Arahan Kebijakan Pengembangan Kawasan Permukiman

terjadinya keterbukaan terhadap adanya proses akuntabilitas publik. UU tersebut juga mengamanatkan tentang hak dan kewajiban masyarakat terhadap sumberdaya air. Untuk mengantisipasi penerapan hak dan kewajiban masyarakat tersebut dalam implementasinya diperlukan pemahaman yang seimbang baik di tingkat pemerintah dan masyarakat. Hal yang mendapatkan sorotan publik adalah bahwa UU tersebut dinilai membawa semangat liberalisasi di sektor air yang dirasa akan mengganggu pemenuhan hak asasi rakyat akan air. RTRW Kabupaten Tangerang Tahun 2002–2011 merupakan acuan operasional kebijakan lokal. Walaupun skalanya lokal, akan tetapi sebenarnya kebijakan ini sudah memperhatikan kebijakan-kebijakan diatasnya, antara lain Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Banten, Kebijakan Pengembangan Kawasan Jabodetabekjur, dan Rencana Pembangunan Sektoral yang dituangkan dalam Rencana Strategis Renstra. Untuk mengadopsi dinamika perkembangan masyarakat, perubahan kebijakan, perkembangan ilmu pengetahuan, dan lain-lain dilakukan revisi RTRW tersebut pada tahun 2006 sehingga diharapkan RTRW tersebut akan dapat bersinergi dengan perkembangan di tiap wilayah dalam berbagai aspek. Hasil dari revisi ini berupa prioritas pembangunan dan indikasi program yang telah mempertimbangkan perkembangan lingkungan strategis terkini, ketersediaan dana, kesiapan SDM, tingkat kepentingan, dan ketersediaan waktu. Kawasan strategis merupakan kawasan yang perlu mendapatkan prioritas pengembangan karena realisasi program pada kawasan ini akan berimplikasi kuat dalam pembentukan struktur tata ruang dan rencana pemanfaatan ruang wilayah. Diantara kawasan strategis tersebut adalah terdapat 3 tiga pusat wilayah pengembangan WP, salah satunya Serpong yang berkembang menjadi pusat permukiman. Selanjutnya Kecamatan Cisauk ditetapkan dan termasuk ke dalam Satuan Wilayah Pengembangan SWP I dengan pusat Kota Serpong. SWP ini diarahkan pada pengembangan pusat permukiman perkotaan secara intensif, pendidikan, pelayanan sosial, perdagangan dan jasa, industri, pariwisata serta peternakan. Kecamatan Cisauk sendiri termasuk ke dalam pusat pertumbuhan Orde IV, sebagai pusat pelayanan lokal dengan fungsi utama sebagai pusat administrasi pemerintahan dan pusat pelayanan sosial. Arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman dilakukan dengan pendekatan integrasi antara analisis retrospektif dengan analisis prospektif. Analisis kebijakan retrospektif dilakukan terhadap hasil pelaksanaan pengembangan kebijakan di masa lalu yakni hasil pelaksanaan perda, pengembangan kawasan siap bangun, lingkungan hunian berimbang, penentuan subsidi dan batas minimal tipe rumah yang dibangun, dan hasil kebijakan ditingkat lokal. Analisis prospektif dilakukan untuk memberi masukan terhadap kebijakan yang telah ditetapkan saat ini dan akan dilaksanakan antara lain kebijakan pengembangan kawasan siap bangun, dan revisi rencana tata ruang wilayah Kabupaten Tengerang. Untuk menilai keberlanjutan dari sistem pengembangan kawasan permukiman saat ini yang merupakan hasil pelaksanaan kebijakan di masa lalu, dilakukan dengan cara menghitung Indeks Keberlanjutan kawasan permukiman dengan menggunakan metode multidimensional scalling MDS. Indikator yang digunakan mencakup tiga dimensi yaitu ekologi, sosial, dan ekonomi. Ketiga dimensi tersebut secara simultan akan mempengaruhi keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman. Masing-masing dimensi tersebut memiliki atribut dan kriteria sendiri yang mencerminkan pengaruh terhadap keberlanjutan dimensi yang bersangkutan. Berbagai atribut serta kriteria yang digunakan ditentukan berdasarkan hasil kajian pustaka dan preferensi pakar. Pengisian kondisi kawasan pada setiap atribut dilakukan oleh stakeholders. Hasil analisis MDS adalah status keberlanjutan pengembangan kawasan untuk setiap dimensi dan faktor-faktor pengungkit keberlanjjutan pengembangan kawasan permukiman. Faktor-faktor pengungkit ini kemudian dianalisis untuk menentukan faktor kunci keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman menggunakan metode prospektif. Faktor kunci hasil analisis prospektif ini akan memberikan pengaruh yang tinggi terhadap pencapaian tujuan pengembangan kawasan permukiman. Dalam kerangka pengembangan kawasan permukiman, kebutuhan yang didasarkan atas preferensi stakeholders dalam pengembangan kawasan permukiman di masa mendatang perlu diperhatikan dalam penyusunan kebijakan pengembangan kawasan permukiman. Dengan menggunakan metode analisis prospektif dirumuskan faktor-faktor pemenuhan kebutuhan stakeholders serta faktor dominan atau faktor kunci yang akan memberikan pengaruh besar terhadap pencapaian tujuan sistem pengembangan kawasan permukiman. Penggabungan antara faktor kunci keberhasilan pengembangan kawasan permukiman dengan faktor kunci pemenuhan kebutuhan stakeholders merupakan gambaran faktor kunci pengembangan kawasan permukiman berdasarkan kondisi masa lalu dan kebutuhan masa depan. Untuk menemukan faktor kunci utama pengembangan kawasan dalam rangka menemukan skenario pengembangan kawasan dilakukan dengan analisis prospektif. Skenario ini merupakan gambaran alternatif kondisi masa depan dari setiap faktor kunci utama. Penyusunan skenario pengembangan kawasan permukiman melibatkan semua pihak terutama stakeholders utama dan pakar. Kemudian dilakukan pembobotan terhadap setiap skenario sehingga diperoleh urutan prioritas skenario. Skenario optimal yang dihasilkan merupakan gambaran masa depan yang akan diwujudkan oleh sistem pengembangan kawasan permukiman. Skenario terpilih kemudian disimulasikan untuk menilai prospek keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman di masa mendatang dengan menggunakan analisis MDS. Hasil simulasi ini memberikan informasi bahwa faktor kunci yang diperoleh dapat memberikan kondisi keberlanjutan pengembangan kawasan yang lebih baik. Intervensi yang dapat memberikan kinerja paling optimal dalam mencapai tujuan sistem merupakan rekomendasi arahan kebijakan yang dapat disarankan untuk diadopsi oleh semua pihak yang berkepentingan dalam sistem untuk diimplementasikan dengan memperhatikan kemampuan sumberdaya yang dimiliki oleh sistem tersebut. Hasil ini merupakan masukan untuk pelaksanaan kebijakan yang saat ini telah ditetapkan dalam kebijakan pengembangan kawasan permukiman di Cisauk. Masukan-masukan kebijakan pengembangan kawasan merupakan gambaran hal-hal mendasar yang terjadi dan yang perlu diperhatikan dalam penyusunan arahan kebijakan. Secara skematis, masukan dan tahapan dalam penyusunan arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman dapat dilihat pada Tabel 32 dan Gambar 38. Tabel 32 Masukan arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman NO FAKTOR ISU dan PERMASALAHAN ASPEK-ASPEK ARAHAN KEBIJAKAN 1 Alih fungsi lahan pertanian produktif - Demand kawasan permukiman meningkat - Disinsentif perpajakan untuk lahan non pertanian, perijinan prinsip, lokasi, IMB,dll, - Perlindungan pemanfaatan ruang: lahan pertanian produktif, RTH - Insentif lahan pertanian: benih, pupuk, teknologi, peralatan - Margin pertanian lebih kecil dibanding sektor lain - Insentif peningkatan land rent, pendampingan inovasi pertanian perkotaan urban farming - Transportasi berupa dukungan infrastruktur - Disinsentif AMDAL, perpajakan 2 Sarana dan prasarana dasar - Keseimbangan demand – supply - Disinsentif dengan AMDAL - Kondisi prasarana yang kurang sinkron, rusak - Koordinasi dan program sinkronisasi. Disinsentif kepada pelaku penyebab kerusakan, seperti retribusi, tidak ada ijin baru atau perluasan penambangan pasir 3 Kohesi sosial - Potensi konflik penduduk asli umumnya pertanian, informal dengan pendatang jasa, formal - Mengurangi potensi konflik: penciptaan lap pekerjaan, pemberdayaan masyarakat, event-event kebersamaan 4 Kondisi Sub DAS Cisadane - Kondisi dan fungsi air baku, media limbah, pengendalian banjir DAS cenderung menurun - Insentif penanaman pohon, sumur resapan - Disinsentif terhadap limbah domestik dan industri - Perencanaan terpadu dari hulu sampai hilir 5 Perkembangan penduduk dan penyebarannya - Jumlah penduduk meningkat - Disinsentif perijinan yang ketat - Penyebaran tidak merata - Insentif dengan program pengembangan prasarana, disinsentif perpajakan Kawasan permukiman di Cisauk sejak ditetapkan adanya Kawasan Siap Bangun Kasiba pada tahun 2006 sampai dengan tahun 2010, kondisinya secara keseluruhan tidak banyak berbeda. Kondisi prasarana seperti jalan akses regional masih dalam keadaan rusak parah dengan udara yang berdebu karena dilewati truk-truk pengangkut pasir dan batu. Prasarana lingkungan antar kawasan permukiman seperti drainase penyalur genangan, jalan akses lingkungan masih belum terjadi sinkronisasi. Pengelolaan persampahan masih belum dilakukan dengan manajemen yang baik. DAS dan sungai Cisadane berada dalam kondisi yang cukup kritis akibat aktifitas domestik dan industri. Perkembangan kawasan tidak merata dari desa-desa di Cisauk dan penambangan pasir dilakukan secara kurang memperhatikan keberlanjutan lingkungan. Gambar 38 Tahapan penyusunan arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman Kelembagaan - Pemerintah - Swasta - Masyarakat - Akademisi Kebijakan Pengembangan Kawasan Permukiman -UU No.12011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman -UU No.26 2007 tentang Penataan Ruang -UU No.322004 tentang Pemerintahan Daerah -UU No. 32 2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup -UU No.72004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air -UU No.41 2009 Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan -UU No.51960 tentang Peraturan Pokok Agraria -UU No.382004 tentang Jalan -UU No.182008 tentang Pengelolaan Sampah Status Kebelanjutan Kawasan Permukiman Kawasan Ekologi Sosial Ekonomi 55.93 45.35 57.61 64.82 Prospektif Faktor Pengungkit Keberlanjutan 5 faktor Faktor-faktor Paling Berpengaruh: Alih fungsi lahan, pengembangan sarana dan prasarana, kohesi sosial, perkembangan penduduk, dan kondisi sub DAS Cisadane Arahan Kebijakan Terwujudnya kawasan permukiman yang lebih berkelanjutan melalui skenario moderat Dinamika dan sistem metropolitan DKI Jakarta Sistem Sub DAS Cisadane Simulasi Skenario Pengembangan Kawasan Ekologi Sosial Ekonomi 61.31 57.07 58.96 67.91 Anggaran - APBND - Investasi swasta,CSR - Partisipasi masyarakat Analisis terhadap keberlanjutan kawasan permukiman secara multi dimensi menunjukkan bahwa saat ini kondisinya cukup berkelanjutan. Analisis untuk masing-masing dimensi menunjukkan bahwa untuk dimensi sosial dan ekonomi kondisinya cukup berkelanjutan tetapi dari dimensi ekologi tergolong kurang berkelanjutan. Untuk itu, arahan kebijakan perlu lebih memperhatikan peningkatan keberlanjutan dimensi ekologi tersebut. Faktor-faktor paling berpengaruh terhadap keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman di Cisauk saat ini adalah tingkat alih fungsi lahan, ketersediaan sarana dan prasarana dasar, kohesi sosial, dan perkembangan penduduk. Faktor sub DAS Cisadane merupakan faktor dengan pengaruh yang kuat walaupun mempunyai ketergantungan yang tinggi. Implikasi dari hal ini adalah bahwa sub DAS Cisadane merupakan faktor yang kritis yang menentukan keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk. Skenario pengembangan kawasan permukiman yang terpilih adalah skenario moderat. Berdasarkan hasil tersebut arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman di Cisauk dilakukan menurut skenario moderat yang secara operasional kebijakan ini dilaksanakan dengan mengendalikan alih fungsi lahan yang optimal, menyediakan sarana dan prasarana dasar yang memadai, menjaga kohesi sosial yang kondusif, menjaga kondisi Sub DAS Cisadane, mengendalikan perkembangan penduduk dan penyebarannya. Guna mewujudkan kondisi tersebut maka kebijakan pengembangan kawasan permukiman di Cisauk dilakukan melalui tahapan pencapaian kondisi setiap faktor paling berpengaruh. Isu, permasalahan, dan arahan kebijakan untuk masing-masing faktor yang paling berpengaruh tersebut diuraikan sebagai berikut: 1. Alih fungsi lahan pertanian produktif Alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian merupakan salah satu isu mendasar di kawasan permukiman di Cisauk. Peralihan fungsi lahan pertanian ini cukup besar kemungkinannya sebagaimana dikemukakan oleh Irawan 2005 bahwa konversi lahan lebih besar terjadi pada lahan sawah dibandingkan dengan lahan kering karena dipengaruhi oleh tiga faktor, pertama, pembangunan kegiatan non pertanian seperti permukiman dan industri lebih mudah dilakukan pada tanah sawah yang lebih datar dibandingkan dengan lahan kering. Kedua, akibat pembangunan masa lalu yang terfokus pada upaya peningkatan produk padi maka infrastruktur ekonomi lebih tersedia di daerah persawahan daripada daerah tanah kering. Ketiga, daerah persawahan secara umum lebih mendekati daerah konsumen atau daerah perkotaan yang relatif padat penduduk dibandingkan daerah tanah kering yanag sebagian besar terdapat di wilayah perbukitan atau pegunungan. Sebagai konsekuensi dari pertambahan penduduk dan pembangunan ekonomi, maka perubahan alokasi sumber daya, khususnya sumber daya lahan sulit dihindari Memperhatikan alih fungsi lahan yang terjadi dan mempertimbangkan kondisi sebagian besar masyarakat yang mata pencahariannya sebagai petani dengan taraf kehidupan yang masih rendah, maka perlu dilakukan perlindungan dan keberpihakan terhadap petani yang termarjinalkan oleh sistem kebijakan publik yang ada. Hal ini dilakukan antara lain dengan jalan memberikan insentif untuk meningkatkan land rent pertanian, seperti subsidi input, stimulan prasarana, dan pendampingan. Land rent adalah penerimaan bersih yang diterima dari sumber daya lahan atau dengan kata lain sebagai hasil bersih output dikurangi dengan biaya input dan pajak lahan. Kebijakan insentif ini diharapkan dapat menekan biaya produksi sehingga petani mendapatkan margin yang mencukupi untuk menunjang kehidupan dan pada akhirnya tidak gampang melepas lahannya untuk pemanfaatan non pertanian. Mengingat perkembangan pemanfaatan lahan untuk kegiatan non pertanian yang kurang terkendali ini dapat memberikan dampak negatif ke masyarakat petani dan lingkungan, seperti berkurangnya lapangan pekerjaan, terancamnya kemandirian pangan, dan keberlanjutan sub DAS Cisadane, maka kegiatan alih fungsi lahan ini perlu dikendalikan dan dibatasi dengan pengenaan disinsentif. Lahan merupakan faktor yang penting dalam pengembangan kawasan permukiman. Ketersediaan lahan di kedua kecamatan tersebut masih mencukupi untuk pengembangan kawasan permukiman kedepan dilihat dari ruang terbuka yang masih tersedia yang luasnya lebih dari 50 persen dari total luas wilayah. Yang perlu diperhatikan adalah jenis lahan yang akan dimanfaatkan dan kesesuaian peruntukan yang ditetapkan didalam rencana tata ruang. Pola pengembangan lahan tidak semata-mata mengikuti pola jaringan prasarana yang ada akan tetapi seyogyanya juga memperhatikan struktur, efisiensi dan keseimbangan perkembangan kawasan. Jangan sampai suatu kawasan berkembang pesat tetapi kawasan yang lain masih belum berkembang. Pemanfaatan lain yang perlu diperhatikan adalah pemanfaatan lahan untuk bahan galian C berupa material pasir di beberapa tempat di Cisauk. Material ini dibutuhkan untuk pengembangan kawasan permukiman di Cisauk maupun daerah sekitarnya. Sayangnya pelaksanaan penambangan pasir ini dilakukan dengan kurang memperhatikan keberlanjutan lingkungan misalnya penambangan dilakukan dengan alat berat dan bekas penambangan dibiarkan begitu saja berupa situ yang dalam tanpa dilakukan reklamasi atau revegetasi. Sementara jalan-jalan yang dilewati truk-truk pengangkut pasir tersebut menjadi rusak parah dan berdebu. Kebijakan pemerintah daerah yang tidak mengeluarkan ijin penambangan baru dinilai sudah tepat. Selanjutnya yang perlu dicari pemecahannya adalah bagaimana menciptakan mekanisme insentif dan disinsentif yang tepat bagi pihak-pihak yang memanfaatkan jalan-jalan tersebut yang mengakibatkan kerusakan jalan tersebut dan jalan keluar terhadap lahan bekas galian pasir yang ditinggalkan begitu saja. Pemanfaatan lahan yang juga perlu mendapatkan perhatian adalah pemanfaatan lahan untuk siapa. Jika pemanfaatan tersebut diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar, maka aspek ekonomi dalam hal ini faktor permintaan demand dan pasokan supply akan mendominasi perkembangan tersebut. Kemungkinan lahan tersebut akan dikembangkan untuk kawasan permukiman untuk golongan masyarakat menengah atas yang mampu menyerap pasar sementara masyarakat golongan menengah kebawah akan semakin termarjinalkan jika tidak ada intervensi pemerintah. Kemungkinan lain adalah pemanfaatan lahan untuk industri manufaktur atau perdagangan. Mengacu pada skenario moderat, maka kegiatan pemanfaatan lahan ini masih akan berlangsung akan tetapi lebih terkendali. Arahan kebijakan yang seyogyanya dilakukan adalah pengembangan kawasan permukiman kedepan tidak dilakukan di area pertanian produktif, sempadan sungai, jaringan rel KA, dan jaringan transmisi listrik tegangan tinggi. Agar lahan pertanian tidak mudah dialih fungsikan, perlu diberikan insentif untuk menaikkan land rent pertanian antara lain dengan subsidi input seperti pengenaan pajak yang lebih ringan terhadap lahan pertanian, bantuan benih, pupuk, peralatan, teknologi, kegiatan pendampingan termasuk kemungkinan adaptasi dari pertanian perdesaan ke pertanian perkotaan urban farming sesuai dengan permintaan pasar terdekat misalnya BSD. Untuk lahan-lahan non pertanian perlu dikenakan kebijakan disinsentif, antara lain dengan pengenaan pajak yang lebih tinggi, biaya perijinan yang maksimal, persyaratan penyediaan ruang terbuka yang maksimal 30 oleh swasta. Untuk meningkatkan ketersediaan lahan permukiman, pemerintah daerah perlu membebaskan lahan-lahan bekas galian pasir milik swasta untuk kemudian dilakukan reklamasi dan penataan lain sesuai dengan perencanaan. 2. Pengembangan prasarana dan sarana dasar Faktor pengembangan prasarana dan sarana dasar merupakan faktor penting yang akan mempengaruhi perkembangan kawasan permukiman di Cisauk. Prasarana dan sarana dasar di Cisauk tersebut adalah jalan tol, jalan akses, jaringan kereta api, jaringan listrik, jaringan telpon, jaringan air minum, drainase, persampahan, ruang terbuka hijau, fasos dan fasum. Dengan dibukanya jalan tol ruas Jakarta–Serpong pada tahun 2005 maka perkembangan kawasan permukiman di Serpong dan sekitarnya menjadi pesat terlihat dengan adanya pengembangan kawasan permukiman skala besar seperti kota mandiri BSD, Citra Raya, Alam Sutera, dan lain-lain. Rencananya jalan Tol tersebut akan dilanjutkan pembangunannya untuk ruas Serpong–Balaraja melewati Cisauk bagian utara dan selanjutnya menuju ke Bandara International Soekarno-Hatta. Hal ini akan meningkatkan aksesibilitas arus orang dan barang dan diperkirakan akan menambah kecepatan perkembangan kawasan permukiman di Cisauk dan di sekitarnya. Yang perlu diantisipasi antara lain terjadinya konsentrasi atau bottle neck lalu lintas yang akan menyebabkan kemacetan dan akan mengakibatkan inefisiensi dan kerugian lain. Jalan arteri di Cisauk saat sekarang sepanjang kurang lebih 18 km, dirasa masih belum mencukupi kebutuhan. Saat sekarang kondisi jalan arteri utama berada dalam keadaan rusak parah dan berdebu akibat sering dilewati truk-truk yang mengangkut pasir. Jaringan jalan tersebut lebih banyak terkonsentrasi di jalur Serpong–Rumpin Bogor dan sekitarnya sementara di kawasan yang agak jauh dari jalan utama tersebut ketersediaan dan kondisi jalan masih belum memadai. Sudah ada rencana pengembangan jalan berdasarkan Rencana Rinci Kasiba di desa Suradita dan sebagian Dangdang termasuk jaringan jalannya tetapi hal ini belum mencakup daerah Cisauk yang lain dan implementasinya perlu dimonitor agar sesuai dengan rencana yang telah disusun. Perhatian juga perlu dilakukan terhadap sinkronisasi jalan-jalan termasuk salurannya antar cluster permukiman. Kawasan Cisauk dilewati sungai Cisadane yang membagi kawasan sebelah timur dan sebelah barat sungai Cisadane. Terdapat perbedaan perkembangan permukiman dimana kawasan sebelah timur berkembang pesat sementara kawasan sebelah barat kurang berkembang. Pada tahun 2009 telah dibangun jembatan yang cukup lebar berikut jalan aksesnya yang menghubungkan desa Suradita dan desa Muncul sehingga diperkirakan perkembangan kawasan di sekitar jalan tersebut dan kawasan sebelah barat sungai Cisadane akan berkembang lebih cepat. Dengan berkembangnya kawasan tersebut perlu diantisipasi dampak yang kemungkinan terjadi seperti meningkatnya volume dan konsentrasi lalu lintas yang dapat menyebabkan kemacetan. Kereta api merupakan salah satu moda transportasi andalan masyarakat Cisauk untuk ke Jakarta dan sebaliknya. Pada saat sekarang sarana tersebut sudah mempunyai jaringan rel ganda akan tetapi intensitas perjalanan masih terbatas dan gerbong yang ada masih kurang representatif. Demikian juga kondisi sarana stasiun kereta api di Cisauk masih kurang representatif dengan kapasitas dan sarana pendukung yang terbatas. Prasarana dan sarana lain yang penting adalah air minum, drainase, pengelolaan persampahan, terminal, pasar, sarana budaya dan olah raga. Saat sekarang masyarakat di Cisauk umumnya memanfaatkan air tanah untuk keperluan air bersih dan beli air mineral untuk air minum. PDAM kabupaten Tangerang mempunyai sarana intake pengambilan air baku Sungai Cisadane di Cisauk akan tetapi belum berproduksi melayani masyarakat Cisauk. Berdasakan baku mutu menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, kondisi air tanah di kawasan permukiman di Cisauk lihat Lampiran 1 memperlihatkan bahwa BOD dan COD yang berada di perumahan, pertokoan dan industri semuanya sudah berada di bawah ambang batas nilai yang dipersyaratkan, sedangkan parameter lainnya yakni nitrat-NO 3 -N, total fosfat PO 4 -P, kadmium-Cd, deterjen, timah hitam-Pb, air raksa Hg, arsen-As dan fenol yang ada dalam perairan sekitar lokasi penelitian semuanya berada di bawah baku mutu yang ditetapkan. Sudah terdapat sarana pemilahan dan pengolahan persampahan di desa Cisauk yang menghasilkan barang untuk dipakai lagi reuse dan diolah lagi recycle serta menghasilkan pupuk organik. Akan tetapi kapasitas fasilitas ini masih terbatas sehingga belum bisa melayani seluruh wilayah Cisauk. Jadi masih diperlukan tempat pembuangan akhir yang masih terkendala dengan penyediaan lokasi. Prasarana lain yang diperlukan di Cisauk adalah terminal dan pasar. Sementara ini untuk kedua prasarana itu masih bergabung dengan yang ada di Serpong, sehingga apabila masyarakat di Cisauk mau belanja kebutuhan sehari- hari harus menempuh jarak yang relatif cukup jauh. Agar lebih efisien dan mendukung perkembangan kawasan perlu dibangun terminal dan pasar di wilayah Cisauk. Pada saat sekarang di Cisauk masih belum tersedia prasarana sosial budaya seperti stadion atau lapangan olah raga dan gedung pertemuan. Kedua prasarana tersebut diperlukan untuk mendukung aktifitas warga disamping juga untuk meningkatkan kesehatan dan komunikasi antar warga. Dari uraian-uraian isu dan permasalahan prasarana dan sarana diatas, arahan kebijakan yang perlu ditempuh oleh pemerintah daerah adalah membatasi kegiatan penambangan pasir dan memfasilitasi perbaikan lahan bekas penambangannya, memperbaiki kondisi jalan-jalan yang rusak, mengarahkan pengembangan jalan baru atau peningkatan kualitas ke daerah-daerah yang masih belum berkembang seperti di desa Dangdang dan Mekarsari, sinkronisasi prasarana lingkungan antar cluster perumahan, peningkatan kapasitas pengolahan sampah yang ada dan atau penyediaan tempat pembuangan akhir persampahan, koordinasi dengan PDAM Kabupaten Tangerang peningkatan pelayanan air minum, koordinasi dengan PT. KAI untuk peningkatan pelayanan jasa kereta api, membangun koneksi antar moda, mengupayakan pembangunan lapangan olah raga, gedung pertemuan, pasar dan terminal kendaraan angkutan umum. 3. Kohesi sosial Perkembangan kawasan permukiman yang cukup pesat di Cisauk menyebabkan banyaknya penduduk dari daerah lain yang pindah dan bermukim di Cisauk. Meskipun tidak terekspose, di Cisauk terdapat golongan penduduk asli lahir atau turun temurun di Cisauk dan penduduk pendatang. Kedua golongan ini mempunyai karakteristik yang cukup berbeda. Penduduk asli pada umumnya mata pencahariannya bertani dan sektor informal dengan kondisi sosial ekonominya terbatas, sedangkan penduduk pendatang kebanyakan bergerak di sektor sektor formal dan non pertanian seperti jasa, perdagangan, atau industri dengan keadaan sosial-ekonominya lebih baik. Kondisi toleransi di Cisauk cukup baik sehingga sampai sekarang tidak pernah terjadi konflik antar kedua golongan penduduk tersebut. Untuk dapat mempertahankan kondisi yang cukup baik ini, perlu diketahui potensi konflik yang sehingga bisa diambil langkah-langkah yang tepat. Dari pengamatan, potensi konflik tersebut antara lain terputusnya koneksi sistem prasarana yang merugikan kluster atau kampung tertentu, perbedaan nilai dan norma dalam gaya hidup sehari-hari antara penduduk asli dengan pendatang, dan kemiskinan dan pengangguran. Potensi konflik juga dapat berasal dari sisi lokal dan eksternal. Dari sisi lokal, potensi konflik dapat muncul antara kawasan kampung penduduk asli, kawasan kumuh buruh, dan permukiman formal menengah, sementara dari sisi eksternal bisa berasal dari kota mandiri BSD seperti kehilangan identitas, marginalisasi pelayanan, dan lain-lain. Kejadian kriminalitas juga relatif jarang terjadi di Cisauk. Namun sikap hati- hati dan terus waspada harus tetap dijaga agar tidak terjadi keadaan yang tidak diinginkan. Keamanan merupakan aspek yang sering ditawarkan oleh pengembang kawasan permukiman antara lain dengan sistem cluster. Namun perlu diusahakan adalah tercipta keamanan namun masih terjadi komunikasi yang intensif diantara masyarakat tersebut sehingga kriminalitas dapat dieliminir. Pemberdayaan masyarakat juga merupakan faktor yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan kawasan permukiman. Pemberdayaan masyarakat diharapkan dapat menekan angka kemiskinan. Penduduk yang miskin berpotensi sebagai pelaku kerusakan lingkungan. Sebagai contoh, rusaknya hutan karena pohon-pohonnya ditebangi oleh warga untuk dijadikan kayu bakar dan lahan pertanian. Oleh karena itu, untuk kawasan-kawasan yang proporsi penduduk miskinnya besar perlu diwaspadai karena berpotensi merusak lingkungan. Tingginya rumah tangga yang tergolong miskin disebabkan sebagian masyarakatnya hanya mengandalkan penghasilannya dari pertanian subsisten atau sebagai buruh kasar. Faktor lain yang dapat mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian dari aspek sosial adalah pengaruh gaya hidup metropolitan. Adanya masyarakat pendatang dari masyarakat perkotaan dengan gaya hidup modern yang cenderung konsumtif, maka hal ini akan mempengaruhi gaya hidup penduduk asli yang belum tentu sesuai dengan budaya setempat. Adanya keinginan untuk memiliki barang elektronik, misalnya, mengakibatkan si petani akan melepas aset miliknya termasuk lahan yang luasnya tidak seberapa. Masyarakat yang dulunya hidup bertani tidak lagi memiliki tanah sehingga menjadi buruh tani atau berganti mata pencaharian. Si petani masih bisa bertahan terhadap godaan barang-barang konsumtif tersebut, akan tetapi bagaimana dengan anak-anaknya. Anak-anak muda dengan ketrampilan yang kurang memadai tergiring bekerja di pabrik- pabrik dengan pendapatan yang minim. Komplek perumahan terbentang di sekeliling kampung. Perubahan-perubahan ini membawa dampak yang tidak sederhana terhadap kultur dan psikologi masyarakat. Berada di tengah kemegahan kawasan permukiman akan menyebabkan warga pada umumnya akan diliputi perasaan inferioritas. Identitas diri dan budaya mereka dari hari kehari semakin tidak jelas. Arahan kebijakan untuk aspek sosial adalah perlunya peningkatan kegiatan sosialisasi dan komunikasi, kesehatan, jenjang pendidikan, penciptaan lapangan pekerjaan, pemberdayaan masyarakat, penyediaan prasarana yang secara seimbang dapat menjangkau kawasan permukiman yang ada dan sinkronisasi prasarana lingkungan antar kluster perumahan. 4. Perkembangan penduduk Pertumbuhan penduduk akan menyebabkan meningkatnya kebutuhan prasarana dan sarana. Kekurangan ketersediaan prasarana dan sarana akan menyebabkan menurunnya kualitas kehidupan. Sementara itu, terjadinya konsentrasi penduduk akan meningkatkan volume lalu lintas yang jika tidak diantisipasi dengan baik berpotensi menimbulkan kemacetan lalulintas. Perlu dilakukan pengendalian perkembangan penduduk dan pengaturan penyebarannya secara berimbang. Dengan berkembangnya kawasan permukiman di Cisauk akan mengakibatkan pertambahan penduduk baik karena pertumbuhan alami maupun urbanisasi. Penduduk pendatang umumnya bekerja di sektor non pertanian dengan kondisi sosial ekonomi yang relatif lebih baik. Hal ini akan dapat menyebabkan terbentuknya komunitas dan budaya baru yang belum tentu cocok dengan budaya lokal. Selama ini memang tidak terjadi masalah kerawanan sosial. Namun perlu terus dimonitor dan diusahakan agar kedepan jika perkembangan sudah semakin meningkat kohesi sosial tetap bisa dipertahankan. Dalam ekosistem DAS, faktor penduduk merupakan bagian yang sangat penting. Salah satu aspek kependudukan yang perlu diperhatikan adalah mengenai jumlah penduduk. Jumlah penduduk disuatu daerah mempunyai pengaruh terhadap potensi kerusakan lingkungan termasuk kelestarian sumberdaya lahan. Asumsinya adalah bahwa suatu daerah yang mempunyai jumlah penduduk banyak cenderung akan mempunyai resiko terjadinya kerusakan lingkungan dibandingkan dengan daerah yang mempunyai jumlah penduduk sedikit. Hal ini disebabkan intensitas pemanfaatan lahan dan air akan lebih tinggi untuk daerah yang penduduknya lebih banyak. Kepadatan penduduk merupakan cerminan dari besarnya tekanan penduduk terhadap lahan. Semakin tinggi kepadatan penduduk semakin besar pula tekanan penduduk terhadap lahan. Perkembangan penduduk di kecamatan Cisauk yang rata-rata sebesar 4.13 per tahun menunjukkan pertumbuhan yang pesat. Namun perkembangan tersebut terkonsentrasi di 3 desa yaitu Suradita, Cisauk, dan Cibogo dengan pola searah dengan jalan raya Cisauk. Hal ini akan menambah kepadatan penduduk di kawasan tersebut yang akan meningkatkan aliran permukaan run-off, sedimentasi, timbulan sampah dan tekanan terhadap lahan. Sementara itu, di kawasan tersebut juga terdapat beberapa industri seperti kulit, kain, kertas, dan logam yang mempunyai potensi resiko kerusakan lingkungan lebih besar apabila limbahnya tidak diolah dengan benar. Oleh karena itu, wilayah-wilayah tersebut perlu diwaspadai dan dikendalikan. Arahan kebijakan yang seyogyanya dilakukan oleh pemerintah adalah mengendalikan perkembangan penduduk dan mengatur penyebarannya agar terjadi keseimbangan perkembangan kawasan sesuai potensi yang ada dengan tetap memperhatikan daya dukung lingkungannya. 5. Kondisi Sub DAS Cisadane Faktor sub DAS Cisadane merupakan faktor yang mempunyai pengaruh yang kuat walaupun mempunyai ketergantungan yang tinggi. Implikasi dari hal ini adalah bahwa sub DAS Cisadane merupakan faktor kritis yang menentukan keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk. Untuk itu perlu diidentifikasi kondisi, permasalahan dan hal-hal terkait sub DAS Cisadane yang dapat mempengaruhi keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk dan sebaliknya. Kawasan Sub DAS Cisadane dengan beberapa anak sungainya merupakan kawasan dengan fungsi utama untuk konservasi air dan tanah. Dengan daerah tangkapan seluas 1,500 km2, sungai Cisadane merupakan salah satu sungai utama di Propinsi Banten dan Jawa Barat. Fluktuasi aliran Sungai Cisadane sangat bergantung pada curah hujan di daerah tangkapannya catchment area. Aliran yang tinggi terjadi saat musim hujan dan menurun saat musim kemarau. Debit normal Sungai Cisadane adalah 70 m3detik. Sub DAS Cisadane dengan luas 140,046 ha wilayahnya meliputi Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang dan merupakan DAS dengan wilayah terluas di Jabodetabek. Bagian hulu berada di Gunung Salak – Pangrango Kabupaten Bogor dan mengalir ke Laut Jawa. Panjang sungai ini sekitar 80 km. Berdasarkan topografinya, bagian hulu Sub DAS Cisadane merupakan daerah berbukit dengan ketinggian mencapai 3,000 m dpl dan kemiringan lereng mencapai 40. Bagian hilir sampai bagian tengah merupakan daerah datar hingga bergelombang. Di bagian tengah yang wilayahnya meliputi Kota Bogor, Rumpin, Serpong, dan Cisauk terdapat lahan terbangun tersebar merata. Kurang lebih 17.7 dari total luas DAS ini adalah lahan terbangun termasuk ± 15.45 pemukiman. Memperhatikan kondisi tersebut, konsep perencanaan dan pengelolaan kawasan Cisauk yang masuk kedalam DAS Sungai Cisadane wilayah tengah harus menyeluruh dan terpadu serta berwawasan lingkungan. Pengelolaan DAS Sungai Cisadane seperti halnya sungai-sungai yang lain saat ini terkendala sulitnya koordinasi dalam mengelola DAS tersebut. Pengelolaan DAS dilakukan oleh beberapa instansi antara lain Kementerian Kehutanan, Pemerintah KabupatenKota, Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum, sehingga walaupun sering dikemukakan bahwa pengelolaan DAS harus berdasarkan prinsip one river, one plan, one management tetapi pada kenyataannya koordinasi tersebut sangat sulit dilakukan. Hal lain adalah diberlakukannya UU No.32 tahun 2004 tentang otonomi daerah secara penuh. Dikhawatirkan karena alasan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah PAD dan pendapatan dari sumber daya alam maka akan terjadi eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran tanpa memperhatikan keseimbangan dan daya dukung lingkungan. Kerusakan lingkungan tidak hanya terjadi dimana sumberdaya tersebut dieksploitasi namun juga akan berimbas ke daerah lain, contohnya penebangan hutan akan dapat menyebabkan tanah longsor dan banjir. Aspek Sub DAS Cisadane yang terkait dengan air adalah menyangkut kualitas dan kuantitas. Masalah pencemaran terkait dengan kualitas air sedangkan banjir, kekeringan terkait dengan kuantitas air. Sumber pencemaran Sungai Cisadane berasal dari berbagai limbah rumah tangga, limbah pertanian terutama limbah pestisida dan limbah organik dan sisa pupuk kimia. Semua jenis limbah tersebut menyebabkan pencemaran air sungai yang mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas air sungai. Hubungan permukiman di Cisauk dengan sungai Cisadane cukup signifikan. Kawasan permukiman menggunakan sungai Cisadane sebagai tempat penyaluran sebagian drainase, air limbah, dan sampah. Disamping itu permukiman mengambil air baku, penambangan pasir dari sungai Cisadane. Sampai dengan tahun 2010, kawasan permukiman di Cisauk belum pernah mengalami banjir karena topografi lahan yang cukup tinggi dan banyak kawasan resapan air berupa sawah dan situ-situ bekas penggalian pasir. Menurut pengamatan, yang perlu mendapatkan perhatian adalah limbah yang dibuang ke sungai baik domestik maupun industri harus sesuai dengan ketentuan. Untuk mengurangi aliran permukaan run-off termasuk kandungan sedimentasinya, perlu dilakukan perbaikan drainase yang masih alami dan pembuatan sumur-sumur resapan terutama di kawasan permukiman yang padat. Monitoring dan sosialisasi ke masyarakat dan aparat terkait perlu lebih diintensifkan. Dalam RTRW Kabupaten Tangerang disebutkan bahwa sub DAS Cisadane merupakan sumber air baku bagi Kabupaten Tangerang dan KotaKabupaten disekitarnya, sebagai media buangan air limbah, dan sistem drainase dan penanganan banjir di Kabupaten Tangerang dan sekitarnya sehingga DAS ini perlu diprioritaskan dalam pembangunannya. Dari berbagai permasalahan dan pertimbangan diatas, maka arahan kebijakan yang seyogyanya dilakukan oleh pemegang otoritas kebijakan terkait sub DAS Cisadane adalah: 1 pemberian insentif terhadap kegitan-kegiatan untuk mengurangi volume aliran permukaan yang mengandung sedimentasi seperti penerapan tindakan konservasi tanah, perbaikan drainase, penanaman pohon, pembuatan sumur resapan, dan mempertahankan hutan yang ada, 2 pengenaan disinsentif terhadap kegiatan-kegiatan domestik dan industri yang mencemari air sungai Cisadane. Sesuai dengan perjalanan waktu, perkembangan pembangunan tidak selamanya berjalan linier seperti yang direncanakan. Dinamika masyarakat, perubahan kebijakan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan berbagai faktor lain seringkali menuntut adanya penyesuaian-penyesuaian dan perubahan, Perencanaan membutuhkan pemantauan dan evaluasi sehingga mampu menjawab perubahan-perubahan yang terjadi. Oleh sebab itu kaji ulang atau revisi perencanaan diperlukan yang dimaksudkan untuk menguji kembali kesahihan data, informasi, serta asumsi-asumsi yang mendasari penyusunan perencanaan. Sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tangerang yang disusun dengan perspektif ke masa depan untuk jangka waktu 10 tahun, maka arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman ini juga perlu ditinjau kembali secara periodik maksimal dalam jangka waktu 10 tahun. Tabel 33 menunjukkan pengaruh dari faktor-faktor pengungkit terhadap keberlanjutan kawasan permukiman dilihat dalam dimensi ekologi, sosial, dan ekonomi yang ditunjukkan oleh atribut masing-masing dimensi yang terpengaruh maupun yang tidak terpengaruh oleh arahan kebijakan dari masing-masing faktor pengungkit tersebut. Tabel 33 Pengaruh faktor pengungkit terhadap keberlanjutan kawasan Dimensi Faktor Dimensi Ekologi Dimensi Sosial Dimensi Ekonomi Alih fungsi lahan - Meningkatnya keberlanjutan sub DAS Cisadane - Meningkatnya ketersediaan RTH - Terkendalinya alih fungsi lahan pertanian - Meningkatnya pemberdayaan masyarakat - Meningkatnya pendidikan penghuni - Meningkatnya keuntungan petani - Meningkatnya kesejahteraan masyarakat - Terserapnya tenaga kerja Prasarana dan sarana - Terkendalinya keg. penambangan pasir - Tercukupi dan terpeliharanya prasarana dan sarana - Meningkatnya pemberdayaan masyarakat - Meningkatnya kohesi sosial - Tercukupi dan terpeliharanya sarana lingkungan - Meningkatnya nilai ekonomi rumah dan lahan - Meningkatnya kesejahteraan masyarakat Kohesi sosial - - Meningkatnya kohesi sosial dan pemberdayaan masyarakat - Menurunnya potensi konflik, kriminalitas - Perkembangan penduduk - Terkendalinya alih fungsi lahan - Terjaganya kohesi sosial - Berkembangnya kawasan secara berimbang Sub DAS Cisadane - Meningkatnya keberlanjutan sub DAS Cisadane - Terjaganya lahan-lahan bervegetasi - Terkendalinya banjir - - VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukkan perkembangan kawasan permukiman di Cisauk, provinsi Banten cukup berkelanjutan namun belum sepenuhnya memperhatikan aspek kelestarian lingkungan. Selengkapnya kesimpulan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Dinamika perkembangan kawasan permukiman di metropolitan DKI Jakarta periode 1990-2010 diawali dengan peningkatan jumlah kawasan yang lambat pada kurun 1990-2000, kemudian terjadi perkembangan yang sangat pesat pada periode 2000-2005, dan selanjutnya perkembangannya menurun pada periode 2005-2010. Sejalan dengan peningkatan jumlah kawasan permukiman karena urbanisasi, investasi swasta dan bangkitan aktivitas dengan memanfaatkan infrastruktur yang ada, sistem metropolitan DKI Jakarta, dilihat dari hirarki dan jaringan kota, berkembang dan pada pengamatan tahun 2010 terdapat PKW Pusat Kegiatan Wilayah baru yaitu kota mandiri Bumi Serpong Damai BSD. 2. Tingkat keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk saat ini secara multi dimensi menunjukkan kondisi yang cukup berkelanjutan dengan nilai 55.93. Demikian juga kondisi keberlanjutan kawasan untuk dimensi sosial dengan nilai 57.61 dan dimensi ekonomi dengan nilai 64.82 tergolong cukup berkelanjutan. Namun dimensi ekologi kurang berkelanjutan dengan nilai 45.35. Faktor-faktor pengungkit untuk masing-masing dimensi berturut- turut untuk dimensi ekologi adalah drainase, penambangan pasir, alih fungsi lahan pertanian produktif, dan kondisi sub DAS Cisadane. Untuk dimensi ekonomi adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat, nilai ekonomi lahan, dan perkembangan sarana ekonomi. Untuk dimensi sosial adalah tingkat pendidikan penghuni, kohesi sosial, perkembangan penduduk, dan pemberdayaan masyarakat. 3. Faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman di Cisauk dimasa mendatang adalah alih guna lahan pertanian, pengembangan prasarana dan sarana dasar, kohesi sosial, dan perkembangan penduduk serta penyebarannya. Selain ke empat faktor tersebut, faktor sub DAS Cisadane merupakan faktor yang mempunyai pengaruh yang kuat walaupun mempunyai ketergantungan yang tinggi. Implikasi dari hal ini adalah bahwa sub DAS Cisadane merupakan faktor kritis yang menentukan keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk. 4. Pilihan skenario kebijakan pengembangan kawasan permukiman adalah skenario moderat yang secara operasional berupa alih fungsi lahan yang lebih terarah dan terkendali, ketersediaan prasarana dan sarana dasar yang meningkat, kohesi sosial tetap bisa dipertahankan, kondisi sub DAS Cisadane yang meningkat, dan perkembangan penduduk serta penyebarannya yang terkendali. 5. Arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman berdasarkan skenario terpilih adalah: a. Terhadap kegiatan alih fungsi lahan pertanian produktif: arahan kebijakannya adalah pengembangan kawasan permukiman kedepan tidak dilakukan di lahan pertanian produktif, sempadan sungai, jaringan rel KA, dan jaringan transmisi listrik tegangan tinggi. Agar lahan pertanian tidak mudah dialih fungsikan, perlu diberikan insentif untuk meningkatkan land rent antara lain dengan subsidi input seperti pengenaan pajak yang lebih ringan terhadap lahan pertanian, bantuan benih, pupuk, peralatan, teknologi, kegiatan pendampingan termasuk kemungkinan adaptasi dari pertanian perdesaan ke pertanian perkotaan urban farming sesuai dengan permintaan pasar terdekat misalnya BSD. Untuk lahan-lahan non-pertanian perlu dikenakan kebijakan disinsentif, antara lain dengan pengenaan pajak yang lebih tinggi, biaya perijinan yang maksimal, persyaratan penyediaan ruang terbuka yang maksimal 30 oleh swasta. Untuk meningkatkan ketersediaan lahan permukiman, pemerintah daerah perlu memfasilitasi pembebasan lahan-lahan bekas galian pasir milik swasta untuk kemudian dilakukan reklamasi untuk berbagai penggunaan sesuai keperluannya. b. Terhadap pengembangan prasarana dan sarana: arahan kebijakannya adalah membatasi kegiatan penambangan pasir dan memfasilitasi perbaikan lahan bekas penambangan pasir, memperbaiki kondisi jalan- jalan yang rusak, mengarahkan pengembangan jalan ke daerah-daerah yang masih belum berkembang seperti di desa Dangdang dan Mekarsari, sinkronisasi prasarana lingkungan antar cluster perumahan, peningkatan kapasitas pengolahan sampah yang ada dan atau penyediaan tempat pembuangan akhir persampahan, koordinasi dengan PDAM Kabupaten Tangerang dalam upaya peningkatan pelayanan air minum, koordinasi dengan PT. KAI untuk peningkatan pelayanan jasa kereta api, membangun koneksi antar moda, mengupayakan pembangunan lapangan olah raga, gedung pertemuan, pasar dan terminal kendaraan angkutan umum. c. Untuk kohesi sosial: arahan kebijakannya adalah peningkatan kegiatan sosialisasi dan komunikasi, jenjang pendidikan, penciptaan lapangan pekerjaan, dan pemberdayaan masyarakat, penyediaan prasarana yang secara seimbang dapat menjangkau kawasan permukiman yang ada dan sinkronisasi prasarana lingkungan antar kluster perumahan. d. Terhadap perkembangan penduduk: arahan kebijakannya adalah mengendalikan perkembangan penduduk yang masuk incoming migration dan keluar outgoing migration dan mengatur penyebarannya agar terjadi perkembangan kawasan dan ekonomi yang seimbang sesuai potensi yang ada dengan tetap memperhatikan daya dukung lingkungannya. e. Terhadap kondisi Sub DAS Cisadane: dengan mengacu pada perencanaan dan pengelolaan sub DAS tersebut secara terpadu yang telah ditetapkan oleh instansi yang berwenang, maka arahan kebijakannya adalah: 1 pemberian insentif terhadap kegitan-kegiatan yang dapat mengurangi volume aliran permukaan dan sedimentasi seperti penerapan tindakan konservasi tanah, perbaikan drainase, penanaman pohon, pembuatan sumur resapan, dan mempertahankan hutan yang ada, 2 pengenaan disinsentif terhadap kegiatan-kegiatan domestik dan industri yang mencemari air sungai Cisadane, 3 konversi lahan-lahan bervegetasi dikendalikan dan tidak dialih fungsikan untuk kawasan terbangun.