ruh. Ruhlah yang kiranya dapat membimbing, pendengaran, penglihatan dan hati untuk memahami kebenaran. Menurut I.R. Poedjawijatna juga, “Islam juga memandang permasalahan ruh merupakan suatu hal yang terbatas untuk dipelajari secara mendalam. Hal itu menjadi landasan bukti walaupun banyak ilmu yang telah dimiliki oleh manusia, namun sampai kapanpun ia tidak akan bisa melebihi Tuhannya, dalam masalah ruh. ” 23 Menurut Zuhairini, dkk, Islam berpendapat bahwa manusia terdiri dari dua substansi yaitu materi yang berasal dari bumi dan ruh yang berasal dari Tuhan. Maka hakikat pada manusia adalah ruh itu, sedangkan jasadnya hanyalah alat yang dipergunakan oleh ruh untuk menjalani kehidupan material di alam yang material bersifat sekunder dan ruh adalah primer, karena ruh saja tanpa jasad yang material, tidak dapat dinamakan manusia. Malaikat adalah makhluk ruhaniyah bersifat ruh semata tidak memiliki unsur jasad yang material. Tetapi sebaliknya unsur jasad yang material saja tanpa ruh, maka juga bukan manusia namanya. Hewan adalah makhluk yang bersifat jasad material yang hidup. Manusia tanpa ruh, tidak lebih dari hewan. 24 Jadi, ruh merupakan suatu unsur halus yang melekat pada jasad. Manusia bisa dikatakan hidup apabila ruhnya masih melekat pada jasadnya. Namun, bila ruhnya tersebut telah meninggalkan jasadnya, maka telah berakhirlah kehidupannya di muka bumi ini. Oleh karena itu, pada hakikatnya jiwa manusia yang telah hidup sejak zaman azali hingga di dunia akhirat nanti hanyalah ruhnya saja, adapun jasadnya yang tampak di muka bumi ini hanya merupakan alat atau wadah sebagai bukti yang jelas akan kehidupannya di muka bumi. 23 Ibid. 24 Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, Cet. III, 2004, h. 77 d. Tahap nafs Menurut Toto Suharto, kata nafs dalam Al- Qur‟an mempunyai empat pengertian, yaitu nafsu, napas, jiwa, dan diri keakuan. Dari keempat pengertian ini, Al- Qur‟an lebih sering menggunakan kata nafs untuk pengertian diri keakuan. Diri atau keakuan adalah kesatuan dinamik dari jasad, hayat dan ruh. Dinamikanya terletak pada aksi atau kegiatannya. Kesatuannya bersifat spiritual yang tercermin dalam aktivitas kehidupan manusia. 25 Dalam diri manusia, terdapat jasad sebagai wadah bagi ruh dan dengan gabungan keduanya kemudian menjadi hiduplah jasad tersebut. Gabungan unsur-unsur tersebut nantinya akan menghasilkan sebuah aksi atau tindakan. Dengan adanya aksi tersebutlah baru manusia dapat dikatakan hidup. Oleh karena itu, dalam hidupnya manusia selalu bergerak, bersosialisasi dan tidak pernah berhenti untuk berkreativitas dan mengelola sumber daya alam guna menjaga keberlangsungan hidupnya dan melestarikan alam semesta. 3. Tugas Hidup Manusia Tugas manusia dalam pandangan Islam adalah memakmurkan bumi dengan jalan memanifestasikan potensi Tuhan dalam dirinya. Dengan kata lain, manusia sesungguhnya diperintahkan untuk mengembangkan sifat-sifat Tuhan menurut perintah dan petunjuk-Nya. Sifat-sifat Tuhan ini dalam bahasa agama biasa disebut Al-Asma Al-Husna, yang berjumlah 99. Sebagai contoh, Tuhan adalah Maha Pengasih Ar-Rahman maka manusia diperintahkan untuk bersifat asih terhadap dirinya dan makhluk lain. Menurut Toto Suharto, Satu hal yang perlu dikemukakan di sini adalah bahwa sifat-sifat Tuhan itu hanya dapat dimanifestasikan oleh manusia dalam bentuk dan cara yang terbatas. Hal ini, selain karena watak keterbatasan manusia, juga dimaksudkan agar manusia tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan. Seyogyanya manusia menganggap proses perwujudan sifat-sifat Tuhan ini sebagai suatu amanah, agar manusia mempunyai tanggung jawab yang besar dalam melaksanakan tugas ini. 26 25 Toto Suharto, op. cit., h. 83 26 Ibid., h. 85-86 Jadi, proses perwujudan sifat-sifat Tuhan ini hanyalah sebagai contoh kecil dari keluasan sifat-sifat Tuhan Yang Maha Besar. Oleh karena itu, manusia seyogyanya tidak bersifat sombong dan superior dengan menganggap bahwa dirinya telah mencapai puncak dari semua sifat-sifat baik yang melekat pada nama-nama Tuhan. 4. Potensi Manusia Untuk dapat menjalankan fungsi kekhalifahannya, manusia dibekali Tuhan dengan berbagai potensi. Potensi-potensi ini diberikan Tuhan kepada manusia sebagai suatu anugerah, yang tidak diberikan Tuhan kepada makhluk lain. Potensi-potensi ini dalam bahasa agama disebut dengan fitrah. Di dalam sebuah hadis shahih yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa setiap anak lahir dalam keadaan fitrah. Kedua orangtuanyalah yang memungkinkan ia menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Hadis ini mengisyaratkan bahwa manusia semenjak lahir sudah dibekali dengan berbagai potensi yang disebut dengan fitrah. Fitrah adalah suatu istilah dari bahasa Arab yang berarti tabiat yang suci atau baik, yang khusus diciptakan Tuhan bagi manusia. menurut Toto Suharto, “Fitrah kiranya merupakan modal modal dasar bagi manusia agar dapat memakmurkan bumi ini. Fitrah juga merupakan potensi kodrati yang dimiliki manusia agar berkembang menuju kesempurnaan hidup. Keberhasilan manusia dalam hal ini dapat dilihat dari kemampuannya untuk mengembangkan fitrah ini. ” 27 Berdasarkan dengan potensi fitrah yang dibekalkan Tuhan kepada manusia, para ahli filsafat telah memberikan berbagai predikat kepada manusia. Menurut Zuhairini, Prediket tersebut antara lain: a. Manusia adalah “homo sapiens” artinya makhluk yang mempunyai budi. b. Manusia adalah “animal rational” artinya binatang yang berpikir. 27 Ibid., h. 86 c. Manusia adalah “homo laquen” yaitu makhluk yang pandai menciptakan bahasa dan menjelmakan pikiran manusia dan perasaan dalam kata-kata yang tersusun. d. Manusia adalah “homo faber” artinya makhluk yang tukang, dia pandai membuat perkakas atau disebut juga “tool making animal” yaitu binatang yang pandai bekerja sama, bergaul dengan orang lain dan mengorganisasi diri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. e. Manusia adalah “homo economicus” artinya makhluk yang tunduk pada prinsip-prinsip ekonomi dan bersifat ekonomis. f. Manusia adalah “homo religious” yaitu makhluk yang beragama. Dr. M.J. Langeveld seorang tokoh pendidikan bangsa Belanda, memandang manusia itu sebagai “animal educadum dan animal educabile” yaitu bahwa manusia itu adalah makhluk yang harus dididik dan dapat dididik. Di samping itu manusia juga sebagai “homo planemanet” artinya untuk itu maka unsur rohaniah merupakan syarat mutlak untuk terlaksananya program-program pendidikan. 28 Jadi, potensi atau fitrah merupakan bekal khusus yang telah disiapkan Tuhan untuk kelangsungan hidup manusia di bumi. Dengan potensi-potensi yang berbeda tersebut manusia akan saling belajar dan membantu satu sama lain guna mengoptimalkan potensi-potensi yang dimiliki diri mereka masing- masing hingga menuju kesempurnaan hidup. Namun, kesempurnaan tersebut hanya mampu dicapai oleh orang-orang yang mampu mengenali dan menggali secara benar potensi-potensi yang terdapat dalam diri mereka. 5. Tujuan hidup manusia Al- Qur‟an menjelaskan bahwa tidaklah semata-mata Allah menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Nya. Firman Allah dalam surat Adz-Dzariyat ayat 56:        28 Zuhairini, dkk, op. cit, h. 82-83 “ Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada- Ku.” Menurut Toto Suharto, “Ibadah pengabdian dalam hal ini tidak dimaksudkan dalam pengertiannya yang sempit, tetapi dalam pengertiannya yang luas. Yaitu, nama bagi segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Intinya, tujuan hidup manusia adalah ibadah kepada Allah dalam segala tingkah lakunya. ” 29 Tujuan hidup ini pada akhirnya akan bersinggungan dengan tujuan pendidikan Islam, karena pendidikan pada dasarnya bertujuan memelihara kehidupan manusia. Dengan demikian, tujuan hidup muslim sebenarnya merupakan tujuan akhir pendidikan Islam. 6. Manusia Sebagai Subjek dan Objek Pendidikan Menurut Langeveld, sebagaimana dikutip oleh Madyo Eko Susilo dan RB Kasihadi, “Manusia itu adalah ‘animal educandum’ makhluk yang harus dididik dan ‘homo educandus’ makhluk yang dapat mendidik.” 30 Dari hakikat ini jelas bahwa pendidikan itu merupakan keharusan mutlak bagi manusia. Hal ini sesuai dengan kandungan Al-Q ur‟an surat Al‟Alaq ayat 1-5:                          “ Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu-lah Yang Maha Pemurah, yang mengajar manusia dengan perantara kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” Agama Islam mendorong umatnya agar menjadi umat yang pandai, dimulai dengan belajar baca tulis dan diteruskan dengan belajar berbagai macam ilmu pengetahuan. Islam di samping menekankan kepada umatnya 29 Toto Suharto, op. cit., h. 83 30 Madyo Eko Susilo Dan RB Kasihadi, Dasar-Dasar Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2001, h. 18 untuk belajar juga menyuruh umatnya untuk mengajarkan ilmunya kepada orang lain. Jadi Islam mewajibkan umatnya belajar dan mengajar. Menurut Zuhairini, dkk, “Melakukan proses belajar dan mengajar adalah bersifat manusiawi, yakni sesuai dengan harkat kemanusiaannya, sebagai makhluk homo educandus, dalam arti manusia itu sebagai makhluk yang dapat dididik dan mendidik. ” 31 a. Manusia sebagai subjek pendidikan Menurut Ahmad D. Marimba, “Yang dimaksud dari manusia sebagai subjek pendidikan adalah manusia dalam perannya sebagai pendidik, secara umum pendidik adalah mereka yang memiliki tanggung jawab mendidik. Mereka adalah manusia dewasa yang karena hak dan kewajibannya melaksanakan proses pendidikan. ” 32 Menurut Al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Umiarso dan Zamroni, ‘Makhluk yang paling mulia di muka bumi ialah manusia. Sedangkan, yang paling mulia penampilannya adalah kalbunya. Guru atau pengajar selalu menyempurnakan, mengagungkan, dan mensucikan kalbu itu serta menunt unnya untuk dekat dengan Allah.’ Ia juga menambahkan, ‘Seseorang yang berilmu kemudian bekerja dengan ilmunya itu, dialah yang dinamakan orang besar di bawah kolong langit ini. Ia bagai matahari yang mencahayai orang lain, sedangkan ia sendiri pun bercahaya. Ibarat minyak kasturi yang baunya dinikmati orang lain, ia sendiri pun harum. ’ 33 Pendidik, selain bertugas melakukan transfer of knowledge, juga adalah seorang motivator dan fasilitator bagi proses belajar peserta didiknya. Menurut Hasan Langgulung sebagaimana dikutip oleh Toto Suharto, “Dengan paradigma ini, seorang pendidik harus dapat memotivasi dan memfasilitasi peserta didik agar dapat mengaktualisasikan sifat-sifat Tuhan yang baik, sebagai potensi yang perlu dikembangkan. ” 34 Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat Luqman ayat 13: 31 Zuhairini, dkk, op. cit., h. 99 32 Ahmad. D. Marimba, op. cit., h. 37 33 Umiarso dan Zamroni, op. cit., h. 85 34 Toto Suharto, op. cit., h. 116                “Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar. ” Dari beberapa pendapat yang dikemukakan penulis di atas, dapat disimpulkan bahwa manusia sebagai subjek pendidikan adalah merupakan seorang pendidik, dalam hal ini pendidik tugas seorang pendidik bukanlah sekedar melakukan transfer ilmu saja, melainkan juga sebagai penanam nilai-nilai moral pada diri peserta didik. b. Manusia sebagai objek pendidikan Menurut Toto Suharto, “Manusia sebagai objek pendidikan yakni manusia dalam perannya sebagai peserta didik, peserta didik dalam paradigma berarti orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi dasar fitrah yang perlu dikembangkan. ” 35 Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 31:                “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama benda-benda seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat. Lalu mereka berkata: Sebutkanlah kepada-ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang- orang yang benar. Menurut Umiarso dan Zamroni, ayat ini menggambarkan pada kita betapa fitrah manusia sebagai peserta didik sudah diaplikasikan oleh manusia pertama, yaitu Adam, sebagaimana Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama benda secara keseluruhan. Dialog tersebut menjadi 35 Ibid., h. 119 indikasi betapa proses pendidikan mempunyai urgenitas tersendiri dalam Islam. 36 Akan tetapi menurut Zakiah Daradjat, dkk, “Fungsi murid dalam interaksi belajar-mengajar adalah sebagai subjek dan objek. Sebagai subjek, karena murid menentukan hasil belajar dan sebagai objek, karena muridlah yan g menerima pelejaran dari guru”. 37 Jadi, manusia sebagai objek pendidikan ialah saat manusia berada pada posisi sebagai penerima materi atau ilmu. Namun, tetap saja hasil akhirnya ditentukan oleh mereka sendiri sebagai subjek penentu.

C. Hasil Penelitian yang Relevan

Tulisan-tulisan tentang Hamka sudah banyak dikaji orang, begitu juga tentang penelitian mengenai tokoh ini, dikarenakan tokoh ini memiliki pengaruh besar di bidangnya dengan bukti karya-karyanya yang masih terus diterbitkan dan dikaji hingga saat ini. Berikut merupakan beberapa penelitian terkait dengan Hamka berkenaan masalah pendidikan, yaitu: 1. Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Buku Tasawuf Modern Buya Hamka skripsi karya Rini Setiani mahasiswa PAI, dalam penelitian karya ilmiahnya ini peneliti mencoba mengulas nilai-nilai Islam yang dapat diaplikasikan dalam khazanah pendidikan Islam yang terkandung dalam buku Tasawuf Modern karya Hamka. Dari penelitian ini pula dapat diketahui setidaknya terdapat tiga pembahasan pokok mengenai nilia-nilai pendidikan Islam, yaitu pendidikan keimanan, pendidikan akhlak, dan pendidikan spiritual. 2. Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Islam, skripsi karya Ajeng Pramiswari mahasiswi PAI, dalam penelitian karya ilmiah ini peneliti memaparkan bahwa tujuan hidup manusia merupakan tolak ukur pendidikan Islam, dalam hal ini, tujuan hidup manusia yang dirumuskan 36 Umiarso dan Zamroni, op. cit., h. 83 37 Zakiah Daradjat, dkk, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995, Cet-I, h. 268 Hamka adalah untuk beribadah, maka segala proses pendidikan pada akhirnya bertujuan agar dapat menuju dan menjadikan peserta didik sebagai abdi Allah dengan cara mengenal dan mencari keridhoan Allah, membangun budi pekerti untuk berakhlak mulia, serta mempersiapkan peserta didik untuk hidup secara layak dan berguna di tengah-tengah komunitas sosialnya. Dari dua penelitian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti pandangan Hamka mengenai konsepnya tentang manusia dan hubungannya dengan konsep pendidikan Islam yang dirumuskannya. Karena pada dasarnya setiap konsep pendidikan yang dirumuskan oleh suatu tokoh tidak akan pernah terlepas dari gagasan mereka tentang manusia, karena manusia merupakan subjek dan objek kajian dari pendidikan itu sendiri, jadi pemahaman tentang konsep manusia secara mendalam mutlak dipahami oleh para penggagas pendidikan, dalam penelitian ini adalah Hamka. Dan karena belum ditemukan penelitian yang membahas mengenai konsep manusia dan implikasinya terhadap konsep pendidikan Islam menurut Hamka. 29

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu Penelitian

Penelitian yang berjudul “Hubungan Konsep Manusia dengan Konsep Pendidikan Islam Menurut Haji Abdul Malik Karim Amrullah ” ini dilaksanakan dalam waktu beberapa bulan, dengan pengaturan waktu sebagai berikut: bulan September 2014 sampai bulan Februari 2015 digunakan untuk pengumpulan data mengenai sumber-sumber tertulis yang diperoleh dari teks book yang ada di perpustakaan, serta sumber lain yang mendukung penelitian.

B. Metode dan Jenis Penelitian

Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan metode penelitian kepustakaan library research. Sesuai dengan pokok masalah yang telah dirumuskan, data dan informasi yang dihimpun dalam penelitian ini bersifat kualitatif. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan metode kualitatatif. Dalam penyajian data digunakan metode deskriptif analisis. Metode deskriptif digunakan untuk menguraikan dan menggambarkan data dan informasi yang diperoleh dalam bentuk kalimat yang disertai dengan kutipan-kutipan data. Dalam proses mengumpulkan bahan kepustakaan, peneliti melakukannya dengan cara membaca, menelaah buku-buku, surat kabar dan bahan-bahan informasi lainnya terutama yang berkaitan dengan manusia dan pendidikan Islam. C. Sumber Data Menurut Lexy J. Moleong, “Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. ” 1 Adapun sumber data tersebut adalah: 1. Menurut Saefudin, “Data primer adalah data utama dari berbagai referensi atau sumber-sumber yang memberikan data langsung dari tangan pert ama” 2 . Dalam hal ini sumber data primer yang digunakan adalah buku- buku karya Hamka sebagai sumber acuan utama, antara lain: Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1998, dan Hamka, Lembaga hidup, Jakarta: Djajamurni, 1962. 2. Menurut Sugiyono, “Sumber data sekunder sebagai data pendukung yaitu berupa data-data tertulis baik itu buku-buku maupun sumber lain yang memiliki relevansi dengan masalah yang dibahas. ” 3 Dalam hal ini sumber data sekunder yang digunakan antara lain buku Memperbincangkan Dinamika Intelektual Dan Pemikiran HAMKA Tentang Pendidikan Islam karangan Samsul Nizar dan Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan karangan Suwito dan Fauzan, Tafsir Al-Azhar: Dimensi Tasawuf HAMKA karangan Abdul Rouf, dan lain sebagainya.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik dan alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Studi Pustaka Library Research, menurut Sugiyono “studi pustaka yaitu studi yang dilakukan dengan mempelajari literatur yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti dengan mengumpulkan data-data melalui bahan bacaan 1 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014, h. 157 2 Saefudin Azwar, Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998, h. 89 3 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Kuantitatif, kualitatif, dan RD, Bandung: Alfabeta, 2012, h. 309 seperti teks book, dan artikel yang memiliki relevansi dengan penelitian ini guna mendapatkan landasan teori. ” 4

E. Teknik Analisis Data

Menurut Lexy J. Moleong, “Analisis data adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. ” 5 Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik Analisis Isi Content Analysis, yaitu menggunakan deskriptif analisis. Dalam catatan deskriptif ini peneliti memberikan informasi faktual yang menggambarkan segala sesuatu apa adanya dan mencakup penggambaran secara rinci dan akurat terhadap berbagai dimensi yang terkait dengan semua aspek penelitian, yaitu mengenai konsep manusia dan hubungannya dengan konsep pendidikan Islam menurut Hamka. Kemudian setelah itu, dengan mengambil materi-materi yang relevan dengan permasalahan yang akan dibahas, kemudian peneliti menganalisis data tersebut, sehingga menghasilkan suatu kesimpulan.

F. Teknik Penulisan

Teknik atau metode penulisan ini berpedoman pada Pedoman Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2014. Teknik penulisan juga mengacu kepada buku Metode Penelitian Pendidikan karya Prof. Dr. Sugiyono dan juga mengacu kepada buku Metodologi Penelitian Kualitatif karya Prof. Dr. Lexy J Moelong, M.A. 4 Ibid., h. 309 5 Lexy J. Moleong, op. cit., h. 248