Transparansi perairan Padatan Tersuspensi

Pasang surut di Teluk Jakarta termasuk tipe diurnal harian tunggal dimana dalam 24 jam terdapat satu kali pasang dan satu kali surut. Kedudukan air tertinggi sekitar 60 cm diatas mean sea level dan kedudukan air terendah sekitar 50 cm dibawah mean sea level Dinas Hidro-Oseanografi, 1985 in Meliani, 2006. 2.2.5. Kandungan nutrien Konsentrasi nutrien cenderung meningkat eutrofikasi hingga empat kali lipat di Teluk Jakarta antara tahun 1970 hingga 2003. Khususnya pada daerah muara sungai hingga 5 km dari garis pantai Arifin et al., 2003 in Wouthuyzen, 2006. Konsentrasi nutrien di Teluk Jakarta mengalami perubahan berdasarkan musim dan asupan air dari sungai. Sebaran konsentrasi fosfat paling tinggi terjadi pada Musim Barat dimana daerah dengan konsentrasi tertinggi terdapat pada bagian barat teluk 0,60 ugl dan menurun hingga kurang dari 0,20 ugl di dekat pelabuhan Tanjung Priok, tetapi kemudian meningkat kembali di bagian timur Teluk Jakarta Ilahude, 1995. Sebaran konsentrasi nitrat dan silikat ditemukan tertinggi selama Musim Barat dengan nilai masing masing sebesar 2,5 ugl dan 27 ugl yang mendapatkan pengaruh dari aliran sungai Ilahude,1995.

2.2.6. Transparansi perairan

Pengukuran transparansi Razak pada bulan Juni 2003 menunjukan nilai transparansi permukaan perairan berkisar antara 0-51 dengan rata-rata 21. Pada bulan September 2003 nilai transparansi di permukaan perairan berkisar antara 2-43 dengan rata-rata 20 Razak dan Muchtar, 2003.

2.2.7. Padatan Tersuspensi

Pengukuran padatan tersuspensi perairan di Teluk Jakarta pada tanggal 24-27 Mei 2004 menunjukan bahwa nilai sebaran padatan tersuspensi permukaan mencapai nilai tertinggi disebelah Utara Muara Cengkareng dan Muara Baru 0,08-0,09 grl Helfinalis, 2004. Nilai tersebut berada diatas ambang batas Kementrian Lingkungan HidupKLH 0,07 grl. Hal ini diduga disebabkan suplai air dari sungai-sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta mengandung sedimen hasil dari aktivitas pengerukan yang terjadi di hulu sehingga meningkatkan konsentrasi padatan tersuspensi. 2.2.8. Klorofil-a Pengukuran in situ klorofil-a di Teluk Jakarta oleh Damar 2001 menunjukan bahwa perubahan spasial klorofil-a secara spasial lebih besar dari pada perubahan secara temporal. Konsentrasi rata-rata pertahun untuk klorofil-a di Teluk Jakarta adalah 8,43 mgm 3 berkisar antara 0,21-31,60 mgm 3 . Pengukuran produktivitas primer yang juga dilakukan oleh Damar 2001 di Teluk Jakarta dengan metode Steeman Nielsen menunjukan bahwa di dekat pesisir nilai produktifitas primer lebih besar daripada kearah offshore dengan nilai rata-rata produktifitas primer yang didapat adalah 252 g C m -2 tahun -1 . Penelitian yang dilakukan Wouthuyzen 2007 dengan melakukan ekstraksi konsentrasi klorofil-a melalui satelit Aqua-MODIS didapatkan konsentrasi klorofil-a rata-rata 10 harian untuk keseluruhan Teluk Jakarta 0,323-2,965 mgm 3 , sedangkan untuk wilayah yang lebih difokuskan pada pantai Muara-Baru-Ancol-Karnaval, konsentrasi klorofil-a memiliki rentang 0,828 – 5,946 mgm 3 . Kisaran rata-rata bulanan terendah dan tertinggi untuk perairan Teluk Jakarta masing-masing adalah 0,416 dan 1,605 mgm 3 , sedangkan untuk pantai Muara-Baru-Ancol-Karnaval memiliki konsentrasi terendah dan tertinggi sebesar 0,940 mgm 3 dan 3,432 mgm 3 . Nilai kisaran rata-rata 10 harian dan bulanan di kedua lokasi terebut menunjukkan pola yang sama, yaitu konsentrasi klorofil-a di pantai Muara-Baru-Ancol-Karnaval 2 kali lebih tinggi dari pada keseluruhan Teluk Jakarta. Hal ini disebabkan daerah Muara-Baru-Ancol-Karnaval dekat dengan daratan Pulau Jawa, sehingga mendapat lebih banyak pasokan nutrien fosfat dan nitrat yang berasal dari darat dibandingkan dengan Teluk Jakarta secara keseluruhan dimana hal ini sejalan dengan penemuan Damar 2001. Menurut Hendiarti et al 2004 klorofil-a di Teluk Jakarta bernilai tinggi antara 2,5 dan 3 mgm 3 pada daerah muara sungai dan lebih dari 10 mgm 3 untuk daerah dekat pantai untuk bulan Maret dan April. Hal ini terjadi karena pengaruh musim transisi antara musim kemarau dan musim penghujan. Sementara itu jika konsenstrasi klorofil-a mencapai lebih dari 3 mgm 3 di Teluk Jakarta, maka perairan akan menjadi keruh sehingga dapat mempengaruhi ekosistem terumbu karang di Kepulauan Seribu. Menurut Meliani 2006 konsentrasi klorofil-a dari satelit Aqua-MODIS pada Musim Barat memiliki kisaran sebesar 1,00-7,13 mgm 3 , sedangkan pada Musim Timur sekitar 0,50-6,36 mgm 3 . Hal tersebut mengindikasikan konsentrasi klorofil-a cenderung lebih tinggi pada Musim Barat daripada Musim Timur.

2.3. Fenomena harmful algae bloom dan kematian massal ikan di Teluk Jakarta

Dokumen yang terkait

Pemodelan Algoritma Penduga Konsentrasi Klorofil-a Menggunaltan Citra Satelit Terra MODIS di Perairan Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu

0 10 68

Kajian konsentrasi dan sebaran spasial klorofil-A di perairan teluk Jakarta menggunakan citra satelit Aqua Modis

0 14 86

Variabilitas konsentrasi klorofil-a dan suhu permukaan laut dari citra satelit aqua modis serta hubungannya dengan hasil tangkapan ikan lemuru di perairan selat bali.

2 56 135

Pendugaan Konsentrasi Klorofil-a dan Transparansi Perairan Teluk Jakarta dengan Citra Satelit Landsat.

3 18 123

Variabilitas konsentrasi klorofil-a dari citra satelit seawifs di Perairan Pulau Moyo, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.

0 12 67

Penentuan Pola Sebaran Konsentrasi Klorofil-a di Selat Sunda dan Perairan Sekitarnya dengan Menggunakan Data Inderaan AQUA MODIS.

1 40 81

Variabilitas konsentrasi klorofil-a dan suhu permukaan laut dari citra satelit MODIS serta hubungannya dengan hasil tangkapan ikan pelagis di perairan Laut Jawa

4 8 197

Variasi Distribusi Spasial Dan Temporal Klorofil-A Dan Suhu Permukaan Laut Menggunakan Data Satelit Aqua Modis Di Pantai Barat-Selatan Nanggroe Aceh Darussalam

1 23 61

Estimasi Distribusi Klorofil-A di Perairan Selat Madura Menggunakan Data Citra Satelit Modis dan Pengukuran In Situ Pada Musim Timur

0 0 10

Validasi Algoritma Estimasi konsentrasi Klorofil-a dan Padatan Tersuspensi Menggunakan Citra Terra dan Aqua Modis dengan Data In situ (Studi Kasus: Perairan Selat Makassar)

0 0 6