Tabel 3 Lanjutan
Lag Cross
Correlation Std. Error
3 -.052
.147 4
-.284 .149
5 -.345
.151
6 -.321
.152 7
-.313 .154
8 -.006
.156 9
-.016 .158
10 .261
.160 Hubungan kecepatan angin meridional
dengan curah hujan di Padangpanjang mengindikasikan signifikan atau adanya
korelasi silang dengan selang waktu atau lag number
5 sampai 7 lihat nilai korelasi pada Tabel 3 dengan nilai korelasinya yaitu
-0.345 lihat Tabel 3 . Sama halnya dengan daerah Kototabang, di Padangpanjang juga
terjadi hal yang sama yaitu korelasinya bernilai negatif hal ini mengindikasikan
bahwa pada daerah Padangpanjang angin yang mendominasi adalah angin selatan.
c. Angin Meridional dan Curah Hujan di
Sicincin
Gambar 25 Grafik Korelasi Silang Angin Meridional dengan CH di
Sicincin Periode April 2002- April 2006
Tabel 4 Nilai Korelasi Silang Angin Meridional dengan CH di
Kototabang Periode April 2002- April 2006
Lag Cross
Correlation Std. Error
-10 .383
.160 -9
.453 .158
-8 .379
.156 -7
.138 .154
-6 -.067
.152 -5
-.281 .151
-4 -.383
.149 -3
-.474 .147
-2 -.265
.14.6 -1
-.199 .144
.109 .143
1 .204
.144 2
.332 .146
3 .505
.147
4 .368
.149 5
.231 .151
6 -.156
.152 7
-.277 .154
8 -.442
.156 9
-.433 .158
10 -.306
.160 Hubungan kecepatan angin meridional dan
curah hujan di Sicincin memiliki korelasi. Berbeda dengan daerah Kototabang dan
Padangpanjang, daerah Sicincin memiliki nilai korelasi yang positif dapat dilihat pada Tabel
4. Pada daerah Sicincin nilai korelasinya bervariasi yaitu positif dan negatif. Untuk
korelasi positif terdapat pada lag number -10 hingga -8 dan 2 hingga 4. Sedangkan untuk
korelasi negatif terdapat pada lag number -4 dan -3 serta 8 dan 9 lihat Gambar 25.
Hasil korelasi pada Sicincin berbeda dengan daerah Kototabang dan
Padangpanjang. Korelasi yang terjadi pada daerah Sicincin dengan kecepatan angin
meridional adalah berkorelasi positif, dan nilai koefisien korelasi tertinggi yaitu 0.505 yang
terdapat pada lag number 3, lihat pada Tabel 4. Hal ini mengindikasikan bahwa angin yang
mendominasi adalah angin dari selatan. Selain itu hal ini menunjukkan bahwa pada saat
angin meridional bergerak ke arah selatan dengan asumsi membawa banyak kandungan
uap air yang siap diturunkan sebagai hujan, maka curah hujan yang ada di kawasan
Sicincin tinggi.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan 1.
Berdasarkan karakteristik hasil data EAR Equatorial Atmephere Radar dengan
periode April 2002- April 2006 diketahui adanya Monsun signal yang berosilasi
sekitar 12 bulanan pada ketinggian 8-18 km dengan puncak Monsun terkuat yaitu
pada ketinggian 14.1km. Pada daerah Kototabang angin reversal terjadi pada
ketinggian 8km dan 10.1 km dan angin yang dominan adalah angin selatan.
2. Berdasarkan pola curah hujan di
Kototabang, Padangpanjang dan Sicincin. Maka Kototabang dan Padangpanjang
memiliki pola iklim ekuatorial sedangkan Sicincin memiliki pola curah hujan
Monsoonal. Dari ketiga wilayah tersebut Sicincin memiliki pola yang sama dengan
pola Monsun yaitu berosilasi sekitar 12 bulanan.
3. Hasil analisis korelasi silang antara curah
hujan dengan angin meridional diperoleh korelasi terbesar yaitu pada daerah
Sicincin dengan koefisien korelasi maksimum sebesar 0.505 terdapat pada
lagtime number
3 yaitu adanya jeda waktu selama 3 bulan dari datangnya angin
sampai turunnya hujan. Korelasi negatif menunjukkan bahwa bahwa adanya
indikasi angin cenderung dari arah selatan sehingga menyebabkan musim kering dan
positif dari arah utara sehingga menyebabkan musim basah.
5.2 Saran 1.
Masih perlu adanya tindak lanjut untuk melihat fenomena Monsun. Mengingat
bahwa Monsun merupakan fenomena penting yang dapat mempengaruhi curah
hujan di Indonesia. 2.
Masih perlu adanya validasi dan kelengkapan data curah hujan dengan
periode yang lebih panjang minimal 30 tahun untuk melihat pola Monsun.
3. Masih perlu dilakukan analisis statistika
yang lebih beragam dan kompleks sehingga dapat menjelaskan hubungan
antara curah hujan dengan angin meridional.
DAFTAR PUSTAKA
Annenberg. 2009. Structure Atmosphere. http:www.learner.orgcoursesenvscivisu
alimg_medstructure_atmosphere.jpg [15 Juni 2009]
Chang J. 1984. The Monsoon Circulation of Asia, hlm 3-34. Di dalam M.M. Yoshino
Penyunting. Climate and Agricultural Land Use in Monsoon Asia. Universitas of
Tokyo Press. Tokyo.
Chao CW et al. 2001. The Origin Of Monsoon. Vol 58: 3497-3507
Ding Y et al. 2004. East Asian Monsoon. Di dalam: CP Chang, editor. The Global
Monsoon System Research and Forcast. Secretariat of the World Meteorological
Organization Geneva, Switzerland.
Endarwin, DK. 2000. Periodisitas Gerak Atmosfer dan Pengaruhnya Terhadap
Fluktuasi Intensitas Curah Hujan di Indonesia.
Jurnal Meteorologi dan Geofisika
. Vol 1 No 3. Juli-Sseptember. Flatau MK et al. 2003. Geophysical Research
Letters. Delayed Onset Of The 2002 Indian Monsoon
30: 1-4. Fukao S, Haschiguchi H, Yamamoto M,
Tsuda T, Nakamura T, Yamamoto MK. 2003. The Equatorial Atmosphere Radar
EAR: System Description and First Result. Radio Science Center for Space
and atmosphere. Kyoto University. Japan.
Handoko. 1995. Klimatologi Dasar. Bogor: Jurusan Geofiska dan Meteorologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor.