Penataan Ruang Direction of policy for sustainable human settlement area development in the Fringe of the DKI Metropolitan (Case Study: Settlement area at Cisauk – Banten Province)
operasionalisasinya sering disebut sebagai kebijakan strategis pembangunan master plan atau rencana induk pembangunan yang berisi langkah kebijakan
strategis sektor yang mengacu pada rencana tata ruang. Beberapa negara seperti Australia, Kanada, Amerika, dan Jepang telah menerapkan prinsip pengaturan
ruang wilayah dengan membuat kebijakan-kebijakan operasional masing-masing sektor yang mengacu pada rencana tata ruang dan ini sering disebut dengan
perencanaan penataan ruang strategis strategic spatial planning Djunaedi, 2001.
Perencanaan kebijakan dan strategi dalam penataan ruang lebih untuk menunjukkan sebuah alat untuk dapat mengoperasionalkan rencana tata ruang.
Pertimbangan perlunya arahan kebijakan dan strategi dalam operasionalisasi rencana tata ruang antara lain: adanya persoalan koordinasi kebijakan publik
khususnya dengan pemerintah lokal, mencari cara bagaimana membuat wilayah perkotaan lebih ekonomis dan kompetitif dengan mengembangkan asset base-nya,
perlu menetapkan bentuk kebutuhan ruang sumberdaya alam yang optimal untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan, serta bagaimana mengatasi
ketidakseimbangan distribusi akses penduduk lokal untuk berhubungan dengan wilayah perkotaan. Untuk itu Healy 2004 menetapkan kriteria dalam kebijakan
strategisnya, yaitu 1 skala pengelolaan, 2 skala posisi kota dan wilayahnya, 3 regionalisasi, 4 kelayakan material dan identitas, 5 konsep pengembangannya,
6 bentuk-bentuk representasi hubungan integrasi fungsional. Dalam penyusunan rencana strategis keruangan kota, Djunaedi 2001 telah
melakukan penelitian di Kanada, Amerika, Australia, dan Zimbabwe, serta penerapannya di Indonesia. Studi tersebut menguraikan konsep pentingnya
membuat kebijakan dan strategi dengan membuat: visi, misi, isu strategi, dan strategi makro atau kebijakan yang dapat dijabarkan dalam rencana tata ruang.
Ada 2 konsep dari hasil kajian ini yaitu 1 kebijakan dan strategi disusun bersamaan dalam satu proses untuk dijabarkan dan masuk dalam rencana tata
ruang kota, 2 disusun terlebih dahulu rencana strategis yang berisi visi, misi, isu strategis dan kebijakannya, setelah itu baru disusun rencana tata ruang kotanya.
Kedua konsep strategi tersebut dibuat dengan menggunakan model SWOT dan selanjutnya rencana tata ruang tersebut diharapkan dapat dioperasionalkan oleh
eksekutif Dinas, Bappeda. Persoalannya adalah pada langkah membuat rencana tindak untuk mengoperasionalkan rencana tata ruang sebagai strategi lanjutan
yang perlu disusun Djakapermana dan Djumantri, 2002. Di Indonesia, pada awal tahun 90-an telah dimulai diperkenalkan alat untuk
mengoperasionalkan rencana tata ruang kota dalam bentuk rencana induk sistem RIS sebagai bagian dari konsep rencana tata ruang kota yang dinamis oleh
Ditjen Cipta Karya – Departemen Pekerjaan Umum Djakapermana dan Djumantri, 2002. RIS diperlukan dengan pertimbangan rencana tata ruang
seringkali sulit diimplementasikan secara langsung oleh para manajer pembangunan kota. RIS ini adalah sebagai alat kebijakan bagi pengambil
keputusan manajer kota walikota untuk menjabarkan rencana tata ruang dalam langkah-langkah rencana tindaknya. Dalam hal ini RIS hanya mengatur arahan
operasionalisasi pembangunan prasarana perkotaan saja dan analisisnya tidak holistik serta tidak mempertimbangkan faktor dominan pembangunan perkotaan
secara keseluruhan. Dalam perspektif holistik, penyusunan kebijakan dalam operasionalisasi
rencana tata ruang harus difokuskan pada tiga hal Bastian, 2001, yaitu 1 struktur, proses dan kesempatan, 2 aspek alokasi ruang dan hirarkinya, 3 aspek
kompleksitas dari berbagai faktor perbedaan dari suatu lansekap.
2.3
Perumahan dan Permukiman
Berdasarkan Undang-Undang No.4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan
lindung, dapat merupakan kawasan perkotaan dan perdesaan, berfungsi sebagai lingkungan tempat hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan.
Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau hunian plus prasarana dan sarana lingkungan Anonim, 1992.
Permukiman merupakan wadah kehidupan manusia, bukan hanya menyangkut aspek fisik dan teknis saja, tetapi juga aspek sosial, ekonomi, dan
budaya dari penghuninya. Permukiman tidak hanya menyangkut tempat hunian, tetapi juga tempat kerja, berbelanja, bersantai, dan wahana untuk bepergian
Budihardjo, 1983. Oleh karenanya permukiman tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan manusia itu sendiri. Pada tahun 1988 badan dunia PBB, Habitat, mencetuskan strategi global permukiman sampai tahun 2000, yaitu Atap bagi
Semua Shelter for All. Doxiadis 1971 menyatakan, permukiman mempunyai lima faktor, yaitu :
alam, manusia, masyarakat, rumah dan jaringan prasarana. Hal ini menjelaskan urutan proses pembentukan permukiman. Selanjutnya konsep pembentukan
permukiman tersebut dapat disederhanakan menjadi tiga komponen utama, yaitu alam tanah, air, udara, lindungan shells dan jaringan networks, sedangkan
isinya adalah manusia. Alam merupakan faktor dasar, dan di alam itulah dibangun rumah dan fasilitasnya untuk tempat tinggal manusia serta melakukan kegiatan.
Jaringan seperti jalan dan utilitas, merupakan faktor yang memfasilitasi hubungan antar sesama manusia, yang berarti terjadi interaksi antara manusia sebagai
penghuni dengan lingkungan sebagai huniannya. Kebijakan perumahan dan permukiman Indonesia tahun 2000 – 2020 antara
lain adalah lokasi perumahan dikembangkan dengan memperhatikan jumlah penduduk dan penyebarannya, tata guna tanah, kesehatan lingkungan, tersedianya
fasilitas sosial, serta keserasian dengan lingkungan Anonim, 1999. Kuswara 2004 dalam kajiannya mengungkapkan bahwa perumahan dan
permukiman merupakan tempat aktivitas yang memanfaatkan ruang terbesar dari kawasan budidaya. Pengelolaan pembangunan perumahan harus memperhatikan
ketersediaan sumberdaya pendukung serta keterpaduannya dengan aktivitas lain. Dalam kenyataannya hal tersebut sering terabaikan, sehingga tidak berfungsi
secara optimal dalam mendukung suksesnya perkembangan kota. Oleh karena itu, diperlukan upaya pengembangan perencanaan dan perancangan, serta
pembangunan perumahan yang kontributif terhadap tujuan penataan ruang. Dari pengertian-pengertian dasar tersebut, tampak bahwa batasan aspek
perumahan dan permukiman terkait erat dengan konsep lingkungan hidup dan penataan ruang. Lingkungan permukiman adalah kawasan perumahan dalam
berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang, prasarana dan sarana lingkungan yang terstruktur. Prasarana lingkungan adalah kelengkapan
dasar fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Permasalahan perumahan saat ini menurut Kirmanto 2005 antara lain adalah i alokasi tanah dan tata ruang yang kurang tepat, ii ketimpangan
pelayanan infrastruktur, pelayanan perkotaan dan perumahan, iii konflik kepentingan dalam penentuan lokasi perumahan, iv masalah lingkungan dan
eksploitasi sumberdaya alam, dan v komunitas lokal tersisih, dimana orientasi pembangunan terfokus pada kelompok masyarakat mampu.
Tantangan perkembangan pembangunan perumahan dan permukiman yang akan datang antara lain adalah: i urbanisasi yang tumbuh cepat merupakan
tantangan bagi pemerintah untuk berupaya agar pertumbuhan lebih merata, ii perkembangan tak terkendali di daerah yang memiliki potensi untuk tumbuh,
iii marjinalisasi sektor lokal oleh sektor nasional dan global; dan iv kegagalan kebijakan dan implementasi penentuan lokasi perumahan.
Kesesuaian lokasi kawasan permukiman dapat didasarkan pada persyaratan umum lokasi perumahan dan permukiman yang dikeluarkan Departemen
Pekerjaan Umum pada tahun 2005. Lokasi kawasan harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah setempat atau dokumen perencanaan tata ruang lainnya yang
ditetapkan dengan Peraturan Daerah PERDA setempat, atau memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut :
1. Tidak berada pada kawasan lindung;
2. Bebas dari pencemaran air, udara, dan gangguan suara atau gangguan
lainnya, baik yang ditimbulkan sumberdaya buatan manusia maupun sumberdaya alam seperti banjir, tanah longsor dan tsunami;
3. Ketinggian lahan kurang dari 1000 meter di atas permukaan air laut
MDPL; 4.
Kemiringan lahan tidak melebihi 15 dengan ketentuan : i tanpa rekayasa untuk kawasan yang terletak pada lahan bermorfologi datar-landai dengan
kemiringan 0-8 , ii diperlukan rekayasa teknis untuk lahan dengan kemiringan 8-15 ;
5. Pada kota-kota yang mempunyai bandar udara, tidak mengganggu jalur
penerbangan pesawat; 6.
Kondisi sarana dan prasarana memadai; 7.
Dekat dengan pusat-pusat kegiatan dan pelayanan kota.
2.4
Metropolitan
Metropolitan didefinisikan sebagai suatu pusat permukiman yang besar yang terdiri dari satu kota besar dan beberapa kawasan yang berada di sekitarnya
dengan satu atau lebih kota besar melayani sebagai titik hubung hub dengan kota-kota sekitarnya tersebut Ditjen Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan
Umum, 2006. Suatu kawasan metropolitan merupakan aglomerasi dari beberapa kawasan permukiman, tidak harus kawasan permukiman bersifat kota, namun
secara keseluruhan membentuk suatu kesatuan dalam aktivitas bersifat kota dan bermuara pada pusat yang dapat dilihat dari aliran tenaga kerja dan aktivitas
komersial. Secara umum, kawasan metropolitan dapat didefinisikan sebagai ”satu kawasan dengan konsentrasi penduduk yang besar, dengan kesatuan ekonomi dan
sosial yang terpadu dan mencirikan aktivitas kota.” Pada tahap awal, kota-kota yang berdekatan atau secara administratif bersebelahan, membentuk konurbasi,
yaitu suatu kawasan tempat bergabungnya beberapa kota. Fenomena ini sering disebut Metropolitan Doxiadis, 1971. Kota atau kawasan metropolitan
merupakan perwujudan perkembangan yang alamiah dari suatu permukiman perkotaan yang berkembang sangat pesat. Perkembangan tersebut menyebabkan
jumlah penduduk dan luas wilayah yang sangat besar dengan karakteristik dan persoalan yang spesifik. NUDS 1985 menetapkan bahwa sebuah metropolitan
berpenduduk minimal satu juta jiwa. Ciri-ciri metropolitan dapat dilihat dari aspek kependudukan dan aspek lain.
Jumlah penduduk yang besar merupakan salah satu karakteristik suatu metropolis. Ciri lain adalah aktivitas sosial ekonomi yang menunjukkan adanya spesialisasi
fungsi. Biasanya merupakan industri-industri manufaktur dan jasa. Integrasi antara kawasan permukiman dan tempat kerja adalah persoalan nyata di
metropolitan saat ini dan merupakan karakter khas metropolitan. Karakter lain adalah kemudahan mobilitas yang menurut Angotti 1993 terlihat dalam 3 bentuk
mobilitas: pekerjaan, perumahan dan perjalanan. Angotti 1993 membedakan metropolis di dunia menjadi tiga jenis, yaitu
metropolitan di Amerika US metropolis, metropolitan yang tidak mandiri Dependent metropolis; dan metropolitan di Uni Soviet Soviet metropolis.
Pembagian ini lebih didasarkan pada pendekatan ekonomi politik. Metropolitan di
Amerika dan juga Eropa adalah cerminan ekonomi kapitalis, sedangkan metropolitan di bekas Uni Soviet adalah gambaran dari ekonomi sosialis,
sementara Dependent Metropolis adalah gambaran dari ekonomi campuran mixed economy. Metropolitan di Amerika mencerminkan inequality dan mobility;
Dependent Metropolis menunjukkan adanya development dan inequality, sementara metropolitan di Uni Soviet menunjukkan integrasi sosial dan struktur
politik yang lebih terbatas dan mobilitas yang rendah. Tumbuhnya titik-titik pertumbuhan baru berupa kota-kota baru merupakan
salah satu tahap dalam perkembangan suatu metropolitan. Seiring dengan munculnya sub-sub pusat baru yang menawarkan berbagai kelengkapan fasilitas
dan utilitas, terjadi arus migrasi penduduk ke tempat tumbuhnya kota-kota baru tersebut yang umumnya berada di daerah pinggiran suburban.
2.5
Ekosistem DAS
Ekosistem adalah satuan kehidupan yang terdiri atas suatu komunitas mahluk hidup dari berbagai jenis dengan berbagai benda mati yang berinteraksi
membentuk suatu sistem. Menurut pengertian, suatu sistem terdiri atas komponen- komponen yang bekerja secara teratur sebagai suatu kesatuan Soemarwoto,
2004. Ekosistem dicirikan dengan berlangsungnya pertukaran materi dan transformasi energi yang sepenuhnya berlangsung di antara berbagai komponen
dalam sistem itu sendiri atau dengan sistem lain di luarnya. Dengan demikian, dalam suatu ekosistem tidak ada satu komponenpun yang berdiri sendiri,
melainkan mempunyai keterkaitan dengan komponen lain, baik langsung maupun tidak langsung. Manusia adalah salah satu komponen yang penting. Sebagai
komponen yang dinamis, manusia dalam menjalankan aktifitasnya seringkali mengakibatkan dampak pada salah satu komponen lingkungan sehingga
mempengaruhi ekosistem secara keseluruhan. Untuk itu ekosistem harus dilihat secara holistik, yaitu dengan cara mengidentifikasi komponen-komponen kunci
penyusun ekosistem serta menelaah interaksi antar komponen-komponen tersebut. Pendekatan holistik dilakukan agar pemanfaatan dan konservasi sumberdaya alam
dapat dilakukan secara efisien dan efektif, syarat yang diperlukan bagi
terwujudnya pemanfaatan sumberdaya alam untuk pembangunan yang berkelanjutan Djayadiningrat, 2001.
Daerah aliran sungai merupakan suatu ekosistem. Ekosistem DAS terdiri atas empat komponen utama, yaitu desa, sawahladang, sungai, dan hutan Asdak,
2010. Komponen-komponen yang menyusun DAS berbeda tergantung pada keadaan daerah setempat. Misalnya, di DAS tengah terdapat komponen lain
seperti perkebunan. Gambar 2 menunjukkan bahwa oleh adanya hubungan timbal balik antar komponen ekosistem DAS, maka apabila terjadi perubahan pada salah
satu komponen lingkungan, ia akan mempengaruhi komponen-komponen yang lain dan pada gilirannya akan mempengaruhi keseluruhan sistem ekologi di
daerah tersebut. Sebagai contoh meningkatnya erosi dan tanah longsor di daerah hulu karena pengusahaan lahan dengan cara-cara yang mengabaikan kaidah-
kaidah konservasi tanah akan meningkatkan muatan sedimen di daerah hilir. Perambahan hutan dalam skala besar yang menyebabkan hilangnya seresah dan
humus yang dapat menyerap air hujan akan mempengaruhi perilaku aliran sungai dimana pada musim hujan debit air meningkat tajam sementara pada musim
kemarau debit air sangat rendah. Dengan demikian, resiko banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau meningkat.
DAS merupakan salah satu aspek penting berkaitan dengan terjadinya banjir di satu kota. DAS didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan
satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan atau mengalirkan air yang berasal dari curah hujan
ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih
terpengaruh aktifitas daratan PP no.262008. Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air dalam satu atau lebih daerah aliran sungai
dan atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2,000 km2. Batas DAS adalah punggung perbukitan yang membagi satu DAS
dengan DAS lainnya. Wilayah daratan tersebut dinamakan daerah tangkapan air DTA atau catchment area yang merupakan suatu ekosistem dengan unsur
utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air, dan vegetasi dan sumberdaya manusia sebagai pemanfaat sumberdaya alam. Sebuah DAS bisa berada pada
lebih dari satu wilayah administrasi. Sebuah DAS yang menjadi bagian dari DAS yang lebih besar dinamakan sub DAS. DAS dapat dibagi ke dalam tiga wilayah
yaitu bagian hulu, tengah dan hilir. Ekosistem bagian hulu merupakan daerah konservasi, kemiringan lereng yang besar, bukan daerah banjir, pengaturan
pemakaian air ditentukan oleh pola drainase, dan jenis vegetasi umumnya merupakan hutan. Sementara daerah hilir DAS merupakan daerah pemanfaatan,
daerah dengan kemiringan lereng kecil, pada beberapa tempat merupakan daerah genangan, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi, dan jenis
vegetasi didominasi tanaman pertanian kecuali daerah estuaria yang didominasi hutan bakau. Daerah tengah DAS merupakan daerah transisi dari kedua
karakteristik biogeofifik DAS yang berbeda tersebut di atas.
Gambar 2 Komponen-komponen ekosistem DAS hulu
Sumber : Asdak 2010
Pemahaman prinsip-prinsip hidrologi DAS dalam pemanfaatan dan pencagaran DAS penting untuk pemangku kepentingan terkait DAS. Hidrologi
mempelajari air dalam segala bentuknya cairan, gas, padat pada, dalam, dan di atas permukaan tanah. Sementara, hidrologi DAS adalah cabang dari hidrologi
yang mempelajari pengaruh pengelolaan vegetasi dan lahan di daerah tangkapan air bagian hulu tehadap daur air, termasuk pengaruhnya terhadap erosi, kualitas
Desa Sawah
Hutan
Sungai Tumbuhan
Tanah Manusia Hewan
Air
Debit lumpurunsur hara
air, banjir, dan iklim di daerah hulu dan hilir. Pemahaman proses-proses hidrologi menjadi penting dalam perencanaan konservasi tanah dan air, sebagai kegiatan
utama dalam pengelolaan DAS, untuk menentukan: 1 perilaku hujan terkait terjadinya erosi dan sedimentasi, 2 hubungan curah hujan dan aliran permukaan
runoff, 3 debit puncak peakflow untuk keperluan merancang bangunan- bangunan banjir, 4 hubungan karakteristik suatu DAS dengan debit puncak yang
terjadi di daerah tersebut. Terkait dengan sistem hidrologi, DAS mempunyai karakteristik yang spesifik dan terkait erat dengan unsur utamanya, yaitu tanah,
tataguna lahan, topografi, kemiringan dan panjang lereng Asdak, 2010. Diantara faktor-faktor yang berperan dalam menentukan sistem hidrologi tersebut, faktor
tataguna lahan dan kemiringan dan panjang lereng dapat direkayasa oleh manusia. Dengan demikian, dalam merencanakan pengeloloaan DAS, faktor perubahan
tataguna lahan serta pengaturan kemiringan dan panjang lereng menjadi salah satu fokus aktivitas perencanaan pengelolaan DAS.
Menurut Sulasdi, dalam Anna 2001, DAS mempunyai potensi seimbang yang ditunjukkan oleh daya guna sungai antara lain untuk kebutuhan air baku, pertanian,
energi dan lain-lain akan tetapi mampu mengakibatkan banjir, pembawa sedimentasi, serta pembawa limbah polutan dari industri, pertanian, pemukiman dan lain-lain .
Oleh karena itu, upaya pengelolaan DAS ditujukan untuk memperbesar pemanfaatannya dan sekaligus memperkecil dampak negatifnya. Kawasan hulu
sungai mempunyai peran penting yaitu selain sebagai tempat penyedia air untuk dialirkan ke daerah hilirnya bagi kepentingan pertanian, industri dan pemukiman juga
berperan sebagai pemelihara keseimbangan ekologis untuk sistem penunjang kehidupan Supriadi dalam Anna, 2001
2.6
Pendekatan pembangunan ekologis
Istilah ekologi berasal dari bahasa Yunani yaitu Oikos yang berarti rumah atau tempat tinggal dan logos yang berarti ilmu telaah. Jadi ekologi berarti ilmu
tentang rumah tempat tinggal mahluk hidup. Haeckel 1969 mendefinisikan ekologi sebagai ilmu tentang hubungan timbal balik antara mahluk hidup dengan
lingkungan biotik dan abiotik. Fenomena hubungan antara mahluk hidup dan lingkungan dapat dijelaskan dengan beberapa sudut pandang pendekatan yaitu
deskriptif, fungsional, dan evolusi Krebs, 2001. Pendekatan deskriptif
merupakan pendekatan yang mencoba menjelaskan ekologi dengan menekankan faktor alamiah kebiasaan, perilaku, dan interaksi-interaksi antar organisme dan
dikaitkan dengan kumpulan vegetasi yang ada di bumi. Pendekatan fungsional pendekatan proximate berusaha menjelaskan ekologi dengan penekanan pada
dinamika dan hubungan sebab akibat untuk mengidentifikasi permasalahan umum yang biasa terdapat pada ekosistem yang berbeda. Di sisi lain, pendekatan evolusi
pendekatan ultimate menjelaskan organisme dan hubungan timbal baliknya sebagai produk sejarah evolusi.
Ada beberapa bidang ilmu yang terkait erat dengan ekologi, yaitu ilmu lingkungan, biologi konservasi, dan manajemen sumber daya hayati. Ilmu
lingkungan adalah kajian mengenai pengaruh ekologis aktivitas manusia terhadap lingkungan. Ekologi lebih fokus pada fenomena alamiah dari organisme, termasuk
manusia sebagai bagian integral dari alam. Di sisi lain, kajian ilmu lingkungan lebih luas karena melibatkan ilmu-ilmu lain seperti geologi, klimatologi,
sosiologi, antropologi, ekonomi, dan sebagainya. Ilmu lingkungan merupakan kajian ”deep ecology” Krebs, 2001 dari suatu gerakan masyarakat yang
memiliki agenda utama perubahan sosial politik yang mengarah pada usaha meminimalisasi pengaruh manusia terhadap lingkungan.
Pembangunan dapat diartikan sebagai upaya sadar dan melembaga dalam mewujudkan model masyarakat yang lebih baik dalam citra bangsa atau
”a conscious and institutionalized attempt at societal development” Misra, 1981. Citra atau image masyarakat yang ingin diwujudkan bersifat culture-specific dan
time-spesific, berbeda dari satu kultur atau negara ke kultur atau negara yang lain, dari satu waktu ke waktu yang lain, dipengaruhi oleh pengalaman historis dan
konteks pembangunan. Karena pembangunan berkaitan dengan nilai, maka pembangunan seringkali bersifat transcendental, suatu gejala meta-disiplin, atau
bahkan suatu ideologi. Karenanya para perumus kebijakan pembangunan selalu dihadapkan pada pilihan nilai dengan dilema-dilema dan tantangan mulai dari
jenjang filsafat sampai pada derivasinya pada tingkat strategi, program atau proyek. Dilema aktual yang dihadapi oleh negara-negara yang sedang
membangun, yaitu antara pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Paradigma pertumbuhan atau paradigma ekonomi nampaknya masih tetap
menjadi paradigma yang dominan di banyak negara. Paradigma ini memandang pembangunan nasional sebagai identik dengan pembangunan ekonomi. Tujuan
pembangunan nasional adalah mencapai pertumbuhan yang setinggi-tingginya. Paradigma ini sangat berorientasi pada produksi, fokus utamanya adalah pada
growth-generating sectors. Mekanisme pasar menjadi tumpuan dalam mencapai pertumbuhan ekonomi.
Ada berbagai pandangan menyikapi masalah ini mulai yang pesimis yang mengantisipasi kehancuran planet bumi sebagai suatu sistem dalam abad
mendatang kalau pembangunan mengalami over shooting dan karenanya mengusulkan pengendalian growth-generator yang ada pada diri manusia sendiri.
Pandangan yang bersifat optimis yang melihat daya adaptasi manusia yang tumbuh secara eksponensial akan dapat menyelesaikan persoalan tersebut.
Pandangan yang pragmatis melihat pertumbuhan sebagai suatu keharusan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia dan karenanya yang harus dilakukan adalah
mendorong pertumbuhan batas growth of limits melalui teknologi dan mengintegrasikan
environmental cost dalam memperhitungkan biaya pertumbuhan.
2.7
Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi peluang bagi generasi mendatang untuk
mendapatkan kesempatan hidup Djayadiningrat, 2001. Tujuan pembangunan berkelanjutan secara ideal menurut Djayadiningrat 2001 membutuhkan
pencapaian terhadap hal-hal sebagai berikut i keberkelanjutan ekologis, ii keberkelanjutan ekonomi, iii keberkelanjutan sosial budaya, iv
keberkelanjutan politik, dan v keberkelanjutan pertahanan keamanan. Menciptakan lingkungan perkotaan berkelanjutan sangat krusial karena
aktivitas perkotaan berkontribusi terhadap permasalahan lingkungan dan memegang peranan penting dalam perbaikan kesejahteraan manusia dengan
memfasilitasi pembangunan sosial, kultural dan ekonomi Urban and Regional Development Institute, URDI, 2002. International Labour Organization ILO
mengemukakan bahwa tujuan pembangunan berkelanjutan adalah membuat
semua anggota masyarakat mendapatkan semua elemen – elemen kunci bagi kehidupan, seperti pangan, sandang, permukiman, perawatan kesehatan,
pendidikan dan lapangan kerja. Karakteristik kota berkelanjutan adalah i tata guna lahan terintegrasi
dengan rencana transportasi, ii pola tata guna lahan membantu melindungi sumberdaya air, iii kontrol penggunaan lahan untuk setiap orang, iv kota
yang manusiawi, ruang hijau, pasar petani, dan daerah pedestrian, v mendukung kota lebih kompak. Perkembangan pada sebuah kota harus aspiratif terhadap
kebutuhan dan eksitensi masa depan yang pada prinsipnya termanifestasi dalam
kata kunci seperti: efisiensi, intensifikasi, konservasi, revitalisasi di dalam upaya menyelaraskan pembangunan kembali kota terwujud dalam skenario ”Kota
Kompak” Roychansyah, 2006 seperti terlihat dalam Gambar 3.
Pembangunan berkelanjutan sektor perumahan diartikan sebagai pembangunan perumahan termasuk di dalamnya pembangunan kota berkelanjutan
sebagai upaya untuk memperbaiki kondisi sosial, ekonomi, dan kualitas lingkungan tempat hidup dan bekerja semua orang. Inti pembangunan perumahan
berkelanjutan adalah upaya untuk meningkatkan kualitas hidup secara berkelanjutan Kirmanto, 2005. Pembangunan berkelanjutan sektor perumahan
dan permukiman akan mendominasi penggunaan lahan dan pemanfaatan ruang. Untuk itu, perlu dipertimbangkan empat hal utama, yaitu i pembangunan yang
secara sosial dan kultural bisa diterima dan dipertanggung–jawabkan socially and culturally suitable and accountable, ii pembangunan yang secara politis dapat
diterima politically acceptable, iii pembangunan yang layak secara ekonomis economically feasible, dan iv pembangunan yang bisa dipertanggung jawabkan
dari segi lingkungan environmentally sound and sustainable. Hanya dengan jalan mengintegrasikan keempat hal tersebut secara konsisten dan konsekuen,
pembangunan perumahan dan permukiman bisa berjalan secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan Soenarno, 2004.
Untuk mencapai keberkelanjutan perkotaan perlu melibatkan berbagai pihak yang terkait dengan perkotaan. Pemerintah kota tidak dapat memecahkan
permasalahannya sendiri. Peran pemerintah kota semakin lama semakin bergeser ke peran sebagai fasilitator. Intinya, sistem pelaku majemuk akan menggantikan
sistem pelaku-tunggal yang selama ini didominasi pihak pemerintah. Dimasa depan, akan terdapat titik majemuk kewenangan dan pengaruh, dan tantangannya
adalah bagaimana memberdayakan mereka agar dapat bekerja sama. Manfaatnya adalah adanya kepercayaan dan koneksi sosial modal sosial yang terus
terakumulasi, yang pada gilirannya akan mencapai tiga sasaran yaitu: menjaga agar pemerintah semakin memiliki akuntabilitas dan tidak korupsi; menurunkan
sumber konflik, dan memberdayakan para pelaku non-pemerintah Alexander et al., 2006.
Gambar 3 Tujuan pembangunan berkelanjutan dan implementasinya dalam konteks kota.
Sumber: Roychansyah, 2006
2.8
Kebijakan Publik
Kebijakan publik menurut Dye 1981 adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan public policy is whatever governments
choose to do or not to do. Studi kebijakan publik memiliki tiga manfaat penting, yakni untuk pengembangan ilmu pengetahuan, meningkatkan profesionalisme,
dan untuk tujuan politik Dye, 1981. Dalam studi kebijakan publik terdapat dua pendekatan, yakni: pertama analisis kebijakan policy analysis, dan kedua
kebijakan publik politik political public policy Hughes, 1994. Pada pendekatan
pertama, studi analisis kebijakan lebih terfokus pada studi pembuatan keputusan decision making dan penetapan kebijakan policy formation dengan
menggunakan model-model statistik dan matematika yang canggih. Sementara pada pendekatan kedua, lebih menekankan pada hasil dan outcome dari kebijakan
publik menggunakan metode statistik dengan melihat interaksi politik sebagai faktor penentu dalam berbagai bidang.
Proses analisis kebijakan publik adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan dalam proses kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas intelektual
terdiri dari perumusan masalah, forecasting, rekomendasi kebijakan, monitoring, dan evaluasi kebijakan. Aktivitas politis nampak dari kegiatan penyusunan
agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Diagram proses analisis kebijakan publik tertera pada
Gambar 4.
Gambar 4 Tahapan Kebijakan Publik
Sumber: Dunn 1994
Lingkungan kebijakan akan mempengaruhi pelaku kebijakan untuk meresponnya, yakni dengan memasukkannya ke dalam agenda pemerintah dan
selanjutnya melahirkan kebijakan publik untuk memecahkan masalah-masalah yang ada. Hubungan timbal balik antara tiga elemen yang terlibat dalam sebuah
proses kebijakan tertera dalam Gambar 5.
Implementas
i Kebijakan
Perumusan Masalah
Evaluasi Kebijakan
Rekomendasi Kebijakan
Forecasting
Penyusunan Agenda
Penilaian
Kebijakan
Adopsi Kebijakan
Formulasi Kebijakan
Masyarakat
Gambar 5 Hubungan Tiga Elemen Sistem Kebijakan.
Sumber: Dunn 1994
Salah satu bagian yang penting dari analisis kebijakan adalah perumusan masalah kebijakan. Suatu masalah dikatakan sebagai masalah privat apabila
masalah tersebut dapat diatasi tanpa mempengaruhi orang lain atau pemerintah. Suatu gejala menjadi masalah publik ketika gejala tersebut dirasakan sebagai
kesulitan bersama oleh sekelompok masyarakat dan hanya dapat diatasi melalui intervensi pemerintah Jones, 1991. Menurut Dunn 1994, sifat-sifat masalah
publik sangat kompeks dan mempunyai karakteristik antara lain 1 saling bergantung interdependent antara berbagai masalah dan mengharuskan analisis
kebijakan menggunakan pendekatan holistik dalam memecahkan masalah dan mengetahui akar permasalahannya, 2 subyektifitas, karena merupakan hasil
pemikiran dalam konteks lingkungan tertentu, 3 artificial yakni suatu fenomena dianggap sebagai masalah karena adanya keinginan untuk mengubah situasi, 4
dinamis karena solusi terhadap masalah selalu berubah. Dalam perumusan masalah, dibutuhkan data dan informasi. Data dan
informasi tersebut bersifat time series kurun waktu atau cross sectional antar lokasi yang berbeda. Data dan informasi time series membantu memahami
perubahan gejala dari waktu ke waktu, sementara data dan informasi cross sectional membantu memberikan gambaran tentang suatu gejala antar lokasi yang
berbeda. Beberapa metode untuk merumuskan masalah, adalah 1 analisis batas, yaitu usaha memetakan masalah melalui snowball sampling dari stakeholders,
2 analisis klasifikasi, yaitu mengklasifikasikan masalah kedalam kategori- kategori tertentu, 3 analisis hirarki, untuk menyusun masalah berdasarkan sebab-
sebab dari situasi masalah, 4 brainstorming, yakni metode merumuskan masalah Pelaku
Lingkungan Kebijakan
melalui curah pendapat, 5 analisis perspektif ganda, yaitu metode untuk memperoleh pandangan yang bervariasi dari perspektif yang berbeda.
Forecasting atau peramalan terdiri dari 1 proyeksi, 2 prediksi, dan 3 perkiraan. Proyeksi didasarkan pada ekstrapolasi kecenderungan masa lalu,
dengan asumsi bahwa masa yang akan datang memiliki pola yang sama dengan masa lalu. Proyeksi dapat menggunakan model matematika dan regresi. Prediksi,
yaitu ramalan yang didasarkan pada asumsi teoritik. Misalnya, berdasarkan teori supply dan demand, harga normal akan terjadi pada titik temu antara supply dan
demand. Perkiraan, yakni ramalan yang didasarkan pada penilaian para pakar tentang situasi yang akan datang.
Rekomendasi kebijakan adalah proses untuk melakukan pilihan terhadap berbagai alternatif kebijakan berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan.
Metode-metode yang dapat digunakan untuk proses seleksi kebijakan antara lain 1 metode perbandingan, semua alternatif kebijakan dievaluasi berdasarkan
kriteria-kriteria yang telah ditentukan, kemudian dipilih alternatif yang memperoleh nilai tertinggi, 2 metode memuaskan satisfying method, pemilihan
alternatif dilakukan atas dasar kemampuan alternatif memenuhi semua kriteria yang telah ditetapkan, 3 analisa biaya dan manfaat cost and benefit analysis,
digunakan untuk mengidentifikasi besarnya biaya dan manfaat dari setiap alternatif kebijakan, 4 pohon keputusan decision tree. Analisis pohon
keputusan digunakan dengan menghitung nilai yang diharapkan, yang merupakan hasil dari perkalian antara probabilitas dari setiap alternatif dengan perkiraan
hasil.
2.9
Pendekatan Sistem
Pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis. Pada dasarnya
pendekatan sistem adalah penerapan dari sistem ilmiah dalam manajemen. Dengan cara ini hendak diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku dan
keberhasilan suatu organisasi atau suatu sistem. Metode ilmiah dapat menghindarkan manajemen mengambil kesimpulan-kesimpulan yang sederhana
dan simplisistis searah oleh suatu masalah disebabkan oleh penyebab tunggal.
Pendekatan sistem dapat memberi landasan untuk pengertian yang lebih luas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku sistem dan memberikan
dasar untuk memahami penyebab ganda dari suatu masalah dalam kerangka sistem.
Perubahan yang bersifat kompleks membuat kita tidak hanya mempelajari sebagian dari perubahan tersebut, tetapi harus mempelajarinya secara menyeluruh,
karena keterkaitan antara komponen yang satu dengan yang lainnya. Oleh sebab itu, dalam menangani suatu masalah yang cukup kompleks, kita harus
menyelesaikannya tidak hanya pada tempat kejadian tersebut dan waktu tertentu, namun pada skala yang lebih luas, baik secara spasial maupun temporal.
Eriyatno 1999 menjelaskan bahwa pendekatan sistem merupakan metode yang bersifat rasional sampai intuitif sehingga dapat memecahkan masalah guna
mencapai tujuan tertentu. Selanjutnya dikatakan bahwa jika kita menggunakan pendekatan sistem, maka persyaratan yang harus dipenuhi bersifat kompleks,
yakni interaksi antar elemen-elemennya cukup rumit. Bersifat dinamis, yaitu dua faktor yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan untuk masa yang akan
datang. Bersifat probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam membuat kesimpulan maupun rekomendasi. Pada dasarnya pendekatan sistem mempunyai
tiga sifat yaitu sibernetik, artinya berorientasi pada tujuan, holistik, yakni cara pandang yang utuh, serta efektif yang artinya lebih mementingkan hasil yang
bersifat operasional dan dapat dilaksanakan dari pendalaman teoritis sehingga dapat mencapai keputusan yang efisien. Manetch dan Park 1977 menyatakan
bahwa suatu pendekatan sistem akan dapat berjalan dengan baik jika terpenuhi kondisi-kondisi 1 tujuan sistem didefinisikan dengan baik dan dapat dikenali
jika tidak dapat dikuantifikasikan, 2 prosedur pembuatan keputusan dalam sistem riil tersentralisasi atau cukup jelas batasannya, dan 3 memungkinkan
untuk dilakukan dalam perencanaan jangka panjang. Sistem adalah gugus atau komponen yang saling terkait dan terorganisasi
dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu. Sistem dapat digolongkan menjadi sistem terbuka dan sistem tertutup. Sistem terbuka merupakan sistem yang
outputnya merupakan tanggapan dari input, namun output yang dihasilkan tidak memberikan umpan balik terhadap input. Sistem terbuka tidak menyediakan
sarana koreksi dalam sistem, sehingga perlakuan koreksi membutuhkan faktor dari luar. Diagram sistem terbuka tertera pada Gambar 6.
Gambar 6 Diagram sistem terbuka. Pada sistem tertutup, output memberikan umpan balik terhadap input. Pada
sistem tertutup sarana koreksi berada dalam sistem, sehingga perlakuan koreksi dapat dilakukan secara internal. Diagram sistem tertutup dengan umpan balik
tertera pada Gambar 7.
Gambar 7 Diagram sistem tertutup.
2.10
Matrik dan Ringkasan Tinjauan Pustaka
Matrik faktor-faktor penting pengembangan kawasan permukiman tertera pada Tabel 1. Tabel 1 Matrik faktor-faktor penting pengembangan kawasan permukiman
No Teori Sumber
Tahun Faktor-faktor penting
1. Perkotaan lingkungan,
metropolitan, tata ruang
Doxiadis 1971
Aglomerasi, konurbasi, konsentrasi
penduduk yg besar, kawasan permukiman, tenaga kerja, aktivitas kota.
Richardson 1978
Lokasi dekat pusat kota, komersial, industri
ringan, akses, lahan, pelayanan kota, nilai lahan.
Angotti 1993 Penduduk yang besar, aktivitas sosio-
ekonomi, manufaktur dan jasa, mobilitas, ekonomi politik.
Almeida 1998
Legislasi, prasarana, topografi, kawasan
lindung, pasar real estate, kesempatan kerja, pusat-pusat kegiatan.
Djunaedi 2001
Master plan Rencana Induk Sistem
Rahardjo 2003
Manajemen lahan, populasi, kebijakan
ekonomi, manajemen pembangunan. Input
Output Umpan
balik
Proses
Input Output
Proses
No Teori Sumber
Tahun Faktor-faktor penting
Healy 2004
Pengelolaan, skala kotawilayah, regionalisasi, material, pengembangan,
fungsional. Rossi-
Hausberg 2004
Urbanisasi, ruang kegiatan ekonomi,
populasi, output, pendapatan, ruang tebuka hijau.
Rustiadi et al. 2004
Sosial, ekonomi, budaya, politik, ekologis,
keamanan. UU 262007
Perencanaan, pemanfaatan, pengendalian
pemanfaatan ruang. 2. Perumahan
dan Permukiman
Doxiadis 1971
Alam, manusia, masyarakat, rumah,
jaringan prasarana. Dep.
PU 2005
Kawasan, pencemaran, lahan, sarana-
prasarana, akses. Kirmanto
2005
Alokasi tanah, pelayanan, lokasi, lingkungan, komunitas.
Urbanisasi, perkembangan tak terkendali,
marjinalisasi pelaku lokal, kegagalan lokasi. 3. Keberlanjutan
lingkungan, pendekatan
ekologis unt DAS dan Kota
Metropolitan Djayadinigrat
2001
Ekologis, ekonomi, sosial-budaya, politik, keamanan.
Krebs 2001
Deskriptif, fungsional, evolusi.
Lingkungan, biologi konservasi, sumberdaya hayati.
Saroso 2002
Tata guna lahan, transportasi, sumberdaya air, manusiawi, kompak.
URDI 2002
Sosial, kultural, ekonomi. Soenarno
2004
Sosial-kultural, politik, ekonomis, lingkungan
Dep. PU 2005
Kawasan, pencemaran, lahan, sarana-
prasarana, akses 4. Pendekatan
Sistem untk kebijakan
publik Manetch dan
Park 1977
Tujuan, prosedur, dapat dilaksanakan. Dunn 1994
Interdependent, subyektifitas, artificial,
dinamis.
Perumusan masalah, forecasting, rekomendasi, monitoring, evaluasi.
Penyusunan agenda, formulasi, adopsi,
implementasi, penilaian.
Pelaku, lingkungan, kebijakan publik. Eriyatno
1999
Kompleks, dinamis, probabilistik.
Sibernetik, holistik, efektif. Alexander et
al. 2006
Pemerintah, konflik, pelaku non pemerintah
Dari tinjauan pustaka beberapa aspek diatas didapat beberapa poin penting sebagai berikut:
Tabel 1 lanjutan
1. Struktur metropolitan berkembang dipengaruhi oleh perkembangan penduduk dan penyebarannya, kegiatan sosial-ekonomi-politik, infrastruktur, kebijakan
lahan, manajemen perkotaan, dan penataan ruang. 2. Kawasan permukiman di Cisauk bisa berkelanjutan apabila terjadi kohesi
sosial dengan baik, prasarana dan sarana jalan akses, air minum, persampahan, drainase, sanitasi yang memadai, pemanfaatan lahan sesuai
ketentuan peruntukan, vegetasi, ruang terbuka hijau, sub DAS Cisadan berkelanjutan, dan tersedia lapangan pekerjaan.
3. Permukiman dalam wilayah sub DAS berkontribusi pada keberlanjutan sub DAS tersebut sehingga perlu diperhatikan hal-hal yang dapat mengganggu
keberlanjutan sub DAS tersebut seperti pembuangan limbahsampah yang berdampak terhadap penurunan kualitas air dan penyumbatan yang dapat
menyebabkan banjir, aliran permukaan yang besar dan mengandung sedimentasi serta pengambilan air baku berlebih. Karakteristik sub DAS
wilayah tengah umumnya terdapat kawasan budi daya yang merupakan daerah pemanfaatan, kemiringan lereng kecil, pengaturan pemakaian air ditentukan
oleh saluran irigasi, dan jenis vegetasi didominasi tanaman pertanian. Kegiatan kawasan permukiman di sub DAS wilayah tengah hendaknya tidak
menimbulkan dampak negatif ke wilayah sub DAS hilir seperti pendangkalan karena sedimentasi, kekeringan dan atau banjir, kualitas air yang buruk.
4. Pendekatan ekologis dipergunakan apabila dalam pembangunan dalam hal ini pengembangan kawasan permukiman di Cisauk terindikasi lebih
memprioritaskan aspek ekonomi atau pertumbuhan dan kurang memperhatikan keberlanjutan aspek ekologis atau lingkungan.
5. Pendekatan sistem diperlukan untuk menganalisis masalah lingkungan yang kompleks sehingga diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku dan
keberhasilan suatu sistem dan memberikan dasar untuk memahami penyebab ganda dari suatu masalah dalam kerangka sistem. Pendekatan sistem
mempunyai tiga sifat yaitu sibernetik, artinya berorientasi pada tujuan, holistik, yakni cara pandang yang utuh, serta efektif yang artinya lebih
mementingkan hasil yang bersifat operasional dan dapat dilaksanakan dari pendalaman teoritis sehingga dapat mencapai keputusan yang efisien.
6. Kawasan permukiman di Cisauk dilalui jaringan transmisi tenaga listrik Sutet saluran udara tegangan tinggi dengan tegangan nominal 35,000 volt
sehingga terdapat koridor yang aman terhadap kegiatan lain dengan memperhatikan jarak bebas dan aman selebar 64 m yang diukur dari tengah
jaringan transmisi tenaga listrik seluas kurang lebih 3.2 km2.
III METODE PENELITIAN