− Rencana Pemantauan Lingkungan RPL merupakan petunjuk untuk mengikuti dan mengamati segala perubahan lingkungan setelah kegiatan
dilaksanakan. Beberapa lahan penambangan bahan galian golongan C seperti penambangan
pasirterdapatdi kecamatan Cisauk. Bahan galian golongan C merupakan bahan galian yang dikategorikan sebagai bahan galian non strategis. Bahan galian
golongan C meliputi bahan galian industri dan bahan galian bangunan. Jenis bahan galian industri antara lain asbes, batu gamping, feldspar, pasir kwarsa, lempung,
trass, oker, batu tulisslate, dan zeolit. Bahan galian bangunan meliputi andesit, diorit, pasir dan batu, serta marmer. Kesuburan tanah pada lokasi bekas tambang
sangat rendah karena rendahnya kandungan bahan organik dan nitrogen di dalamnya. Dengan kondisi tanah seperti ini akan terus mengalami degradasi apabila
tidak dikelola secara benar dengan segera. Luas areal pertambangan semakin lama semakin bertambah. Pada umumnya pengusaha memperluas kawasan yang
ditambangnya dengan cara membeli lahan pertanian penduduk setempat. Berhubung keadaan lahan yang kritis, tidak produktif, dan hanya cocok ditanami dengan
tanaman tahunan yang produksinya juga tidak memadai, maka sangat wajar jika masyarakat terdorong untuk menjual tanahnya. Masyarakat yang telah kehilangan
lahan pertaniannya pada umumnya bekerja sebagai pekerja tambang atau merantau ke luar daerah. Status tanah yang diusahakan untuk pertambangan kemudian
menjadi tanah milik pengusaha tambang. Karena status tanah bekas tambang yang telah beralih menjadi tanah milik tersebut maka akan sangat sulit untuk memaksa
pengusaha melakukan reklamasi pada lahan bekas tambangnya. Setelah tanah mencapai lapisan terakhir yang berbatu dan mengeluarkan air, penambangan
dihentikan dan beralih ke daerah lain. Lahan bekas tambang umumnya dibiarkan dan tidak dilakukan perlakuan apapun untuk mengembalikan kesuburan tanahnya.
Pengaturan landasan hukum bagi perangkat pemerintah untuk melakukan pengendalian dan penertiban kegiatan penambangan bahan galian golongan C
dilakukan dengan Peraturan Daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten. Undang– Undang RI No.7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air
mengamanatkan bahwa perlu diimplementasikan secara konsisten prinsip-prinsip pengelolaan sumberdaya air secara terpadu integrated water resources
management IWRM. Dalam pengertian tersebut pengelolaan sumberdaya air,
termasuk pengelolaan sungai perlu memperhatikan prinsip-prinsip yaitu: 1 memberikan manfaat kepada publik secara efektif dan efisien, 2 mempertemukan
keseimbangan kepentingan dan harmonisasi antara aspek sosial, ekonomi, dan prinsip keseimbangan lingkungan hidup, 3 keberlanjutan, keadilan, dan otonomi,
serta 4 transparansi dan akuntabilitas, serta menjamin terjadinya keterbukaan terhadap adanya proses akuntabilitas publik. UU tersebut juga mengamanatkan
tentang hak dan kewajiban masyarakat terhadap sumberdaya air Anonim, 2004. Untuk mengantisipasi penerapan hak dan kewajiban masyarakat tersebut dalam
implementasinya diperlukan pemahaman yang seimbang baik di tingkat pemerintah dan masyarakat. Hal yang mendapatkan sorotan publik adalah bahwa UU tersebut
dinilai membawa semangat liberalisasi di sektor air yang dirasa akan mengganggu pemenuhan hak asasi rakyat akan air.
Dalam RTRW Kabupaten Tangerang Tahun 2002 – 2011, Kecamatan Cisauk ditetapkan dan termasuk ke dalam Satuan Wilayah Pengembangan SWP I dengan
pusat Kota Serpong. SWP ini diarahkan pada pengembangan pusat permukiman perkotaan secara intensif, pendidikan, pelayanan sosial, perdagangan dan jasa,
industri, pariwisata serta peternakan. Kecamatan Cisauk sendiri termasuk ke dalam pusat pertumbuhan Orde IV, sebagai pusat pelayanan lokal dengan fungsi utama
sebagai pusat administrasi pemerintahan dan pusat pelayanan sosial. Kecamatan Cisauk dengan luas 4,285.85 ha dibagi atas 3 Bagian Wilayah Kota BWK, yaitu:
a. BWK A: meliputi Desa Sampora, sebagian Desa Cisauk, Desa Cibogo, dan
Desa Suradita, luas BWK A sebesar 1,470.35 ha, dengan fungsi sebagai pusat pemerintahan kecamatan, kawasan perdagangan regional CBD, dan
pengembangan permukian dan industri terbatas non polutan serta areal cadangan kota, dengan pusat BWK di Desa Sampora.
b. BWK B: meliputi Desa Setu, Kademangan, Muncul, Kranggan, Babakan dan
Desa Baktijaya, dengan luas 1,510.91 ha. BWK B memiliki fungsi sebagai kawasan perdagangan, perindustrian, pendidikan tinggi, puspitek dan
pengembangan perumahan dengan pusat BWK di Desa Setu c.
BWK C meliputi Desa Cisauk, Dangdang, dan Desa Mekarwangi dengan luas 1,304.59 ha. BWK C memiliki fungsi sebagai areal cadangan pengembangan
kota dan permukiman dengan kepadatan rendah, dengan pusat BWK di Desa Cisauk
Sebagaimana hirarkinya yang termasuk pusat pertumbuhan Orde I, Kecamatan Cisauk memiliki fungsi dan peranan sebagai berikut: 1 pusat administrasi
pemerintahan, 2 pusat pelayanan sosial, 3 pusat pelayanan kegiatan ekonomi skala lokal, 4 merupakan hinterland bagi Kota Serpong.
V HASIL DAN PEMBAHASAN
Kegiatan analisis dilaksanakan sesuai dengan metodologi penelitian, dilakukan dalam 4 tahap sesuai dengan tujuan penelitian. Tahap pertama
menguraikan hasil identifikasi dinamika kawasan permukiman dan sistem metropolitan DKI Jakarta. Tahap kedua menjabarkan kondisi keberlanjutan
kawasan permukiman di Cisauk dengan metode MDS-Rapsettlement. Tahap ketiga menjelaskan hasil analisis berupa faktor-faktor yang paling berpengaruh
terhadap keberlanjutan kawasan permukiman. Pada tahap keempat menguraikan pemilihan skenario dan penyusunan arahan kebijakan pengembangan kawasan
permukiman.
5.1 Dinamika Perkembangan Kawasan Permukiman dalam Sistem Metropolitan DKI Jakarta dan DAS Cisadane
Dalam Bab Pendahuluan telah disebutkan bahwa banyak penduduk yang semula bermukim di kota-kota besar kemudian pindah ke kawasan di pinggiran
kota karena kelangkaan lahan, urbanisasi, peningkatan biaya akomodasi, investasi ekonomi dan tawaran permukiman baru yang terintegrasi dengan infrastruktur dan
lapangan pekerjaan alternatif di luar kota inti. Misalnya, dalam kurun 1995-2000 diperkirakan setengah juta penduduk yang semula tinggal di DKI Jakarta pindah
ke daerah-daerah penyangga seperti Bekasi, Bogor, dan Tangerang. Pembangunan prasarana wilayah khususnya transportasi seperti jalan tol akan mempercepat
pengembangan daerah-daerah di pinggiran Jakarta. Dalam hal ini di kawasan kabupaten Tangerang bagian selatan berkembang pesat setelah dibangunnya jalan
tol Jakarta-Serpong pada tahun 1990-1995. Pertambahan penduduk di daerah penyangga tersebut akan meningkatkan pengembangan kawasan permukiman.
Sebagai contoh, pengembangan kawasan permukiman skala besar yang dikenal sebagai kota mandiri Bumi Serpong Damai BSD di kecamatan Serpong
berkembang pesat sejak dibangun pada tahun 1989. Perkembangan di BSD ini berdampak pada pengembangan kawasan permukiman di kota-kota kecil di
sekitarnya seperti kawasan permukiman di Cisauk. Jadi perkembangan kawasan permukiman di Cisauk tidak dapat dipisahkan dari perkembangan kawasan
metropolitan DKI Jakarta. Perkembangan kawasan metropolitan DKI Jakarta dapat dijabarkan dalam dinamika dan sistem metropolitan yang antara lain berupa
perkembangan penduduk, hirarki sistem perkotaan, dan peta pemangku kepentingan pengembangan kawasan.
Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum tahun 2006 dalam laporan perihal Metropolitan di Indonesia Bab V halaman 131
dengan referensi Mamas-Komalasari membagi kawasan metropolitan DKI Jakarta dalam 3 wilayah yaitu Core untuk DKI Jakarta yang meliputi 5 wilayah Jakarta
Utara, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, dan Jakarta Timur, outer zone yang meliputi wilayah Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten
Bekasi, dan inner zone yang mencakup Kota Tangerang, Kota Bogor, Kota Depok, dan Kota Bekasi Ditjen. Penataan Ruang, Dep. PU, 2006. Perkembangan
perumahan di metropolitan DKI Jakarta dari tahun 2000 sampai tahun 2010, dengan data-data dari Sensus Penduduk tahun 2000 dan 2010 dan SUPAS Survei
Penduduk Antar Sensus tahun 2005, menunjukkan kecenderungan yang meningkat secara bervariasi seperti tertera pada Tabel 19. Secara wilayah terjadi
perkembangan perumahan dari tahun 2000 ke tahun 2005 yang relatif kecil dan terjadi perkembangan perumahan yang cukup besar dari tahun 2005 ke 2010.
Tabel 19 Perkembangan Perumahan di Metropolitan DKI Jakarta
Kawasan Th 2000
Unit Th 2005
Unit perbedaan
Th 2010 Unit
perbedaan JABODETABEK 5,458,428 5,844,013
7.06 6,648,576 13.77
Core 2,116,199 2,206,582
4.27 2,503,476 13.45
Jakarta Pusat 204,786 226,062
10.39 234,979 3.94
Jakarta Timur 588,762 610,438
3.68 690,598 13.13
Jakarta Selatan 450,386 497,658
10.50 532,886 7.08
Jakarta Barat 494,234 516,568
4.52 608,342 17.77
Jakarta Utara 378,031 355,856
-5.87 436,671 22.71
Outer zone 2,111,981 2,215,584
4.91 2,532,670 14.31
Kab. Bogor 838,854 913,648
8.92 955,694 4.60
Kab. Bekasi 531,416 508,400
-4.33 566,469 11.42
Kab. Tangerang 741,711 793,536
6.99 1,010,507 27.34
Inner zone 1,230,248 1,421,847
15.57 1,612,430 13.40
Kota Bogor 170,748 221,720
29.85 233,975 5.53
Kota Bekasi 439,540 485,776
10.52 599,029 23.31
Kota Tangerang 339,542 367,055
8.10 475,277 29.48
Kota Depok 280,418 347,296
23.85 304,149 -12.42
Sumber : Sensus Penduduk 2000, 2010, SUPAS 2005
5.1.1 Perkembangan Penduduk Metropolitan DKI Jakarta
Perkembangan jumlah penduduk masih dapat digunakan untuk mengindikasikan perkembangan kawasan permukiman Kuswartojo et al., 2005.
Sensus dan Survei penduduk oleh BPS menggambarkan perkembangan penduduk metropolitan DKI Jakarta dari tahun 1990 sd 2010 dimana jumlah penduduk DKI
Jakarta sempat menurun sementara jumlah penduduk daerah penyangga seperti Tangerang, Bogor, Depok, dan Bekasi cenderung naik secara signifikan seperti
terlihat pada Tabel 20. Kepadatan penduduk secara umum cenderung meningkat baik untuk Jabodetabek, Inner Zone maupun Outer Zone.
Tabel 20 Perkembangan Jumlah Penduduk Metropolitan DKI Jakarta
1990 1995
2000 2005
2010 1990
1995 2000
2005 2010
JABO DETABEK 4,129.2
17.09 20.15 22.08 23.55 27.89 4,139
4,880 5,347
5,703 6,754
C ore
662.0 8.22
9.11 8.34
8.80 9.57 12,417
13,761 12,598
13,293 14,456
Jakarta Selat an 145.7
2.03 2.04
1.78 2.00
2.06 13,933 14,001
12,217 13,727
14,139 Jakarta T imur
187.7 2.01
2.38 2.35
2.39 2.69 10,709
12,680 12,520
12,733 14,331
Jakarta Pusat 48.3
1.16 0.98
0.87 0.88
0.90 24,017 20,290
18,012 18,219
18,634 Jakarta Barat
126.2 1.67
2.15 1.90
2.09 2.28 13,233
17,036 15,055
16,561 18,067
Jakarta Utara 154.1
1.35 1.56
1.44 1.44
1.64 8,761
10,123 9,345
9,345 10,642
O ute r Zone
2,173.8 5.43
7.27 9.44
9.05 11.52 2,498
3,344 4,343
4,163 5,299
Kab. Bogor 820.3
2.28 2.48
3.58 3.82
4.77 2,779
3,023 4,364
4,657 5,815
Kab. Bekasi 606.1
1.42 2.14
2.71 1.98
2.63 2,343
3,531 4,471
3,267 4,339
Kab. T angerang 747.4
1.73 2.65
3.15 3.25
4.12 2,315
3,546 4,215
4,348 5,512
Inne r Zone
1,293.4 3.44
3.77 4.30
5.70 6.80
2,660 2,915
3,325 4,407
5,257 Kota Bogor
118.5 1.73
2.22 1.83
0.89 0.95
14,599 18,734
15,443 7,511
8,017 Kota Bekasi
437.9 0.68
0.62 0.62
1.99 2.33
1,553 1,416
1,416 4,544
5,321 Kota T angerang
536.8 1.03
0.93 0.96
1.45 1.79
1,919 1,732
1,788 2,701
3,335 Kota Depok
200.2 -
- 0.89
1.37 1.73
- -
4,446 6,843
8,641
Kawasan Luas
Km2 Jumlah Penduduk juta jiwa
Kep adatan Penduduk JiwaKm2
Sumber: Sensus penduduk 1990, 2000, 2010 dan survei penduduk 1995, 2005
Kondisi yang spesifik terjadi antara tahun 1995–2000 dan antara tahun 2000–2005 seperti terlihat pada Gambar 19. Pada kurun waktu 1995–2000
pertambahan penduduk di outer zone meningkat pesat yang disebabkan al. karena maraknya pembangunan perumahan skala besar di kawasan
metropolitan DKI Jakarta seperti perumahan kota mandiri BSD Bumi Serpong Damai, perumahan Lippo Karawaci, perumahan Citra Raya dan perumahan
Alam Sutera di Tangerang, perumahan Lippo Cikarang di Bekasi, perumahan Kota Wisata di Cibubur, dan lain-lain. Banyak penduduk dari kota-kota besar
Jumlah juta
yang pindah meningalkan kota asalnya menuju ke komplek perumahan- perumahan tersebut yang lokasinya berada di pinggiran metropolitan DKI
Jakarta. Sementara itu antara tahun 2000 – 2005 penduduk outer zone menunjukkan penurunan. Setelah dicermati, hal ini disebabkan oleh terbentuknya
kota Bekasi pada tahun 1998 sehingga pencatatan penduduknya masuk dalam klasifikasi inner zone. Pada tahun 2010 perkembangan penduduk di ketiga
wilayah tersebut menunjukkan trend yang menaik dengan perincian wilayah core naik sedikit, wilayah inner zone naik sedang, dan wilayah outer zone naik cukup
tajam.
Gambar 19 Grafik perkembangan penduduk metropolitan DKI Jakarta
5.1.2 Cisauk dalam hirarki sistem metropolitan DKI Jakarta
Dokumen arah perkembangan Jawa Barat 1991 – 1994 menyebutkan Jakarta sebagai Pusat Wilayah. Kota Bogor, Tangerang dan Bekasi sebagai Pusat Utama,
LeuwiLiang, Jonggol, Rumpin, Serpong, Balaraja, Teluk Naga, Sukatani, Setu dan Cikarang sebagai pusat kota kedua. Dalam setting ini, Cisauk karena tidak
diterakan sebagai perkotaan kemungkinan diidentifikasikan sebagai perdesaan. Hirarki dalam sistem perkotaan ditunjukkan dengan adanya pusat kegiatan
yang dikelilingi oleh beberapa sub pusat kegiatan. Sementara sub pusat kegiatan tersebut juga dikelilingi oleh beberapa pusat kegiatan lokal. Hirarki perkotaan
menurut dokumen NUDS National Urban Development Strategy Tahun 2000
Cisauk
menunjukkan bahwa DKI Jakarta sebagai PKN Pusat Kegiatan Nasional dengan Tangerang, Bogor, dan Bekasi sebagai PKW Pusat Kegiatan Wilayah yang juga
merupakan kota penyangga DKI Jakarta. Disamping itu terdapat Depok dan Ciputat sebagai PKL Pusat Kegiatan Lokal akan tetapi mempunyai akses ke DKI
Jakarta. Serpong sebagai PKL dengan akses ke Tangerang akan tetapi mempunyai akses langsung ke DKI Jakarta berupa jalan Tol Jakarta-Serpong. Cisauk
berinduk ke Serpong dan merupakan kawasan perdesaan Gambar 20.
Gambar 20 Hirarki metropolitan DKI Jakarta menurut NUDS Th. 2000 Diluar penetapan, pengaturan dan stimulasi yang dilakukan pemerintah,
perkembangan kawasan permukiman di metropolitan DKI Jakarta sebagian besar didorong oleh inisiatif dan investasi pemangku kepentingan swasta. Tabel 21 dan
Grafik 21 menggambarkan perkembangan jumlah kawasan permukiman di metropolitan DKI Jakarta periode 1990 sampai dengan 2010. Pada periode 1990-
2000, perkembangan yang terjadi belum pesat. Perkembangan yang sangat pesat terjadi pada tahun 2005 yang disebabkan oleh demand yang tinggi dan didukung
oleh pembangunan infrastruktur transportasi seperti jalan di Jabodetabek. Pada tahun 2010 perkembangannya menurun disebabkan oleh mulai terbatasnya lahan
permukiman yang tersedia dan ramainya pembangunan rumah susun sehubungan dengan program pembangunan 1000 tower rumah susun yang dicanangkan oleh
pemerintah. Tabel 22 menunjukan luas kawasan permukiman skala besar di Bodetabek pada 2010.
Tangerang
Ciputat Serpong
Cisauk
Perdesaan
Depok
Bogor
DKI Jakarta
PKN
PKW
PKW PKW
PKL PKL
PKL
Bekasi
PKL
Tiga Raksa