III PEMODELAN
3.1 Respon Fungsional Model Holling-
Tanner
Model yang dianalisis dalam karya ilmiah ini adalah sebuah model dinamika mangsa-
pemangsa yang diperkenalkan oleh Holling dan Tanner sebagai berikut,
, , 3.1
dan . Pada
model 3.1,
populasi mangsa
dinyatakan sebagai x dan populasi pemangsa dinyatakan sebagai y. Hsu Hwang 1999
mengasumsikan bahwa populasi mangsa tumbuh secara logistik dengan daya dukung
K dan laju pertumbuhan intrinsik r. Banyaknya mangsa yang dikonsumsi oleh
pemangsa
dinyatakan sebagai
respon fungsional px di mana pemangsa tumbuh
secara logistik dengan laju pertumbuhan intrinsik s serta daya dukung yang
bergantung pada populasi mangsa, yaitu
dengan h menyatakan jumlah mangsa yang dibutuhkan oleh pemangsa.
Model Holling-Tanner terbagi menjadi tiga tipe respon fungsional seperti berikut:
3.1.1 Model Holling-Tanner tipe I
, , 3.2
dengan respon fungsional , di
mana m adalah tingkat maksimum predasi yang dilakukan pemangsa. Tipe respon
fungsional ini sangat dipengaruhi oleh jumlah populasi mangsa, dengan semakin banyak
populasi mangsa maka semakin banyak mangsa yang akan dimangsa oleh pemangsa.
3.1.2 Model Holling-Tanner tipe II
, . 3.3
Respon fungsional
pada model
3.3 dinyatakan dengan
, dengan A merupakan parameter yang sebanding dengan
waktu yang dibutuhkan pemangsa untuk menemukan mangsa, ini nampak lebih
realistis. Faktor waktu tersebut secara tidak langsung
mempengaruhi jumlah
yang dimangsa. Semakin singkat waktu pencarian
mengindikasikan mudahnya
pemangsa mendapatkan mangsa.
3.1.3 Model Holling-Tanner tipe III
, . 3.4
Respon fungsional yang digunakan adalah yang
lebih rumit
dibandingkan dengan tipe-2. Hsu Huang 1995
3.2 Penondimensionalan Model
Di antara ketiga tipe model Holling- Tanner, analisis dibatasi pada model Holling-
Tanner tipe II 3.3 yang lebih realistis dibandingkan dengan tipe-1, sedangkan tipe-
3 nampak lebih rumit dari keduanya. Model Holling-Tanner tipe II dengan banyak
parameter ditransformasikan ke bentuk yang lebih
sederhana dengan
cara penondimensionalan model.
Pada model 3.3 didefinisikan ,
, ,
, , dan lihat Lampiran 1.
Diperoleh: ,
. 3.5 Model
3.5 merupakan
hasil penondimensionalan
model 3.3
yang dimisalkan kembali
dan untuk kemudahan proses analisis.
gx x
1 1
IV PEMBAHASAN
4.1 Penentuan dan Analisis Kestabilan Titik
Tetap
Titik tetap persamaan 3.5 didapat dari dan
, sehingga menurut persamaan tersebut diperoleh 2 titik tetap,
yaitu dan
dapat dilihat pada Lampiran 2. Masing- masing titik tetap disubstitusikan ke dalam
matriks Jacobi persamaan 3.5 agar diperoleh nilai eigen
. Matriks Jacobi dari persamaan 3.5 adalah sebagai berikut:
2 2
2
1 2 .
2 y
xy x
x a
x a
x a
x J
y y
x x
4.1
Kestabilan titik tetap dapat dilihat dari nilai eigen yang dihasilkan oleh matriks
Jacobi 4.1 yang dievaluasi pada titik tetap tersebut. Selanjutnya, kestabilan di sekitar
titik tetap diperiksa, dimulai dari titik tetap yang pertama
. Titik tetap disubstitusikan ke dalam persamaan matriks
Jacobi 4.1, sehingga dihasilkan matriks
1,0
1 1
1 J
a
. Diperoleh dua nilai eigen yang bernilai positif dari
, yaitu dan
dengan . Selanjutnya, nilai
determinan Δ dan teras dicari dari nilai eigen tersebut. Determinan
Δ merupakan hasil perkalian dari dua nilai eigen
sedangkan teras adalah hasil
penjumlahannya .
Nilai yang
diperoleh adalah dan . Jadi, jenis
kestabilan di sekitar titik tetap adalah
titik sadel. Sedangkan titik tetap yang ke dua
bergantung pada nilai parameter, sehingga terlebih dahulu ditentukan nilai parameter
tersebut. Titik
merupakan ekuilibrium persamaan 3.5 di mana
dan dengan persamaan 3.5 yang
disederhanakan menjadi persamaan bentuk umumnya seperti berikut:
, 4.2
dengan dan
. Terdapat dua hipotesis untuk gx dan px,
ditulis H
1
dan H
2
, yakni:
H
1
g1 = 0 dan g ’x 0 untuk
H
2
p0 = 0, px 0 untuk
a b
Gambar 1 Ilustrasi a H
1
dan b H
2
.
Teorema 4.1
Misalkan H
1
dan H
2
terjadi. Solusi dari persamaan 4.2 adalah positif dan
terbatas yaitu terdapat T ≥ 0 sehingga xt 1,
yt δβ untuk .
Bukti: Andaikan untuk setiap T
≥ 0 solusi tidak terbatas atau xt
≥ 1 maka p0 = 0 tidak
terjadi sehingga H
1
berlaku tetapi H
2
tidak. Sedangkan jika yt
≥ δβ maka solusi menjadi tidak terbatas. Jadi, solusi sistem terbatas pada
xt 1 dan yt
δβ. Sehingga solusi yang memenuhi titik
adalah dan
, di mana
. 4.3
Sistem 4.2 memiliki titik ekuilibrium dengan matriks Jacobi
2
. p x h x
p x J E
4.4
Dimisalkan , sehingga diperoleh
persamaan karakteristik nilai eigen seperti berikut,
2
0. p x h x
p x h x
Diasumsikan bahwa persamaan karakteristik nilai eigen di atas setara dengan
x px
Diketahui bahwa 4.5
dan 4.6
dengan hx = 1 - xa + x diperoleh
, 4.7
sehingga diketahui bahwa Δ 0 lihat
Lampiran 4. Dengan ini, kedua nilai eigen bernilai
sama negatif
ataukah positif.
Sedangkan nilai eigen diperoleh dengan cara
.
4.8 Berdasarkan 4.8, kestabilan titik tetap
yang ke dua bergantung pada nilai P dan D, dengan
. Jika P 0 maka titik tetap yang ke dua menjadi stabil dan menjadi
tidak stabil jika P 0. Kemudian, jika D 0 titik tetap bersifat simpul dan jika D 0 titik
tetap bersifat spiral. Dengan itu, terlebih dahulu diperiksa kondisi dari P dari
persamaan 4.5 yang setara dengan
4.9
di mana . 4.10
Persamaan 4.9 merupakan hasil substitusi ke dalam persamaan
4.5. Dikarenakan
sehingga kondisi P setara dengan kondisi dari Q lihat
Lampiran 4. Berdasarkan persamaan 4.10 maka
analisis kestabilan titik tetap yang ke dua terlebih dahulu harus dilihat dari beberapa
kasus berikut: K1
K2 dan
, dan
K3 dan
. Pada kasus K1 diperoleh Q 0 untuk setiap
. Pada K2 terdapat syarat perlu dan cukup bagi sifat definit positif suatu
persamaan orde dua. Berlakunya sifat definit positif menunjukkan bahwa setiap daerah
hasil dari suatu persamaan orde dua bernilai positif. Sehingga pada kondisi K2 juga
diperoleh Q0 .
Sedangkan pada K3 terdapat tiga selang nilai dengan dua selang di
antaranya bernilai Q0 dan yang lainnya Q0. Pada K3 dimisalkan persamaan 4.10
setara dengan
dengan
dan
untuk 0 θ
1
θ
2
1 sehingga terdapat tiga selang nilai x yang menjadi subkasus pada K3
seperti berikut: SK1
, SK2
, dan SK3
. Pada SK1 dan SK3 diperoleh Q0 sedangkan
SK2 diperoleh Q0. Sehingga pada SK1 dan SK3 dihasilkan kondisi P0 sedangkan pada
SK2 dihasilkan kondisi P0.
Pada model 3.5 kondisi dan
dipenuhi oleh 4.11
dan 4.12
sehingga dari persamaan 4.12 dan 4.11 diperoleh
. 4.13
Berdasarkan 4.13 kondisi SK1, SK2, dan SK3 masing-masing dapat direpresentasikan
melalui paramater β seperti berikut:
, 4.14
, dan 4.15
4.16 dengan
untuk . Jadi,
dinyatakan bahwa titik tetap yang ke dua bersifat stabil pada kondisi 4.14 dan 4.16,
sedangkan pada kondisi 4.15 titik tetap yang ke dua bersifat tidak stabil seperti yang
diuraikan oleh Hsu dan Huang 1995.
Setelah kondisi P diketahui, kemudian diperiksa kondisi dari D agar dapat ditentukan
jenis kestabilan titik tetap yang ke dua, dengan
sehingga
Dipilih , sehingga
4.17
dapat ditulis dengan D = R + S, dengan
;
Diketahui bahwa dan
, 4.18
Persamaan 4.18 dinyatakan bahwa S 0 jika dan hanya jika
atau , sedangkan S 0 jika dan hanya jika
atau .
Pada kondisi atau
dihasilkan |R| |S| dikarenakan . sehingga pada kondisi
atau diperoleh D 0 sedangkan
pada kondisi
atau diperoleh D 0. Setelah kondisi P dan D
diketahui maka kestabilan titik tetap yang ke dua dapat diklasifikasikan seperti pada Tabel
1.
Tabel 1 Jenis kestabilan titik tetap
Kondisi Q
Subkasus T
1
x,y P
D T
2
x,y K1
Q0 Sadel
P0 D0
Spiral stabil
Sadel D0
Simpul stabil
K2 dan
Q0 Sadel
P0 D0
Spiral stabil
Sadel D0
Simpul stabil
K3 dan
Q0 Sadel
P0 D0
Spiral stabil
Q0 Sadel
P0 D0
Spiral tidak stabil
Q0 Sadel
P0 D0
Spiral stabil
Q0 Sadel
P0 D0
Simpul stabil
Pada Tabel 1 diklasifikasikan jenis kestabilan titik tetap yang ke dua berdasarkan
kondisi atau kasus yang diperoleh. Kasus tersebut merupakan interpretasi dari waktu
pencarian untuk pemangsaan. Pada kondisi K1 diambil waktu pencarian yang lebih lama
dari pada K2 dan juga K3. Pada K1 dan K2 masing-masing
terbagi menjadi
dua subkondisi, yaitu dengan tingkat predasi yang
tinggi dan rendah. Diketahui bahwa pada K1 dan K2 titik tetap yang ke dua merupakan titik
tetap stabil di mana pada subkondisi tingkat predasi yang tinggi
titik tetap tersebut bersifat spiral stabil, sedangkan pada
tingkat predasi yang rendah titik
tetap yang ke dua bersifat simpul stabil. Pada K3, perilaku dinamika populasi mangsa-
pemangsa dilihat berdasarkan perubahan tingkat predasi yang kecil signifikan dan
besar. Saat perubahan tingkat predasi yang kecil titik tetap yang ke dua mengalami
perubahan kestabilan, di mana pada saat itu tingkat predasi yang terjadi adalah cukup
tinggi. Perubahan tersebut adalah seperti pada R
S
saat kondisi 0 β β
1
titik tetap yang ke dua bersifat spiral stabil kemudian bersifat spiral
tak stabil pada kondisi β
1
β β
2
dan berubah kembali pada kondisi
β
2
β menjadi bentuk spiral stabil. Sedangkan pada saat perubahan
β menjadi sangat besar sifat kestabilan titik tetap yang ke dua berubah menjadi simpul
stabil. 4.2
Stabilitas Global dan Bifurkasi Hopf
Berdasarkan kondisi P kestabilan titik tetap yang ke dua dipengaruhi oleh tiga kasus
di bawah ini: K1
K2 dan
, dan
K3 dan
. Pada K1 dan K2 akan terjadi kestabilan secara
global berdasarkan Teorema 4.2. Teorema 4.2.
i Misalkan K1 atau K2 berlaku, maka
ekuilibrium adalah stabil
asimtot global
di dalam
kuadran pertama,
ii Misalkan K3 dan SK1 berlaku, maka
kesimpulan dari i berlaku. Bukti i dan ii terdapat pada global stability
for class of predator-prey systems Hsu Huang 1995 lihat Lampiran 20. Teorema
4.1 menyatakan bahwa solusi sistem terbatas sehingga
pada kondisi tersebut sistem
mengalami kestabilan
global asimtotik.
Sehingga pada kondisi ini populasi mangsa- pemangsa akan stabil menuju ke suatu nilai.
Diketahui bahwa nilai eigen sistem adalah sebagai berikut
dengan persamaan 4.5 dan 4.6. Pada kasus K1 dan K2 diperoleh
sehingga kedua nilai eigen bernilai negatif yang diindikasikan
sistem menjadi stabil. Sedangkan pada kasus K3 dihasilkan tiga subkasus, seperti berikut:
, 4.14
, dan 4.15
4.16 di mana pada 4.14 dan 4.16 nilai P bernilai
positif, sehingga pada kedua subkasus tersebut diperoleh titik tetap stabil. Sedangkan pada
4.15 titik tetap yang ke dua merupakan titik tetap tidak stabil.
Fenomena perubahan kestabilan yang terjadi di sekitar
β
1
dan β
2
pada K3, yaitu saat P = 0, dihasilkan nilai eigen yang bernilai
imajiner murni. Nilai eigen yang bernilai imajiner murni berakibat sifat kestabilan
berubah menjadi center. Dalam kasus ini fenomena perubahan kestabilan tersebut
dikenal sebagai bifurkasi Hopf.
Bifurkasi Hopf terjadi ketika titik tetap yang semula memiliki kestabilan spiral stabil
menjadi spiral tidak stabil atau sebaliknya dan terdapat limit cycle di dalamnya, di mana
perubahan kestabilan tersebut terjadi pada K3. Pada saat kondisi 0
β β
1
titik tetap yang ke dua merupakan spiral stabil kemudian
berubah menjadi spiral tak stabil pada kondisi β
1
β β
2
dan berubah kembali pada kondisi β
2
β menjadi spiral stabil.
Gambar 2 Limit cycle.
Limit cycle diperkirakan terjadi pada kondisi SK3. Gasull et al. 1997 menyatakan
bahwa pada kondisi yang
direpresentasikan menjadi β
1
β β
2
. adalah pusat tidak stabil. Teorema
4.1 digunakan untuk menarik kesimpulan adanya limit cycle pada kasus ini lihat
Gambar 2.
4.3 Dinamika Populasi Mangsa-Pemangsa