dengan Desa Lojejer batas timur desa Puger Wetan. Kondisi jalan menuju desa Puger Wetan sudah cukup baik dimana tidak ditemui adanya lubang di sisi jalan.
Keadaan umum Puger Kulon
Desa Puger Kulon berada kurang lebih 30 km dari pusat kota Jember kearah Selatan dan terletak berdampingan dengan desa Puger Wetan. Luas Desa Puger
Kulon sekitar 388,800 m², areal persawahan memiliki luas sekitar 6,955 m² dan areal ladang sekitar 21,394 m². Secara administratif batas desa Puger Kulon
adalah:
a. Sebelah Utara : Desa Grenden b. Sebelah Selatan : Samudera Hindia Samudera Indonesia
c. Sebelah Barat : Desa Mojosari
d. Sebelah Timur : Desa Puger Wetan Sama halnya dengan desa Puger Wetan, wilayah utara Desa Puger Kulon
juga merupakan area persawahan dan ladang. Masyarakat yang berada disekitar wilayah persawahan bekerja sebagai petani dan juga sebagai nelayan. Penduduk
Desa Puger Kulon juga bekerja pada usaha kerupuk berskala rumah tangga. Kerupuk yang diproduksi akan dikirim keluar daerah Jember, seperti Lombok.
Selain itu terdapat pula usaha pembakaran batu kapur yang menjadi tempat tumpuan utama penduduk yang berada disekitar gunung kapur Gunung Sadeng.
Gunung ini berada di wilyah Desa Puger Wetan, Puger Kulon dan Grenden. Wilayah pesisir dijadikan tempat wisata pantai yang diberi nama Pantai Pancer.
Sebelah timur pantai ini merupakan tempat wisata Gunung Watangan yang dikenal dengan Kucur. Selain itu juga ada goa peninggalan Jepang yang berada di
puncak Gunung Watangan. Tempat wisata ini bisa dicapai dengan memakai perahu atau jukung menyebrangi muara sungai Bedadung dan Besini. Pusat
keramaian desa Puger berada di area lapangan sepak bola dimana terdapat masjid besar Jamik Al Hikmah, bank BRI, Bank Mandiri, puskesmas, kantor kecamatan
serta kantor polisi.
Kondisi Perairan Desa Puger Kawasan pesisir Pantai Puger terletak di sebelah selatan Desa Puger Kulon
dan Puger Wetan. Diluar garis pantai Puger kearah selatan terdapat Pulau Nuso Barong dengan luas lebih kurang 3 km².Pulau tersebut merupakan pulau terbesar
di desa Puger. Selain Pulau Nusa Barong, terdapat juga pulau Suka Made yang luasnya sekitar 1.5 km². Menurut nelayan setempat, ekosistem perairan Puger
sudah banyak yang mengalami kerusakan di wilayah karang. Hal ini disebabkan karena banyaknya penggunaan bom atau racun. Banyak dilakukan sosialisasi
untuk mengembalikan kondisi ekosistem perairan. Namun, masih ada sebagaian nelayan yang memakai bahan-bahan yang tidak ramah lingkungan secara diam-
diam.
Wilayah pelabuhan berada masuk diantara dua pertemuan sungai besar yaitu sungai Bedadung dan sungai Besini. Pertemuan kedua sungai tersebut berada
didekat gunung Wetangan. Pertemuan kedua sungai tersebut membentuk alur lalu lintas keluar masuk pelabuhan yang disebut Plawangan. Plawangan sering terjadi
pendangkalan, oleh karena itu dalam jangka waktu tertentu selalu dilakukan
pengerukan. Bagian dasar perairan terdapat karang dan tidak cukup lebar jika dilalui oleh dua perahu payang. Selain itu kapal yang akan masuk juga harus
melihat keadaaan air dan gelombang. Kondisi air pasang dan gelombang tidak besar merupakan kondisi yang baik untuk melewati plawangan tersebut.
Kondisi Umum PPI Puger
Pangkalan Pendaratan Ikan PPI Puger Kabupaten Jember terletak diantara Kecamatan Puger dan Kecamatan Wuluhan. Letak tersebut berada pada
pertemuan antara muara sungai Bedadung dan sungai Besini pada posisi 113
.06’.40” BT dan 08 .08’17” LS. Letak PPI Puger sangat strategis. Alur
pelayaran bermuara dan langsung berhadapan dengan samudera Hindia yang memiliki potensi sumberdaya ikan pelagis kecil maupun pelagis besar BP-PPI
Puger 2009. Pelabuhan Perikanan PPI Puger mempunyai nilai sangat strategis untuk menggali potensi perikanan laut, pemberdayaan nelayan dan pengembangan
wilayah.
Fasilitas PPI Puger
Perikanan tangkap merupakan salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya perikanan. Dengan adanya perikanan tangkap maka diperlukan sarana dan
prasarana dalam pembangunan perikanan. Pembangunan perikanan tangkap memerlukan prasarana pelabuhan perikanan sebagai tempat pangkalan
perahukapal dan mendaratkan ikan hasil tangkapan. Pelabuhan perikanan perlu dikembangkan sehingga mampu menampung seluruh perahukapal dan
masyarakat perikanan yang memerlukan fasilitas ke pelabuhan BP-PPI Puger 2009.
Pelabuhan Perikanan atau Pangkalan Pendaratan Ikan akan berfungsi dengan baik bila apabila dilengkapi dengan fasilitas yang meliputi fasilitas pokok,
fungsional, dan penunjang. Fasilitas pokok yang telah dibangun di PPI Puger yaitu breakwater 270 m, dan darmaga 360 m
2
. Pengoperasian fasilitas pokok yang ada belum berfungsi secara optimal. Hal tersebut disebabkan karena fasilitas
pokok masih dalam taraf pembangunan. Besarnya jumlah dan ukuran kapal ikan di Puger merupakan kendala dalam optimalisasi kegiatan operasional fasilitas
pokok. Darmaga yang telah tersedia juga belum memberikan manfaat yang optimal karena ukurannya masih belum memadai apabila kapal melakukan
pendaratan secara bersamaan. Pendaratan kapal masih banyak dilakukan di berbagai tempat. Kapal yang mendarat di darmaga didominasi oleh kapal-kapal
payang dan jukung, sedangkan skoci lebih banyak bersandar di luar pelabuhan. Kegiatan tambat labuh kapal telah difungsikan dengan baik dan memberikan
manfaat setelah dibangun talud. Talud dilengkapi dengan tempat bersandar kapal dan tangga untuk jalan bagi para nelayan yang akan mendaratkan ikan ke TPI.
Perawatan secara intensif di sekitar darmaga dan talud diperlukan dalam jangka panjang dengan melakukan pengerukan tanah dan pasir sebagai akibat adanya
proses sedimentasi pada hulu sungai Bedadung dan Besini.
Fasilitas fungsional merupakan salah satu potensi yang mendatangkan kontribusipendapatan di BPPPI Puger. Sedangkan pemanfaatan fasilitas tersebut
lebih bersifat pelayanan terhadap pemenuhan kebutuhan para pengguna jasa maupun masyarakat perikanan tangkap. Fasilitas fungsional yang terdapat pada
PPI Puger yaitu: kantor PPI 180 m
2
, TPI 360 m
2
terdapat 2 unit TPI, gudang es 150 m
2
, Menara air 24 m
3
, instalansi air dan listrik, toilet, area parkir 3000 m
2
, pasar ikan 126 m
2
, dan SPDN 64 m
2
. Sejak tahun 2005, fasilitas SPDN telah dioperasikan dan pengelolaan dikerjasamakan dengan pihak KPRI “Mina
Mulia” Dinas Perikanan dan Kelauatan Provinsi Jawa Timur. Lokasi SPDN berdekatan dengan tambat labuh kapal. Selain fasilitas pokok dan fungsional,
terdapat pula fasilitas penunjang di PPI Puger berupa pos TNI AL 45 m
2
, Mushala, mes operator, Unit satuan POL AIR. Beberapa fasilitas yang terdapat di
PPI Puger dapat dilihat pada Lampiran 1. Berdasarkan pengamatan, kondisi PPI Puger masih belum tertata dengan
rapi dimana masih terlihatnya sampah di sekitar lokasi PPI. Hal ini disebabkan karena rendahnya kesadaran masyarakatnelayan untuk menjaga kebersihan
lingkungan dan membuang sampah sembarangan. Tempat untuk penanganan dan pengepakan ikan hasil tangkapan sudah tersedia, namun belum mencukupi
kebutuhan. TPI masih difungsikan sebagai sarana untuk melakukan penanganan dan pengepakan ikan oleh para pedagang bakul yang ada di kawasan PPI Puger.
Mekanisme penyelenggaraan lelang belum berjalan sehingga tidak ada PAD yang diterima dari TPI. Banyak kondisi bangunan-bangunan di pelabuhan yang tidak
terawat sehingga operasional PPI tidak optimal.
Unit penangkapan ikan 1
Kapal
Kapal yang digunakan di Perairan Puger terdiri atas kapal besar, kapal sedang, skoci, dan jukung. Kapal jukung menggunakan gillnet atau trammel net
dalam kegiatan operasi penangkapannya. Kapal pancing atau biasa disebut skoci digunakan untuk menangkap ikan tuna dengan alat tangkap pancing dan alat bantu
rumpon. Kapal besar menggunakan alat tangkap payang dalam pengoperasiannya, sedangkan kapal sedang menggunakan jaring untuk menangkap cakalang dan
tongkol. Jumlah dan jenis kapal di PPI Puger dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3.1 Jenis dan jumlah kapal di PPI Puger periode 2009-2012
Tahun Jumlah kapal per jenis unit
Besar Sedang
Skoci Jukung
2009 646
222 13
980 2010
587 233
20 803
2011 601
221 70
838 2012
165 75
101 596
Sumber: TPI Puger
Berdasarkan data yang ditampilkan pada Tabel 3.1, menujukkan bahwa kapal yang sangat mendominasi PPI Puger adalah perahu jukung. Namun dalam
perkembangannya, jumlah armada jukung mengalami penurunan dari tahun 2009 hingga tahun 2012 sebesar 28.88 Tabel 3.2. Ukuran jukung memiliki panjang
7 m, lebar 60 cm, dan tinggi sekitar 70 cm. Jukung ini menggunakan katir yang terbuat dari bambu dengan panjang masing-masing 7.5 m.
Tabel 3.2 Persentase peningkatan dan penurunan jumlah kapal di PPI Puger
Kapal Tahun
Persentase 2011
2012
Besar 601
165 -72.55
Sedang 221
75 -66.06
Skoci 70
101 44.29
Jukung 838
596 -28.88
Sumber: Pengolahan data
Kapal besar kapal payang memiliki ukuran panjang 19 meter, lebar 5.5 meter, dan tinggi dari lunas hingga dek sekitar 5 meter. Kapal sedang jaring
memiliki ukuran yang hampir sama dengan skoci yaitu panjang 17 meter, lebar 3.5 meter, dan tinggi 2 meter, namun pengoperasian alat tangkap dan fishing
ground berbeda dengan skoci. Berdasarkan Tabel 2.2, jumlah kapal payang dan kapal sedang jaring mengalami penurunan drastis pada tahun 2012 yaitu sebesar
165 unit dan 75 unit dengan persentase 72.5 dan 66.06. Banyak nelayan payang dan jaring yang beralih menjadi nelayan jukung baik jukung jaringan
maupun pancingan disebabkan karena hasil tangkapan sangat menurun dan biaya operasi penangkapan sangat besar. Keadaan yang berlawanan dialami oleh skoci
dimana dalam perkembangannya, skoci mengalami peningkatan dari tahun 2009- 2012. Peningkatan jumlah skoci yang terjadi yaitu sebesar 44.29 Tabel 3.2.
Grafik perkembangan jenis dan jumlah kapal di PPI Puger ditunjukkan pada Gambar 3.1
Gambar 3.1 Perkembangan jumlah kapal di PPI Puger periode 2009-2012
2 Alat penangkapan ikan
Perkembangan teknologi alat tangkap di daerah Puger masih belum optimal dibandingkan daerah-daerah Jawa Timur lainnya seperti: Sendang biru,
Banyuwangi, dan Pacitan. Penggunaan alat tangkap yang masih tradisional dan bersifat manual menyebabkan hasil tangkapan yang diperoleh nelayan belum
maksimal seperti contoh saat pengoperasian alat tangkap pancing dimana ikan yang ditarik ke kapal masih menggunakan tangan tanpa mesin. Alat tangkap
yang paling banyak digunakan oleh nelayan Puger yaitu alat tangkap payang, jaring gillnet, dan pancing.
Jumlah alat tangkap payang dan pancing yang digunakan di PPI Puger mengalami peningkatan periode 2007 sampai 2011, sedangkan alat tangkap jaring
mengalami hal yang sebaliknya Tabel 3.3. Alat tangkap pancing merupakan alat tangkap yang paling banyak digunakan di PPI Puger dan jenis pancing yang
digunakan terdiri dari pancing prawean hand line, pancing jerigen pancing hanyut, dan pancing layang-layang kite line. Pancing layangan menggunakan
alat bantu layang-layang. Ujung tali dikaitkan pada umpan berupa ikan tongkol tiruan yang terbuat dari kayu dan menyerupai ikan aslinya.
Tabel 3.3 Jenis dan jumlah alat tangkap di PPI Puger periode 2007-2011
Tahun Jumlah alat tangkap unit
Payang Jaringgillnet
Pancing
2007 198
344 208
2008 204
351 222
2009 205
351 222
2010 210
351 310
2011 360
320 458
Sumber: BPPPI Puger
Data BPPPI Puger memperlihatkan bahwa alat tangkap yang digunakan oleh nelayan Puger pada umumnya adalah alat tangkap payang, jaringgillnet, dan
pancing. Alat tangkap pancing ini lebih banyak dioperasikan untuk penangkapan tuna di sekitar rumpon.
Tabel 3.4 Persentase peningkatan dan penurunan jumlah alat tangkap di PPI Puger
Alat Tangkap Tahun
Perubahan
2010 2011
Payang 210
360 71.43
Jaring 351
320 -8.83
Pancing 310
458 47.74
Sumber: Pengolahan data
Tabel 3.4 menunjukkan bahwa jumlah alat tangkap payang dan pancing mengalami peningkatan masing-masing sebesar 71.43 dan 47.74 dari tahun
2010. Sedangkan jumlah alat tangkap jaring yang digunakan mengalami penurunan dengan persentase 8.83 dari tahun sebelumnya. Perkembangan
jumlah alat penangkapan ikan disajikan pada Gambar 3.2
Gambar 3.2 Perkembangan alat tangkap di PPI Puger periode 2007-2011
3 Nelayan
Struktur sosial nelayan di Puger dibagi dalam beberapa tingkatan yaitu: nelayan pemilik juragan darat, nakhoda, dan pandhega ABK. Namun ada juga
sebagian pemilik kapal yang juga merangkap sebagai nakhoda. Dalam melaksanakan operasi penangkapan, nelayan Puger hanya mengandalkan cuaca
baikcerah dan gelombang tenang. Pengetahuan dan keahlian tentang fishing ground diperoleh berdasarkan pengalaman bekerja yang lama sehingga dapat
memperoleh hasil tangkapan dengan cepat. Selain itu, banyak pula nelayan yang mengetahui informasi penangkapan fishing ground melalui Global Positioning
System dan peta navigasi yang menunjukkan lintang dan kedalaman suatu perairan. Tingkat pendidikan nelayan Puger pada umumnya hanya pada Sekolah
Menengah Pertama SMP. Berikut ini ditampilkan data statistik jumlah nelayan Puger periode 2007-2011
Gambar 3.3 Perkembangan jumlah nelayan di Puger periode 2007-2011 Jumlah nelayan di PPI Puger pada tahun 2007 sebesar 6370 orang. Jumlah
tersebut terus mengalami peningkatan hingga tahun 2009 yaitu sebesar 12190 orang di tahun 2008 dan 12500 orang di tahun 2009. Namun pada tahun 2010
hingga 2011 jumlah tersebut tidak mengalami peningkatan maupun penurunan.
Volume produksi perikanan PPI Puger
Produksi perikanan tangkap di PPI Puger cukup bervariasi. Hasil tangkapan jenis ikan yang didaratkan di PPI Puger didominasi oleh lemuru 15098.8 ton,
tongkol 8196.3 ton, cakalang 7969.3 ton, dan tuna 221.9 ton pada periode 2007-2011. Sedangkan hasil tangkapan diluar jenis ikan hanya terdiri atas cumi-
cumi 77.4 ton dan udang 149.6 ton. Volume produksi perikanan PPI Puger periode 2007-2011 dapat dilihat pada Tabel 3.5.
Tabel 3.5 Volume produksi perikanan di PPI Puger periode 2007-2011
Jenis Ikan Produksi per tahun ton
Total ton
2007 2008
2009 2010
2011
Tuna 36.8
394.0 415.2
401.5 964.4
2211.9 Lemuru
5013.8 3447.9
2830.7 2 222.3
1 584.1 15098.8
Tongkol 1520.3
1424.0 1628.9
1 625.0 1 998.1
8196.3 Layang
51.0 236.0
273.4 354.6
200.5 1115.5
Cakalang 1063.3
1122.1 1839.9
1 979.0 1 965.0
7969.3 Manyung
25.3 22.0
29.8 29.6
45.3 152.0
Kakap Merah 70.2
112.0 77.0
93.1 102.4
454.7 Layur
331.4 345.0
273.4 265.3
179.6 1394.7
Tembang 7.9
309.0 327.6
325.5 201.5
1171.5 Cumi-cumi
18.4 18.0
11.1 10.7
19.2 77.4
Tenggiri 40.0
122.0 117.2
116.6 415.7
811.5 Belanak
89.9 186.0
177.8 190.5
278.3 922.5
Kembung 84.9
464.0 366.4
440.3 227.5
1583.1 Udang
50.1 24.0
24.5 14.9
36.1 149.6
Total 8403.3
8226 8392.9
8068.9 8217.7
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Jawa Timur
Nilai produksi perikanan di PPI Puger Berdasarkan data volume produksi di PPI Puger yang disajikan sebelumnya,
ikan lemuru merupakan produksi hasil tangkapan yang paling banyak didaratkan di PPI Puger. Namun jika dilihat berdasarkan nilai produksinya, ikan cakalang
merupakan hasil tangkapan yang menghasilkan nilai produksi tertinggi di PPI Puger periode 2007-2011 yaitu sebesar Rp149 598 150 yang kemudian diikuti
oleh tongkol sebesar Rp63 459 750, tuna sebesar Rp50 241 000, dan lemuru sebesar Rp4 986 915. Hal ini disebabkan karena ikan cakalang memiliki nilai
ekonomis penting sehingga harga yang dijual lebih tinggi dibandingkan dengan ikan lemuru. Produksi ikan lemuru di Perairan Puger sangat besar, namun pada
umumnya minat konsumen tidak terlalu tinggi terhadap ikan lemuru. Ikan yang didaratkan tidak banyak dibeli. Hal ini menyebabkan ikan tersebut akan kembali
dibuang oleh nelayan ke laut.
Tabel 3.6 Nilai produksi perikanan di PPI Puger periode 2007-2011
Jenis Ikan Nilai per tahun Rp
Total Rp 2007
2008 2009
2010 2011
Tuna 552 000
6 103 900 9 134 400
9 844 300 24 606 400
50 241 000 Lemuru
12 534 500 7 757 775
9 907 450 7 242 840
5 544 350 42 986 915
Tongkol 10 642 100
9 254 700 9 773 400
13 808 550 19 981 000
63 459 750 Layang
255 000 1 180 000
1 093 600 1 849 750
1 203 000 5 581 350
Cakalang 6 911 450
7 293 650 40 477 800
45 790 250 49 125 000
149 598 150 Manyung
101 200 88 800
159 000 217 445
351 075 917 520
Kakap Merah
456 300 728 650
731 500 1 210 300
972 800 4 099 550
Layur 1 491 300
1 553 400 2 734 000
3 523 450 2 694 000
11 996 150 Tembang
63 200 2 468 000
1 146 600 1 281 350
1 007 500 5 966 650
cumi-cumi 331 200
398 200 277 500
293 150 576 000
1 876 050 Tenggiri
320 000 974 400
4 102 000 3 718 750
15 696 675 24 811 825
Belanak 179 800
279 000 889 000
1 219 700 1 948 100
4 515 600 Kembung
551 850 2 786 400
2 198 400 2 576 900
1 592 500 9 706 050
Udang 1 259 200
613 600 490 000
310 750 722 000
3 395 550
Total 35 649 100
41 480 475 83 114 650
92 887 485 126 020 400
Sumber: DKP Propinsi Jawa Timur
Total nilai produksi seluruh hasil tangkapan di PPI Puger semakin meningkat pesat setiap tahunnya. Total nilai produksi pada tahun 2011 mengalami
peningkatan sebesar 35.67 dibandingkan tahun 2010 dimana total nilai produksi tahun 2010 berjumlah Rp92 887 485 dan tahun 2011 berjumlah Rp126 020 400,-.
Berikut ini disajikan data nilai produksi perikanan PPI Puger periode 2007-2011.
Keragaan unit penangkapan pancing 1
Kapal
Kapal yang digunakan untuk mengoperasikan alat tangkap pancing dengan hasil tangkapan tuna dikenal dengan skoci. Kapal ini terbuat dari bahan kayu
dengan dimensi panjang L
oA
16-17 m, lebar B 3-3.5 dan tinggi D 1.2-2 m. Pada umumnya skoci menggunakan mesin dalam inboard sebanyak 3 buah
dengan merek Yanmar, Kubota, dan PS berkekuatan sekitar 25-30 PK. penggunaan mesin dalam terbagi atas mesin utama sebanyak 2 buah dan satu lagi
sebagai mesin bantu. Mesin utama digunakan sebagai penggerak kapal untuk mendukung operasi penangkapan dan mesin bantu digunakan sebagai alat untuk
menyalakan lampu sebagai penerangan saat melakukan penangkapan di malam hari.
Mesin kapal menggunakan bahan bakar solar dan dalam sekali trip, kapal menghabiskan solar ±400 liter, namun sebagai cadangan agar tidak terjadi
kekurangan selama di daerah fishing groundperjalanan, nelayan biasanya
membawa bahan bakar sebanyak 600 liter. Bentuk skoci di PPI Puger, Kabupaten Jember pada umunya dapat dilihat pada Gambar 3.5.
Gambar 3.4 Konstruksi kapal pancing tuna di Puger
Gambar 3.5 Kapal pancing tuna di Puger Kapal pancing tidak dilengkapi dengan palkah sebagai tempat penyimpanan
dan pendingin tuna, namun para nelayan menggunakan box sebanyak 3 buah. Dua buah box mempunyai kapasitas maksimal masing-masing 1 ton untuk tempat
penyimpanan hasil tangkapan dan 1 buah box lainnya digunakan untuk penyimpanan es curahes balok. Jumlah es yang dibawa oleh kapal sebagai
perbekalan melaut sebanyak 50-60 balok. Skoci di PPI Puger menggunakan alat bantu berupa GPS Global Possitioning System dan kompas. Nelayan juga
menggunakan peta navigasi yang digunakan untuk menentukan daerah penangkapan, mengetahui posisi rumpon, dan mengetahui kedalaman perairan.
Peta ini diperoleh dari dinas BPPPI Puger.
Bagian haluan kapal terdapat anjungan yang berguna sebagai tempat istirahat nelayan dan tempat penyimpanan bahan makanan, namun ada juga
beberapa kapal yang memiliki anjungan di bagian tengah kapal. Sedangkan bagian buritan kapal digunakan sebagai tempat melakukan aktivitas penangkapan
dan penyimpanan alat tangkap.
2 Alat Tangkap
Pancing yang digunakan terdiri dari tali pancing, pemberat dan mata pancing. Jumlah pancing yang dioperasikan pada tiap kapal sebanyak 9-15 set.
Bagian-bagian pancing terbagi atas: 1
Penggulung reel, menggunakan dirigen air yang terbuat dari bahan plastik dengan ukuran 40 x 20 cm. Tali diikatkan pada penggulung jika operasi
penangkapan telah selesai dilakukan.
2 Tali utama main line, terbuat dari bahan nylon monofilament dengan panjang
30-40 meter. 3
Kili-kili swivel, terbuat dari bahan baja dan berfungsi untuk menjaga tali agar tidak terlilit atau kusut saat pengoperasian alat tangkap.
4 Tali cabang branch line yang terbuat dari bahan nylon monofilament.
5 Pemberat, terbuat dari timah berukuran sekitar 7 cm dengan berat 200 gram
yang berfungsi untuk mempercepat proses turunnya alat tangkap. 6
Mata pancing hook, terbuat dari baja bernomer 1, 2, 3 untuk menangkan ikan berukuran besar dan nomer 8, 9 untuk menangkap ikan seperti baby tuna,
cakalang. Dalam setiap keberangkatan, nelayan selalu membawa mata pancing baru
yang digunakan jika mata pancing sebelumnya putus atau hilang akibat proses penangkapan. Mata pancing yang sering dibawa oleh nelayan adalah mata pancing
bernomor 1, 2, dan 3 untuk tuna berukuran besar. Penangkapan tuna berukuran kecil menggunakan mata pancing pancing nomor 7, 8, dan 9. Harga mata pancing
nomor 1, 2, dan 3 biasa dibeli per kotak isi 100 dengan harga Rp300 000,-. Harga mata pancing nomor 7, 8, dan 9 sekitar Rp1 000,- per mata pancingnya.
Pancing yang digunakan oleh nelayan skoci di Puger terdiri dari berbagai macam model yaitu:
1 Pancing jerigen drift line dimana pancing ini menggunakan dirigen 5 liter
sebagai pelampungnya. Panjang tali sekitar 150 m dililitkan pada dirigen, terdapat swivel untuk menghubungkan tali utama dengan tali cabang. Tali
utama diulur ke bawah permukaan air hanya sekitar 35-40 m. Namun apabila pancing berhasil terkait oleh tuna, maka tali akan mengulur kebawah sepanjang
ukuran tali yang dipasang.
Gambar 3.6 Pancing jerigen
2 Pancing uncalan troll line yang menggunakan tali senar nylon monofilament
sepanjang 35 m yang dilempar dari kapal dan ditarik. Umpan yang digunakan berupa ikan tongkol buatan.
Sumber: WWF-Indonesia 2011
Gambar 3.7 Pancing uncalan troll line 3
Pancing layangan. Pancing ini menggunakan alat bantu layang-layang dalam operasinya. Jarak layangan dengan permukaan air mencapai 3 m hingga 100 m.
Sumber: WWF-Indonesia 2011
Gambar 3.8 Pancing layangan 4
Pancing prawean hand line, merupakan pancing yang terdiri dari beberapa tali cabang dalam satu tali utama, yaitu sekitar 9-11 buah. Pancing ini dipegang
oleh nelayan saat di kapal.
Gambar 3.9 Pancing prawean
3 Nelayan
Nelayan skoci di PPI Puger berjumlah 5 orang, diantaranya 1 orang sebagai nakhoda juru mudi dan 4 orang sebagai anak buah kapal ABK. ABK memiliki
tugas dalam melaksanakan kegiatan teknis penangkapan, seperti: mempersiapkan alat tangkap setting, hauling, dan menangani hasil tangkapan diatas kapal.
Sedangkan juru mudinakhoda bertugas untuk mengemudikan kapal dan menentukan daerah penangkapan, tetapi tetap melaksanakan hal-hal yang
dilakukan oleh para ABK. Pemilik kapal terbagi dua, yaitu: pemilik kapal sekaligus nakhoda, dan pemilik kapal bukan nakhoda juragan darat.
Sistem bagi hasil nelayan skoci yaitu sistem 50 50:50, dimana 50 diberikan pada juraganpemilik kapal dan 50 untuk para ABK, namun
sebelumnya dilakukan pemotongan biaya operasional perbekalan. Selain pembagian keuntungan berupa uang, nelayan juga mendapatkan sedikit bagian
dari hasil tangkapan. Hasil tangkapan tersebut bisa dijual kembali kepada orang ataupun buat konsumsi pribadi.
4 Rumpon
Rumpon yang digunakan di perairan Puger merupakan jenis rumpon laut dalam. Kedalaman rumpon yang dipasang mencapai 2500 m. Rumpon ini
dipasang untuk menangkap ikan-ikan pelagis besar, seperti tuna. Ponton pada awalnya terbuat dari lempengan baja atau alumunium yang dibentuk silindris,
diisi poly uretean PU dan dilapisi oleh fibreglass pada bagian luar. Rumpon tersebut dibentuk menyerupai tabung dengan kerucut di salah satu sisinya. Namun
pembuatan rumpon menggunakan plat baja atau aluminium dirasa sangat mahal. Oleh karena itu nelayan merubah bahan pelampung pada rumpon menjadi gabus
berbentuk silindris dan dilapisi oleh karung. Karung dipasang
“plester” setebal 5 mm. Panjang pelampung rumpon yaitu 4 sampai 4,5 m, diameter tabung sebesar
89 cm.
a. Konstruksi rumpon di Puger
b. Konstruksi umum rumpon Gambar 3.10 Konstruksi rumpon
Tali rumpon atau biasa disebut tampar oleh nelayan PPI Puger terbuat dari bahan nylon multifilament dan memiliki panjang 6500 m. Atraktor terbuat dari
bermacam-macam bahan, seperti: pelepah kelapa, ban truk bekas, dan bambu. Pada atraktor biasanya diletakkan kepala sapi atau domba agar baunya dapat
memancing ikan untuk datang ke rumpon tersebut.
Gambar 3.11 Konstruksi atraktor berbahan ban bekas
Gambar 3.12 Konstruksi andem pemberat dasar rumpon Pemberat atau biasa disebut andem yang memiliki fungsi sebagai jangkar,
terbuat dari bahan semen cor berbentuk silindris berdiamter 50 cm dengan jumlah 30 buah dan memiliki berat masing-masing 60 kg. Bagian untuk menjaga agar tali
rumpontampar tetap stabil ketika terkena arus, maka dipasang pemberat yang terbuat dari semen cor berdiamter 15 cm, panjang 25 cm, dan berat masing-
masing 2 kg sebanyak 20 buah.
Gambar 3.13 Bagian pada stabilizer Bagian stabilizer yang berfungsi untuk menstabilkan tampar dari arus terdiri
dari ring. Swivel berfungsi sebagai penyambung antara pemberat dengan wire rope. Pemasangan satu unit rumpon menggunakan kapal sebanyak 3 unit 2 skoci,
1 payang dan untuk peletakan pemberat jangkar dilakukan oleh kapal payang. Kapal payang memilliki ukuran yang lebih besar sehingga mampu membawa
muatan yang lebih besar pula. Rumpon yang telah dipasang oleh nelayan akan dibiarkan terlebih dahulu sekitar satu bulan hingga kondisi atraktor ditumbuhi
oleh mikroorganisme. Mikroorganisme akan membuat ikan-ikan kecil berkumpul di dalamnya. Ikan-ikan kecil kemudian akan menarik perhatian ikan besar.
Biaya yang dikeluarkan untuk pemasangan rumpon 75 juta Rupiah untuk tali rumpon yang terbuat dari bahan nylon multifilament dan sekitar 40 juta untuk
tali rumpon berbahan rafia. Namun adapula nelayan yang menggunakan bahan- bahan yang diambil dari sisa-sisa rumpon yang terlepas di laut dan ditemukan
oleh nelayan. Karena biaya pembuatan satu unit rumpon yang sangat mahal, maka nelayan membentuk kelompok untuk meringankan biaya pembuatannya. Satu unit
rumpon dimiliki oleh 7 sampai 10 kelompok kapal. Nelayan diluar kelompoknya tidak diperbolehkan untuk menangkap ikan di rumpon milik mereka. Hal ini
disebabkan karena nelayan di luar kelompok tidak akan mempunyai keinginan untuk membangun swadaya kelompok. Terdapat pula beberapa kelompok nelayan
yang masih mengizinkan nelayan lain untuk melakukan penangkapan di sekitar rumpon miliknya tetapi tidak lebih dari satu malam.
Tabel 3.7 Posisi pemasangan rumpon nelayan
Rumpon Pemilik
Posisi Lintang
Bujur
1 Rumpon 1
8 59’ 239”
113 20’ 120”
2 Rumpon 2
9 07’ 112”
113 41’ 017”
3 Rumpon 3
9 07’ 013”
113 28’ 107”
4 Rumpon 4
9 08’ 987”
113 40’ 474”
5 Rumpon 5
8 58’ 770”
112 41’ 014”
6 Rumpon 6
8 59’ 797”
113 40’ 179”
7 Rumpon 7
9 08’ 887”
112 50’ 979”
8 Rumpon 8
8 59’ 239”
113 20’ 126”
9 Rumpon 9
8 59’ 979”
113 00’ 873”
10 Rumpon 10
8 57’ 312”
112 50’ 479”
11 Rumpon 11
8 58’ 170”
113 30’ 430”
12 Rumpon 12
8 57’ 447”
113 02’ 589”
13 Rumpon 13
9 08’ 099”
113 18’ 770”
14 Rumpon 14
9 09’ 881”
113 08’ 737”
15 Rumpon 15
8 59’ 343”
113 10’ 747”
Sumber: data responden
Tabel 3.7 di atas menunjukkan posisi pemasangan rumpon para responden nelayan pemilik pada Perairan Puger, Jawa Timur. Satu posisi rumpon pada
tabel tersebut dikoordinir oleh ketua kelompok dengan beranggotakan sekitar 7-10 kapal.
5 Umpan
Umpan yang digunakan pada alat tangkap pancing ini menggunakan umpan buatan maupun alami. Umpan buatan berupa cumi-cumi dan ikan tongkol buatan.
Umpon tongkol terbuat dari kayu yang dibentuk dan diwarnai menyerupai ikan aslinya. Umpan cumi-cumi terbuat
dari bahan karet yang bewarna mencolok atau menarik.
Umpan alami yaitu berupa tongkol atau cakalang.
a
Umpan cumi-cumi b Umpan rapala
Gambar 3.14 Jenis umpan yang digunakan.
Daerah penangkapan dan metode pengoperasian alat tangkap
Daerah penangkapan tuna menggunakan rumpon dilakukan pada jarak 45 mil dari pinggir pantai Puger. Perjalanan dari fishing base menuju fishing ground
rata-rata menghabiskan waktu selama 6 jam. Jarak antar rumpon yang dipasang yaitu 7 sampai 10 mil. Peta lokasi pemasangan rumpon di Perairan Puger
disajikan pada Gambar 3.14
Gambar 3.15 Peta lokasi pemasangan rumpon di Perairan Puger
Pengoperasian alat tangkap dimulai saat keberangkatan, penangkapan, dan kembali ke fishing base. Sebelum keberangkatan, dilakukan pemeriksaan kondisi
mesin kapal dan persiapan segala kebutuhan melaut seperti: alat tangkap, umpan beserta cadangannya, solar, air bersih, makanan, es curah. Semua persiapan
mengeluarkan dana sebesar 5 juta dalam sekali trip. Jumlah hari operasi yaitu sekitar 5 sampai 7 hari dan tergantung hasil tangkapan yang diperoleh. Biaya
operasional yang dikeluarkan nelayan skoci lebih mahal dibandingkan dengan nelayan payang, jukung, dan jaring. Hal ini dikarenakan nelayan skoci berada di
laut lebih lama dibandingkan dengan nelayan lainnya.
Alat tangkap pancing ini dioperasikan dengan metode trolling atau ditarik oleh kapal. Saat di fishing ground, setiap ABK mengambil perannya masing-
masing. Nakhoda bertugas menjalankan kapal saat penarikan alat tangkap serta mempersiapkan alat, ABK pertama mengoperasikan alat tangkap di bagian
haluan, ABK kedua mengoperasikannya pada bagian buritan. Sisa ABK lainnya bertugas mempersiapkan kebutuhan tali dan mata pancing cadangan serta
mempersiapkan kebutuhan untuk pengangkatan dan penanganan ikan di kapal. Pancing diturunkan ke laut dan dibiarkan terlebih dahulu hingga terdapat tanda-
tanda ikan tertangkap. Selama pancing dibiarkan, mesin kapal tetap dinyalakan namun tidak dijalankan. Kadang kala kapal tetap dijalankan namun dengan
kecepatan rendah sekitar 1-2 knot dengan tujuan agar umpan buatan dapat bergerak seperti halnya ikan hidup dan dapat menarik perhatian ikan target.
Setelah ikan tertangkap oleh pancing, maka kapal dijalankan dengan kecepatan tinggi sekitar 4 knot mengikuti arah renang ikan hingga ikan lemas dan dapat
ditarik ke kapal dengan mudah.
Selain ditarik oleh kapal, pengoperasian pancing juga dilakukan saat kapal ditambatkan pada rumpon dengan kondisi mesin mati dan pelampung jerigen
dibiarkan hanyut mengikuti arus laut. Jika ada tanda-tanda ikan tertangkap, maka pancing akan bergerak dengan sendirinya. Kapal akan mendatangi pancing dan
kemudian pancing ditarik dari kapal. Operasi penangkapan pancing dilakukan baik pagi, siang, sore, maupun malam hari. Saat malam hari, penangkapan
dilakukan dengan menggunakan alat bantu lampu sebagai penerangan di sisi kiri dan kanan kapal.
Gambar 3.16 Alat bantu lampu pada kapal
Distribusi dan pemasaran ikan tuna
Ikan tuna yang diperoleh nelayan skoci tidak dilelang di tempat pelelangan ikan TPI melainkan dijual kepada pengambek dengan harga jual yang telah
ditentukan, oleh karena itu fasilitas TPI di PPI Puger tidak berjalan sesuai dengan fungsinya. Keterikatan antara pengambek dengan nelayan disebabkan karena
pengambek memberikan modal atau pinjaman kepada nelayan sesuai dengan yang dibutuhkan. Pengambek yang berada di Puger terdiri dari pengambek besar dan
pengambek kecil. Pengambek kecil biasa disebut belantik. Gambar hubungan distribusi penjualan hasil tangkapan nelayan skoci dapat dilihat pada gambar
berikut:
Gambar 3.17 Distribusi penjualan hasil tangkapan nelayan Puger Pola hubungan antara nelayan berdasarkan gambar diatas menunjukkan
suatu hubungan keterikatan yang sangat kuat antara nelayan dan pengambek. Nelayan yang memiliki keterikatan dengan belantik akan menjual hasil tangkapan
kepada belantik. Belantik akan menjual kembali hasil tangkapan tersebut kepada pengambek besar. Harga tuna diatas 20 kg dihargai sekitar Rp24 000,-kg. Tuna
ukuran dibawah 20 kg dijual dengan harga Rp15 000kg oleh pengambek besar. Apabila nelayan mempunyai ikatan kepada belantik, maka harga tersebut akan
dipotong oleh belantik sebesar Rp2 000,-kg. Harga tuna dapat berubah sewaktu- waktu tergantung pada musim ikan. Saat musim puncak, harga ikan lebih rendah
dibandingkan dengan musim paceklik yaitu sekitar Rp22 000,-kg untuk ikan diatas 20 kg dan Rp12 500,-kg untuk ikan dibawah 20 kg.
Pada umumnya, para pengambek memiliki hubungan dengan para pedagang besar yang berada diluar sehingga mereka mengetahui kemana hasil tangkapan
akan dijual. Namun ada beberapa pengambek yang menggunakan jasa perantara untuk menjual ikannya kepada pedagang besar atau perusahaan-perusahaan
pengolahan di luar daerah. Daerah Puger tidak terdapat industri pengolahan ikan sehingga hal ini menjadi alasan bagi para pengambek untuk menjual ikannya
kepada pedagang di luar Puger. Fasilitas di PPI Puger yang tidak memadai dan teknologi yang kurang maju merupakan faktor yang menyebabkan tidak adanya
industri pengolahan di daerah Puger. Keuntungan yang diambil oleh pihak perantara sesuai dengan kesepakatan bersama.
Hubungan nelayan dengan pengambek tidak dapat dipisahkan. Oleh karena nelayan tidak dipercaya oleh bank dalam hal peminjaman keuangan, maka banyak
nelayan yang beralih pada pengambek. Kebutuhan keuangan para nelayan dalam jumlah besar dapat dipenuhi oleh pengambek dalam waktu cepat. Nelayan lebih
Pengambek Besar
Pedagang besar Bali dan Surabaya
Perantara Nelayan
Pengambek kecil Belantik
memilih untuk menjual hasil tangkapan kepada pengambek dibanding pedagang besarperusahaan. Kemampuan pengambek untuk membayar lunas harga hasil
tangkapan para nelayan dibandingkan pedagang besar menjadi alasan nelayan dalam menjual hasil tangkapan.
4
EVALUASI PERIKANAN PANCING YANG MENGGUNAKAN RUMPON DI PERAIRAN PUGER, JAWA
TIMUR
Pendahuluan
Armada pancing dengan menggunakan rumpon di Puger baru berkembang pada awalnya beberapa unit saja. Armada pancing ini biasanya menangkap ikan-
ikan pelagis besar yang memiliki nilai ekonomis penting seperti tuna. Hasil tangkapan yang diperoleh dengan menggunakan rumpon selalu memberikan
keuntungan maksimal, maka nelayan yang menggunakan armada pancing ini juga semakin bertambah. Nelayan Puger mengakui bahwa penangkapan ikan
menggunakan rumpon menunjukkan hasil tangkapan yang besar, sehingga penggunaan armada pancing terus berkembang di wilayah Perairan Puger.
Penggunaan armada pancing yang semakin meningkat dapat menyebabkan penangkapan tuna disekitar rumpon semakin besar sehingga produksi ikan juga
bertambah. Apabila peningkatan jumlah armada ini terus berlangsung, maka sumberdaya tuna akan terus dimanfaatkan secara berlebihan. Hal ini
dikhawatirkan akan menurunkan sumberdaya ikan di perairan tersebut, serta berdampak pada lingkungan sosial dan ekonomi.
Ikan tuna dan sejenisnya sampai saat ini masih mendominasi ekspor produk perikanan Indonesia. Namun sama halnya dengan ikan lain, tuna mengalami
pembusukan yang cepat setelah tertangkap jika tidak ditangani dengan baik. Permasalahan yang sering dijumpai pada armada pancing di Puger adalah
penanganan ikan tidak menggunakan sistem rantai dingin selama transportasi menuju tempat pendaratan maupun pendistribusian menuju hinterland nya.
Kualitas hasil tangkapan tuna yang rendah akan menyebabkan harga ikan tersebut juga rendah. Kualitas ikan tidak mampu bersaing dengan pasar dari luar daerah.
Oleh karena peranan armada pancing dengan rumpon di Perairan Puger yang sangat berkontribusi pada penangkapan tuna dalam jumlah besar, maka perlu
dilakukan evaluasi terhadap perikanan pancing yang menggunakan rumpon ini. Evaluasi dilakukan dengan menentukan produktivitas pada armada pancing
tersebut, komposisi dan kualitas hasil tangkapan yang didaratkan, serta konflik antar nelayan dan stakeholder terkait.
Menurut Keputusan
Menteri Kelautan
dan Perikanan
Nomor KEP.38MEN2003, produktivitas kapal penangkap ikan adalah tingkat
kemampuan kapal penangkap ikan untuk memperoleh hasil tangkapan ikan per tahun.
Penentuan apakah sumberdaya mengalami pertumbuhan dari segi ekologi selain berdasarkan catch per unit effort CPUE, juga dapat dilihat berdasarkan
komposisi ikan tuna yang didaratkan. Analisis komposisi bertujuan untuk
mengetahui kelayakan ikan tuna yang didaratkan berdasarkan ukuran panjang dan berat yang sesuai kriteria layak tangkap dan kriteria produk ekspor.
Penentuan apakah sumberdaya mengalami pertumbuhan dari segi ekonomi juga dapat dilihat berdasarkan analisis kualitas hasil tangkapannya. Analisis
kualitas bertujuan untuk mengetahui kelayakan kualitas hasil tangkapan ikan tuna. Hal ini dapat menentukan apakah ikan tuna hasil tangkapan yang didaratkan di
PPI Puger sudah dilakukan penanganan yang baik. Penanganan ikan yang baik dapat
menghasilkan keuntungan
ekonomi bagi
nelayan serta
dapat mengembangkan perikanan pancing di daerah Puger.
Analisis konflik sosial dilakukan dengan mendeskripsikan kondisi sosial masyarakat nelayan Puger yang berpotensi menimbulkan konflik. Dalam
kehidupan sosial, konflik selalu ada sebagai tanda bahwa terjadi kehidupan sosial yang sehat dan dinamis. Pranata sosial yang hidup di nelayan Puger sangat erat
hubungannya dengan mekanisme penyelesaian konflik solusi konflik agar keharmonisan sosial masih tetap terjaga. Konflik yang terjadi di Puger dapat
disebabkan oleh armada yang digunakan nelayan, kondisi perairan yang bersifat open access, serta keberadaan rumpon.
Metode Penelitian Cara pengambilan data
Pengambilan data dilakukan dengan dua cara yaitu pengambilan data sekunder dan primer. Pengambilan data produktivitas dilakukan dengan
menggunakan data sekunder dari dinas TPI Tempat Pendaratan Ikan, dan Dinas Kelautan dan Perikanan provinsi Jawa Timur. Data yang diambil adalah data
produksi ikan tuna dari tahun 2007 sampai 2011 dan data jumlah kapal pancing yang ada di PPI Puger.
Pengambilan data komposisi dan kualitas hasil tangkapan dilakukan secara langsung dengan mengukur panjang berat, menentukan jenis, dan menilai kualitas
dari ikan tuna yang didaratkan. Data ikan yang diambil saat kapal mendarat kemudian dicatat pada data sheet. Sampel ikan diambil secara purpossive
sampling dari 4 kapal yang mendarat di PPI Puger. Pengambilan sampel sebanyak 4 unit ini dikarenakan jumlah tersebut merupakan jumlah armada kapal yang
melaksanakan kegiatan penangkapan pada saat penelitian berlangsung.
Gambar 4.1 Pengukuran fork length ikan Fork length
Data konflik yang dikumpulkan berupa hasil wawancara terhadap beberapa responden. Wawancara responden dilakukan dengan teknik purpossive sampling.
Pengambilan sampel sebanyak 16 responden yang berperan penting dalam suatu komunitas nelayan. Responden sebanyak 9 orang merupakan para pemilik kapal
sekaligus nakhoda, sebanyak 4 orang merupakan nakhoda, 2 responden mewakili dinas BPPPI Puger, serta 1 orang responden yang merupakan Kepala Desa
Kecamatan Puger. Kuesioner terkait konflik nelayan yaitu mengenai opini para responden terhadap potensi-potensi yang dapat menyebabkan timbulnya konflik
dan penyebab terjadinya konflik.
Analisis data
Analisis data yang dilakukan yaitu: 1.
Produktivitas armada pancing Produktivitas armada penangkap ikan pancing per tahun ditetapkan
berdasarkan perhitungan jumlah produksi hasil tangkapan dalam satu tahun dibagi besarnya jumlah kapal yang bersangkutan.
E kg
h P
unit
Keterangan : P
= Produktivitas kgunit ∑ E = Upaya penangkapan unit
∑ h = Produksi hasil tangkapan kg 2.
Komposisi hasil tangkapan Analisis komposisi hasil tangkapan dilakukan dengan menghitung
persentase kelas ukuran panjang dan berat menggunakan persamaan Sturgess
1982 dalam Yulius 2013, adapun tahapannya yaitu:
K = 1+ 3,3 Log N 1
Keterangan: K = Jumlah kelas
N= Jumlah sampel P = RK
2 Keterangan:
P = Selang kelas R = Sebaran panjang atau lebar terendah hingga tertinggi
K = Jumlah kelas
P = KiK x 100 3
Keterangan: P = Persentase kelas ukuran ikan ke-i
K = Jumlah total individu ikan seluruh kelas
3. Kualitas hasil tangkapan
Analisis kualitas dilakukan dengan membandingkan nilai organoleptik pada bagian ikan dengan standar yang ditetapkan BSN 2006. Nilai organoleptik diuji
pada setiap ekor ikan per kapal dan dihitung nilai rata-rata organoleptiknya. Kemudian dilakukan perhitungan persentase nilai organoleptik yang diperoleh.
4. Konflik sosial nelayan
Analisis konflik sosial dilakukan secara deskriptif dengan membuat diagram permasalahan yang terjadi di PPI Puger. Permasalahan tersebut melibatkan para
stakeholders yang terkait dengan perikanan pancing, serta penyebab timbulnya suatu permasalahan. Berdasarkan diagram permasalahan yang telah dibuat,
kemudian akan dipaparkan alternatif solusinya. Identifikasi sifat konflik dilakukan dengan pendekatan Louis A. Pondy 1989 dalam Basri S 2011, yaitu:
1
Latent conflict, merupakan hasil dari kesalahpahaman pihak satu dengan pihak lain mengenai posisi sebenarnya. Konflik bisa diselesaikan dengan saling
membangun pemahaman dan meningkatkan komunikasi antar pihak.
2 Perceived conflict, merupakan konflik yang dianggap ada oleh masing-masing
unit namun kondisi ini tidak berdampak secara emosional diantara pihak- pihaknya.
3 Felt
conflict, merupakan
konflik yang
dimiliki masing-masing
orangkelompok dan kondisi ini berdampak secara emosional diantara pihak- pihaknya.
4 Manifest conflict,
Model ini menjelaskan bagi sejumlah perilaku konflik yang telah bersifat nyata. Wujud konflik yang paling nyata adalah penyerangan
terbuka, perkelahian, serta perang mulut.
Hasil Produktivitas armada pancing
Salah satu penentuan tingkat produktivitas suatu alat tangkap yaitu dengan menghitung produksi penangkapan per satuan upaya penangkapan CPUE.
Dalam usaha meningkatkan produktivitas perikanan tangkap di PPI Puger terutama pada perikanan pancing ini, perlu diketahui produktivitas dari armada
pancing per tahun.
Tabel 4.1 Produktivitas armada pancing periode 2007-2011
Tahun ∑ Armada
pancing Produksi
tuna Kg Produktivitas
KgUnit Perubahan
2007 208
36800 176.923
2008 222
394000 1774.775
903.13 2009
222 415200
1870.270 5.38
2010 310
401500 1295.161
-30.75 2011
458 946400
2066.376 59.55
Rata-rata 284
438780 1436.701
Sumber: Pengolahan data
Produktivitas armada pancing CPUE di sekitar rumpon dari tahun 2007 sampai tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel 4.1. Produksi hasil tangkapan terbesar
oleh armada pancing terdapat pada tahun 2011 ini yaitu sebesar 946400 kg, dan
nilai CPUE sebesar 2066.376 kgunit. Sedangkan produksi hasil tangkapan terkecil terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar 36800 kg, dan CPUE sebesar 176.92
kgunit. Nilai produktivitas tersebut menunjukkan bahwa setiap unit armada pancing mampu menangkap ikan sebesar 2066.376 kg di tahun 2011 dan sebesar
176.92 kg di tahun 2007.
Produktivitas rata-rata armada pancing dari tahun 2007 sampai 2011 sebesar 1436.7 kgunit. Peningkatan terjadi pada tahun 2008 sebesar 903 dan tahun
2009 sebesar 5. Namun pada tahun 2010, nilai produktivitas armada pancing menurun sebesar 30.75 menjadi 1295.16 kgunit. Artinya, peningkatan armada
pancing menyebabkan penurunan hasil tangkapan sebesar 30.75, dan setiap unit armada pancing hanya mampu memproduksi ikan sebesar 1295.161 kg.
Gambar 4.2 Produktivitas armada pancing periode 2007-2011 Gambar 4.2 menunjukkan grafik perubahan nilai produktivitas armada
pancing periode 2007 hingga 2011. Grafik tersebut menunjukkan bahwa peningkatan hasil tangkapan cenderung terjadi secara linear dengan armada
pancing yang meningkat. Pada tahun 2010 terjadi penurunan produktivitas, sehingga peningkatan jumlah alat tangkap menyebabkan penurunan produksi
ikan.
Penurunan tersebut tidak berlanjut di tahun 2011 karena nilai CPUE alat tangkap pancing kembali naik sebesar 59.55.
Komposisi hasil tangkapan armada pancing
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, komposisi hasil tangkapan yang diperoleh armada pancing di Perairan Puger adalah jenis yellowfin tuna Thunnus
albacares. Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak 4 kapal dengan total berat tuna adalah sebesar 493 kg. Total berat sampel tuna yang
diambil dari 4 kapal adalah sebesar 87.7 kg. Jumlah sampel tuna yang diambil sebanyak 35 ekor. Berikut ini disajikan gambar komposisi berat dan ukuran
sampel tuna yang diambil.
Gambar 4.3 Sebaran berat sampel tuna Gambar 4.3 menunjukkan bahwa berat sampel tuna didominasi oleh ukuran
antara 0 sampai 2.5 kg sebesar 80. Berdasarkan analisis berat ikan layak ekspor, didapatkan bahwa seluruh hasil tangkapan tuna yang didaratkan tidak memenuhi
kriteria untuk produk ekspor. Tabel sebaran berat ikan dapat dilihat pada
Lampiran 8 Penangkapan ikan yang belum dewasa masih banyak dilakukan oleh
nelayan Puger. Kondisi ekonomi yang masih rendah menjadi penyebab masih dilakukannya penangkapan. Biaya operasional yang dikeluarkan akan lebih besar
dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh jika tidak dilakukan penangkapan
. Pada saat kondisi paceklik, para nelayan tetap melakukan penangkapan ikan ukuran apapun untuk menutupi modal operasional yang telah
dikeluarkan.
Gambar 4.4 Sebaran panjang sampel ikan tuna Panjang sampel tuna pada Gambar 4.4 menunjukkan bahwa sebaran panjang
ikan tuna yang tertangkap dominan berada pada panjang antara 41 sampai 56 cm yaitu sebanyak 21 ekor. Berdasarkan analisis length at first maturity menurut
Fishbase 2010, didapatkan hasil bahwa seluruh ikan tuna yang didaratkan memiliki ukuran yang tidak layak tangkap.
Ukuran layak tangkap lebih besar dari length at first-maturity untuk yellowfin tuna adalah minimal 120 cm. Jumlah ukuran ikan tidak layak tangkap
ini dapat terjadi karena tingginya intensitas tangkapan di Perairan Selatan Jawa. Hal ini dapat membuktikan bahwa kemampuan biologi ikan untuk tumbuh
mencapai ukuran dewasa telah dibatasi dengan adanya peningkatan penangkapan.
a Yellowfin tuna
b Ikan tuna yang akan didistribusikan Gambar 4.5 Hasil tangkapan armada pancing
Kualitas hasil tangkapan
Kualitas ikan dipengaruhi oleh penanganan hasil tangkapan baik di atas kapal maupun di darat. Penanganan terhadap mutu ikan sangat penting dilakukan
sebab ikan merupakan produk perikanan yang bersifat highly perishable mudah busuk.
a Kondisi insang tuna
b Kondisi mata tuna
c Kondisi daging tuna cacat saat penanganan Gambar 4.6 Kualitas hasil tangkapan
Analisis organoleptik ikan dilakukan dengan melihat secara langsung kondisi fisik ikan yang didaratkan, meliputi: mata, insang, tekstur, dan bau.
Penilaian organoleptik ditentukan melalui pengamatan yang dilakukan oleh peneliti sendiri. Hasil pengamatan yang dilakukan terhadap kualitas ikan tuna
yang didaratkan di PPI Puger dapat dilihat pada
Lampiran 9. Tabel 4.2 Nilai organoleptik ikan tuna di PPI Puger
No Nilai Organoleptik
Jumlah ikan ekor
Persentase 1
5 6
17.1
2 6
17 48.6
3
7 8
22.9
4 8
4 11.4
Sumber: Olahan data
Hasil penelitian yang dinyatakan pada Tabel 4.2 dinyatakan bahwa ikan tuna di PPI Puger memiliki nilai organoleptik antara 5 hingga 8. Ikan tuna yang
memiliki nilai organoleptik 6 paling besar jumlahnya dibandingkan dengan nilai lainnya. Nilai organoleptik 5 diperoleh sebanyak 6 ekor 17.1, nilai
organoleptik 6 sebanyak 17 ekor 48.6, untuk nilai organoleptik 7 dan 8 masing-masing sebanyak 8 ekor 22.9 dan 4 ekor 11.43.
Tuna yang diperoleh pada kapal 1 memiliki nilai organoleptik lebih baik dari kapal lainnya. Nilai organoleptik yang baik ini disebabkan ketersediaan es
didalam palkahbox sangat mencukupi untuk menjaga kualitas ikan hingga pendaratan. Selain itu jumlah ikan didalam box juga tidak terlalu berlebihan
sehingga muatan box dapat menampung ikan. Penyusunan ikan juga tertata dengan baik. Hal ini menyebabkan kualitas daging yang diperoleh pun bernilai
lebih tinggi dibandingkan dengan kapal lain Lampiran 3.
Kondisi organoleptik kapal 2 Lampiran 4, kapal 3 Lampiran 5, dan kapal 4 Lampiran 6 memiliki nilai rata-rata yang hampir sama yaitu sekitar 6. Kondisi
ini berada pada taraf dibawah standar ikan yang layak ekspor. Ikan tuna ekspor harus memiliki nilai organoleptik minimal 7 BSN 2006. Berdasarkan
pengamatan di lapangan, penanganan tuna pasca penangkapan yang kurang memperhatikan prosedur menjadi penyebab turunnya kualitasmutu ikan.
Intensitas terkena matahari yang cukup tinggi, kurangnya pasokan es dalam palkah, serta pembongkaran ikan tanpa adanya perlindungan terhadap ikan
merupakan hal yang sering terlihat di Puger. Secara keseluruhan, hasil tangkapan ikan tuna di Perairan Puger lebih di dominasi oleh ikan-ikan dengan kondisi fisik
yang kurang segar.
Konflik sosial nelayan
Konflik yang terjadi pada nelayan skocipancing bermacam-macam. Seringkali konflik mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan, seperti kondisi
yang mengakibatkan bentrokan, keresahan, perasaan tidak aman, dan lain-lain. Gambar 4.7 menjelaskan beberapa konflik dan akar masalah terjadinya konflik.
Gambar 4.7 Diagram akar permasalahan konflik nelayan rumpon di Puger Konflik nelayan dengan TPI timbul karena tidak pernah ada pendaratan tuna
di pelabuhan sehingga tidak pernah dilakukan pelelangan ikan tuna di TPI. Ketiadaan proses pelelangan di TPI menyebabkan tidak adanya retribusi yang
masuk kepada TPI. Pelelangan ikan yang tidak dilakukan di TPI disebabkan karena adanya monopoli yang dilakukan oleh pengambek kepada nelayan pancing
akibat adanya keterikatan yang kuat antara nelayan dan pengambek. Keterikatan ini terjadi karena pengambek merupakan sumber dana pinjaman para nelayan.
Pinjaman yang dilakukan nelayan tidak hanya untuk biaya operasional melaut, namun juga untuk biaya kehidupan sehari-hari dan biaya lainnya. Konflik ini
bersifat laten karena belum terjadi konflik terbuka antara nelayan dan pihak TPI. Konflik ini tetap berpotensi menjadi konflik yang muncul dipermukaan jika tidak
diselesaikan dengan saling membangun pemahaman dan meningkatkan komunikasi antar pihak.
Konflik antar nelayan rumpon terjadi karena adanya kecemburuan sosial terkait dana bantuan rumpon. Dana bantuan ini dapat diberikan apabila nelayan
rumpon membentuk suatu kelompok. Kelompok tersebut akan mengajukan permohonan bantuan dana kepada pemerintah. Namun, beberapa kelompok
nelayan lainnya tidak pernah mendapat dana bantuan dari pemerintah. Mereka menganggap bahwa dana bantuan tidak diberikan secara merata sebab kriteria dan
syarat penerima bantuan tidak jelas. Penyaluran dana bantuan tidak transparan. Terdapat juga beberapa kelompok nelayan yang tidak mengajukan permohonan
dana bantuan kepada dinas, sehingga dana bantuan pun tidak pernah turun kepada mereka. Konflik ini dianggap sebagai felt conflict sebab menimbulkan dampak
reaksi emosional antar pihak terkait. Hal ini menimbulkan sikap-sikap yang sudah mulai bertentangan antar satu pihak dengan pihak lain sehingga masalah kecil
mulai berkembang.
Konflik nelayan rumpon dengan pemerintah setempat juga dianggap sebagai felt conflict. Konflik ini terjadi akibat pembagian dana rumpon yang tidak merata
kepada nelayan. Hal ini disebabkan karena sebagian nelayan menganggap tidak pernah ada kejelasan mengenai dana bantuan yang turun kepada nelayan. Program
dana bantuan rumpon merupakan salah satu program pemerintah dalam membantu meringankan biaya operasional pembuatan rumpon. Namun
implementasinya, bantuan yang diberikan tidak merata. Bantuan tersebut selalu diberikan kepada orang yang sama setiap tahunnya, sehingga kesempatan untuk
kelompok nelayan lain tidak pernah ada.
Konflik nelayan rumpon dengan nelayan lain terjadi karena adanya persaingan terhadap sumberdaya perairan yang menyebabkan hasil tangkapan
nelayan lain berkurang. Hal ini disebabkan karena ikan di daerah penangkapan lain tertahan di rumpon. Sebagai tambahan, Konflik juga terjadi karena adanya
perebutan dalam mengakses alat bantu rumpon yang merupakan milik kelompok nelayan lain. Konflik ini dianggap sebagai manifest conflict sebab wujud konflik
ini telah menimbulkan adanya penyerangan, perkelahian, dan kekerasan fisik.
Konflik nelayan di Puger dapat dibedakan berdasarkan sifatnya serta penyelesaian yang diharapkan dapat dilakukan untuk meredakan konflik. Sifat dan
penyelesaian konflik di Puger tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Jenis dan sifat konflik, dan penyelesaian terhadap konflik nelayan rumpon di Perairan Puger
Jenis konflik Sifat Konflik
Penyelesaian konflik
1 Konflik nelayan dengan TPI.
Banyaknya nelayan pancing yang tidak mendaratkan hasil tangkapan ke
TPI sehingga tidak adanya pembayaran retribusi
dari nelayan
serta menyebabkan
susahnya pendataan
produksi hasil tangkapan tuna di perairan Puger.
Latent conflict TPI konsisten melaksanakan perannya dalam mengambil alih
fungsi pengambek sehingga ikan dapat dilelang TPI lebih melayani dalam memberikan pinjaman modal kepada
nelayan dengan mudah serta menyelesaikan masalah keterkaitan hutang para nelayan dengan pengambek.
Perlu adanya TPI yang dibangun pada jalur alternatif kapal yang masuk sehingga memudahkan ikan didaratkan.
2 Konflik antar nelayan rumpon.
Adanya perebutan dana bantuan rumpon.
Felt conflict Membentuk dan mengaktifkan perkumpulan kelompok sosial
nelayan rumpon untuk mengetahui proses dan syarat penerimaan dana bantuan rumpon.
3 Konflik nelayan pancing dengan
pemerintah. Terkait masalah bantuan rumpon
dari pemerintah. Felt conflict
Beberapa nelayan tidak memperoleh dana bantuan tersebut sebab tidak adanya kejelasan mengenai dana yang turun. Penyelesaian
yang mungkin dapat dilakukan yaitu pemerintah memberikan kejelasan terkait dana bantuan yang ada agar tidak ada pihak yang
merasa dirugikan.
4 Konflik nelayan rumpon dengan
nelayan lain .
Perebutan sumberdaya di perairan dan konflik penggunaan rumpon.
Manifest conflict Pemerintah harusnya lebih mengatur posisi antar pemasangan
rumpon jarak antar rumpon tidak terlalu dekat sehingga penyebaran ikan dapat merata.
39
Pembahasan Produktivitas armada pancing di Perairan Puger
Perairan Puger termasuk kedalam wilayah Perairan Selatan Jawa yang merupakan wilayah pengelolaan perikanan Samudera Hindia. Produktivitas
armada pancing rumpon di Perairan Puger dalam lima tahun terakhir selalu meningkat. Hal ini berarti bahwa kemampuan kapal untuk memperoleh hasil
tangkapan juga meningkat. Oleh karena itu, penggunaan armada pancing semakin dimanfaatkan oleh nelayan untuk memperoleh hasil tangkapan yang maksimal.
Kondisi demikian berarti bahwa penangkapan ikan di Perairan Puger masih tetap tinggi. Jika hal ini masih terus dilakukan, maka dikhawatirkan bahwa kondisi
sumberdaya ikan di sekitar Perairan Puger akan cenderung mengarah pada penangkapan berlebih. Kondisi ini dapat menyebabkan produksi ikan tuna akan
menurun dalam beberapa tahun kedepan. Wilayah Perairan Selatan Jawa pada umunya telah mengalami kegiatan penangkapan berlebih. Hal ini disampaikan
Nikijuluw 2008 dalam publikasinya bahwa kondisi sumberdaya ikan tuna di sekitar perairan Indonesia, terutama di perairan Samudera Hindia dan Samudera
Pasifik sudah full-exploited. Bahkan di perairan Samudera Hindia kondisinya cenderung mengarah kepada over-exploited atau telah dimanfaatkan melebihi
potensi lestarinya. Kegiatan penangkapan yang dilakukan telah melampaui batas daya dukung lingkungannya akan membutuhkan waktu yang lama untuk kembali
pada kondisi semula.
Produktivitas pada tahun 2009 lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas pada tahun 2008 sedangkan jumlah armada keduanya sama besar.
Kondisi ini salah satunya dapat disebabkan karena jumlah hari operasi di laut pada tahun 2009 lebih tinggi dibandingkan tahun 2008. Artinya, sumberdaya ikan di
Perairan Puger semakin dimanfaatkan secara intensif oleh nelayan. Sebagaimana dikatakan oleh Saputra 2011 bahwa peningkatan jumlah hari operasi di
Samudera Hindia saat ini semakin tinggi dibandingkan dengan peningkatan jumlah armada.
Produksi ikan di suatu pelabuhan perikanan tidak hanya dipengaruhi oleh jumlah armada saja tetapi juga dipengaruhi oleh keberadaan ikan di wilayah
perairan tersebut. Keberadaan ikan dapat dipengaruhi oleh musim dan pola tingkah laku makan ikan. Hal ini sesuai dengan penelitian Kurnia 2012, yaitu
berfluktuasinya produksi ikan diduga dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: pola berkumpulnya ikan disekitar rumpon yang tidak merata, pola tingkah
laku makan ikan, dan rantai makanan yang terjadi di sekitar rumpon. Pola tingkah laku makan ikan dipengaruhi oleh waktu atau musim. Kondisi ini akan
mempengaruhi keberadaan ikan di sekitar rumpon. Pada saat tertentu kelimpahan ikan akan rendah dan disaat lainnya kelimpahan ikan akan tinggi. Hal tersebut
secara tidak langsung mempengaruhi jumlah hasil tangkapan nelayan.
Dalam mengatasi over-exploited, pengaturan alat tangkap dan rumpon perlu diperhatikan dalam pemanfaatannya menciptakan pengelolaan perikanan
berkelanjutan. Perlunya pengaturan jarak rumpon di wilayah tertentu yaitu sekitar 10 mil dan harus memiliki perizinan dalam pemasangannya. Pengaturan rumpon
ini
didasarkan atas
Keputusan Menteri
Kelautan dan
Perikanan KEP.30MEN2004. Masalah perizinan dan jarak rumpon baik jarak dari pantai
maupun jarak antar rumpon masih belum dipenuhi di banyak lokasi pemasangan
rumpon. Oleh karena itu perlu dilakukan identifikasi terkait persoalan ini, kemudian dilakukan sosialisasi mengenai pemahaman aturan rumpon dengan
fokus terhadap permasalahan yang ada di daerah tersebut. Selanjutnya membuat sistem hukuman pada pemilik rumpon yang melanggar aturan yang sudah ada.
Jika sudah ada zonasi pengaturan rumpon, hal ini dapat diintegrasikan didalam dokumen rencana pengelolaan kawasan management plan Aryogagautama
2012.
Komposisi hasil tangkapan armada pancing
Hasil tangkapan tuna keseluruhan yang diperoleh merupakan jenis Madidihang atau yellowfin tuna. Tuna jenis ini merupakan jenis tuna
kosmopolitan yang hidup di kawasan sub tropis Samudera Hindia, Pasifik, dan Atlantik dan berasosiasi dalam gerombolan yang sama dengan cakalang
Katsuwonus pelamis dan juvenil tuna mata besar Thunnus obesus. Oleh karena itu, ketiga jenis tuna ini sering tertangkap oleh alat tangkap yang sama.
Hasil tangkapan nelayan lebih banyak berukuran tidak layak tangkap. Pada bagian sebelumnya telah diketahui bahwa nilai produktivitas armada pancing
semakin mengalami peningkatan, artinya produksi ikan semakin meningkat. Nilai produktivitas armada pancing tinggi dan ukuran hasil tangkapan yang diperoleh
masih belum layak tangkap, maka ini menunjukkan bahwa kelestarian sumberdaya ikan telah menurun yang ditandai dengan ukuran ikan hasil
tangkapan cenderung mengecil Monintja 1995 dalam Nurdin 2012. Jumlah ikan tidak layak tangkap ini dapat terjadi karena tingginya intensitas penangkapan di
Perairan Puger. Hal ini dapat membuktikan bahwa kemampuan biologi ikan untuk tumbuh mencapai ukuran dewasa telah dibatasi dengan adanya peningkatan
penangkapan. Hal yang sama juga terjadi di Perairan Atlantik Venezuela dan Teluk Guinea dimana rata-rata ukuran ikan yang tercatat belum mencapai tingkat
matang gonad, serta daerah perairan timur Brazil dimana ukuran yellowfin tuna terus menurun secara kontinu menjadi dibawah 140 cm Lessa 2004.
Ukuran ikan yang masih sangat kecil juga dapat disebabkan karena pada saat penelitian Bulan Januari dan Mei merupakan periode pemijahan ikan.
Nikijuluw 2008 mengatakan bahwa periode pemijahan ikan ini dimulai pada bulan Desember hingga Maret di perairan sekitar khatulistiwa sampai 10
LS. Oleh karena itu dapat diduga bahwa pada saat periode pemijahan, sumberdaya
ikan yang tersedia di Perairan tersebut didominasi oleh juvenil tuna. Selain itu, musim juga mempengaruhi hasil tangkapan tuna. Pada saat
musim puncak Juni hingga September, hasil tangkapan lebih besar dibandingkan dengan musim paceklik Desember hingga Maret. Saat musim transisi,
kelimpahan ikan juga masih sedikit sehingga berdampak pada jumlah hasil tangkapan yang dibawadidaratkan oleh nelayan. Dari hasil wawancara, sejumlah
besar nelayan mengatakan bahwa ikan tuna yang didaratkan sejak tahun 2010 ini memiliki ukuran yang kecil. Sejumlah kecil nelayan berpendapat bahwa
banyaknya ikan tuna yang diperoleh dengan ukuran kecil 25 kg karena pada saat tersebut sedang terjadi musim paceklik.
Penangkapan ikan tuna yang berukuran relatif kecil merupakan penangkapan yang tidak bertanggung jawab. Ikan tuna masih berkesempatan
untuk berkembang dan melakukan pemijahan agar siklus hidupnya dapat berjalan dengan baik. Penangkapan tuna dengan ukuran kecil sangat dipengaruhi oleh pola
pikir nelayan terhadap penangkapan tuna yang tidak sesuai dengan daya dukung lingkungan. Penggunaan pancing layangan dan prawean untuk penangkapan tuna
tidak layak dari sisi ekologi sebab pancing tersebut tidak dapat menjangkau habitat hidup ikan tuna dewasa. Pancing prawean dan layangan hanya menangkap
ikan tuna yang berukuran kecil. Hal ini diperkuat oleh Barata 2011 yang mengatakan bahwa penggunaan rawai tuna dengan tipe permukaan akan
memungkinkan tertangkapnya tuna dari berbagai variasi ukuran, sehingga perlu adanya perubahan pemasangan pancing untuk mencegah tertangkapnya tuna yang
berukuran kecil. Penelitian Josse et al. 2000b yang menunjukkan bahwa ikan tuna kecil bergerombolschooling pada strata kedalaman antara 10 hingga 50 m.
Permasalahan penangkapan ikan yang belum layak tangkap dapat dicegah dengan melakukan sosialisasi daerah mengenai keberlanjutan sumberdaya tuna.
Pada umumnya nelayan Puger berpendapat bahwa tidak pernah adanya sosialisasi atau himbauan dari dinas setempat mengenai penangkapan tuna yang bertanggung
jawab dan tetap mempertahankan kelestarian sumberdaya ikan. Oleh karena itu, sistem kelembagaan POKMASWAS atau lembaga swadaya juga harus
digerakkan. Lembaga tersebut bertugas mengatur jenis dan ukuran ikan yang boleh ditangkap, alat tangkap yang dapat digunakan, serta melaksanakan program
pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu. Adanya aturan tersebut diharapkan dapat menjaga kelestarian sumberdaya ikan dengan baik. Agar program tersebut
dapat berjalan dengan baik, lembaga swadaya juga harus dapat melakukan pendekatan kepada masyarakat nelayan dengan baik. Apabila program berjalan
dengan baik, maka para nelayan juga ikut berpartisipasi dalam melaksanakan penangkapan ikan yang bertanggung jawab.
Kualitas hasil tangkapan
Ikan tuna merupakan produk yang bernilai ekonomi tinggi dan dapat di ekspor, sehingga ikan tuna membutuhkan cara penanganan khusus. Proses
penanganan ikan merupakan hal yang paling penting agar hasil tangkapan tetap
segar saat ikan ditangkap hingga didaratkan di pelabuhan. Ikan tuna yang layak dijadikan produk ekspor khusunya Jepang sebagai fresh sashimi adalah ikan
yang memiliki nilai organoleptik minimal 7 BSN 2006
c
. Ikan tuna yang didaratkan di PPI Puger lebih banyak tidak memiliki peluang ekspor sebab nilai
organoleptik tuna masih dibawah 7. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, kualitas ikan tuna yang rendah di Puger sangat dipengaruhi oleh penanganan ikan saat di
palkah dan setelah di daratkan.
Sistem penanganan ikan tuna menurut Poernomo 2002 tidak diterapkan
dengan baik, baik pada saat kapal telah sampai di pelabuhan maupun saat pembongkaran. Cara pembongkaran palka pendingin ikan tuna menurut
Poernomo 2002, yaitu: 1
Saat ikan dikeluarkan dari palka, sangat disarankan ikan dibungkus dengan kain pendingin biasanya kain terpal atau karung tebal yang selalu dalam
keadaan basah dan dikaitkan pada mata katrol. Diatas lubang palka dipasang semacam tenda untuk melindungi ikan dan isi palka dari sinar matahari. Ikan
harus dijaga agar tidak menyentuh lubang palka, harus diusahakan sehalus mungkin tanpa tonjolan-tonjolan yang mungkin dapat merusak kulit dan tubuh
ikan.
2 Ikan dapat diturunkan dari kapal ke dermaga secara manual. Sebaiknya juga
diberi tenda pelindung dari sinar matahari. Ikan harus diberi pelindung dengan plastikkainkarung tebal.
Tuna yang didaratkan di PPI Puger, diletakkan di tanah tanpa diselimuti oleh kain atau plastik pelindung. Pengangkutan ikan dari kapal ke darat dengan tidak
hati-hati masih sering terjadi di PPI Puger ini. Hal tersebut menyebabkan ikan mudah terkena benturan dan terkontaminasi dengan benda lain. Benturan dan
kontaminasi dapat mempengaruhi kondisi fisik ikan tuna. PPI Puger tidak memiliki cold storage yang berguna untuk menampung ikan tuna setelah
didaratkan. Penyimpanan ikan di dalam cold storage untuk menjamin kesegaran ikan dan tidak mudah mengalami degradasi mutu.
Quang 2005 mengatakan bahwa terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan selama penanganan saat pembongkaran hingga pengangkutan. Suhu
ikan harus selalu dingin, memperkecil sentuhan fisik, menghindari sinar matahari
langsung, serta memperkecil terjadinya kontaminasi merupakan hal yang perlu diperhatikan saat penanganan ikan.
Walaupun ikan yang didaratkan di Puger belum mengalami pembusukan, namun nelayan di Puger banyak mengabaikan hal-hal paling prinsip yang perlu
diperhatikan selama penanganan ikan. Penelitian yang dilakukan oleh Lubis
2009 menjelaskan bahwa hasil tangkapan tuna sudah dalam keadaan tidak baik
sejak berada diatas kapal dan penanganan yang buruk sampai hinterland. Cara penanganan ikan yang masih bersifat tradisional dan belum memanfaatkan
teknologi masih sering terlihat di PPI Puger. Penanganan tuna mulai dari pendaratan hingga pendistribusian masih dilakukan secara manual.
Peningkatan kualitas mutu ikan harus diterapkan di PPI Puger sebab kualitas ikan yang tinggi akan mendatangkan keuntungan ekonomi yang tinggi pula.
Sosialisasi kepada nelayan, pedagang, atau pengusaha agar tercipta penanganan hasil tangkapan yang higinis dan sanitasi yang baik harus dilakukan secara
intensif serta pemantauan terhadap kegiatan pendaratan, pembongkaran, pemindahan ikan tuna. Penangkapan ikan sebaiknya dilakukan bukan berdasarkan
kuantitas, melainkan berdasarkan kualitas ikan yang tetap terjaga hingga pendaratannya.
Ikan tuna yang memiliki kualitas rendah seharusnya masih dapat diolah agar menghasilkan produk olahan yang dapat dijual dan tetap memberikan nilai
ekonomi. Hal ini dapat dilakukan apabila di darah Puger memiliki industri pengolahan ikan. Nilai yang dihasilkan dari produk olahan ini nantinya akan
memberikan pemasukan bagi daerah. Hal ini dapat terwujud jika ada dukungan dari pemerintah untuk membangun kawasan industri perikanan agar dapat
mendukung kegiatan perekonomian. Konflik sosial nelayan di PPI Puger
Konflik yang terjadi di masyarakat nelayan Puger dan pihak lainnya disebabkan karena adanya pemikiran atau visi yang tidak sejalan. Jenis dan sifat
konflik dapat dilihat pada Tabel 4.3. Konflik antara nelayan dengan TPI yaitu mengenai pendaratan tuna yang tidak dilakukan di TPI. Konflik tersebut masih
bersifat latent conflict. Menurut Nurdayasakti 2011, konflik yang masih bersifat laten dan belum tampak dipermukaan karena masih berupa benih-benih yang
suatu saat dapat muncul kepermukaan. Penyelesaian konflik yang bersifat laten
masih cenderung membiarkannya sebab nelayan tidak menginginkan adanya pertentangan fisik. Sikap pembiaran seperti ini pada akhirnya akan merugikan
pihak TPI dan nelayan secara umum karena ikan tidak dapat dilelang serta harga akan terus dimonopoli oleh pengambek. Pihak TPI juga tidak dapat melakukan
pendataan produksi hasil tangkapan tuna di Perairan Puger.
Konflik antar nelayan terkait rumpon bantuan merupakan felt conflict sebab konflik yang ada sudah berdampak secara emosional namun tidak sampai
menimbulkan perpecahan antara kedua belah pihak. Konflik tersebut dapat meluap menjadi kekerasan jika tidak adanya peningkatan komunikasi diantara
mereka. Oleh karena itu, penyelesaian yang dapat dilakukan adalah pengaktifan kelompok sosial nelayan rumpon sebagai wadah untuk menampung aspirasi,
keluhan, serta masalah yang terjadi terutama terkait bantuan rumpon. Kemudian dilakukan musyawarah antar kelompok nelayan. Musyawarah tersebut nantinya
dapat mengetahui bagaimana proses dan syarat pengajuan dana rumpon kepada dinas sehingga mempermudah kelompok nelayan dalam menerima bantuan.
Jahan et al. 2009 mengatakan bahwa komunikasi memainkan peranan penting dalam membangun kesepakatan antara pihak yang saling bertentangan.
Oleh karena itu, harapan dari penyelesaian konflik yaitu adanya tindakan dari stakeholders baik masyarakat maupun instansi untuk membangun musyawarah
terkait kejelasan dana bantuan rumpon.
Konflik yang sudah nyata terjadi di masyarakat nelayan yaitu: konflik nelayan rumpon dengan nelayan lain akibat perebutan sumberdaya di perairan,
konflik antar nelayan terkait penggunaan alat tangkap. Konflik ini disebut sebagai konflik manifest dimana konflik tersebut sudah nyata terjadi di masyarakat
nelayan Nurdayasakti 2011. Penyelesaian konflik ini membutuhkan pendekatan secara hukum dalam pengaturan jarak antar rumpon. Sebagaimana dikatakan oleh
Mappamiring 2005 bahwa dampak rumponisasi dapat dicegah dengan melakukan penguatan sistem kelembagaan pengelolaan rumpon di suatu perairan.
Konflik nelayan dengan aparat pemerintah yang terjadi di Pantai Puger bersifat felt conflict. Mekanisme penyelesaian konflik ini masih belum banyak
dilakukan di Puger sebab posisi antara nelayan dan pemerintah yang jauh dari kesetaraan sehingga dapat berpotensi menimbulkan konflik yang lebih luas.
Dampak dari konflik ini jika dibiarkan yaitu akan menimbulkan terjadinya aksi anarkis masyarakat nelayan terhadap pemerintah seperti demonstrasi di depan
kantor pemerintah. Selain di Indonesia, konflik dalam perikanan juga terjadi di Bangladesh. Hal yang menjadi pemicu terjadinya konflik adalah persaingan akses
penangkapan, dan konflik antara stakeholders dengan lembaga berbeda akibat tumpang tindihnya fungsi serta lemahnya sturktur institusi Jahan et al. 2009.
Kesimpulan
Produktivitas rata-rata armada pancing dalam lima tahun terakhir sebesar 1436.7 kgunit dengan perkembangan yang cenderung meningkat. Produktivitas
armada pancing yang paling rendah terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar 176.923
kgunit. Sedangkan produktivitas armada pancing tertinggi terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar 2066.376 kgunit.
Komposisi hasil tangkapan yang diperoleh armada pancing di perairan Puger adalah jenis yellowfin tuna. Seluruh hasil tangkapan tuna yang didaratkan
tidak memenuhi kriteria untuk produk ekspor dengan panjang ikan tuna yang tertangkap dominan berada pada selang panjang antara 40 sampai 49 cm. Hal ini
membuktikan bahwa kemampuan biologi ikan untuk tumbuh mencapai ukuran dewasa telah dibatasi dengan adanya peningkatan penangkapan.
Kualitas hasil tangkapan tuna di Puger terdiri dari nilai organoleptik sebesar 5, 6, 7, dan 8. Dominasi kualitas ikan tuna yang didaratkan memiliki nilai
organoleptik sebesar 6 dibawah standar minimum ikan tuna layak ekspor. Penanganan tuna pasca penangkapan yang kurang memperhatikan prosedur
menjadi penyebab turunnya kualitasmutu ikan.
Konflik yang terjadi di masyarakat nelayan Puger berupa konflik sesama nelayan perebutan dana bantuan rumpon, konflik nelayan dengan TPI nelayan
tida melelang ikan di TPI, konflik nelayan dengan pemerintah anggapan ketidak adilan dalam penyaluran dana bantuan rumpon, konflik antar nelayan rumpon
dan non rumpon.
Sifat konflik tersebut berupa konflik laten dan masih belum tampak dipermukaan.
Namun terkadang dampak konflik dapat berupa tindakan anarkis masyarakat nelayan kepada pemerintah.
5 PERUMUSAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN
PANCING DENGAN RUMPON DI PERAIRAN PUGER, JAWA TIMUR
Pendahuluan
Daerah Selatan Jawa yang merupakan kawasan penangkapan ikan terutama ikan tuna semakin marak dengan aksi-aksi penangkapan oleh nelayan. Letak
Perairan Puger yang merupakan salah satu wilayah Perairan Selatan Jawa juga tidak terlepas dari penangkapan ikan yang berlebihan. Intensitas nelayan semakin
tinggi dalam mencari ikan ketempat yang dianggap masih berlimpah sehingga mengakibatkan semakin berkurangnya sumberdaya ikan dan menjadi pemicu
timbulnya konflik antar nelayan.
Sumberdaya tuna yang dieksploitasi secara berlebihan akan berdampak negatif pada keberlanjutan perikanan tuna tersebut. Hal ini tidak sesuai dengan
konsep pembangunan perikanan berkelanjutan. Pembangunan perikanan yang berkelanjutan yaitu pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini tanpa
harus merusak atau menurunkan generasi mendatang untuk memenuhi kehidupan manusia. Banyak teori tentang pembangunan berkelanjutan yang terfokus pada
metode untuk memaksimalkan kesejahteraan manusia. Kemudian mengelola sumberdaya sedemikian rupa sehingga dapat memberikan tingkat pertumbuhan
tinggi tetapi tidak mempertimbangkan aspek ekologi maupun sosial
. Pertimbangan aspek ekologi yaitu upaya memelihara sumberdaya agar tidak
melampaui batas daya dukung lingkungannya. Pertimbangan aspek sosial yaitu keterpaduan kondisi sosial nelayan dan kesejahteraan ekonomi nelayan.
Strategi dalam menciptakan pembangunan berwawasan lingkungan, pengembangan perikanan dan sosialisasi ekologi yang baik masih kurang
diperhatikan. Kurangnya perhatian terhadap pembangunan perikanan masih terjadi di kalangan pelaku pembangunan seperti nelayan, pemerintah daerah dan
pemerintah propinsi yang bergerak pada bidang perikanan tangkap.
Perumusan strategi
pengembangan perikanan
merupakan proses
perencanaan dalam jangka panjang. Perumusan strategi dilakukan dengan mengumpulkan semua informasi yang berpengaruh terhadap pengembangan
perikanan pancing. Dalam rangka merumuskan strategi pengembangan perikanan
di Puger, metode yang dilakukan yaitu dengan analisis SWOT. Analisis SWOT merupakan suatu cara untuk mengidentifikasi faktor-faktor secara sistematis
dalam rangka merumuskan strategi program perikanan pancing. Analisis SWOT mempertimbangkan faktor internal strength dan weakness serta faktor eksternal
opportunities dan threats yang dihadapi. Faktor internal dan eksternal diketahui berdasarkan data-data dan hasil pengamatan yang sesuai dengan lingkup
penelitian. Kemudian kedua faktor tersebut dibandingkan, sehingga dapat diambil suatu keputusan dalam penentuan strategi Marimin 2004.
Data yang diperoleh berupa hasil yang telah dibahas pada bab sebelumnya terkait evaluasi perikanan pancing di Puger dan kondisi umum wilayah Puger.
Evaluasi perikanan pancing menghasilkan nilai produktivitas, komposisi dan kualitas hasil tangkapan, serta konflik sosial didalamnya yang dapat dijadikan alat
analisis perumusan strategi.
Batasan yang menjadi faktor internal adalah ruang lingkup yang sangat berkaitan dengan perikanan pancing di Puger secara langsung. Ruang lingkup
tersebut berupa unit penangkapan, produksi ikan, dan dinas perikanan setempat, fasilitas PPI. Sedangkan yang menjadi batasan dalam faktor eksternal adalah
ruang lingkup di luar perikanan pancing yang secara tidak langsung juga dapat mempengaruhi pengembangan perikanan pancing ini. Ruang lingkup tersebut
berupa pasar, industri pengolahan, pemerintah, kondisi wilayah Puger. Perumusan strategi dapat dijadikan sebagai acuan dalam penentuan kebijakan pengembangan
perikanan pancing yang menggunakan rumpon di Perairan Puger, Jawa Timur.
Metode Penelitian Cara pengambilan data
Metode yang dilakukan pada penelitian ini adalah mengumpulkan data berdasarkan hasil evaluasi perikanan pancing dan mengamati kondisi lapangan
mengenai hal-hal yang merupakan faktor eksternal maupun internal. Analisis ini didahului dengan identifikasi posisi perikanan pancing melalui evaluasi faktor
internal dan eksternal.
Analisis data
Analisis data yang dilakukan dalam analisis SWOT ini adalah mengevaluasi faktor eksternal dan internal untuk mengidentifikasi kekuatan, kelemahan,
peluang, dan ancaman. Tahapan dalam pembuatan analisis SWOT adalah:
1. Tahapan pengambilan data yaitu evaluasi faktor eksternal dan internal;
2. Tahapan analisis yaitu pembuatan matrik eksternal, internal, dan SWOT;
3. Tahapan pengambilan keputusan.
Gambar 5.1 Diagram alir tahapan analisis SWOT Langkah-langkah pembuatan matriks IFAS dan EFAS adalah: 1 pengisian
faktor-faktor yang menjadi kekuatan dan kelemahan pada IFAS serta peluang dan ancaman pada EFAS; 2 pembobotan pada kolom 2 antara 0 sampai 1, nilai 1,0
untuk faktor yang dianggap sangat penting dan 0,0 untuk faktor yang dianggap tidak penting; 3 pemberian nilai rating pada kolom 3. Rating adalah pengaruh
yang diberikan faktor, nilai 1 untuk pengaruh yang sangat kecil dan nilai 4 untuk pengaruh yang sangat besar; 4 kolom 4 adalah hasil perkalian bobot dan rating;
5 menjumlah total skor yang didapatkan dari kolom 4. Nilai total menunjukkan reaksi organisasi terhadap faktor internal dan eksternal. Nilai 1,00 sampai 1,99
menunjukkan posisi yang rendah, nilai 2,00 sampai 2,99 menunjukkan posisi rata- rata, sedangkan nilai 3,00 sampai 4,00 menunjukkan yang kuat Rangkuti 2007.
Tabel 5.1 Matriks SWOT dan kemungkinan alternatif yang sesuai
IFEEFE Strenghts S
Weaknesses W Opportunities
O Strategi SO
Menciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk
memanfaatkan peluang. Digunakan jika perusahaan
berada pada kuadran I Strategi WO
Menciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan
untuk memanfaatkan peluang. Digunakan jika perusahaan
berada pada kuadran III
Pengumpulan data
Kondisi lingkungan eksternal
Analisis pasar, teknologi, dan kondisi
daerah Puger Kondisi lingkungan internal
Evaluasi perikanan pancing: Produktivitas, SDM,
Komposisi dan kualitas ikan Pembuatan matriks
EFA Pembuatan matriks
IFA
Pembuatan Matriks SWOT
Penentuan strategi
Treaths T Strategi ST
Menciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk
mengatasi ancaman. Digunakan jika perusahaan
berada pada kuadran II Strategi WT
Menciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan dan
menghindari ancaman. Digunakan jika perusahaan
berada pada kuadran IV
Sumber data: Rangkuti 2007
Hasil
Analisis SWOT yang dilakukan mengacu pada model perikanan yang cocok di PPI Puger. Faktor internal dan eksternal keberlanjutan perikanan diperoleh dari
hasil evaluasi perikanan pancing yang telah dianalisis sebelumnya. Analisis internal perlu diketahui untuk memanfaatkan kekuatan yang dimiliki PPI Puger
serta mengatasi kelemahan-kelemahan yang terjadi. Kekuatan yang dimiliki pada perikanan pancing rumpon di Puger adalah:
1.
Adanya dana bantuan rumpon kepada nelayan. Bantuan dana dalam pembuatan rumpon setiap tahun diberikan kepada nelayan. Hal ini dapat menjadi kekuatan
sebab dengan adanya bantuan, perikanan pancing dengan rumpon ini masih dapat dikembangkan selama tidak mengganggu kelestarian sumberdaya ikan
dan tidak menggunakan alat tangkap yang tidak selektif. Nelayan akan terus mengusahakan kegiatan penangkapan dengan rumpon dan ikan tuna akan tetap
diproduksi. Walaupun dana bantuan dapat menjadi kekuatan, tetapi dalam implementasinya haruslah merata agar tidak menimbulkan konflik bagi pihak
yang saling membutuhkan. Konflik telah dijelaskan pada sub bab konflik sosial nelayan.
2. Trend armada pancing yang cenderung meningkat. Jumlah armada pancing
rumpon yang semakin bertambah dari tahun 2009 Tabel 3.1 dapat menjadi kekuatan sebab masih dapat dilakukan kegiatan penangkapan tuna apabila
armada yang beroperasi tidak berlimpah. Dalam penjelasan sebelumnya dikatakan bahwa jumlah armada pancing cenderung meningkat yang
disebabkan oleh adanya jaminan hasil tangkapan yang dapat dibawa nelayan ;
3. Trend produksi tuna meningkat. Produksi tuna di Puger yang masih meningkat
Gambar 3.2 dapat menjadi salah satu kekuatan sebab sumberdaya tuna masih tersedia di Perairan Puger sehingga dapat dimanfaatkan dengan optimal.
Adanya produksi tuna dapat memberikan pasokan ikan tuna kepada industri pengolahan di luar. Kekuatan ini harus dapat dioptimalkan agar produksi tuna
tetap dapat dinikmati tanpa merusak sumberdaya;
4. Tuna masih merupakan salah satu komoditi penting di Puger, merupakan
kekuatan untuk pengembangan perikanan pancing rumpon di Perairan Puger karena kebutuhan akan produk tuna masih tinggi dan ikan tuna merupakan
salah satu komoditi bernilai ekonomi tinggi Tabel 3.6. Hal ini merupakan potensi yang dimiliki oleh perikanan pancing di Puger.
5. Letak PPI sangat strategis karena berhadapan dengan Samudera Hindia.
Sebagaimana yang telah dipaparkan pada kondisi umum PPI Puger, hal ini dapat menjadi kelebihan sebab Samudera Hindia memiliki potensi sumberdaya
ikan tuna yang cukup besar. Hasil tangkapan utama dari armada pancing di Puger adalah ikan tuna.
Selain kekuatan yang dimiliki oleh perikanan pancing rumpon di Puger, juga terdapat faktor internal yang menjadi kelemahan, yaitu:
1. Ketergantungan nelayan kepada pengambek menyebabkan nelayan tidak dapat
lepas dari pengambek. keterikatan ini terjadi karena nelayan lebih memilih pengambek sebagai pemberi modal dan pinjaman pada sub bab distribusi hasil
tangkapan. Ini menjadi suatu kelemahan karena nelayan akan lebih mempercayai pengambek daripada pemerintah. Ketidak percayaan nelayan
kepada pemerintah akan menghambat pengembangan perikanan pancing yang ingin diterapkan;
2. Tidak adanya pelelangan di TPI menjadi kelemahan pada pengembangan
perikanan pancing rumpon di Puger. Fasilitas TPI di pelabuhan yang tidak cukup memadai untuk kegiatan pelelangan maka proses lelang tidak dilakukan
di TPI. Tidak adanya kegiatan pelelangan menyebabkan ketidakseimbangan dalam penentuan harga tuna oleh pengambek dan hal ini dapat menimbulkan
kegiatan monopoli harga tuna;
3. Kualitas ikan yang kurang baik akan berdampak kepada rendahnya harga tuna.
Harga ikan yang rendah akan berakibat pada keuntungan yang diperoleh nelayan pun akan rendah. Apabila hal ini dibiarkan maka akan mengganggu
perkembangan perikanan pancing di Puger dapat dilihat pada sub bab kualitas hasil tangkapan;
4. Produksi tuna yang tidak layak tangkap dapat merusak ekosistem dan siklus
hidup tuna dewasa. Ikan tuna berukuran kecil seharusnya masih dapat berkembang dan melakukan pemijahan. Jika kegiatan penangkapan terus
dilakukan terhadap ikan juvenil, maka stok ikan akan berkurang dijelaskan pada sub bab komposisi hasil tangkapan;
5. Fasilitas darmaga dan cold storage. Pada kondisi umum PPI Puger, telah
disebutkan bahwa fungsi darmaga tidak memadai untuk dilakukan pendaratan ikan tuna sebab darmaga pelabuhan selalu mengalami pendangkalan dan ini
menyulitkan untuk dilakukan kegiatan pendaratan. Hal ini menjadi kelemahan karena ikan tuna tidak akan pernah bisa didaratkan di pelabuhan dan
berdampak pada pencacatan data hasil tangkapan yang tidak akurat. Pencatatan data sangat berpengaruh terhadap program pengembangan perikanan pancing
ini. Tidak adanya cold storage juga merupakan kelemahan sebab ini sangat berkaitan dengan kualitas ikan tuna yang didaratkan.
6. Tingkat pendidikan nelayan yang hanya sebatas Sekolah Menengah Pertama
SMP dapat mempengaruhi kegiatan pengembangan perikanan pancing.hal ini merupakan suatu kelemahan. Tingkat pendidikan mempengaruhi pola pikir
nelayan. Pola pikir ini nantinya berdampak pada sikap nelayan yang susah diatur dan tidak mau menerima segala konsep pengembangan perikanan dari
pemerintah dapat dilihat dari kondisi umum PPI Puger.
7. Belum ada dukungan pemerintah terhadap industri pengolahan akan menjadi
kelemahan dalam pengembangan perikanan pancing. Ikan tuna kualitas rendah seharusnya masih dapat dimanfaatkan sebagai produk olahan dan bernilai
ekonomi. Industri pengolahan yang tidak didukung oleh pemerintah menyebabkan tidak adanya diversifikasi produk hasil perikanan di daerah
Puger dan juga tidak adanya pemasukan ekonomi bagi daerah dari kegiatan industri ini.
Berikut ini merupakan matriks analisis faktor internal perikanan pancing rumpon: Tabel 5.2 Matriks IFAS perikanan pancing rumpon berkelanjutan di PPI Puger
Faktor-Faktor Internal Bobot
Rating Skor Kekuatan
1. Dana bantuan rumpon kepada nelayan 0.06
4 0.23
2. Trend armada penangkapan meningkat 0.03
3 0.09
3. Trend produksi tuna meningkat 0.03
3 0.09
4. Tuna masih komoditi penting 0.07
4 0.28
5. Letak PPI sangat strategis untuk penangkapan
0.06 4
0.26
Kelemahan 0.95
1. Ketergantungan nelayan terhadap pengambek
0.12 1
0.11 2. Tidak adanya pelelangan ikan di TPI
0.11 1
0.11 3. Kualitas ikan relatif rendah
0.11 1
0.10 4. Produksi ikan tidak layak tangkap
0.10 2
0.12 5. Fasilitas darmaga dan cold storage PPI
yang tidak memadai. 0.06
2 0.12
6. Sumberdaya nelayan yang kurang 0.13
1 0.13
7. Belum ada dukungan pemerintah terhadap industri perikanan
0.12 2
0.24
Jumlah 0.93
Tabel 5.2 yang merupakan analisis faktor-faktor internal di PPI Puger menunjukkan bahwa skor yang diperoleh pada faktor internal perikanan pancing
baik kekuatan dan kelemahan berada dibawah 1.00. Nilai ini menunjukkan bahwa posisi internal masih sangat rendah. Kelemahan yang dimiliki oleh PPI Puger
lebih banyak dibandingkan dengan kekuatan yang dimiliki. Hal ini sangat empengaruhi pembangunan PPI kedepannya, sehingga harus diatasi dengan
memanfaatkan kekuatan yang dimiliki.
Analisis eksternal dibutuhkan dalam menentukan peluang yang dapat dimanfaatkan untuk meraih keberlanjutan perikanan di PPI Puger serta
meminimalisir ancaman yang mungkin terjadi. Peluang yang dapat dimanfaatkan pada perikanan pancing rumpon ini adalah:
1. Permintaan pasar terhadap produk tuna masih tinggi. Permintaan ikan tuna oleh
pasar lokal diluar Puger masih tinggi seperti pabrik pengolahan ikan tuna dan restauran-restauran yang menyajikan produk tuna. Hal ini dapat menjadi
kekuatan dalam pengembangan perikanan pancing di Puger pada sub bab distribusi hasil tangkapan;
2. Adanya jaminan pasar tuna dari pengambek. ikan tuna yang didaratkan di
Puger akan tetap disalurkan ke pasar lokal oleh pengambek sebab para pengambek memiliki jaringan yang cukup luas ke perusahaan atau pabrik
pengolahan di luar Puger. Peluang ini dapat dioptimalkan agar dapat
menguntungkan pihak nelayan, pengambek, dan perusahaan dapat dilihat pada sub bab distribusi hasil tangkapan;
3. Adanya kerjasama pengambek dengan industri pengolahan diluar daerah.
Kerjasama pengambek dengan industri pengolahan ini sangat terkait dengan adanya jaminan pasar terhadap ikan tuna sehingga dapat menjadi kekuatan
dalam pengembangan perikanan pancing di Puger pada sub bab distribusi hasil tangkapan.
4. Akses transportasi darat yang baik merupakan suatu kekuatan pada perikanan
pancing. Ini dapat terlihat dari kondisi jalan menuju Puger yang tidak ditemui adanya lubang, dan telah dijelaskan pada bab keadaan umum Puger.
Ancaman yang dapat dialami oleh perikanan pancing rumpon yaitu: 1.
Overfishing. Perkembangan penangkapan ikan tuna di Perairan Puger yang tidak dikontrol maka sumberdaya ikan akan berubah menjadi overfishing. Hal
ini dapat menjadi ancaman dalam pengembangan perikanan pancing di Puger jika tidak diatasi dengan baik. kegiatan penangkapan yang cenderung
mengarah pada overfishing terdapat pada bahasan produktivitas perikanan pancing dimana sumberdaya telah dieksploitasi berlebih;
2. Konflik pemanfaatan wilayah sumberdaya. Konflik ini pada umumnya terjadi
akibat perebutan wilayah fishing ground atau bantuan dana dari pemerintah daerah. Konflik dapat menjadi ancaman jika tidak diatasi dengan baik dan
benar. Konflik dapat menciptakan suasana yang tidak kondusif dalam suatu daerah;
3. Persaingan pasar yang semakin ketat. Komoditas tuna sangat diminati oleh
industri pengolahan di luar daerah. Jika komoditas tuna di Puger kalah bersaing dengan daerah lain maka dapat berdampak pada beralihnya minat perusahaan
untuk memasok tuna dari daerah lain ikan tuna di Puger tidak laku di pasar luar daerah. Sebagaimana diketahui bahwa kualitas ikan tuna di Puger yang
rendah dan jika tidak ada kepedulian nelayan untuk meningkatkan kualitas ikan yang didaratkan, hal ini akan menjadi ancaman terhadap pengembangan
perikanan pancing di Puger ;
4. Penanganan ikan yang belum baik. Penanganan ikan yang kurang baik dapat
menjadi ancaman sebab hal ini akan berkaitan dengan komoditas tuna yang kalah bersaing dengan daerah di luar Puger.
5. Harga ikan tuna di Puger sangat rendah karena harga masih dimonopoli oleh
pengambek pedagang. Nelayan di Puger mempunyai ikatan kepada pengambek dan wajib menjual hasil tangkapannya kepada mereka dijelaskan
pada BAB 4. Apabila fungsi pengambek tidak diambil alih oleh TPI, maka akan terjadi ketidakseimbangan dalam menentukan harga jual ikan tuna;
Tabel 5.3 Matriks EFAS perikanan pancing rumpon berkelanjutan di PPI Puger
Faktor-faktor Eksternal Bobot
Rating Skor
Peluang
1. Masih terbuka pangsa pasar tuna 0.06
3 0.17
2. Adanya jaminan pasar tuna dari pengambek 0.06
4 0.25
3. Adanya kerjasama pengambek dengan industri pengolahan diluar daerah
0.08 4
0.30 4. Akses transportasi darat yang baik.
0.12 4
0.48
Ancaman 1.20
1. Overfishing 0.12
2 0.19
2. Konflik pemanfaatan wilayah sumberdaya 0.12
1 0.18
3. Persaingan pasar yang semakin ketat 0.09
2 0.36
4. Perkembangan teknologi yang kurang maju 0.18
1 0.18
5. Harga jual ikan tuna di pasar Puger sangat rendah
0.16 1
0.16
Jumlah
1.08
Sumber: Pengolahan data
Matriks EFAS pada Tabel 5.3 yang merupakan analisis faktor eksternal di PPI Puger menunjukkan bahwa peluang yang dimiliki pada perikanan pancing
adalah sebesar 1.20. Artinya. peluang yang dimiliki pada perikanan pancing masih rendah. Sedangkan ancaman yang terdapat pada perikanan pancing memiliki skor
sebesar 1.08. Faktor eksternal yang dihadapi oleh perikanan pancing ini masih rendah, sehingga perlu dilakukan penguatan PPI Puger dengan sistem pengelolaan
yang optimal agar dapat dilakukan pengembangan terhadap perikanan pancing.
Berdasarkan matriks IFAS dan EFAS, dapat dibentuk kombinasi strategi perikanan berkelanjutan yang dapat diterapkan di PPI Puger. Kombinasi tersebut
disajikan dalam suatu diagram matriks SWOT berikut ini.
Tabel 5.4 Matriks SWOT strategi perikanan pancing tuna berkelanjutan di PPI Puger
Kekuatan S
1. Dana bantuan kepada nelayan rumpon;
2. Trend armada penangkapan meningkat;
3. Trend produksi tuna meningkat;
4. Tuna merupakan komoditi penting;
5. Letak PPI sangat strategis untuk penangkapan.
Kelemahan W 1.
Harga tuna dimonopoli oleh pengambek; 2.
Tidak adanya sistem pelelangan ikan di TPI; 3.
Produksi tuna banyak yang berkualitas rendah dan tidak layak tangkap;
4. Ikatan yang sangat kuat antara pengambek dan nelayan;
5. Fasilitas darmaga dan cold storage tidak memadai;
6. SDM nelayan kurang;
7. Belum ada dukungan pemerintah terhadap industri
pengolahan.
Peluang O
1. Masih terbuka pangsa pasar tuna;
2. Ada jaminan pasar tuna dari pengambek;
3. Adanya kerjasama pengambek dengan
industri pengolahan diluar daerah.;
4. Akses transportasi darat baik.
Strategi SO:
1. Membuat kebijakan pembangunan perikanan
pancing yang saling bersinergi antara pihak terkait mulai dari produksi hingga pengolahan.
2. Lebih meningkatkan sarana, prasarana serta
infrastruktur agar ikan dapat dipasarkan dengan baik.
Strategi WO: 1.
Peningkatan mutukualitas tuna dengan membangun cold storage dan pelatihan bagi nelayan mengenai cara
penanganan hasil tangkapan W
3,
W
6
; 2.
Melaksanakan kegiatan perikanan bertanggung jawab W
4
, W
6
, O
5
; 3.
Pengaktifan kembali fungsi TPI secara konsisten agar ikan dapat dilelang W
1
, W
2
, W
4
Ancaman T 1.
Overfishing penangkapan tuna; 2.
Konflik pemanfaatan wilayah perairan dan sumberdaya;
3. Persaingan pasar yang semakin ketat;
4. Perkembangan teknologi yang kurang
maju; 5.
Harga jual ikan tuna sangat rendah.
Strategi ST:
1. Pengawasan daerah fishing ground T
1
, T
2,
S
2,3
; 2.
Membangun industri perikanan dengan peralatan pendukung yang lebih maju untuk
memanfaatkan produksi
tuna seperti
pengalengan, pengasapan agar tuna tetap dapat diproduksi dan bernilai ekonomi. S
1,
T
3
;
Strategi WT:
1. Mengoptimalkan POKMASWAST
2,
W
3
2. Pembatasan kuota penangkapan tuna W
3,
T
1
3. Mengambil alih fungsi pengambek ke TPI dengan
aturan penegakan hukum yang jelasW
1,2,4
Eksternal Internal
Sumber: Pengamatan di lapangan
53
Pembahasan
SWOT menghasilkan kombinasi dari empat strategi. Strategi SO
menghasilkan sasaran strategi untuk 1 membuat kebijakan pembangunan perikanan tuna yang saling bersinergi antara pihak terkait mulai dari produksi
hingga pengolahan. Kebijakan yang ada harus dilakukan pengawasan secara intensif, penyuluhan mengenai perikanan bertanggung jawab untuk kelestarian
sumberdaya perikanan, 2 lebih meningkatkan sarana, prasarana serta infrastruktur agar ikan dapat dipasarkan dengan baik
. infrastrktur terkait akses
transportasi sudah cukup baik namun perlu ditingkatkan lagi agar lebih baik. Strategi ST menghasilkan sasaran strategi 1 peningkatan pengawasan
daerah fishing ground akibat maraknya kegiatan IUU fishing serta meminimalisir persaingan yang semakin tinggi antar nelayan di kawasan fishing ground.
Pengawasan daerah fishing ground dan penyelesaian konflikpersaingan dapat melibatkan masyarakat dengan membentuk kelompok masyarakat pengawas
POKMASWAS jika kelompok tersebut bersedia menjalankan tugas dan fungsinya, 2 pengembangan perikanan industri dengan peralatan pendukung
yang lebih maju untuk memanfaatkan produksi tuna dengam menerapkan sistem manajemen mutu, agar dapat bersaing dalam promosi produk tuna seperti
pengalengan, pengasapan agar tuna tetap dapat diproduksi dan bernilai ekonomi. Menerapkan usaha teknologi pengolahan tuna dengan adanya alokasi bantuan
dana dari APBD, seperti pengalengan, pengasapan agar tuna yang berkualitas rendah tetap dapat diproduksi dan bernilai ekonomi.
Strategi WO menghasilkan sasaran strategis berupa 1 penyediaan cold storage untuk menjaga mutukesegaran tuna dan pelatihan masyarakat nelayan
dalam menangani hasil tangkapan, 2 melaksanakan kegiatan perikanan bertanggung jawab, seperti: Pengaturan alokasi unit penangkapan ikan yang
optimal sehingga dapat memenuhi tujuansasaran yang diharapkan, 3 Pengaktifan kembali fungsi TPI secara konsisten agar ikan dapat dilelang.
Penyediaan cold storage akan membantu menampung hasil tangkapan ikan, terutama pada musim puncak. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan harga jual
ikan tuna sehingga tidak terjual dengan harga yang sangat murah karena kondisinya yang telah rusak. Melaksanakan kegiatan perikanan yang bertanggung
jawab bertujuan agar sumberdaya dan ekologi tuna tetap terjaga. Pemberian pelatihan kepada nelayan dalam menangani ikan tuna yang didaratkan agar
kualitas dapat terjaga. Pendidikan yang kepada masyarakat nelayan, merupakan hal yang paling penting untuk memberikan pola berpikir serta wawasan yang luas,
sehingga tidak hanya terpaku pada konsep mencari uang dengan menjadi nelayan. Rendahnya pendidikan nelayan pada umumnya dan karakter sifatkepribadian
yang keras serta susah diatur menjadi kendala bagi pemerintah dalam menjalankan program-program untuk memajukan kesejahteraan masyarakat
pesisir. oleh karena itu, dukungan pemerintah terhadap pendidikan di masyarakat pesisir harus tetap dijalankan.
Strategi WT menghasilkan sasaran strategis berupa: 1 mengoptimalkan POKMASWAS; 2 pembatasan kuota penangkapan tuna; 3 mengambil alih
fungsi pengambek ke TPI dengan aturan penegakan hukum yang jelas. Strategi pengoptimalan POKMASWAS diharapkan dapat mengatur pembatasan kuota
penangkapan dan pengawasan penangkapan ikan untuk menjaga kelestarian