Presidensialisme Beberapa Model Bentuk Pemerintahan 1. Parlementarisme

diberi tempat di sisi kanan dan kiri pimpinan majelisdengan para pemimpin partai mayoritas dan para pemimpin partai oposisiduduk di bangku depan. Dalam menjalankan perannya, oposisi membentuk“kabinet bayangan” sebagai mitra-tanding kabinet dan sebagai persiapan jikatercipta peluang untuk mengambil alih kekuasaan.

2. Presidensialisme

Sejarah pemerintahan presidensial tidak dapat dilepaskan dari sejarah demokrasi di Amerika Serikat. Tetapi berbeda dengan sejarah parlementarisme yang merupakan hasil suatu evolusi, orang-orang Amerika menciptakan suatu sistem baru sebagai hasil suatu revolusi. Adalah penting untuk diingat pula bahwa presidensialisme Amerika tidak diciptakan, sepertihalnya parlementarisme Inggris, sebagai tanggapan terhadap feodalisme dan sejarah monarki. Para penyusun konstitusi Amerika, dengan menggunakan prinsip-prinsip demokratis, menciptakan suatu sistem sebagai tanggapan terhadap pengalaman buruk mereka sebagai jajahan. Mereka juga sedikit banyaknya turut diwarnai oleh kekhawatiran akan suatu tirani mayoritas yang membahayakan negara-negara bagian maupun kebebasan individu. Dengan latar belakang seperti itulah model Washington lahir yang kemudian banyak ditiru bangsa-bangsa lain, khususnya di Amerika Latin.Bentuk pemerintahan ini adalah penemuan para delegasi dalam Konvensi Konstitusi Amerika yang berlangsung pada 1787. Sebagian besar delegasi mengagumi bentuk pemerintahan Inggris yang waktu itu boleh dikatakan mempraktekkan pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, danyudikatif. Ketika itu Inggris masih berada pada tahap kedua transformasi monarkial atau fase monarki konstitusional. Walaupun para delegasi itu berupaya menyamai kebajikan konstitusi Inggris, suatu monarki jelas bukan pilihan mereka. Menghadapi kebingungan dengan masalah eksekutif ini,mereka bergulat hampir dua bulan sebelum sampai pada pemecahan berupa bentuk pemerintahan presidensial yang dikenal dewasa ini Robert A. Dahl,2000. Para peserta Konvensi 1787, tentu saja, tidak pernah membayangkan bahwa monarki konstitusional Inggris yang mereka kagumi ternyata mengalami perubahan drastis dan berkembang menjadi monarki parlementer. Sebetulnya para penyusun Konstitusi 1787 hampir memutuskan untuk menciptakan suatu sistem yang lebih 32 parlementer daripada presidensial melalui kerangka Virginia Plan. Rancangan konstitusiini memasukkan pemilihan “presiden” oleh legislatif nasional untuk jangka waktu tertentu. Konvensi sempat memungut suara sampai tiga kali dengan hasil mendukung usul itu. Tetapi akhirnya keputusan final Konvensi adalah menyerahkan pemilihan presiden kepada suatu electoral college.  Beberapa Ciri Presidensialisme a Pemisahan Kekuasaan Sering dikatakan, dan hal ini dianut oleh tidak sedikit ilmuwan, termasuk di Amerika Serikat sendiri, bahwa pemerintahan presidensial didasarkan pada prinsip dasar pemisahan kekuasaan atau separation ofpowers yang berbeda dan dihadapkan pada prinsip peleburan kekuasaanatau fusion of powers pada parlementarisme. Penamaan ini yang bersumber pada teori Montesquieu yang turut mengilhami para penyusun konstitusi Amerika Serikat masih perlu diklarifikasi. Dalam teori mungkin dapat dibayangkan suatu trias politica yang terpisah, tetapi dalam praktek di dalam masyarakat yang kompleks suatu pemisahan seperti itu merupakan suatu kemustahilan. Dalam kehidupan politik nyata, berbagai cabang kekuasaan harusdikoordinasikan dan tidak terelakkan terjadinya tumpang tindih. Di AmerikaSerikat, presiden menjalankan kekuasaan legislatif ketika menandatanganiatau memveto rancangan undang-undang yang dikirim oleh Kongres. Sebaliknya, Kongres menjalankan kewenangan eksekutif ketika meratifikasi perjanjian internasional dan mengkonfirmasikan pengangkatan pejabat. Contoh Kasus yang ironis : di daerah provinsi NTT bahkan DPRDnya membantu menyalurkan dana Bansos yang kemudian menuai kritik dan masalah. Selain itu kekuasaan Mahkamah Agung untuk menyatakan suatu undang-undang atau tindakan eksekutif sebagai inkonstitusional pada dasarnya merupakan perembesan ke dalam kegiatan legislatif dan eksekutif. Sebaliknya, sidang impeachment oleh Kongres berarti memasuki suatukekuasaan yudikatif. Jadi, sebetulnya, tidak ada pemisahan kekuasaan yang sering digambarkan sebagai sifat dasar presidensialisme. Yang ada adalah pemisahan institusi yang berbeda dengan peleburan kekuasaan dalam hal ini antara legislatif dan eksekutif yang 33 merupakan sifat dasar parlementarisme. Pemisahan institusi ini mempunyai implikasi - implikasi,negatif maupun positif, terhadap bekerjanya sistem presidensialisme. b Kepala Pemerintahan Sekaligus Kepala Negara Dalam presidensialisme tidak ada pemisahan antara kepala negaradan kepala pemerintahan seperti pada parlementarisme. Presiden sebagaikepala pemerintahan merangkap juga sebagai kepala negara. Mungkintimbul kesan bahwa jabatan rangkap presiden yang demikian itu setaradengan jabatan rangkap raja pada masa monarki konstitusional.Sesungguhnya ada perbedaan mendasar di dalamnya: pada monarkipraparlementer yang konstitusional, raja menjadi kepala pemerintahankarena ia kepala negara. Pada presidensialisme, justru sebaliknya. Aspekseremonial dari posisinya hanyalah suatu pencerminan dari prestisepolitiknya Douglas V. Verney, 1963. Penyatuan kedua jabatan itu, sedikit banyaknya, mengandung ambiguitas. Selaku kepala pemerintahan, seorang presiden merupakan wakil dari para pemilihnya, bahkan mewakili partainya yang telah mengantarnya ke dalam kekuasaan, sementara selaku kepala negara ia simbol negara yang seyogyanya berdiri di atas semua golongan. Tidak mudah untuk menggabungkan kedua peran itu dan tidak mudah untuk memastikan apakah presiden tidak menyalahgunakan perannya selaku kepala negara untuk kepentingan yang bersifat partisan. c Presiden Sebagai Jabatan Unipersonal Prinsip eksekutif tunggal pada presidensialisme bukan saja ditandai oleh penyatuan jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan melainkan juga karena jabatan itu cenderung mempribadi personalized. Meskipun dalam presidensialisme dikenal jabatan wakil presiden tetapi selamapresiden masih berfungsi, seorang wakil presiden biasanya tidak lebih dariseorang pembantu presiden seperti halnya dengan menteri. Bahkan bagiseorang menteri yang notabene ditunjuk dan tidak dipilih masih lebihmemiliki yurisdiksi tertentu dibandingkan dengan seorang wakil presidenyang dipilih. Yang ingin ditekankan di sini bahwa berbeda dengan pemerintahan parlementer yang bersifat kolektif, pemerintahan presidensial bersifat tunggal. Para menteri yang mengepalai departemen merupakan bawahan presiden. Pemakaian istilah secretary sekretaris di Amerika Serikat untuk jabatan ini sangat boleh jadi tidak lepas dari 34 prinsip ini. Dengan perkataan lain, seorang perdana menteri dengan kabinetnya hanyalah “orang pertama diantara sesama rekan”, sementara seorang presiden dengan para menterinya adalah “orang pertama di atas rekan-rekan”, bahkan ia seorang primus solus – “orang pertama yang utama”. Menurut Douglas V. Verney 1963, perkataan “kabinet” adalah satudi antara beberapa istilah parlementer yang diambil di luar konteks olehorang-orang Amerika. Pemakaiannya sekadar untuk menggambarkan rapat-rapatPresiden dengan para Sekretarisnya, tetapi bukan suatu Kabinet dalamarti parlementer. d Legitimasi Ganda dan Masa Jabatan Tetap belum Berbeda dengan parlementarisme yang bersandar pada legitimasidemokratis tunggal yang dimiliki oleh legislatif, presidensialisme memilikiapa yang disebut legitimasi demokratis ganda. Baik presiden, yang dipilih secara langsung atau secara populer di Amerika Serikat melalui electoralcollege, maupun legislatif yang juga dipilih oleh rakyat, masing-masing memiliki legitimasinya sendiri. Dengan legitimasi terpisah ini, ditambah lagi dengan kenyataan bahwa baik presiden maupun legislatif dipilih untuk jangka waktu tertentu, maka keberadaan presiden tidak tergantung padalegislatif, dan sebaliknya, keberadaan legislatif tidak tergantung pada presiden. Dengan kata lain, berbeda dengan parlementarisme yang mengenal pertanggungjawaban eksekutif, dalam presidensialisme, presiden tidak bertanggung jawab terhadap legislatif. Dengan demikian, dalam presidensialisme, presiden tetap dalam jabatannya untuk jangka waktu tertentu secara konstitusional di AmerikaSerikat, empat tahun, terlepas dari perubahan mayoritas dalam legislatif. Dengan kata lain, presiden tidak dapat dijatuhkan oleh legislatif, kecuali melalui impeachment untuk suatu pelanggaran hukum yang serius yangbiasanya melalui prosedur yang sangat rumit. Sebaliknya, presiden tidakdapat memaksa legislatif mendukung program-programnya dengan ancaman pembubaran parlemen. Berbeda dengan parlementarisme, presiden dapat membubarkan atau meminta membubarkan legislatif. Meskipun tidak tergantung pada legislatif bagi kelangsungan jabatannya, presiden tetap membutuhkan kerja sama legislatif bagipelaksanaan kebijakan- kebijakannya yang harus mendapat persetujuan legislatif. Dalam hal mayoritas presiden 35 serupa dengan mayoritas legislatif,yaitu berasal dari partai yang sama, maka segala sesuatunya dapatdiharapkan berjalan lancar. Namun dapat terjadi bahwa mayoritas ituberbeda, dalam arti mayoritas legislatif dikuasai oleh partai “lawan”. Dalam hal ini tercipta apa yang disebut divided government atau pemerintahan yangterbelah yang sedikit banyaknya akan menyulitkan presiden dalam menjalankan tugas-tugasnya. Di Amerika Serikat, presiden diperlengkapi dengan hak veto untuk mengimbangi pengaruh mayoritas dalam legislatif. Dengan senjata itu presiden dapat menolak hasil legislasi rancangan undang-undang yang disodorkan legislatif dan mengembalikannya kepada legislatif. Untuk tetap memberlakukan hasil legislasi itu, legislatif memerlukan mayoritas duapertigasuara, suatu mayoritas yang tidak mudah mencapainya. Masalahnya, jika hasil pemungutan suara memenuhi syarat mayoritas tersebut dan presiden tetap bersikukuh dengan sikapnya, maka terciptalah suatu situasi deadlock atau gridlock, yang berarti kelumpuhan sistem. Konstitusi tidak menyediakan suatu cara untuk menyelesaikan kemacetan eksekutif-legislatif tersebut. Di Indonesia, konstitusi tidak memberikan hak veto kepada presiden. Tetapi dalam hal perundang-undangan pada umumnya, presiden mempunyai kedudukan setara dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam proses legislasi. Dalam soal ini tidak ada ancaman kemacetan. Hanya saja, dalam penyusunan anggaran penerimaan dan belanja negara, wewenang sepenuhnya di tangan DPR. Jadi, suka atau tidak suka, presiden harus menerima RAPBN yang disodorkan oleh DPR. e Alternatifnya kemacetan Checks and Balances Di bagian lain telah dikemukakan bahwa rancang bangun presidensialisme cenderung menghadapkan institusi versus institusi, dan bukannya partai versus partai, seperti halnya dalam parlementarisme. Kecenderungan ini merupakan akibat logis dari penerapan prinsip checksand balances pengecekan dan perimbangan antara institusi-institusi yangterpisah. Diuraikan secara terbalik, dalam presidensialisme, institusi-institusidengan sengaja dipisahkan agar institusi-institusi saling mengecek dansaling mengimbangi. Dalam model Washington, sebagaimana untuk sebagian telahdisinggung di atas, di bawah prinsip checks and balances, kekuasaan Kongres membuat undang-undang dicek oleh kekuasaan hak veto presiden. Selanjutnya, pengangkatan pejabat eksekutif 36 ditundukkan pada pengesahan Senat yang karenanya dapat meniadakan keputusan eksekutif. Selanjutnya,ada kekuasaan Mahkamah Agung untuk menyatakan pengundangan legislatif sebagai tindak konstitusional. Di lain pihak, dibawah konstitusi, pengangkatan hakim-hakim merupakan tanggung jawab eksekutif, yang biasanya tunduk pada nasehat dan persetujuan Senat. Maka dapat dikatakan bahwa prinsip checks and balances, dalam halini checks and balances antar institusi, merupakan ciri khas presidensialisme. Sejauh ini, prinsip tersebut berjalan baik-baik saja diAmerika Serikat, walaupun harus segera ditambahkan bahwa belakanganmodel Washington semakin ditantang oleh gejala divided government.Asumsi dasar mengenai sistem presidensial, tulis Giovanni Sartori 1997 adalah bahwa sistem ini kondusif bagi pemerintahan yang kuat dan efektif, tetapi asumsi ini berdiri di atas es tipis. Persoalannya menjadi lebih parah tatkala presidensialisme dikawinkan dengan sistem multi-partai. Seperti terlihat di Amerika Latin, kombinasi ini menguatkan kecenderungan terjadi gridlock. Dan celakanya, tak ada jalan keluar yang konstitusional sehingga yang ditempuh biasanya adalah cara-carayang tidak demokratis.

3. Semi Presidensialisme