ditundukkan pada pengesahan Senat yang karenanya dapat meniadakan keputusan eksekutif. Selanjutnya,ada kekuasaan Mahkamah Agung untuk menyatakan
pengundangan legislatif sebagai tindak konstitusional. Di lain pihak, dibawah konstitusi, pengangkatan hakim-hakim merupakan tanggung jawab eksekutif, yang biasanya tunduk
pada nasehat dan persetujuan Senat. Maka dapat dikatakan bahwa prinsip checks and balances, dalam halini checks and balances antar institusi, merupakan ciri khas
presidensialisme. Sejauh ini, prinsip tersebut berjalan baik-baik saja diAmerika Serikat, walaupun harus segera ditambahkan bahwa belakanganmodel Washington semakin
ditantang oleh gejala divided government.Asumsi dasar mengenai sistem presidensial, tulis Giovanni Sartori 1997 adalah bahwa sistem ini kondusif bagi pemerintahan yang
kuat dan efektif, tetapi asumsi ini berdiri di atas es tipis. Persoalannya menjadi lebih parah tatkala presidensialisme dikawinkan dengan
sistem multi-partai. Seperti terlihat di Amerika Latin, kombinasi ini menguatkan kecenderungan terjadi gridlock. Dan celakanya, tak ada jalan keluar yang konstitusional
sehingga yang ditempuh biasanya adalah cara-carayang tidak demokratis.
3. Semi Presidensialisme
Menurut luar Rahman Tolleng, di luar kedua bentuk dasar, parlementer dan presidensial, terdapat bentuk cangkokan antara kedua bentuk dasar tadi yang disebut
sebagai bentuk pemerintahan semi-presidensial. Bentuk pemerintahan ini sering digambarkan sebagai eksekutif dua kutub – sehubungan dengan adanya seorang presiden
yang dipilih secara populer dengan masa jabatan tertentu dan tidak tergantung pada legislatif dan adanya seorang perdana menteriyang ditunjuk oleh presiden tetapi
tergantung pada dukungan mayoritas dalam parlemen. Dewasa ini sebagai model sering ditunjuk Republik Kelima Prancis,sungguhpun
sebetulnya satu di antara demokrasi pertama yang menerapkanbentuk semi-presidensial adalah Republik Weimar 1919 yang kemudianmengalami kehancuran sesudah Hitler
merebut kekuasaan. Di luar Prancismasih ada lima semi-presidensial yang telah lama berkiprah, yaitu Finlandia,Austria, Irlandia, dan Iceland, dan terakhir Portugal melalui
Konstitusi 1975. Meskipun keenam negara itu dapat ditempatkan di bawah rubrik semipresidensialisme,dalam praktek mereka dapat dibedakan dari segi perilakulembaga
37
kepresidenan. Dalam kaitan ini, Maurice Duverger Arend Lijphart, 2002 menggolongkannya ke dalam tiga kelompok :
1. Tiga negara dengan kepresidenan boneka, yaitu Austria, Irlandia, dan Iceland, yang praktek politiknya lebih parlementer;
2. Satu negara dengan kepresidenan yang maha kuasa, yaitu Prancis; dan 3. Dua negara dengan kepresidenan dan perdana menteri yang seimbang, yaitu Finlandia
dan Portugal. Republik Kelima Prancis,Semi-presidensialisme Prancis tidak dapat dilepaskan
dari sejarah kegagalan parlementarisme Republik Keempat 1946-58 yang melambangkan bentuk pemerintahan yang tidak seimbang. Majelis Nasional, majelis
rendah dari parlemen, memiliki suatu monopoli kekuasaan yang konstitusional. Pemerintah bergonta-ganti rata-rata sekali dalam enam bulan.Akibatnya bukannya
demokrasi yang stabil melainkan kelumpuhan politikdan kemarahan publik. Ketika Republik Keempat pada akhirnya ditumbangkan di bawah pimpinan Charles de Gaulle,
sang arsitek Republik Kelima, bandul pun bergerak ke arah ekstrem yang lain: Konstitusi Republik Kelimamendelegasikan kekuasaan lebih besar kepada presiden.
Meskipun begitu,konstitusi tidak memilih presidensialisme murni. Di samping presiden yang dipilih langsung untuk jangka waktu tertentu berdiri pula seorang perdanamenteri
atas tanggung jawab parlementer. Selain sebagai kepala negara, secara resmi kekuasaan presidendibatasi pada peran khusus, yaitu urusan luar negeri dan pertahanan,sedangkan
peran pemerintah selebihnya berada di tangan perdana menteri dan kabinetnya. Sepintas lalu, pembagian kerja terlihat sederhana, tetapi hubungan-hubungan kekuasaan dalam
realitas politik antara kedua kutub eksekutif ini jauh lebih rumit dan pelik. Kerumitan itu tersimpul dalam suatupertanyaan yang tidak mudah menjawabnya: Siapakah kepala
pemerintahanyang sebenarnya? Dalam suatu situasi bahwa presiden dan perdana menteri memilikimayoritas
yang sama dalam parlemen, maka perdana menteri hanya menjadialter ego dari presiden. Dalam situasi ini sistem praktis bekerja sebagai sistem presidensial. Sebaliknya, dalam
hal presiden tidak memilikimayoritas dalam parlemen, maka secara potensial timbul konflik antara presiden dan perdana menteri yang didukung oleh parlemen. Presiden
karenaitu dihadapkan pada tiga pilihan: membubarkan parlemen, meletakkan jabatan,
38
atau menyerah kepada kenyataan. Dalam hal pilihan terakhir yangdiambil berlangsunglah apa yang disebut cohabitation atau hidup bersama lebih tepatnya
kumpul kebo antara presiden dan perdana menteri. Dan dalam kasus ini sistem praktis bekerja sebagai parlementer.Kalau begitu, apakah sistem semi-presidensial layak disebut
sebagai sintesa antara sistem parlementer dan presidensial? Maurice Duverger mengatakan tidak, dan sebagai gantinya ia menunjuknya sebagai perselang selingan
antara fase presidensial dan parlementer Giovanni Sartori, 1997. Berdasarkan kerangka analisis di atas, terlihat bahwa semi-presidensialisme juga
menghadapi potensi divided government atau pemerintahan terpisah, seperti halnya pada presidensialisme murni. Ada bahaya gridlock. Akan tetapi, semi-presidensialisme
memiliki jalan keluar yang konstitusional. “Semi parlementarisme” Menurut UUD 1945 Asli Bentuk pemerintahan yang dianut dalam UUD 1945 sebelum amandemen tidak
tergolong parlementer ataupun presidensial, dan tidak pula tergolong semi-presidensial yang umum dikenal. Karena Presiden tidak dipilih secara langsung dan tidak ada jabatan
perdana menteri. Tetapi UUD 1945sebelum amandemen tetap menerapkan semacam eksekutif tunggal dengan masa jabatan tetap, yang disebut presiden dan melekatkan
aspek parlementer pada jabatan itu. Jadi, bentuk ini juga sejenis cangkokan, hanya jauh dari kriteria semi-persidensial. Barangkali dapat disebut sebagai semi parlementer.
Dengan pencangkokan seperti itu timbul masalah. Bagaimanakah sistem ini bekerja dipandang dari segi eksekutif-legislatif? Saling tergantung atau tidak tergantung?
Adanya aspek parlementer itu, yaitu presiden dipilih dengan suara terbanyak oleh MPR, berarti presiden tergantung pada suatu mayoritas di lembaga itu. Apakah ketergantungan
ini terbatas pada waktu pemilihan atau berlaku terus sepanjang presiden menghabiskan masa jabatannya? Konstitusi, khususnya batang tubuh, tidak menjawab pertanyaan itu
secara jelas. Kelemahan ini belakangan dicoba diatasi melalui Ketetapan MPR, tetapi cara ini pada gilirannya dipersoalkan sebagai tindakan inkonstitusional. Konflik
konstitusional ini meledak pada masa jabatan Presiden Abdurrahman Wahid. Timbulnya situasi ini dapat dipahami karena barusesudah Reformasi rakyat Indonesia
berkesempatan melaksanakan UUD1945 secara demokratis dan murni. Pada masa revolusi kemerdekaan, dengan menggunakan pasal-pasal peralihan, UUD 1945
dijalankan, kalau tidak diubah menjadi, parlementer. Sesudah pemberlakuan kembali
39
konstitusi ini melalui Dekrit 5 Juli 1959, dalam periode demokrasi terpimpin maupun dalam periode Orde Baru, pelaksanaannya dilakukan secara otoriter. Sejauh ini tidak
ditemukan bentuk pemerintahan di dunia yang menyerupai “semi-parlementarisme” UUD 1945 sebelum amandemen.
Bagaimana para Founding Fathers sampai pada bentuk pemerintahan cangkokan yang unik seperti ini, barangkali menarik untuk dipelajari.Mungkin secara kebetulan saja
bahwa Konvensi Konstitusi Amerika Serikat 1787 sebenarnya pernah mempertimbangkan untuk memilih model ini. Apayang disebut Rancangan Virginia,
seperti telah dibicarakan pada bagian lain, memasukkan pemilihan presiden oleh legislatif nasional. Persoalan ini hanya sebagai persoalan akademis, karena melalui
amandemen UUD 1945, system itu telah ditinggalkan dan Indonesia beralih kepada bentuk pemerintahan presidensial yang murni.
4. Consociationalisme Konsensus