Pengertian Manusia dan Pendidikan Islam

mengarahkan, membelajarkan, melatih, mengasuh, dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam. ” 11 Dari hasil konferensi Pendidikan Islam se-Dunia kedua tahun 1980 di Islamabad, Pakistan, sebagaimana dikutip oleh A. Fatah Yasin, “Pendidikan Islam adalah suatu usaha untuk mengembangkan manusia dalam semua aspeknya, baik aspek spiritual, intelektual, imajinasi, jasmaniah, dan ilmiah baik secara individual maupun kolektif menuju ke arah pencapaian kesempurnaan hidup sesuai dengan ajara n Islam.” 12 Menurut Ahmad D. Marimba, “Pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. ” 13 Menurut A. Fatah Yasin pendidikan Islam merupakan pendidikan yang integral dan berkesinambungan serta mencakup semua aspek kepribadian manusia. Aspek-aspek yang diperhatikan oleh pendidikan Islam adalah: jasad, akal, akidah, emosi, estetika, dan sosial. Karena itu, pendidikan Islam harus diarahkan untuk pengembangan aspek-aspek tersebut kepada hal-hal yang bermanfaat dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain, pendidikan Islam ingin membentuk manusia yang menyadari dan melaksanakan tugas-tugas dan kekhalifahannya serta memperkaya diri dengan khazanah ilmu pengetahuan tanpa mengenal batas. Namun juga menyadari bahawa hakikat keseluruhan hidup dan pemilikan ilmu pengetahuan yang dimaksud tetap bersumber dan bermuara kepada Allah. 14 Maka dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah suatu usaha yang dilakukan secara berkesinambungan untuk mengembangkan semua aspek kepribadian manusia baik jasmani maupun rohani, untuk kemudian diarahkan kepada pembentukan kepribadian yang sesuai dengan ajaran Islam. 11 M. Arifin, op. cit., h. 13-14 12 A. Fatah Yasin, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam, Yogyakarta: UIN-Malang Press, 2008, h. 24 13 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: PT Al Ma‟arif, 1980, Cet. IV, h. 23 14 A. Fatah Yasin, op. cit., h. 108

B. Manusia dalam Pendidikan Islam

1. Kedudukan Manusia dalam Pendidikan Islam Menurut Umiarso dan Zamroni, dalam konsepsi Al- Qur‟an, manusia menempati posisi yang sangat mulia dan terhormat di jagat raya ini, bahkan kemuliannya lebih tinggi dibandingkan dengan malaikat dan makhluk ciptaan Allah lainnya. Oleh karena itu, manusia memiliki tanggung jawab yang besar sebagai mandataris Allah khalifah Allah fi al ardh dalam mengatur tata kehidupan di dunia. 15 Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT. dalam surat Al-Baqarah ayat 30:                                “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata: Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Kata khalifah berasal dari bahasa Arab “khalafa” yang berarti pengganti, istilah ini pertama kali digunakan setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. yakni sebagai sebutan bagi para pemimpin umat Islam sepeninggal Nabi. Kedudukan seluruh manusia sebagai khalifah yang disebutkan Allah dalam firman-Nya di atas, tidaklah dimaksudkan bahwa seluruh manusia bertugas sebagai wakil atau pemimpin umat dalam hal pemerintahan. Akan tetapi khalifah di sini memiliki arti bahwa setiap manusia memiliki tanggung jawab untuk dapat mengolah dan menaburkan benih-benih kebaikan sebagai wakil Tuhan di muka bumi. 15 Umiarso dan Zamroni, Pendidikan Pembebasan dalam Perspektif Barat dan Timur, Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2011, h. 65 Ibnu Arabi mengatakan, sebagaimana dikutip oleh Yunasril Ali, bahwa jabatan khalifah itu hanya milik insan kamil, karena pada dirinya - dari aspek batin- terproyeksi pula nama-nama dan sifat-sifat ilahi. Yang dimaksud khalifah di sini bukan semata-mata jabatan dalam pemerintahan yang secara lahir merupakan tugas memimpinmengendalikan pemerintahan dalam suatu wilayah negara khalifah al-zhahiriyah, tetapi lebih ditekankan pada pengertian khalifah yang kedudukannya sebagai wakil na’ib Allah. Atau lebih spesifik lagi, sebagai manifestasi nama- nama dan sifat-sifat Allah di muka bumi al khalifah al ma’nawiyah hingga kenyataan adanya Tuhan terlihat padanya. 16 Manusia selaku khalifah Allah di bumi, menurut Hasan Langgulung sebagaimana dikutip oleh Toto Suharto, mempunyai beberapa karakteristik sebagai berikut: a. Manusia semenjak awal penciptaannya adalah baik secara fitrah. Ia tidak mewarisi dosa karena Adam meninggalkan surga. b. Interaksi antara badan dan ruh menghasilkan khalifah, karakteristik ini yang membedakan manusia dengan makhluk lain. c. Manusia selaku khalifah memiliki kebebasan berkehendak free will, suatu kebebasan yang menyebabkan manusia dapat memilih tingkah lakunya sendiri. d. Manusia dibekali akal yang dengan akal itu manusia mampu membuat pilihan antara yang benar dan yang salah. 17 Dari beberapa pendapat yang dikemukakan penulis di atas, dapat disimpulkan bahwa manusia memiliki kedudukan sebagai khalifah Allah di bumi, yakni bertugas memanifestasikan nama-nama serta sifat-sifat Allah di muka bumi ini, hingga kenyataan adanya Allah adalah benar adanya. Dan kedudukan tersebut hanya dapat diemban oleh insan kamil, yakni manusia yang memiliki keutamaan di sisi Tuhan maupun di sisi makhluk-Nya. 2. Proses Penciptaan Manusia Manusia diciptakan Tuhan melalui serangkaian proses alami yang berlangsung dalam beberapa tahap. Proses penciptaan manusia dijelaskan Allah dalam firmannya surat Al- Mu‟minun ayat 12-14: 16 Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn ‘Arabi oleh Al- Jili, Jakarta: Paramadina, 1997, h. 80 17 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2011, Cet. I, h. 84- 85                                       “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati berasal dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani yang disimpan dalam tempat yang kokoh rahim. Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang berbentuk lain. Maka Maha Suci Allah, p encipta yang paling baik.” Dilihat dari proses penciptaannya, Al- Qur‟an menyatakan proses penciptaan manusia dalam dua tahapan yang berbeda, yaitu: Pertama, disebut dengan tahapan primordial. Kedua, disebut dengan tahapan biologi. Tahap primordial terjadi pada manusia pertama, Adam as. Ia diciptakan oleh Allah dari al-tin tanah, al-turob tanah debu, min shal tanah liat, min hamain masnun tanah lumpur hitam yang busuk yang dibentuk Allah dengan seindah-indahnya, kemudian Allah meniupkan ruh dari-Nya ke dalam diri manusia tersebut. Selanjutnya, tahapan biologi yang dapat dipahami secara sains-empirik. Di dalam proses ini, manusia diciptakan dari inti sari tanah yang dijadikan air mani nutfah yang tersimpan dalam tempat yang kokoh rahim. Kemudian nutfah itu dijadikan darah beku ‘alaqah yang menggantung dalam rahim. Darah beku tersebut kemudian dijadikannya segumpal daging mudghah dan kemudian dibalut dengan tulang-belulang lalu kepadanya ditiupkan ruh. Menurut Samsul Ni zar, “Hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim menyatakan bahwa ruh dihembuskan Allah swt ke dalam janin setelah ia mengalami perkembangan 40 hari nuthfah, 40 hari ‘alaqah dan 40 hari mudghah.” 18 18 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Press, 2002, h. 15 Menurut M usa Asy‟arie, sebagaimana dikutip oleh Toto Suharto, “Terdapat empat tahap proses penciptaan manusia, yaitu tahap jasad, tahap hayat, tahap ruh, dan tahap nafs. ” 19 Berikut penjelasan keempat tahapan ini: a. Tahap jasad Al- Qur‟an menjelaskan bahwa permulaan penciptaan manusia adalah dari tanah turab QS. Al-Hajj: 5, yaitu tanah berdebu. Al-Quran terkadang menyebut tanah ini dengan istilah tin QS. Al- An‟am: 2 dan terkadang juga dengan istilah salsal QS. Al-Rahman: 14. Namun yang jelas, yang dimaksud dengan tanah ini adalah saripatinya atau sulalah QS. Al- Mu‟minun: 12. Penciptaan dari tanah ini tidak berarti bahwa manusia dicetak dari bahan tanah, seperti orang membuat patung dari tanah. Penciptaan ini bermakna simbolik, yaitu sari pati yang membentuk tumbuhan atau binatang yang kemudian menjadi bahan makanan bagi manusia. Jadi, awal mula terciptanya janin di rahim seorang ibu ialah bersumber dari percampuran sperma laki-laki dengan sel telur perempuan yang semuanya itu merupakan hasil dari olahan makanan yang mereka cerna setiap harinya. Dan semua makanan tersebut dihasilkan dari dalam bumi, sehingga proses penciptaan manusia dari tanah hanya merupakan istilah maknawiyah saja. Proses penciptaan manusia dari tanah yang bersifat zhahiriyah hanya pernah terjadi pada proses penciptaan manusia yang paling awal, yakni Nabi Adam as. b. Tahap hayat Menurut Toto Suharto, awal mula kehidupan manusia menurut Al- Qur‟an adalah air, sebagaimana kehidupan tumbuhan dan binatang QS. Al-Anbiya: 30. Maksud air kehidupan disini adalah air yang hina atau sperma QS. As-Sajdah: 8. Sperma ini kemudian membuahi 19 Toto Suharto, op. cit., h. 82 sel telur yang ada dalam rahim seorang ibu. Sperma inilah yang merupakan awal mula hayat kehidupan seorang manusia. 20 Pernyataan bahwa awal mula kehidupan di muka bumi ialah bersumber dari air juga pernah diungkapkan oleh filosof bernama Thales, hal ini dikarenakan segala unsur dalam makhluk hidup, air pasti menjadi salah satu kebutuhan dan menjadi bagian dari dirinya. Baik itu hewan, tumbuhan maupun manusia. Pada proses terjadinya manusia, air sebagai sumber kehidupan yang dimaksudkan adalah air sperma yang dihasilkan kaum lelaki, di dalamnya terdapat zat-zat hidup yang nantinya akan membuahi sel telur. Sehingga jasad janin yang nantinya akan tumbuh dalam rahim sang ibu akan dapat hidup dan memiliki karakteristik makhluk hidup pada umumnya, seperti membutuhkan makanan, bergerak, bernafas, dan menanggapi rangsang. c. Tahap ruh Kata ruh berasal dari kata ar-rih yang berarti angin. Oleh karena itu, ar-ruh disebut juga an-nafs, yaitu napas atau nyawa. Menurut ibn Atsir, sebagaimana dikutip oleh Umiarso dan Zamroni, “Ruh itu dipakai dalam berbagai arti, tetapi yang paling umum ialah sesuatu yang dijadikan sandaran bagi jasad. ” 21 Menurut I.R. Poedjawijatna , “Kebanyakan ahli filsafat Yunani berpendapat bahwa ruh itu merupakan satu unsur yang halus, yang dapat meninggalkan badan. Jika dia pergi dari badan, dia kembali ke alamnya yang tinggi, meluncur ke angkasa luar dan tidak mati, sebagaimana ungkapan Phytagoras kepada Diasgenes.” 22 20 Ibid. 21 Umiarso dan Zamroni, op. cit., h. 77 22 I.R. Poedjawijatna, Manusia dengan Alamnya Filsafat Manusia, Jakarta: Bina Aksara, 1983, Cet. III, h. 67