Manusia dalam Pendidikan Islam
sel telur yang ada dalam rahim seorang ibu. Sperma inilah yang merupakan awal mula hayat kehidupan seorang manusia.
20
Pernyataan bahwa awal mula kehidupan di muka bumi ialah bersumber dari air juga pernah diungkapkan oleh filosof bernama Thales,
hal ini dikarenakan segala unsur dalam makhluk hidup, air pasti menjadi salah satu kebutuhan dan menjadi bagian dari dirinya. Baik itu hewan,
tumbuhan maupun manusia. Pada proses terjadinya manusia, air sebagai sumber kehidupan yang
dimaksudkan adalah air sperma yang dihasilkan kaum lelaki, di dalamnya terdapat zat-zat hidup yang nantinya akan membuahi sel telur.
Sehingga jasad janin yang nantinya akan tumbuh dalam rahim sang ibu akan dapat hidup dan memiliki karakteristik makhluk hidup pada
umumnya, seperti membutuhkan makanan, bergerak, bernafas, dan menanggapi rangsang.
c. Tahap ruh
Kata ruh berasal dari kata ar-rih yang berarti angin. Oleh karena itu, ar-ruh disebut juga an-nafs, yaitu napas atau nyawa. Menurut ibn Atsir,
sebagaimana dikutip oleh Umiarso dan Zamroni, “Ruh itu dipakai dalam
berbagai arti, tetapi yang paling umum ialah sesuatu yang dijadikan sandaran bagi jasad.
”
21
Menurut I.R. Poedjawijatna , “Kebanyakan ahli filsafat Yunani
berpendapat bahwa ruh itu merupakan satu unsur yang halus, yang dapat meninggalkan badan. Jika dia pergi dari badan, dia kembali ke alamnya
yang tinggi, meluncur ke angkasa luar dan tidak mati, sebagaimana ungkapan Phytagoras
kepada Diasgenes.”
22
20
Ibid.
21
Umiarso dan Zamroni, op. cit., h. 77
22
I.R. Poedjawijatna, Manusia dengan Alamnya Filsafat Manusia, Jakarta: Bina Aksara, 1983, Cet. III, h. 67
Adanya proses peniupan ruh yang ditiupkan Tuhan dalam diri manusia dan kemudian diiringi dengan pemberian pendengaran,
penglihatan, dan hati merupakan bukti bahwa yang menjadi pimpinan dalam diri manusia adalah ruh. Ruhlah yang kiranya dapat membimbing,
pendengaran, penglihatan dan hati untuk memahami kebenaran. Menurut I.R. Poedjawijatna juga,
“Islam juga memandang permasalahan ruh merupakan suatu hal yang terbatas untuk dipelajari
secara mendalam. Hal itu menjadi landasan bukti walaupun banyak ilmu yang telah dimiliki oleh manusia, namun sampai kapanpun ia tidak akan
bisa melebihi Tuhannya, dalam masalah ruh. ”
23
Menurut Zuhairini, dkk, Islam berpendapat bahwa manusia terdiri dari dua substansi yaitu materi yang berasal dari bumi dan ruh yang
berasal dari Tuhan. Maka hakikat pada manusia adalah ruh itu, sedangkan jasadnya hanyalah alat yang dipergunakan oleh ruh untuk
menjalani kehidupan material di alam yang material bersifat sekunder dan ruh adalah primer, karena ruh saja tanpa jasad yang material, tidak
dapat dinamakan manusia. Malaikat adalah makhluk ruhaniyah bersifat ruh semata tidak memiliki unsur jasad yang material. Tetapi
sebaliknya unsur jasad yang material saja tanpa ruh, maka juga bukan manusia namanya. Hewan adalah makhluk yang bersifat jasad
material yang hidup. Manusia tanpa ruh, tidak lebih dari hewan.
24
Jadi, ruh merupakan suatu unsur halus yang melekat pada jasad. Manusia bisa dikatakan hidup apabila ruhnya masih melekat pada
jasadnya. Namun, bila ruhnya tersebut telah meninggalkan jasadnya, maka telah berakhirlah kehidupannya di muka bumi ini.
Oleh karena itu, pada hakikatnya jiwa manusia yang telah hidup sejak zaman azali hingga di dunia akhirat nanti hanyalah ruhnya saja, adapun
jasadnya yang tampak di muka bumi ini hanya merupakan alat atau wadah sebagai bukti yang jelas akan kehidupannya di muka bumi.
23
Ibid.
24
Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, Cet. III, 2004, h. 77
d. Tahap nafs
Menurut Toto Suharto, kata nafs dalam Al- Qur‟an mempunyai
empat pengertian, yaitu nafsu, napas, jiwa, dan diri keakuan. Dari keempat pengertian ini, Al-
Qur‟an lebih sering menggunakan kata nafs untuk pengertian diri keakuan. Diri atau keakuan adalah
kesatuan dinamik dari jasad, hayat dan ruh. Dinamikanya terletak pada aksi atau kegiatannya. Kesatuannya bersifat spiritual yang
tercermin dalam aktivitas kehidupan manusia.
25
Dalam diri manusia, terdapat jasad sebagai wadah bagi ruh dan dengan gabungan keduanya kemudian menjadi hiduplah jasad tersebut.
Gabungan unsur-unsur tersebut nantinya akan menghasilkan sebuah aksi atau tindakan. Dengan adanya aksi tersebutlah baru manusia dapat
dikatakan hidup. Oleh karena itu, dalam hidupnya manusia selalu bergerak, bersosialisasi dan tidak pernah berhenti untuk berkreativitas
dan mengelola sumber daya alam guna menjaga keberlangsungan hidupnya dan melestarikan alam semesta.
3. Tugas Hidup Manusia
Tugas manusia dalam pandangan Islam adalah memakmurkan bumi dengan jalan memanifestasikan potensi Tuhan dalam dirinya. Dengan kata
lain, manusia sesungguhnya diperintahkan untuk mengembangkan sifat-sifat Tuhan menurut perintah dan petunjuk-Nya. Sifat-sifat Tuhan ini dalam
bahasa agama biasa disebut Al-Asma Al-Husna, yang berjumlah 99. Sebagai contoh, Tuhan adalah Maha Pengasih Ar-Rahman maka manusia
diperintahkan untuk bersifat asih terhadap dirinya dan makhluk lain.
Menurut Toto Suharto, Satu hal yang perlu dikemukakan di sini adalah bahwa sifat-sifat Tuhan itu hanya dapat dimanifestasikan oleh
manusia dalam bentuk dan cara yang terbatas. Hal ini, selain karena watak keterbatasan manusia, juga dimaksudkan agar manusia tidak mengaku
dirinya sebagai Tuhan. Seyogyanya manusia menganggap proses perwujudan sifat-sifat Tuhan ini sebagai suatu amanah, agar manusia
mempunyai tanggung jawab yang besar dalam melaksanakan tugas ini.
26
25
Toto Suharto, op. cit., h. 83
26
Ibid., h. 85-86
Jadi, proses perwujudan sifat-sifat Tuhan ini hanyalah sebagai contoh kecil dari keluasan sifat-sifat Tuhan Yang Maha Besar. Oleh karena itu,
manusia seyogyanya tidak bersifat sombong dan superior dengan menganggap bahwa dirinya telah mencapai puncak dari semua sifat-sifat baik
yang melekat pada nama-nama Tuhan.
4.
Potensi Manusia
Untuk dapat menjalankan fungsi kekhalifahannya, manusia dibekali Tuhan dengan berbagai potensi. Potensi-potensi ini diberikan Tuhan kepada
manusia sebagai suatu anugerah, yang tidak diberikan Tuhan kepada makhluk lain. Potensi-potensi ini dalam bahasa agama disebut dengan fitrah.
Di dalam sebuah hadis shahih yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa setiap anak lahir dalam keadaan fitrah. Kedua
orangtuanyalah yang memungkinkan ia menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Hadis ini mengisyaratkan bahwa manusia semenjak lahir sudah
dibekali dengan berbagai potensi yang disebut dengan fitrah. Fitrah adalah suatu istilah dari bahasa Arab yang berarti tabiat yang suci atau baik, yang
khusus diciptakan Tuhan bagi manusia. menurut Toto Suharto, “Fitrah
kiranya merupakan modal modal dasar bagi manusia agar dapat memakmurkan bumi ini. Fitrah juga merupakan potensi kodrati yang dimiliki
manusia agar berkembang menuju kesempurnaan hidup. Keberhasilan manusia dalam hal ini dapat dilihat dari kemampuannya untuk
mengembangkan fitrah ini. ”
27
Berdasarkan dengan potensi fitrah yang dibekalkan Tuhan kepada manusia, para ahli filsafat telah memberikan berbagai predikat kepada
manusia. Menurut Zuhairini, Prediket tersebut antara lain:
a. Manusia adalah “homo sapiens” artinya makhluk yang mempunyai
budi. b.
Manusia adalah “animal rational” artinya binatang yang berpikir.
27
Ibid., h. 86
c. Manusia adalah “homo laquen” yaitu makhluk yang pandai
menciptakan bahasa dan menjelmakan pikiran manusia dan perasaan dalam kata-kata yang tersusun.
d. Manusia adalah “homo faber” artinya makhluk yang tukang, dia
pandai membuat perkakas atau disebut juga “tool making animal”
yaitu binatang yang pandai bekerja sama, bergaul dengan orang lain dan mengorganisasi diri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
e. Manusia adalah “homo economicus” artinya makhluk yang tunduk
pada prinsip-prinsip ekonomi dan bersifat ekonomis. f.
Manusia adalah “homo religious” yaitu makhluk yang beragama. Dr. M.J. Langeveld seorang tokoh pendidikan bangsa Belanda,
memandang manusia itu sebagai “animal educadum dan animal
educabile” yaitu bahwa manusia itu adalah makhluk yang harus dididik dan dapat dididik. Di samping itu manusia juga sebagai
“homo planemanet” artinya untuk itu maka unsur rohaniah merupakan syarat
mutlak untuk terlaksananya program-program pendidikan.
28
Jadi, potensi atau fitrah merupakan bekal khusus yang telah disiapkan Tuhan untuk kelangsungan hidup manusia di bumi. Dengan potensi-potensi
yang berbeda tersebut manusia akan saling belajar dan membantu satu sama lain guna mengoptimalkan potensi-potensi yang dimiliki diri mereka masing-
masing hingga menuju kesempurnaan hidup. Namun, kesempurnaan tersebut hanya mampu dicapai oleh orang-orang yang mampu mengenali dan
menggali secara benar potensi-potensi yang terdapat dalam diri mereka.
5.
Tujuan hidup manusia
Al- Qur‟an menjelaskan bahwa tidaklah semata-mata Allah menciptakan
jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Nya. Firman Allah dalam
surat Adz-Dzariyat ayat 56:
28
Zuhairini, dkk, op. cit, h. 82-83
“
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-
Ku.”
Menurut Toto Suharto, “Ibadah pengabdian dalam hal ini tidak dimaksudkan dalam pengertiannya yang sempit, tetapi dalam pengertiannya
yang luas. Yaitu, nama bagi segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Intinya, tujuan hidup manusia
adalah ibadah kepada Allah dalam segala tingkah lakunya. ”
29
Tujuan hidup ini pada akhirnya akan bersinggungan dengan tujuan pendidikan Islam, karena pendidikan pada dasarnya bertujuan memelihara
kehidupan manusia. Dengan demikian, tujuan hidup muslim sebenarnya merupakan tujuan akhir pendidikan Islam.
6. Manusia Sebagai Subjek dan Objek Pendidikan
Menurut Langeveld, sebagaimana dikutip oleh Madyo Eko Susilo dan RB Kasihadi,
“Manusia itu adalah ‘animal educandum’ makhluk yang harus dididik dan
‘homo educandus’ makhluk yang dapat mendidik.”
30
Dari hakikat ini jelas bahwa pendidikan itu merupakan keharusan mutlak bagi
manusia.
Hal ini sesuai dengan kandungan Al-Q
ur‟an surat Al‟Alaq ayat 1-5:
“
Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu-lah Yang Maha
Pemurah, yang mengajar manusia dengan perantara kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Agama Islam mendorong umatnya agar menjadi umat yang pandai, dimulai dengan belajar baca tulis dan diteruskan dengan belajar berbagai
macam ilmu pengetahuan. Islam di samping menekankan kepada umatnya
29
Toto Suharto, op. cit., h. 83
30
Madyo Eko Susilo Dan RB Kasihadi, Dasar-Dasar Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2001, h. 18
untuk belajar juga menyuruh umatnya untuk mengajarkan ilmunya kepada orang lain. Jadi Islam mewajibkan umatnya belajar dan mengajar. Menurut
Zuhairini, dkk, “Melakukan proses belajar dan mengajar adalah bersifat
manusiawi, yakni sesuai dengan harkat kemanusiaannya, sebagai makhluk homo educandus, dalam arti manusia itu sebagai makhluk yang dapat dididik
dan mendidik. ”
31
a. Manusia sebagai subjek pendidikan
Menurut Ahmad D. Marimba, “Yang dimaksud dari manusia sebagai subjek pendidikan adalah manusia dalam perannya sebagai pendidik,
secara umum pendidik adalah mereka yang memiliki tanggung jawab mendidik. Mereka adalah manusia dewasa yang karena hak dan
kewajibannya melaksanakan proses pendidikan. ”
32
Menurut Al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Umiarso dan Zamroni,
‘Makhluk yang paling mulia di muka bumi ialah manusia. Sedangkan, yang paling mulia penampilannya adalah kalbunya. Guru
atau pengajar
selalu menyempurnakan,
mengagungkan, dan
mensucikan kalbu itu serta menunt unnya untuk dekat dengan Allah.’ Ia
juga menambahkan, ‘Seseorang yang berilmu kemudian bekerja dengan
ilmunya itu, dialah yang dinamakan orang besar di bawah kolong langit ini. Ia bagai matahari yang mencahayai orang lain, sedangkan
ia sendiri pun bercahaya. Ibarat minyak kasturi yang baunya dinikmati orang lain, ia sendiri pun harum.
’
33
Pendidik, selain bertugas melakukan transfer of knowledge, juga adalah seorang motivator dan fasilitator bagi proses belajar peserta
didiknya. Menurut Hasan Langgulung sebagaimana dikutip oleh Toto Suharto,
“Dengan paradigma ini, seorang pendidik harus dapat memotivasi dan memfasilitasi peserta didik agar dapat mengaktualisasikan sifat-sifat
Tuhan yang baik, sebagai potensi yang perlu dikembangkan. ”
34
Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat Luqman ayat 13:
31
Zuhairini, dkk, op. cit., h. 99
32
Ahmad. D. Marimba, op. cit., h. 37
33
Umiarso dan Zamroni, op. cit., h. 85
34
Toto Suharto, op. cit., h. 116
“Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah,
Sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar.
” Dari beberapa pendapat yang dikemukakan penulis di atas, dapat
disimpulkan bahwa manusia sebagai subjek pendidikan adalah merupakan seorang pendidik, dalam hal ini pendidik tugas seorang pendidik bukanlah
sekedar melakukan transfer ilmu saja, melainkan juga sebagai penanam nilai-nilai moral pada diri peserta didik.
b. Manusia sebagai objek pendidikan
Menurut Toto Suharto, “Manusia sebagai objek pendidikan yakni manusia dalam perannya sebagai peserta didik, peserta didik dalam
paradigma berarti orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi dasar fitrah yang perlu dikembangkan.
”
35
Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 31:
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama benda-benda seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat. Lalu mereka berkata:
Sebutkanlah kepada-ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang- orang yang benar.
Menurut Umiarso dan Zamroni, ayat ini menggambarkan pada kita betapa fitrah manusia sebagai peserta didik sudah diaplikasikan oleh
manusia pertama, yaitu Adam, sebagaimana Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama benda secara keseluruhan. Dialog tersebut menjadi
35
Ibid., h. 119
indikasi betapa proses pendidikan mempunyai urgenitas tersendiri dalam Islam.
36
Akan tetapi menurut Zakiah Daradjat, dkk, “Fungsi murid dalam interaksi belajar-mengajar adalah sebagai subjek dan objek. Sebagai
subjek, karena murid menentukan hasil belajar dan sebagai objek, karena muridlah yan
g menerima pelejaran dari guru”.
37
Jadi, manusia sebagai objek pendidikan ialah saat manusia berada pada posisi sebagai penerima materi atau ilmu. Namun, tetap saja hasil
akhirnya ditentukan oleh mereka sendiri sebagai subjek penentu.