Bentuk Negara Kesatuan Bahan Ajar Mata Kuliah pemerintahan nasional

legislatif dan eksekutifnya sendiri, kecuali bahwa pemerintah komunitas Flander yang berbahasa Belanda juga bertindak sebagai pemerintah untuk region Flander.

E. Unitarisme Kata Kunci: peranti asimetri, otonomi, otonomi khusus, kriteria

unitarisme, masyarakat multicultural Berbeda dengan negara federal, bentuk unitarisme tidak mengenai pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah unit yang lebih rendah. Pemerintah pusat memegang kedudukan tertinggi dan memiliki kekuasaan penuh dalam pemerintahan di seluruh negara tanpa adanya batasan konstitusi yang memberikan kekuasaan kepada unit-unit pemerintahyang lebih rendah. Dalam negara kesatuan pemerintah pusat dapat, dan biasanya melimpahkan kekuasaan kepada unit-unit yang lebih rendah. Namun pelimpahan itu tidak oleh konstitusi, melainkan melalui undang- undang yang sekurang-kurangnya di atas kertas, setiap saat dengan mudah dapat ditarik kembali. Jadi, bagaimanapun besarnya kekuasaan yang dilimpahkan, kekuasaan tetap sepenuhnya di tangan pusat. Sekadar untuk menegaskan kembali, maka dapat disimpulkan sebagai ciri tambahan unitarisme, yang bersumber pada ciri dasarnya, yaitu tidak adanya pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah, yang ada adalah adanya : 1 kekuasaan eksekutif dan legislatif yang terpusat dan 2kekuasaan itu tidak dapat dibagi dengan unit yang lebih rendah. Kedua ciri tambahan itu oleh C.F. Strong—baginya, ini merupakan sifat penting negara kesatuan—disebut sebagai supremasi parlemen pusat dan 3 tidak adanya badan-badan berdaulat tambahan. Ciri-ciri unitarisme yang disebutkan di atas tampaknya perlu diberi kualifikasi lebih lanjut. Dalam perkembangan kehidupan ketatanegaraan dewasa ini terlihat ada kecenderungan negara-negara unitaris untuk mengadopsi institusi-institusi independen, tidak terkecuali institusi-institusiyang aslinya ditemukan dalam presidensialisme yang federal seperti lembaga judicial review dan bank sentral yang independen-terutama jika diangkat sebagai ketentuan konstitusi, sedikit banyaknya akan mengikis supremasi parlemen, misalnya: dapat ditambahkan pula, negara-negara kesatuan yang multikultural dan multietnis, demi mempertahankan“kesatuan”nya seringkali harus memberi konsesi yang bersifat federal - dan hal ini berarti melemahkan unitarisme negara itu.

F. Bentuk Negara Kesatuan

22 Semua negara yang dapat disebut sebagai unitaris di dunia satu sama lain mempunyai perbedaan yang sangat besar dipandang dari segi hubungan konstitusional dan institusional antara pemerintah pusat, regional, dan lokal. Negara-negara itu berbeda, misalnya, dari segi luasnya wewenang pemerintahan yang dilimpahkan dan pada tingkat mana bobot otonomi diberikan. Tetapi negara-negara itu juga dapat berbeda dalam banyak hal lain sehingga praktis sukar diklasifikasikan.Setiap negara kesatuan boleh dikatakan mempunyai keunikannya sendiri Gavin Drewry, 1995. Prancis, misalnya, yang mempunyai tradisi unitaris yang sangat kuat, menggunakan jaringan “pengawas” prefect yang diangkat secara sentral untuk mengawasi pejabat daerah. Pada awal 1980-an terlihat adanya desentralisasi kekuasaan dari prefect ini kepada kekuasaan lokal tetapi tidak sampai pada tingkat mengubah sifat kesatuan Negara Prancis. Di sisi lain, Inggris memberi suatu variasi lain yang aneh. Dari Tahun 1920 sampai Tahun 1973 lingkungan khusus Irlandia Utara diakomodasikan dengan suatu susunan kuasi-federal sehingga provinsi itu mempunyai eksekutif dan legislatif yang setengah berjarak dengan kekuasaan besar. Sementara itu Skotlandia dan Wales merupakan bangsa di dalam bangsa – tunduk pada kekuasaan pemerintah Inggris dan Parlemennya tetapi dengan susunan administratif berbeda melalui kementerian teritorial. Seperti telah disinggung sebelumnya, Inggris juga mempunyai tiga federasi.  Bentuk Asimetri dalam Unitarisme Mengkaji tentang keunikan unitarisme Inggris mengantarkan kita ke dalam masalah penerapan perantibentuk asimetri dalam negara kesatuan. Seperti terlihat, Inggris banyak memakai peranti itu dalam susunan ketatanegaraannya. Inggris mempunyai tiga federasi, sementara untuk Skotlandia dan Wales berlaku susunan administratif tersendiri. Malah,asimetris itu terlihat sampai sejauh melimpahkan kekuasaan yang setidaknya secara teknis berwujud pemerintahan sendiri bagi Irlandia Utara. Inggris pun terkesan lebih menyerupai negara federal sehingga timbul pertanyaan: Apakah United Kingdom masih layak disebut negara kesatuan?Jawaban atas pertanyaan itu harus dikembalikan kepada criteria unitarisme. Sejauh ini semua pelimpahan kompetensi itu bersumber dari keputusan Parlemen Westminster dan tak kurang pentingnya penyelenggaraannya pun tetap di bawah pengawasan Westminster. Hasil 23 legislasi untuk hal-hal tertentu di Irlandia Utara, misalnya, mensyaratkan persetujuan Menteri Urusan Irlandia Utara dan Parlemen. Dengan demikian,dapat disimpulkan bahwa United Kingdom tetap unitaris betapapun besarnya wewenang khusus yang diberikan kepada daerah-daerah tertentu. Meskipun begitu ada catatan kecil. Berbagai keputusan Westminster dalam soal ini sebetulnya lebih didorong oleh tuntutan masyarakat setempat sehingga pemberian status khusus itu dapat dipandang sebagai semacam perjanjian yang kedudukannya setingkat dengan konstitusi. Lebih lanjut, juga cukupberalasan untuk mengatakan apa yang disebut sebagai supremasi Westminster di sini, dalam banyak hal, lebih merupakan persetujuan proforma. Pembahasan kasus Inggris di atas bertalian dengan batas-batas penerapan peranti asimetri dalam negara kesatuan. Dalam federalisme,penerapan peranti itu boleh dikatakan sesuai dengan logika federalisme, sungguhpun bukannya tak ada persoalan di situ, yaitu konflik antara hak-hak dan kesetaraan individu versus hak-hak dan nilai-nilai kolektif. Bagaimana jika dalam unitarisme? Sampai sejauh mana peranti asimetri itu dapat diterapkan dalam susunan ketatanegaraan unitaris yang biasanya dianggap menekankan keseragaman atau kesatuan dalam pemerintahan dan hukum? Pertanyaan paling pokok, yang juga berlaku dalam federalisme, sampai dimana otonomi kultural, misalnya, dapat “membelakangi” hak-hak individu yang diakui oleh konstitusi? Pertanyaan itu terlampau pelik untuk dijawab disini. Tetapi apapun jawabannya, satu hal yang pasti: prinsip asimetri merupakan peranti yang ampuh dan kadang-kadang diperlukan untuk menyelesaikan konflik dalam masyarakat multikultural. Indonesia sendiri sejak awal telah menerapkan peranti asimetri dalam susunan ketatanegaraannya yang memberikan status istimewa kepada daerahYogyakarta. Dalam perjalanannya kemudian, status khusus juga diberikan kepada Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua. Peranti asimetri ini merupakan pengejawantahan Pasal 18 UUD 1945 asli yang mengakui “hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”. Dengan sedikit perubahan, hasil amandemen UUD 1945 masih mempertahankan prinsipasimetri itu dalam bab Pemerintahan Daerah. Dipandang dari sudut kepentingan masyarakat multikultural, ketentuan UUD 1945 tersebut patut dihargai sebagai suatu penemuan yang cerdas dari Founding Fathers Indonesia. 24 Berkumpul untuk Mempertahankan dan Memaksakan Hidup bersama dalam kebersamaan yang penuh keragaman.

II. Bentuk Sistem Pemerintahan

A. Pengantar

25 Sesuai dengan uraian di muka, segera dapat dirumuskan di sini bahwa“bentuk pemerintahan” berbicara tentang struktur kekuasaan negara dari segi relasi antara cabang-cabang pemerintahan yang ditentukan oleh konstitusi,khususnya relasi antara eksekutif dan legislatif. Dengan kata lain, relasi eksekutif-legislatif merupakan esensi dari “bentuk pemerintahan”. Relasi atau interaksi itu berbeda pada setiap negara yang tentu saja hanya dapat dipahami secara mendalam dengan mengkaji pula sistem kepartaian negara itu, termasuk sistem pemilihan yang dianutnya. Tetapi titik berat pembicaraan sekarang hanyalah pada ciri-ciri umum setiap jenis “bentuk pemerintahan” yang ada dalam praktek demokrasi di dunia. Bentuk pemerintahan pada dasarnya menekankan relasi yang berbeda antara eksekutif dan legislatif dalam dua jenis bentuk pemerintahan: dalam hal eksekutif bertanggung jawab terhadap legislatif, dan karena itu tergantung pada, legislatif maka kita memperoleh pemerintahan parlementer, sedangkan sebaliknya kemandirian kekuasaan eksekutif terhadap legislatif merupakan ciri khas pemerintahan presidensial. Kedua jenis hubungan ini dapat dianggap sebagai bentuk dasar dalam sistem pemerintahan demokrasi. Hampir semua negara demokrasi di dunia boleh dikatakan cocok dengan salah satu di antara kedua bentuk dasar tadi : parlementer atau presidensial. Contoh klasik bentuk parlementer adalahInggris yang terkenal dengan sebutan model Westminster – disebut begitu,karena parlemen Inggris bersidang di gedung Istana Westminster. Contoh klasik bentuk presidensial adalah model Amerika Serikat, yang juga dapat disebut sebagai model Washington. Di luar kedua bentuk dasar tadi, bentuk-bentuk antara juga dikenal yang dikategorikan sebagai bentuk campuran atau cangkokan karena mencampurkan atau mencangkokan parlementarisme dan presidensialisme.Sering disebut sebagai bentuk pemerintahan semi-presidensial. Secara sangat longgar, di bawah rubrik ini dapat dimasukkan Austria, Iceland,Irlandia, Prancis, Portugal, Sri Lanka, dan Finlandia. Yang melakukan pencangkokan secara “paripurna” adalah Republik Kelima Prancis dan karena itu dijadikan model bagi semi-presidensialisme. Bentuk pemerintahan negara Indonesia berdasarkan UUD 1945 yang Asli, menerapkan pula sejenis presidensialisme yang unik, yaitu presiden yang tidak dipilih langsung oleh rakyat tetapi oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Meskipun telah 26 ditinggalkan melalui Amandemen UUD ‘45, bentuk ini akan dibicarakanpula di bawah kategori semi-presidensialisme. Suatu model lain yang diangkat oleh, dan boleh dikatakan penemuan,seorang ilmuwan keturunan Belanda Arend Lijphart, dikenal dengan nama model demokrasi consociational atau model konsensus. Model ini padadasarnya parlementer, dan memang negara-negara yang menerapkannya,yaitu Belgia, Austria, dan Swis, sebelumnya dengan begitu saja ditempatkandi bawah rubrik parlementer. Tetapi berbeda dengan model Westminster yang didasarkan pada prinsip mayoritas, model konsensus didasarkan pada prinsip powersharing – dalam hal ini, para elite secara sadar memilih kerjasama untuk mengimbangi pembelahan negara dan subkultur berbeda.

B. Beberapa Model Bentuk Pemerintahan 1. Parlementarisme