Penerapan Model ARIMA untuk Prediksi Anomali Curah Hujan Berdasarkan Indeks Monsun dan El Niño di Beberapa Kawasan di Indonesia.

(1)

PENERAPAN MODEL ARIMA UNTUK PREDIKSI ANOMALI CURAH

HUJAN BERDASARKAN INDEKS MONSUN DAN EL NIÑO DI

BEBERAPA KAWASAN DI INDONESIA

RENDRA EDWUARD

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(2)

PENERAPAN MODEL ARIMA UNTUK PREDIKSI ANOMALI CURAH

HUJAN BERDASARKAN INDEKS MONSUN DAN EL NIÑO DI

BEBERAPA KAWASAN DI INDONESIA

RENDRA EDWUARD

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains

pada

Mayor Meteorologi Terapan

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(3)

ABSTRACT

RENDRA EDWUARD. The application of ARIMA Model in rainfall Anomalies prediction base

on Monsoon and El Niño Index in some areas in Indonesia. Supervised by RIZALDI BOER and EDDY HERMAWAN.

This study based on atmosphere-ocean interaction that is very important to be investigated because of its influences to the rainfall variability over Indonesia. This study aims to investigate Monsoon and Niño 3.4 interaction in influencing rainfall fluctuation over Indonesia. The study areas cover Lampung, Sumbawa Besar, Indramayu, Banjarbaru, and Pandeglang from Januari 1976 - Desember 2000. The results of Power Spectral Density (PSD) and Wavelet analysis on rainfall anomaly and monsoon index data show strong at 12 months. Dominant oscillation pattern of Niño 3.4 is about 60 months. The result of regression analyses shows more significant relation between rainfall anomaly and AUSMI (Australian Monsoon Index) and WNPMI (Western North Pacific Monsoon Index). Therefore, it is suggested that the Monsoon (AUSMI and WNPMI) and El-Niño(Niño 3.4) can be used for further analysis. This study was undertaken with assumption that Monsoon oscillation and El-Niño are interacted and the model is developed by using multivariate regression method: Y = a + bAUSMI + cWNPMI + dNiño3.4. By using Box-Jenkins method based on ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average), the prediction model that is close to observed time series data of rainfall anomaly is ARIMA (1,0,1)12 with model equation Zt =

0.9989Zt-12 - 0.9338at-12 + at (AUSMI), ARIMA (1,1,1)12 with model equation Zt = -0.0674Zt-12

+ Zt-12 - Zt-24 - 0.9347at-12+ at, (WNPMI), dan ARIMA (2,0,2) with model equation Zt = 3.594Zt-1 -

0.8362Zt-2– 1.634at-1 - 0.1053at-2 + at (NINO3.4). Model equation shows that time series data

forecast of rainfall anomaly depend on previous “t” months data and previous ”t” months error. Keywords: Monsoon, El-Niño , ARIMA


(4)

RINGKASAN

RENDRA EDWUARD. Penerapan Model ARIMA untuk Prediksi Anomali Curah Hujan

Berdasarkan Indeks Monsun dan El Niño di Beberapa Kawasan di Indonesia. Dibimbing Oleh

RIZALDI BOER dan EDDY HERMAWAN.

Penelitian ini didasarkan pada interaksi antara atmosfer dan laut yang sangat penting untuk diteliti terkait pengaruhnya yang besar terhadap variabilitas curah hujan di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari interaksi Monsun dan Niño 3.4 dalam mempengaruhi fluktuasi curah hujan di Indonesia. Wilayah kajian penelitian meliputi Lampung, Sumbawa Besar, Indramayu, Banjarbaru, dan Pandeglang untuk periode Januari 1976 - Desember 2000. Hasil analisis Power Spectral Density (PSD) dan analisis wavelet pada anomali curah hujan dan data indeks monsun terlihat kuat pada 12 bulanan. Pola osilasi dominan Nino 3.4 adalah sekitar 60 bulanan. Hasil analisis regresi menunjukkan hubungan yang signifikan antara anomali curah hujan dengan data AUSMI (Australian Monsoon Index) dan WNPMI (Western North Pacific Monsoon Index). Oleh karena itu, hal ini menunjukkan monsun (AUSMI dan WNPMI) dan El Niño (Niño 3.4) dapat digunakan untuk analisis lebih lanjut. Penelitian ini dilakukan dengan asumsi ketika osilasi Monsun dan El Niño berinteraksi dan dikembangkan dengan menggunakan metode regresi multivariat dengan model awal Y = a + bAUSMI + cWNPMI + dNiño3.4. Melalui metode Box-Jenkins berdasarkan ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average), model yang digunakan untuk prediksi data deret waktu indeks iklim global adalah ARIMA (1,0,1)12 dengan persamaanZt =

0.9989Zt-12 - 0.9338at-12 + at (AUSMI), ARIMA (1,1,1) 12

dengan persamaan Zt = -0.0674Zt-12 +

Zt-12 - Zt-24 - 0.9347at-12+ at, (WNPMI), dan ARIMA (2,0,2) dengan persamaan Zt = 3.594Zt-1 -

0.8362Zt-2– 1.634at-1 - 0.1053at-2 + at (NINO3.4). Persamaan model menunjukkan, untuk prakiraan

data deret waktu anomali curah hujan waktu mendatang tergantung dari data “t” bulan sebelumnya dan galat “t” bulan sebelumnya.


(5)

Judul Skripsi : Penerapan Model ARIMA untuk Prediksi Anomali Hujan Berdasarkan Indeks MONSUN dan El Niño di Beberapa Kawasan di Indonesia

Nama : Rendra Edwuard

NIM : G24070063

Menyetujui

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr. Ir. Rizaldi Boer, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Eddy Hermawan, M.Sc.

NIP. 19600927 198903 1 002 NIP. 19620128 199003 1 003

Mengetahui:

Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi,

Dr. Ir. Rini Hidayati, MS NIP. 19600305 198703 2 002


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas Berkat dan Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “Penerapan Model ARIMA Untuk Prediksi Anomali Hujan Berdasarkan Indeks ENSO dan MONSUN di Beberapa Kawasan di

Indonesia“. Penelitian, penulisan, dan penyusunan tugas akhir ini tidak terlepas dari peranan pihak-pihak yang telah membantu hingga tugas akhir ini dapat terselesaikan dengan baik. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua atas doa, kasih sayang, dan segala dukungan moril serta materil.

2. Bapak Prof. Rizaldi Boer sebagai pembimbing I dan Bapak Prof. Eddy Hermawan sebagai pembimbing II, yang telah banyak memberikan pengarahan, ilmu, masukan dan bimbingan dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

3. Pihak Centre for Climate Risk and Opportunity Management (CCROM), yang sudah memberikan izin menggunakan data curah hujan.

4. Staff bidang Permodelan Atmosfer LAPAN Bandung.

5. Seluruh Dosen dan Staff Departemen Geofisika dan Meteorologi. 6. Teman-teman penelitian di LAPAN.

7. Teman-teman di Laboratorium Klimatologi Departemen Geofisika dan Meteorologi. 8. Teman-teman GFM 44, kakak dan adik kelas GFM.

9. Teman-teman di Istana Ceria.

10. Semua pihak yang telah membantu yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari tugas akhir ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis berbesar hati untuk menerima saran, kritik, dan masukan yang sifatnya membangun. Semoga tugas akhir ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2013


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Jakarta pada tanggal 28 November 1988 dari pasangan Edi Suaedi dan Yuliani. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Harapan Abadi Jakarta Utara pada tahun 2001, SMP Tarsisius Vireta pada tahun 2004, dan SMAN 4 Tangerang pada tahun 2007. Setelah menyelesaikan pendidikan SMA, penulis melajutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) mengambil Mayor Meteorologi Terapan. Selama menjalani studinya penulis aktif di Keluarga Mahasiswa Katolik. Penulis juga aktif di Himpunan Profesi Mahasiswa Agrometeorolgi (HIMAGRETO) tahun 2008/2009 sebagai Staff Bidang Kemasyarakatan dan Informasi serta Staff

Departemen of Publik Relation HIMAGRETO pada tahun 2009-2010. Pada Juli-Agustus 2011 penulis melakukan magang di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Bandung.


(8)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 1

TINJAUAN PUSTAKA ... 1

Curah Hujan di Indonesia ... 1

Fenomena El Niño di Samudera Pasifik ... 3

Fenomena Monsun ... 4

Analisis Spektral ... 6

FFT (Fast Fourier Transform) ... 6

Transformasi Wavelet ... 6

Metode Box-Jenskins ... 7

Fungsi Autokorelasi dan Fungsi Autokorelasi Parsial ... 7

Stasioneritas dan Nonstasioneritas ... 7

Klasifikasi Model ARIMA ... 8

Korelasi Silang ... 8

Regresi Linear Berganda ... 9

DATA DAN METODOLOGI ... 9

Waktu dan Tempat Penelitian ... 9

Alat dan Data yang digunakan ... 10

Metode Penelitian ... 10

Anomali Curah Hujan ... 10

Analisis Spektral ... 10

FFT (Fast Fourier Transform) ... 10

Transformasi Wavelet ... 10

Analisis Statistik ... 10

Metode Korelasi Silang ... 10

Analisis Multivariat ... 10

Metode Pendekatan Box-Jenskins ... 11

Lokasi Kajian... 11

Tahapan Penelitian ... 12

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 13

Analisis Data Curah Hujan ... 13

Analisis Monsun dan Nino 3.4 ... 14

Analisis Spektral Monsun dan Nino 3.4 ... 15

Analisis Statistik Data Curah Hujan dan Data Iklim Global ... 17

Analisis Korelasi Silang ... 18

Model Prediksi ARIMA ... 19

KESIMPULAN DAN SARAN ... 23

DAFTAR PUSTAKA ... 24


(9)

DAFTAR TABEL

1 Tingkat anomali SPL berdasarkan kekuatan El Niño ... 4

2 Acuan model ACF dan PACF ... 7

3 Kaitan interaksi antara dua fenomena (AUSMI - WNPMI - Nino3.4) dengan curah hujan bulanan Periode 1976 – 2000 ... 18

4 Persamaan ARIMA ... 20

DAFTAR GAMBAR 1 Pola hujan di Indonesia ... 2

2 Wilayah Nino di Samudera Pasifik... 3

3 Struktur laut Samudera Pasifik pada saat normal dan El Niño ... 4

4 Pola pergerakan Monsun Musim Dingin Asia Timur (the East Asian Winter Monsun) dan Monsun Musim Panas Asia Selatan (the South Asian Summer Monsun). ... 5

5 Skema transformasi wavelet ... 7

6 Skema pendekatan Box-Jenskin ... 11

7 Wilayah kajian ... 11

8 Diagram alir penelitian ... 12

9 Deret waktu curah hujan berbagai wilayah di Indonesia periode 1976-2000 ... 13

10 Power Spektral Density (PSD) curah hujan periode 1976-2000 ... 14

11 Deret waktu data iklim global periode 1976-2000 ... 14

12 Power Spektral Density (PSD) indeks monsun (a), Nino 3.4 (b) dan periode 1976 – 2000... 15

13 Wavelet Indian Summer Monsun Index (ISMI) periode 1976 – 2000 ... 15

14 Wavelet Western North Pacific Monsun Index (WNPMI) periode 1976 – 2000 ... 16

15 Wavelet Australian Monsun Index (AUSMI) periode 1976 – 2000 ... 16

16 Wavelet Nino 3.4 periode 1976 – 2000 ... 16

17 Mean varians monsun dan Nino 3.4 periode 1976 – 2000 ... 16

18 Diagram batang fenomena interkoneksi dan curah hujan periode 1996-1999 ... 17

19 Validasi curah hujan model multivariate periode Januari 2000 – Desember 2000 ... 19

20 Plot data, Plot data differencing 2, ACF(2), PACF iklim global bulanan di di berbagai wilayah kajian periode Januari 1976 – Desember 1999 ... 21

21 Plot data validasi iklim global asli dengan prediksi iklim global (Januari 2000 – Desember 2000) dan plot data prediksi iklim global (Januari 2013 – Desember 2013). .. 22

22 Prediksi anomali curah hujan model multivariate untuk wilayah kajian periode Januari 2013 – Desember 2013 ... 23

DAFTAR LAMPIRAN 1 Script untuk pengolahan time series data menggunakan software Matlab R2008a ... 27

2 Script untuk pengolahan data dengan teknik Power Spectral Density (PSD) ... 28

3 ScriptWavelet ... 29

4 Pendugaan Model ARIMA(p,d,q) wilayah kajian ... 32

5 Output SPSS 16 untuk menentukan nilai CCF hubungan antara fenomena interaksi terhadap curah hujan wilayah kajian... 35


(10)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Iklim dapat didefinisikan sebagai ukuran statistik cuaca untuk jangka waktu tertentu. Iklim terdiri atas berbagai parameter, seperti tekanan, suhu, kelembaban, arah dan kecepatan angin serta curah hujan. Diantara parameter iklim tersebut, curah hujan merupakan unsur iklim yang paling dominan di Indonesia. Secara umum curah hujan di indonesia didominasi oleh dua tipe monsun yang dicirikan oleh musim basah dan musim kering. Monsun merujuk pada siklus tahunan yang membedakan secara tegas keadaan atmosfer selama fase kering dan fase basah. Siklus tahunan ini membagi fase kering dan fase basah menjadi dua periode.

Meskipun Monsun terjadi secara periodik, tetapi awal musim hujan dan musim kemarau tidak selalu sama sepanjang tahun. Ini disebabkan musim di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa fenomen, seperti El Niño/La Niña, Osilasi Selatan, dan Dipole Mode Event

(DME) atau Indian Ocean Dipole (IOD), sirkulasi Timur-Barat (Siklus Walker) dan sirkulasi Utara-Selatan (Siklus Hadley) serta beberapa sirkulasi karena pengaruh lokal (McBride 2002). Monsun berkaitan dengan variasi curah hujan tahunan, sedangkan El Niño dan IOD berkaitan dengan variasi curah hujan antar-tahunan.

Fenomena iklim sangat berpengaruh terhadap sektor pertanian di Indonesia. Kejadian tersebut memperlihatkan peran yang semakin penting dengan munculnya kondisi iklim yang semakin ekstrim sehingga menimbulkan dampak yang signifikan terhadap produksi pertanian (IPCC 2001), seperti pergeseran pola curah hujan dan perubahan temperatur udara. Beberapa contoh nyata ketika terjadi musim kering panjang diikuti dengan musim basah panjang adalah tahun 1997 sampai tahun 1998. Pada periode tersebut di Indonesia mengalami musim kering panjang hampir 10 bulan lamanya dan juga musim basah yang panjang.

Hubungan yang terjadi antara monsun dan El Niño perlu dikaji lebih mendalam terkait dampak yang ditimbulkannya terhadap iklim global. Pada dasarnya proses penyimpangan iklim terjadi secara bertahap. Oleh karena itu, upaya untuk mengantisipasi pengaruh dari penyimpangan iklim harus dipahami secara menyeluruh mulai dari proses terjadinya hingga penanganan dampak yang tepat dan benar. Oleh karena itu perlu pengembangan ilmu pengetahuan yang menggabungkan

atmosfer dan lautan, termasuk interaksinya untuk mangantisipasi hingga beberapa tahun kedepan.

Akurasi model yang akurat dan handal akan sangat membantu dalam pengembangan informasi prakiraan iklim. Akan tetapi, penelitian yang mengkaji interaksi secara fisis dan dinamis antara fenomena El Niño dan monsun di wilayah Indonesia masih jarang dilakukan. Hal ini di antaranya karena kompleksitas kondisi monsun di wilayah Indonesia yang secara acak dipengaruhi oleh beberapa monsun sekaligus; monsun Asia, India, Pasifik, dan monsun Australia.

1.2 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Menganalisis pengaruh interaksi Monsun dan El Niño terhadap fluktuasi curah hujan di beberapa kawasan di indonesia.

2. Menentukan model prediksi dengan ARIMA.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Curah Hujan di Indonesia

Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang datar, tidak menguap, tidak meresap, dan tidak mengalir dalam satuan milimeter (mm). Curah hujan 1 (satu) milimeter, artinya dalam luasan satu meter persegi pada tempat yang datar tertampung air setinggi satu milimeter atau tertampung air sebanyak satu liter (BMKG 2010).

 Tipe hujan monsoonal, adalah tipe curah hujan yang wilayahnya memiliki perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan periode musim kemarau kemudian dikelompokkan dalam Zona Musim (ZOM), tipe curah hujan yang bersifat unimodal (satu puncak musim hujan, DJF musim hujan, JJA musim kemarau).

 Tipe hujan ekuatorial, adalah tipe curah hujan yang wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan bimodal dengan dua puncak musim hujan maksimum dan hampir sepanjang tahun masuk kriteria musim hujan. Musim hujan biasanya terjadi sekitar bukan Maret dan Oktober atau pada saat terjadi ekinoks.

 Tipe hujan lokal, adalah tipe curah hujan yang wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan kebalikan dengan pola curah hujan monsun. Cirinya adalah pola hujan unimodal dan bentuknya berlawanan dengan monsun.


(11)

Gambar 1 Pola hujan di Indonesia (BMKG dalam Kadarsah 2007) Rata-rata curah hujan di Indonesia untuk

setiap tahunnya tidak sama. Namun masih tergolong cukup banyak, yaitu rata-rata 2000

– 3000 mm/tahun. Begitu pula antara tempat yang satu dengan tempat yang lain rata-rata curah hujannya tidak sama.

Pola umum curah hujan di Indonesia antara lain dipengaruhi oleh letak geografis. Secara rinci pola umum hujan di Indonesia dapat diuraikan sebagai berikut (Kadarsah 2007)

1. Pantai sebelah barat setiap pulau memperoleh jumlah hujan selalu lebih banyak daripada pantai sebelah timur. 2. Curah hujan di Indonesia bagian barat

lebih besar daripada Indonesia bagian timur. Sebagai contoh, deretan pulau-pulau Jawa, Bali, NTB, dan NTT yang dihubungkan oleh selat-selat sempit, jumlah curah hujan yang terbanyak adalah Jawa Barat.

3. Curah hujan juga bertambah sesuai dengan ketinggian tempat. Curah hujan terbanyak umumnya berada pada ketinggian antara 600 – 900 m di atas permukaan laut.

4. Di daerah pedalaman, di semua pulau musim hujan jatuh pada musim pancaroba. Demikian juga halnya di daerah-daerah rawa yang besar.

5. Saat mulai turunnya hujan bergeser dari barat ke timur seperti: Pantai barat pulau Sumatera sampai ke Bengkulu mendapat hujan terbanyak pada bulan November, Lampung-Bangka yang letaknya ke timur mendapat hujan terbanyak pada bulan Desember, Jawa bagian utara, Bali, NTB, dan NTT pada bulan Januari – Februari. 6. Di Sulawesi Selatan bagian timur,

Sulawesi Tenggara, Maluku Tengah, musim hujannya berbeda, yaitu bulan Mei-Juni. Pada saat itu, daerah lain sedang mengalami musim kering. Batas daerah hujan Indonesia barat dan timur

terletak pada kira-kira 120( Bujur Timur. Grafik perbandingan empat pola curah hujan di Indonesia dapat Anda lihat pada gambar dibawah ini.

Ada beberapa daerah yang mendapat curah hujan sangat rendah dan ada pula daerah yang mendapat curah hujan tinggi (Kadarsah 2007): 1. Daerah yang mendapat curah hujan

rata-rata per tahun kurang dari 1000 mm, meliputi 0,6% dari luas wilayah Indonesia, di antaranya Nusa Tenggara, dan 2 daerah di Sulawesi (lembah Palu dan Luwuk).

2. Daerah yang mendapat curah hujan antara 1000 – 2000 mm per tahun di antaranya sebagian Nusa Tenggara, daerah sempit di Merauke, Kepulauan Aru, dan Tanibar. 3. Daerah yang mendapat curah hujan antara 2000 – 3000 mm per tahun, meliputi Sumatera Timur, Kalimantan Selatan, dan Timur sebagian besar Jawa Barat dan Jawa Tengah, sebagian Irian Jaya, Kepulauan Maluku dan sebagaian besar Sulawesi.

4. Daerah yang mendapat curah hujan tertinggi lebih dari 3000 mm per tahun meliputi dataran tinggi di Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, dataran tinggi Irian bagian tengah, dan beberapa daerah di Jawa, Bali, Lombok, dan Sumba.

Menurut Kadarsah 2007 hujan terbanyak di Indonesia terdapat di Baturaden Jawa Tengah, yaitu curah hujan mencapai 7,069 mm/tahun. Hujan paling sedikit di Palu Sulawesi Tengah, merupakan daerah yang paling kering dengan curah hujan sekitar 547 mm/tahun. Sebagai bahan perbandingan curah hujan di daerah lain :540 mm/tahun di Eropa sedangkan dipedalaman 1250 mm/tahun, di Pegunungan Rocky 3400 mm/tahun, di pedalaman Amerika 400 mm/tahun. Daerah yang memiliki curah hujan tertinggi di Cherrapunji 10820 mm/tahun ( selama 1860-Juli 1861 memiliki curah hujan 2646,12


(12)

mm/tahun dan selama 5 hari berturut-turut dibulan Agustus 1841 sebesar 38000 mm/tahun atau setara dengan curah hujan selama 4 tahun di New York), sedangkan di Puncak Gunung Waialeale di Kanai Tengah, Kepulauan Hawaii sebesar 1175,84 mm/tahun.

2.2 Fenomena El Niño di Samudera Pasifik

Salah satu parameter yang sangat penting untuk menentukan sistem iklim adalah suhu permukaan laut, karena suhu permukaan laut menentukan fluks panas nyata (sensible) dan panas terselubung (latent) melalui permukaan laut. Bjerkness (1966) untuk pertama kali menunjukkan kemungkinan adanya hubungan antara fluktuasi atmosfer dengan ragam oseanik. Sejak itu, pengkajian intensif terkait iklim global telah dilakukan dengan pengembangan konsep kopel atmosfer-lautan. Sehingga diketahui adanya fluktuasi suhu permukaan laut (SPL) antar tahunan. Salah satu yang sangat terkenal adalah fenomena El Niño, yaitu penyimpangan suhu permukaan laut di pantai Peru yang menjadi panas. Kemudian diketahui bahwa ragam suhu permukaan laut ini berkaitan dengan ragam suhu permukaan global di atas basin Pasifik. Anomali pemanasan terjadi dalam interval waktu beberapa tahun (~4 tahunan). Pada waktu terjadi El Niño, konveksi di daerah tropis bergeser ke arah timur (Tjasyono 2004).

Gambar 2 Wilayah Nino di Samudera Pasifik (www.hko.gov.hk 2011)

El Niño sebagai mode dominan interaksi kopel atmosfer-lautan dengan skala waktu antar tahunan memiliki karakter penghangatan dari kondisi normal di sepanjang Samudera Pasifik bagian tengah dan timur. Menurut Trenberth (1997), El Niño didefenisikan oleh 4 wilayah Niño (Gambar 2) yaitu, Niño1 (80º– 90ºW dan 5º–10ºS), Niño2 (80º–90ºW dan 0º– 5ºS), Niño3 (90º–150ºW dan 5ºN–5ºS), Niño4

(150ºW–160ºE dan 5ºN–5ºS), Niño3.4 (120Wº–170ºW dan 5ºN–5ºS).

Menurut Tjasyono (2004), El Niño adalah peristiwa memanasnya suhu air permukaan laut di pantai barat Peru – Ekuador (Amerika Selatan yang mengakibatkan gangguan iklim secara global) yang mengakibatkan suhu air permukaan laut di daerah tersebut dingin karena adanya up‐welling (arus dari dasar laut menuju permukaan). Menurut bahasa setempat El Niño berarti bayi laki‐laki karena munculnya di sekitar hari Natal (akhir Desember). Dalam keadaan normal, sirkulasi atmosfer-lautan di Samudera Pasifik akan memusat di sekitar wilayah Indonesia. Akan tetapi pada tahun El Niño, terjadi subsidensi sirkulasi Walker di atas benua maritim Indonesia yang menghambat konvergensi sirkulasi Hadley dan konveksi lokal. Mekanisme kondisi normal dan El Niño dapat dilihat pada gambar 3.

Selama perkembangan El Niño, struktur permukaan laut Samudera Pasifik seperti pada gambar 3 menunjukkan adanya air hangat di lapisan dalam yang tidak normal dan meningkatnya kedalaman termoklin di sepanjang Pasifik tropis bagian timur, sehingga kemiringan (slope) berkurang sepanjang basin tersebut. Pada episode El Niño yang sangat kuat, termoklin secara nyata menjadi datar di seluruh Pasifik tropis untuk waktu beberapa bulan. Kondisi ini diikuti dengan adanya sea level yang lebih tinggi dari normalnya di Pasifik bagian timur, yang menghasilkan penurunan kemiringan (slope) ketinggian permukan laut di sepanjang basin tersebut. Evolusi ini terjadi sebaliknya pada episode La Niña(Philander 1990).

Fenomena El Niño merupakan sirkulasi zonal (timur-barat) yang terjadi di sepanjang Pasifik tropis. El Niño merupakan salah satu bentuk penyimpangan iklim di Samudera Pasifik yang ditandai dengan kenaikan SPL di daerah katulistiwa bagian tengah dan timur. Sebagai indikator untuk memantau kejadian El Niño, biasanya digunakan data pengukuran SPL di zona Nino 3.4 dimana anomali positif mengindikasikan terjadinya El Niño. Kenaikan anomali SST Nino 3.4 diikuti dengan melemahnya angin pasat (trade winds) yang mengakibatkan pergeseran daerah konveksi pembentukan awan-awan hujan. Pada kondisi normal (Gambar 3a), daerah konveksi berada di daerah barat Samudera Pasifik. Namun pada kondisi El Niño (Gambar 3b), zona konveksi bergeser ke bagian timur Samudera Pasifik (Septicorini 2009).


(13)

a. Kondisi Normal

b. Kondisi El Niño

Gambar 3 Struktur laut Samudera Pasifik pada saat Normal dan El Niño (NOAA 2011)

Menurut Haryanto (1998), yang dimaksud dengan tahun El Niño adalah periode dimana kondisi anomali SST di kawasan ekuator samudera pasifik bagian tengah dan timur > 1⁰C dari rata-rata kurun waktu tertentu. Tabel 1 menunjukkan besar tingkat anomali SST, maka tingkat kekuatan El Niño di bagi dalam empat kategori :

Tabel 1 Tingkat anomali SPL berdasarkan kekuatan El Niño.

Anomali SPL (⁰C) Kondisi > 3 Sangat kuat

2.5 – 3 Kuat

1.5 – 2.5 Lemah 0 – 1.5 Sangat lemah Adapun dampak El Niño terhadap kondisi cuaca global, antara lain: angin pasat timuran melemah, sirkulasi monsun melemah, akumulasi curah hujan berkurang di wilayah Indonesia, Amerika Tengah dan amerika Selatan bagian Utara. Cuaca di wilayah ini cenderung lebih dingin dan kering. Selain itu El Niño juga menyebabkan meningkatnya potensi hujan yang terdapat di sepanjang Pasifik ekuatorial tengah dan barat serta

wilayah Argentina, cuaca cenderung hangat dan lembab. Adapun dampaknya di Indonesia, angin monsun (muson) yang datang dari Asia dan membawa banyak uap air, sebagian besar juga berbelok menuju daerah tekanan rendah di pantai barat Peru – Ekuador. Akibatnya, angin yang menuju Indonesia hanya membawa sedikit uap air sehingga terjadilah musim kemarau yang panjang.

Sejauh mana pengaruh El Niño di Indonesia, sangat tergantung dengan kondisi perairan wilayah. Fenomena El Niño yang berpengaruh di wilayah Indonesia yang diikuti berkurangnya curah hujan secara drastis, baru akan terjadi bila kondisi suhu perairan Indonesia cukup dingin. Namun bila kondisi suhu perairan Indonesia cukup hangat tidak berpengaruh terhadap kurangnya curah hujan secara signifikan di Indonesia. Disamping itu, mengingat luasnya wilayah Indonesia, tidak seluruh wilayah Indonesia dipengaruhi oleh fenomena El Niño (BMKG 2011).

2.3 Fenomena Monsun

Monsun merupakan angin yang bertiup sepanjang tahun dan berganti arah dua kali dalam setahun. Umumnya pada setengah tahun pertama bertiup angin darat yang kering dan setengah tahun berikutnya bertiup angin laut yang basah. Pada bulan Oktober – April, matahari berada pada belahan langit Selatan, sehingga benua Australia lebih banyak memperoleh pemanasan matahari dari benua Asia. Akibatnya di Australia terdapat pusat tekanan udara rendah (depresi) sedangkan di Asia terdapatpusat-pusat tekanan udara tinggi (kompresi). Keadaan ini menyebabkan arus angin dari benua Asia ke benua Australia. Di Indonesia angin ini merupakan angin musim Timur Laut di belahan bumi Utara dan angin musim Barat di belahan bumi Selatan. Oleh karena angin ini melewati Samudra Pasifik dan Samudra Hindia maka banyak membawa uap air, sehingga pada umumnya di Indonesia terjadi musim penghujan. Musim penghujan meliputi hampir seluruh wilayah Indonesia, hanya saja persebarannya tidak merata. Makin ke Timur curah hujan makin berkurang karena kandungan uap airnya makin sedikit.

Ada dua ciri utama daripada iklim Monsun, yakni adanya perbedaan yang tegas antara musim basah (wet season) dan musim kering (dry season) yang umumnya terjadi pada periode Desember, Januari, dan februari (DJF) dan Juni, Juli dan Agustus (JJA). Pada tahun 1686, Edmund Halley mengemukakan teori bahwa Monsun terjadi akibat adanya perbedaan panas antara daratan dengan lautan


(14)

sebagai hasil dari zenithal march matahari (Chang 1984). Kata Monsun biasanya digunakan hanya untuk system angin (Neuwolt 1977). Ramage (1971) memberikan kriteria untuk areal Monsun berdasarkan sirkulasi permukaan bulan Januari dan Juli sebagai berikut:

1. Pergeseran arah angin yang berlangsung kurang lebih 120o antara bulan Januari dan Juli.

2. Frekuensi rata-rata angin dominan pada bulan Januari dan Juli melebihi 40%. 3. Rata-rata kecepatan resultan angin pada

salah satu bulan tersebut (Januari dan Juli) melebihi 10 m/s.

4. Kurang dari satu siklon-antisiklon alternatif terjadi setiap dua tahun di salah satu bulan pada 5o latitude-longitude rectangle.

Chang (1984) menyatakan angin dalam sistem Monsun tersebut harus ditimbulkan akibat efek thermal, dan bukan dari pergerakan akibat angin dalam skala planetan dan pressure belt. Ramage (1971) mengemukakan bahwa ada dua sistem Monsun di Asia, yaitu Monsun Musim Dingin Asia Timur (the East Asian Winter Monsun) dan Monsun Musim Panas Asia Selatan (the South Asian Summer Monsun).

1. Monsun Musim Dingin Asia Timur (the

East Asian Winter Monsun).

Angin yang terjadi sekitar bulan Desember

– Februari. Angin monsun barat ini terjadi ketika letak matahari berada di bagian selatan bumi (Australia) yang menyebabkan daerah selatan bersuhu lebih

tinggi (bertekanan rendah). Sedangkan di bagian utara bumi (Asia) bersuhu lebih rendah (bertekanan lebih tinggi). Dengan sifat angin yang bergerak dari daerah bertekanan tinggi menuju yang bertekanan rendah, maka angin pun akan berhembus dari Asia menuju Australia. Sehingga pada periode ini, sebagian besar wilayah Indonesia akan memiliki curah hujan yang tinggi karena angin ini berhembus dengan membawa banyak massa uap air ketika melalui lautan luas dari arah Timur Laut dari Pasifik menuju ke Selatan – Tenggara.

2. Monsun Musim Panas Asia Selatan (the

South Asian Summer Monsun) Biasanya

terjadi pada bulan Juni-Agustus. Posisi matahari berada di belahan utara bumi. Sehingga di belahan utara (Asia) bersuhu tinggi (bertekanan rendah), sedangkan di belahan selatan (Australia) bersuhu rendah (bertekanan tinggi). Maka angin akan bertiup dari belahan selatan ke utara. Angin bertiup dari arah Tenggara melalui gurun pasir di bagian utara Australia yang kering dan hanya melalui lautan yang sempit, menuju Utara – Timur Laut dan menyebabkan curah hujan sedikit di sebagian besar wilayah Indonesia (musim kemarau). Namun angin membawa udara dingin dari arah Selatan yang sedang musim dingin, sehingga cenderung saat kemarau relatif lebih sejuk.

Gambar 4 Pola pergerakan Monsun Musim Dingin Asia Timur (the East Asian Winter Monsun) dan Monsun Musim Panas Asia Selatan (the South Asian Summer Monsun).


(15)

Asia Timur dan Asia sebelah Selatan mempunyai sirkulasi Monsun yang terbesar dan paling berkembang. Sedangkan Monsun Asia Timur dan tenggara adalah Monsun yang berkembang dengan baik dan Monsun di Indonesia merupakan bagian dari Monsun Asia Timur dan Asia Tenggara. Hal ini disebabkan oleh besarnya Benua Asia dan efek dari daratan tinggi Tibet terhadap aliran udara (Prawirowardoyo 1996).

2.4 Analisis Spektral

Data deret waktu adalah data yang merupakan fungsi atas waktu dan antar pengamatannya terdapat suatu hubungan yang disebut dengan istilah berautokorelasi, sehingga untuk menyajikan bentuk hubungan fungsional antara data dengan waktunya tidak bisa menggunakan metode analisis regresi biasa. Salah satu metode dalam analisis data deret waktu yang jarang dibahas, padahal peranannya sangat besar dalam melengkapi informasi mengenai ciri (characters) data deret waktu adalah analisis spektral. Analisis spektral membahas mengenai cara menelaah periodesitas data tersembunyi (hidden periodecities) yang sulit diperoleh pada saat kajian dilakukan pada kawasan (domain) waktu. Kajian periodesitas data perlu dilakukan untuk menambah informasi mengenai karakteristik dari data deret waktu tersebut, dan harus dilakukan pada kawasan frekuensi melalui analisis spektral (Mulyana 2004).

2.4.1 FFT (Fast Fourier Transform)

Salah satu metode analisis spektral yang umum digunakan adalah FFT (Fast Fourier Transform). Data deret waktu dapat dinyatakan sebagai deret fourier yang merupakan fungsi harmonis, sehingga dengan membangun fungsi spektrum kuasanya, periodesitas data dapat ditentukan. Tetapi menentukannya tidak dapat dalam kawasan (domain) waktu, dan harus dalam kawasan frekuensi sebab fungsi spektrum kuasa merupakan fungsi atas autokorelasi dengan frekuensi. Jika dilakukan pendugaan terhadap fungsi spektrum kuasa, dan nilai-nilai dugaannya dipetakan terhadap frekuensinya, maka akan diperoleh sebuah garis spektrum. Telaahan periodesitas data dilakukan terhadap frekuensi yang berpasangan dengan titik-titik puncak garis spektrumnya (Mulyana 2004).

Definisi deret fourier adalah sebagai berikut (Hermawan 2003):

dimana:

Tranformasi Fourier (Tranformasi Fourier kompleks atau Spektrum Fourier) dari suatu fungsi f(t) adalah F(ω):

Persamaan ini merupakan analisis fourier dari

f(t).

adalah phase-lag spectrum dengan n = Ø, ±1, ±2, … -Ø(ω) yang juga disebut sebagai. Langkah berikutnya adalah melakukan invers transformasi Fourier sebagai berikut :

Persamaan ini merupakan sintesis fourier dari f(t), yaitu sintesis dari berbagai komponen spektral F(ω) ke fungsi asalnya f(t). Fungsi

f(t) dan F(ω) disebut pasangan fourier, dualisme pasangan fungsi tersebut dinyatakan dengan: f(t) F(ω). Dengan menggunakan sifat ortogonalitas dari fungsi trigonometri, faktor e-iωt berfungsi sebagai sebuah operator, yang hanya mempunyai komponen berfrekwensi ω dari f(t) atau dengan kata lain,

F(ω) adalah rata-rata dari komponen f(t)

tersebut yang mempunyai frekwensi ω. Apabila F(ω) berada dalam satuan interval frekuensi, kuantitas F(ω) disebut sebagai kerapatan spektral atau spectral density, dan |F(ω)| disebut kerapatan amplitudo atau

amplitudo density. (Hermawan 2003)

2.4.2 Transformasi Wavelet

Seperti halnya transformasi fourier, transformasi wavelet digunakan juga untuk menganalisis sinyal ataupun data. Transformasi Wavelet (TW) adalah suatu alat untuk memilah-milah data, fungsi atau operator ke dalam komponen frekuensi yang berbeda-beda, kemudian mempelajari setiap komponen dengan suatu resolusi yang cocok dengan skalanya (Tang 2009).


(16)

Gambar 5 Skema Transformasi Wavelet (Tang 2009)

2.5 Metode Box-Jenkins

Pengertian time series di sini adalah deret atau urutan observasi atau pengamatan, dan biasanya urutan ini berdasarkan waktu (Wei 1994). Analisis deret waktu diperkenalkan pertama kali pada tahun 1970 oleh George E. P. Box dan Gwilym M. pendekatan time series

dapat menggunakan metode analisis fungsi autokorelasi dan fungsi autokorelasi parsial untuk mempelajari perubahan data runtun waktu. Untuk model perametrik seringkali dikenal dengan analisis ARIMA (Von Storch dan Zwier 1999).

Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA) adalah model yang secara penuh mengabaikan independen variabel dalam membuat peramalan. ARIMA sering juga disebut metode runtun waktu Box-Jenskins. ARIMA sangat baik digunakan untuk peramalan jangka pendek, sedangkan untuk peramalan jangka panjang ketepatan peramalan kurang baik. Arima biasanya akan cenderung mendatar atau flat untuk periode jangka waktu yang cukup panjang. ARIMA menggunakan nilai masa lalu dan sekarang dari variabel dependen untuk menghasilkan peramalan jangka pendek yang akurat. ARIMA sangat cocok jika observasi dari deret waktu (time series) secara statistik berhubungan satu sama lain (dependent).

2.5.1 Stasioneritas dan Nonstasioneritas

Perlu diperhatikan bahwa kebanyakan data deret waktu bersifat nonstasioner dan bahwa aspek-aspek AR dan MA dari model ARIMA hanya berkenan dengan data deret waktu yang bersifat stasioner. Data stasioner berarti tidak terdapat pertumbuhan atau penurunan pada data. Data secara kasarnya harus horizontal sepanjang sumbu waktu. Dengan kata lain, fluktuasi data berada di sekitar suatu nilai rata-rata yang konstan, tidak tergantung pada waktu dan varians dan fluktuasi tersebut pada pokoknya tetap konstan setiap waktu.

Suatu data yang tidak stasioner harus diubah menjadi data yang stasioner dengan melakukan differencing. Yang dimaksud dengan differencing adalah menghitung

perubahan atau selisih nilai observasi. Nilai selisih yang diperoleh dicek ulang apakah data tersebut sudah stasioner atau tidak. Apabila data tersebut belum stasioner maka dilakukan differencing lagi. Jika varians tidak stasioner, maka dilakukan transformasi logaritma.

2.5.2 Fungsi Autokorelasi dan Fungsi Autokorelasi Parsial

Konsepsi autokorelasi setara dengan korelasi Pearson untuk data bivariat, yang berarti, autokorelasi merupakan korelasi antara suatuderet dengan dirinya sendiri. Koefisien autokorelasi menunjukkan keeratan hubungan dengan nilai peubah yang samadalam periode waktu yang berbeda (Makridakis 1983). Notasi untuk fungsi autokorelasi adalah

dengan k = 0,1,2,...

Dalam analisis data deret waktu untuk mendapatkan hasil yang baik, nilai n harus cukup besar, dan autokorelasi disebut berarti jika nilai k cukup kecil dibandingkan dengan n, sehingga bisa dianggap.

Seperti halnya autokorelasi yang merupakan fungsi atas lagnya, yang hubungannya dinamakan fungsi autokorelasi (ACF), autokorelasi parsial juga merupakan fungsi atas lagnya, dan hubungannya dinamakan Fungsi Autokorelasi Parsial (partial autocorrelation function, PACF). Gambar dari ACF dan PACF dinamakan korelogram (correlogram) dan dapat digunakan untuk menelaah signifikansi autokorelasi dan kestasioneran data. Jika gambar ACF membangun sebuah histogram yang menurun (pola eksponensial), maka autokorelasi signifikans atau data berautokorelasi, dan jika diikuti oleh gambar PACF yang histogramnya langsung terpotong pada lag-2, maka data tidak stasioner, dan dapat distasionerkan melalui proses diferensi. Tabel 2 Acuan model ACF dan PACF


(17)

2.5.3 Klasifikasi Model ARIMA

Model Box-Jenkins (ARIMA) dibagi kedalam 3 kelompok, yaitu: model autoregressive (AR), moving average (MA), dan model campuran ARIMA (autoregresive moving average) yang mempunyai karakteristik dari dua model pertama.

1) Autoregressive Model (AR)

Bentuk umum model autoregressive dengan ordo p (AR(p)) atau model ARIMA (p,0,0) dinyatakan sebagai berikut:

Dimana,

Zt = deret waktu stasioner

Φp = koefisien model autoregresif

Zt-p = nilai masa lalu yang berhubungan

at = residual pada waktu t

2) Moving Average Model (MA)

Bentuk umum model moving average ordo q (MA(q)) atau ARIMA (0,0,q). Persamaan moving avergae ditunjukkan oleh Dimana,

Zt = deret waktu stasioner

θp = koefisien model moving average

at-q = residual lampau yang digunakan oleh

model 3) Model campuran a. Proses ARMA

Model ARMA merupakan gabungan dari model autoregresif dan moving average. Asumsi yang diterapkan adalah ketika deret waktu merupakan campuran dari fungsi autoregresif dan moving average, maka persamaan model ARMA (p,q) menjadi: Zt = ϕ1Zt-1 + ϕ2Zt-2 +...+ ϕpZt-p + at - θ1at-1 - θ2a

t-2-...-θqat-q

Dimana Zt dan atsama seperti sebelumnya, Zt

adalah konstanta, ϕ dan θ adalah koefisien model. Zt dikatakan proses campuran

autoregressive moving average orde p dan q. b. Proses ARIMA

Apabila nonstasioneritas ditambahkan pada campuran proses ARMA, maka model umum ARIMA (p,d,q) terpenuhi. secara umum persamaan untuk model ARIMA (1,1,1) adalah:

Zt = (1+Ø1)Zt-1 + (-Ø1)Zt-2 + at–θ1 at-1

Nilai ordo dari proses autoregressive dan

moving average diduga secara visual dari plot ACF dan PACF. Plot tersebut menampilkan distribusi koefisien autokorelasi dan koefisien autokorelasi parsial.

Plot yang tampak dalam plot ACF dan PACF dapat digunakan dalam pendugaan ordo MA

dan AR karena masing – masing model

memiliki pola yang khusus. Secara teoritis ρk

= 0 bagi k > q dalam model MA(q) dan ϕkk =

0 bagi k > pdalam model AR(p). Arti dari ARIMA (p,d,q) sendiri adalah model tersebut menggunakan p nilai lag dependen, d tingkat proses pembedaan, dan q lag residual.

2.6 Korelasi Silang

Korelasi menunjukkan adanya hubungan keeratan antara dua variabel atau lebih. Jika dua variabel atau lebih tersebut saling berhubungan maka hasilnya dapat ditentukan dengan nilai koefisien korelasi yang berkisar antara -1 dan +1. Nilai koefisien korelasi menunjukkan berbagai derajat hubungan dari yang sangat lemah hingga sangat kuat.

Karakteristik korelasi silang sama dengan korelasi biasa dengan nilai berkisar antara -1 dan +1 yang berfungsi sebagai autokorelasi di dalam pemodelan untuk analisis deret berkala inivariat, korelasi silang sangat berperan penting dalam pemodelan multivariate yang berhubungan dengan suatu data time series dengan adanya suatu hubungan antara satu deret yang dilambangkan dengan lag dengan yang lainnya dan sebaliknya (Makridakis 1983).

Perhatikan dua buah proses stokastik, Xt

dan Yt, t = 0, ± 1, ± 2, . . .. Xt dan Yt

dikatakan stasioner gabungan ( jointly stationary), jika Xt dan Yt

masing-masingmerupakan proses stasioner, dan kovarians silang (cross-covariance) Xt dengan

Ys, kov.(Xt, Ys) hanya merupakan fungsi atas

selisih waktu (t – s). Untuk beberapa kasus kovarians silang Xt dengan Yt, didefinisikan

oleh

µx dan µy masing-masing rata-rata hitung Xt

dan Yt , k = 0, ± 1, ± 2, . . . karena γXY(k)

merupakan fungsi atas k, maka γXY(k)

selanjutnya ditulis, γXY(k), dan dinamakan

fungsi kovarians silang. Jika varians Xt dan

Yt masing-masing σ x2dan σ y2, maka fungsi

dinamakan fungsi korelasi silang (cross-dorrelation function, CCF), yang merupakan bentuk standarisasi dari fungsi kovarians silang. Jika ditelaah dari deskripsinya, fungsi korelasi silang merupakan formulasi umum dari fungsi autokorelasi (ACF), sebabγXX

(k)

=

γX (k)

tetapi perbedaannya, jika autokorelasi merupakan bentuk simetris, artinya ρX(k)


(18)

tidak simetris sebab ρXX(k) ≠ρXX(−k).

Jika nilai ACF sebagai ukuran kekuatan dari hubungan antar pengamatan, maka nilai CCF selain sebagai ukuran kekuatan hubungan antar variabel, nilai dari CCF juga sebagai ukuran arah hubungan. Untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh mengenai hubungan antara data deret waktu Xt dengan

Yt, pengujian mengenai CCF, ρXX(k), harus

dilakukan untuk k > 0 dan k < 0, melalui analisis korelasi silang atau gambar CCF yang biasa dinamakan korelogram silang (cross correlogram) (Mulyana 2004).

2.7 Regresi Linear Berganda

Analisis Multivariat (Multivariat Analysis) merupakan salah satu jenis analisis statistik yang digunakan untuk menganalisis data dimana data yang digunakan berupa banyak peubah bebas (independen variabels) dan juga banyak peubah terikat (dependen variabels). Analisis Regresi Linear Ganda atau sering disebut juga Analisis Multiple Regression Linear merupakan perluasan dari Simple Regression Linear (Regresi Linear Sederhana). Pada analisis ini bentuk hubungannya adalah beberapa variabel bebas terhadap satu variabel terikat. Misalkan untuk mengetahui faktor-faktor yang terkait dengan tekanan darah sistolik (variabel Y) analisis dilakukan dengan melibatkan kadar glukosa darah (variabel X1), kadar kolesterol darah (X2) dan Berat Badan (X3). Perbedaan dengan analisis-analisis statistik yang lain adalah bahwa jumlah peubah tak bebas pada analisis statistik lain, seperti analisis regresi ganda, terdiri dari hanya satu peubah misalnya (Y) tetapi pada analisis multivariat, peubah terikat dapat berjumlah lebih dari satu

(misalnya Y1, Y2, ……….Yq). Secara

sederhana model persamaan regresi ganda digambarkan sebagai berikut :

Y = a + b1X1+b2X2+…+bnXn+e

Keterangan :

Y = variabel terikat a = konstanta b1,b2 = koefisien regresi X1, X2 = variabel bebas

e = nilai kesalahan (error) yaitu selisih antara nilai Y individual yang teramati dengan nilai Y sesungguhnya pada titik X tertentu Menurut (Yusuf 2003) Untuk menentukan model yang paling fit (sesuai/cocok) menggambarkan faktor-faktor yang terkait dengan variabel dependen

(terikat). Model Regresi Ganda dapat berguna untuk dua hal, yaitu :

Prediksi, memperkirakan variabel

dependen dengan menggunakan informasi yang ada pada sebuah atau beberapa variabel independen. Misalnya kita melakukan analisis variabel independen kadar glukosa darah, kadar kolesterol darah dan BB dihubungkan dengan tekanan darah sistolik. Dari hasil regresi, seseorang individu dapat diperkirakan tekanan darahnya pada kadar glukosa, kolesterol dan BB tertentu.

Estimasi, mengkuantifikasi hubungan

sebuah atau beberapa variabel independen dengan sebuah variabel dependen. Difungsi ini regresi dapat digunakan untuk mengetahui variabel independen apa saja yang berhubungan dengan variabel dependen. Difungsi ini regresi dapat digunakan untuk mengetahui variabel independen apa saja yang berhubungan dengan variabel dependen. Selain itu kita dapat mengetahui seberapa besar hubungan masing-masing variabel independen dengan dependen setelah memperhitungkan/mengontrol variabel independen lainnya. Dari analisis tersebut dapat diketahui variabel mana yang paling besar pengaruhnya/dominan dalam mempengaruhi variabel dependen, yang ditujukan dari nilai koefisien regresi (b) yang sudah distandarisasi yaitu nilai beta.

Analisis regresi berganda ini memiliki tujuan untuk memperkirakan/meramalkan nilai Y, jika semua variable bebas diketahui nilainya. Persamaan regresi linear berganda dibentuk dengan menggunakan metode kuadrat terkecil (least square method). Selain itu juga untuk mengetahui besarnya pengaruh dari setiap variable bebas yang terdapat dalam persamaan (Avip 2007).

III. DATA DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret hingga Agustus 2011 di bagian Pemodelan Atmosfer Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Bandung dan Laboratorium Klimatologi Departemen Geofisika dan Meteorologi Institut Pertanian Bogor (IPB).


(19)

3.2 Alat dan Data yang digunakan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Laptop dengan software MATLAB versi 2008a, SPSS versi 16.0, Minitab 15,

Microsoft excel dan Microsoft word 2007.

Data yang digunakan dalam penelitian kali ini adalah sebagai berikut:

a. Data curah hujan bulanan daerah Lampung, Sumbawa Besar, Indramayu, Banjar Baru, dan Pandeglang periode 1976–2000.

b. Data Nino 3.4 yang diperoleh dari

(http://www.cpc.noaa.gov/data/indices/ nino34.mth.ascii.txt). Periode 1950-2009 c. Data Monsoon Index periode 1950-2009

Australian Monsoon Index (AUSMI)

Western North Pasific Monsoon Index (WNPMI)

Indian Summer Monsoon Index

(ISMI)

Data indeks monsun diperoleh dari:

http://iprc.soest.hawaii.edu/users/ykaji/ monsoon/realtime-monidx.html

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Anomali Curah Hujan

Sebelum melakukan tahapan penelitian lebih lanjut, tahap awal penelitian yaitu mengubah data curah hujan bulanan menjadi suatu data anomali, tujuannya agar data tersebut lebih mudah diolah. Ada berbagai macam cara pengolahan data curah hujan menjadi data anomali. Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah

Rumus diatas digunakan dengan tujuan agar sifat monsunal pada data curah hujan bulanan tidak dihilangkan. Setelah data curah hujan berbentuk anomali, maka dapat dilakukan tahap-tahap penelitian selanjutnya.

3.3.2 Analisis Spektral

Salah satu metode dalam analisis data deret waktu yang jarang dibahas, padahal peranannya sangat besar dalam melengkapi informasi mengenai ciri (characters) data deret waktu adalah analisis spektral. Analisis spektral membahas mengenai cara menelaah periodesitas data tersembunyi (hidden periodecities) yang sulit diperoleh pada saat kajian dilakukan pada kawasan (domain) waktu. Kajian periodesitas data perlu dilakukan untuk menambah informasi mengenai karakteristik dari data deret waktu tersebut, dan harus dilakukan pada kawasan frekuensi melalui analisis spektral (Mulyana 2004).

3.3.2.1 FFT (Fast Fourier Transform)

Salah satu metode analisis spektral yang umum digunakan adalah FFT (Fast Fourier Transform). Data deret waktu dapat dinyatakan sebagai deret fourier yang merupakan fungsi harmonis, sehingga dengan membangun fungsi spektrum kuasanya, periodesitas data dapat ditentukan.

3.3.2.2 Transformasi Wavelet

Seperti halnya transformasi fourier, transformasi wavelet digunakan juga untuk menganalisis sinyal ataupun data. Transformasi Wavelet (TW) adalah suatu alat untuk memilah-milah data, fungsi atau operator ke dalam komponen frekuensi yang berbeda-beda, kemudian mempelajari setiap komponen dengan suatu resolusi yang cocok dengan skalanya. (Tang 2009)

3.3.3 Analisis Statistik

Analisis statistik pada penelitian kali ini menggunakan dua metode yaitu: metode korelasi silang dan metode pendekatan Box-jenkins.

3.3.3.1 Metode Korelasi Silang

Korelasi menunjukkan adanya hubungan keeratan antara dua variabel atau lebih. Jika dua variabel atau lebih tersebut saling berhubungan maka hasilnya dapat ditentukan dengan nilai koefisien korelasi yang berkisar antara -1 dan +1.

3.3.3.2 Analisis Multivariat

Analisis Regresi Linear Berganda (multivariat) digunakan untuk mengukur pengaruh antara lebih dari satu variabel predictor (variabel bebas) terhadap variabel terikat. Adapun persamaan umum dari regresi berganda adalah

Y = a + b1X1+b2X2+…+bnXn Keterangan : Y = variabel terikat

a = konstanta

b1,b2 = koefisien regresi X1, X2 = variabel bebas Analisis regresi berganda dalam penelitian digunakan untuk membuktikan hubungan antara interaksi fenomena monsun dan Nino3.4 terhadap curah hujan. Analisis regresi berganda dapat digunakan untuk menentukan model prediksi awal pengaruh antara interaksi monsun dan Nino3.4 terhadap curah hujan. Selain itu, dapat juga digunakan untuk menentukan berapa lamakah waktu tunggu iklim global dapat mempengaruhi curah hujan di wilayah kajian. Analisis ini dilakukan dengan bantuan software SPSS 16.0 dan Microsoft excel.


(20)

3.3.3.3 Metode Pendekatan Box-Jenskins

Menurut Makridakis 1983 metode ini menggunakan beberapa tahapan-tahapan yang perlu dilakukan sebelum membuat model.

Tahap 1: Identifikasi Model

Cara yang dilakukan pada tahapan identifikasi model adalah:

 Plot data aktual (data iklim global yang meliputi AUSMI, WNPMI dan Nino 3.4) sehingga dapat terlihat apakah data tersebut stasioner atau tidak. Apabila data belum stasioner maka data harus distasionerkan terlebih dahulu agar data dapat dimodelkan.  Melihat plot dari fungsi autokorelasi (ACF)

dan fungsi autokorelasi parsial (PACF) untuk melihat model data.

Apabila ACF signifikan pada lag (lead time) q dan PACF menurun secara eksponensial, maka data dapat dimodelkan dengan model MA(q) (Moving average

derajat q) dan jika ACF turun secara eksponensial dan PACF signifikan pada lag p maka data dapat dimodelkan dengan model AR(p) (Autoregresif derajat p). Apabila kedua hal tersebut tidak diperoleh, ada kemungkinan model merupakan gabungan antara AR dan MA atau ARMA(p,q).

Gambar 6 Skema pendekatan Box-Jenskin.

Tahap 2: Pendugaan Parameter Model

Cara-cara yang dapat dilakukan adalah:  Cara mencoba-coba (trial and error),

menguji beberapa nilai yang berbeda dan memilih salah satu nilai tersebut (sekumpulan nilai apabila terdapat lebih dari satu parameter yang akan ditaksir) yang meminimumkan jumlah kuadrat nilai sisa (sum of squared residuals)

 Perbaikan secara iteratif, memilih taksiran awal dan kemudian membiarkan program computer memperhalus penaksiran tersebut secara iteratif (Makridakis 1983).

Tahap 3: Pengujian atau Validasi Model

Setelah berhasil menduga nilai parameter dari model ARIMA selanjutnya melakukan pemeriksaan diagnostic untuk membuktikan bahwa model tersebut cukup memadai. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan mempelajari nilai sisa (residual) untuk melihat apakah masih terdapat model yang dapat dipertimbangkan. Kedua dengan cara mempelajari statistik sampling dari pemecahan optimum untuk melihat apakah model masih dapat disederhanakan (Makridakis 1983).

Tahap 4: Penetapan Model ARIMA

Tahap ini merupakan tahap terakhir dimana kita dapat melakukan prakiraan (forecasting) dari model yang kita buat.

3.4 Lokasi Kajian


(21)

3.5 Tahapan Penelitian


(22)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Adanya perubahan perilaku iklim di Indonesia dengan munculnya curah hujan yang ekstrim tidak terlewati oleh pengaruh fenomena iklim global. El Niño menjadi faktor dominan yang mempengaruhi keragaman iklim global. Pengaruhnya terhadap perilaku curah hujan monsunal di Indonesia menarik perhatian untuk mengkaji lebih dalam mengenai interaksi atmosfer dan lautan.

4.1 Analisis Data Curah hujan

Curah hujan merupakan jumlah air yang jatuh di permukaan tanah datar selama periode tertentu yang diukur dengan satuan tinggi (mm). Secara umum, pola curah hujan di Indonesia terbagi menjadi 3 tipe: monsunal, ekuatorial, dan lokal. Penelitian ini menggunakan data curah hujan wilayah Lampung, Sumbawa Besar, Indramayu, Banjarbaru, dan Pandeglang untuk melihat pengaruh interaksi El Niño dan monsun terhadap kondisi curah hujan di wilayah kajian.

Gambar 9 menunjukkan adanya fase positif (+) dan negatif (-). Fase positif (+) merupakan suatu fase dimana dalam periode tertentu pada suatu wilayah mengalami hujan atau kondisi basah yang biasanya terjadi pada bulan DJF (Desember, Januari, Februari) dengan nilai puncak maksimum pada bulan Januari, sedangkan untuk fase negatif (-) merupakan suatu fase dimana dalam periode tertentu pada suatu wilayah tidak turun hujan dan mengalami kondisi yang kering yang biasanya terjadi pada bulan JJA (Juni, Juli,

Agustus) dengan nilai puncak minimum pada bulan Juli.

Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa wilayah Lampung, Sumbawa Besar, Indramayu, Banjarbaru, dan Pandeglang memiliki tipe hujan monsunal yang dicirikan oleh distribusi curah hujan bulanan berbentuk huruf V dengan jumlah curah hujan musiman terendah terjadi pada bulan kering (JJA) dan tertinggi pada bulan basah (DJF). Wilayah dengan pola curah hujan monsunal memiliki perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan periode musim kering. Berdasarkan penjelasan dari BMKG dalam Marjuki 2011, curah hujan bulanan ketika dalam kondisi basah (musim penghujan) adalah > 150 mm, sedangkan curah hujan bulanan ketika dalam kondisi kering (musim kemarau) adalah < 150 mm.

Berdasarkan hasil deret waktu curah hujan yang telah diperoleh dapat dilihat bahwa wilayah-wilayah yang memiliki hujan tipe monsunal antara puncak yang satu dengan yang lain baik puncak maksimum maupun puncak minimum memiliki periode atau osilasi 12 bulan. Berbeda dengan wilayah kajian yang memiliki hujan tipe equatorial dalam satu tahun terdapat dua puncak maksimum dengan osilasi yang nyata terlihat antara 6 bulan.

Untuk melihat adanya osilasi yang nyata terhadap data curah hujan di wilayah Lampung, Sumbawa Besar, Indramayu, Banjarbaru, dan Pandeglang selain menggunakan analisis deret waktu, dapat juga dilakukan analisis PSD (Power Spectral Density) seperti gambar 10.

Jan-76 Jan-77Jan-78 Jan-79Jan-80Jan-81 Jan-82Jan-83Jan-84 Jan-85Jan-86Jan-87 Jan-88Jan-89Jan-90 Jan-91Jan-92 Jan-93 Jan-94Jan-95 Jan-96 Jan-97Jan-98 Jan-99 Jan-00 -400

-200 0 200 400 600 800 1000 1200

Waktu

A

n

o

m

a

li

SUMBAWA BESAR INDRAMAYU BANJARBARU PANDEGLANG LAMPUNG


(23)

1 6 12 18 0

0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5

x 108

Periode (bulan)

E

ne

rg

i S

pe

kt

ra

l

SUMBAWA BESAR INDRAMAYU BANJAR BARU PANDEGLANG LAMPUNG

Gambar 10 Power Spektral Density (PSD) curah hujan periode 1976-2000. Analisis PSD (Power Spectral Density)

merupakan salah satu metode yang digunakan untuk mengetahui periodesitas dari suatu data deret waktu. Pada gambar 10 dapat dilihat bahwa wilayah-wilayah kajian yang bertipe curah hujan monsunal (Lampung, Sumbawa Besar, Indramayu, Banjarbaru, dan Pandeglang) menunjukkan pola osilasi dominan 12 bulanan. Hal ini terlihat dari puncak energi spektral masing-masing wilayah kajian berada pada periode 12 bulanan, artinya kejadian kuat akan berulang dalam selang waktu 12 bulanan. Wilayah Indramayu dan Banjarbaru memiliki puncak yang lebih tinggi dibandingkan wilayah Lampung, Sumbawa Besar, dan Pandeglang, hal ini berarti kekuatan monsun di wilayah Indramayu dan Banjarbaru lebih kuat dibandingkan wilayah lainnya.

4.2 Analisis Monsun dan Nino 3.4

Monsun merupakan siklus tahunan yang membedakan secara tegas keadaan atmosfer

ketika musim basah dan musim kering. Menurut Webster 1987 monsun juga merupakan suatu fenomena yang kuat dan luas sehingga suatu sistem monsun dapat mempengaruhi suatu wilayah yang luas. Fenomena ini juga sangat berpengaruh terhadap penentuan awal musim hujan dan musim kering.

Menurut Bhalme 1991, El Niño merupakan anomali suhu permukaan laut yang terjadi di daerah khatulistiwa bagian tengah dan timur, yaitu menghangatnya permukaan laut hingga mencapai suhu satu derajat di atas standar deviasi rata – rata bulanan selama empat bulan berturut – turut. Secara umum hubungan antara monsun dengan Nino 3.4 adalah berbanding terbalik, artinya apabila monsun melemah maka Nino 3.4 akan menguat dan begitu juga sebaliknya semakin melemahnya monsun maka Nino 3.4 akan semakin menguat.

Jan-76Jan-77Jan-78Jan-79 Jan-80Jan-81Jan-82Jan-83 Jan-84Jan-85Jan-86Jan-87Jan-88 Jan-89Jan-90Jan-91 Jan-92Jan-93Jan-94Jan-95 Jan-96Jan-97Jan-98 Jan-99Jan-00 -15

-10 -5 0 5 10 15

Waktu

In

d

e

k

s

ISMI WNPMI AUSMI NINO3.4


(24)

Berdasarkan hasil plot (Gambar 11) data monsun indeks (ISMI, WNPMI, dan AUSMI) dengan Nino 3.4 dapat dilihat bahwa tidak selamanya kedua fenomena tersebut berbanding terbalik. Monsun ASIA (ISMI dan WNPMI) sendiri berbanding terbalik dengan monsun AUSTRALIA (AUSMI), ketika AUSMI menguat maka monsun ASIA melemah dan sebaliknya ketika AUSMI melemah maka monsun ASIA menguat. Namun ketika digabungkan dengan Nino 3.4, ada kalanya monsun Asia maupun monsun AUSTRALIA sama-sama menguat dengan Nino 3.4, begitu juga sebaliknya ketika Nino 3.4 melemah maka ketiga indeks monsun tersebut juga melemah.

4.3 Analisis Spektral Monsun dan Nino 3.4

Analisis PSD (Power Spectral Density) untuk indeks monsun (ISMI, WNPMI, dan AUSMI) dapat dilihat pada gambar 6. Pada gambar terlihat bahwa ISMI, WNPMI, dan AUSMI memiliki osilasi dominan sekitar 12 bulanan artinya kejadian kuat akan terjadi sekali dalam waktu 12 bulan. Selain itu osilasi 6 bulanan juga terlihat. Osilasi 6 bulan berarti dalam 1 tahun terjadi dua kejadian kuat dengan masing-masing kejadian memiliki periode 6 bulanan.

Selain analisis PSD, untuk memperjelas periodesitas data digunakan juga analisis wavelet. Monsun (ISMI, WNPMI, dan

AUSMI) memiliki osilasi dominan sekitar 12 bulanan yang ditunjukkan oleh spektrum wavelet global pada gambar 13b (ISMI), 14b (WNPMI), dan 15b (AUSMI). Spektrum kuasa wavelet (13a, 14a, dan 15a) menunjukkan kekuatan osilasi tiap monsun. Spektrum warna wavelet yang yang semakin mengarah ke warna merah menunjukkan indeks monsun yang semakin kuat dan warna wavelet yang semakin mengarah ke warna biru menunjukkan indeks monsun yang semakin lemah. ISMI, WNPMI, dan AUSMI memiliki pola yang sama. Spektrum warna wavelet yang berwarna merah pada tahun 1976-2000 berada pada periode 12 bulanan.

Untuk mempertajam analisis PSD pada Nino 3.4, digunakan analisis wavelet ditunjukkan oleh gambar 16. Spektrum wavelet global Nino 3.4 (16b) semakin mempertegas bahwa kejadian kuat Nino 3.4 akan berulang dalam waktu 60 bulan. Gambar 16a merupakan spektrum kuasa wavelet Nino 3.4. Spektrum warna wavelet yang yang semakin mengarah ke warna merah menunjukkan anomali suhu muka laut yang semakin menghangat atau berada pada fase positif di atas 0oC. Spektrum warna wavelet yang semakin mengarah ke warna biru menunjukkan anomali suhu muka laut yang semakin mendingin atau berada pada fase negatif di bawah 0oC.

1 6 12 18

0 2 4 6 8 10 12 14 16 x 105

Periode (bulan) E n e rg i S p e k tr a l ISMI WNPMI AUSMI

1 6 12 18 2224 303638 43 60 0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 Periode (bulan)

Power Spectral Density NINO3.4 Periode Jan 1976 - Ags 2000

NINO3.4

(a) (b)

Gambar 12 Power Spektral Density (PSD) indeks monsun (a) dan Nino 3.4 (b) periode 1976 – 2000

Time Observation

Per

iod (mo

nth)

a) The Wavelet Power Spectrum

76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00 4 8 16 32 64 128 256 -4 -2 0 2 4

0 200 400 600

4 8 16 32 64 128 256

b) The Global Wavelet Spectrum


(25)

Time Observation

Per

iod (mo

nth)

a) The Wavelet Power Spectrum

76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00 4

8 16 32 64 128

256 -4

-2 0 2 4

0 200 400 600

4 8 16 32 64 128 256

b) The Global Wavelet Spectrum

Gambar 14 Wavelet Western North Pacific Monsun Index (WNPMI) periode 1976 – 2000

Time Observation

Per

iod (mo

nth)

a) The Wavelet Power Spectrum

76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00 4

8 16 32 64 128

256 -4

-2 0 2 4

0 50 100 150 200 250 4

8 16 32 64 128 256

b) The Global Wavelet Spectrum

Gambar 15 Wavelet Australia Monsun Index (AUSMI) periode 1976 – 2000

Time Observation

Per

iod (mo

nth)

a) The Wavelet Power Spectrum

76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00 4

8 16 32 64 128

256 -4

-2 0 2 4

0 5 10 15 20

4 8 16 32 64 128 256

b) The Global Wavelet Spectrum

Gambar 16 Wavelet Nino 3.4 periode 1976 – 2000

Gambar 17 Mean varians monsun dan Nino 3.4 periode 1976 – 2000 Analisis varians pada gambar 17

menunjukkan nilai rata-rata sebaran data deret waktu. Mean varians (rata-rata varians) merupakan suatu kisaran nilai rata-rata data menyimpang dari kondisi normalnya. Jika dibandingkan, monsun (ISMI, WNPMI, AUSMI) dan Nino 3.4 menunjukkan puncak yang sama pada tahun 1997-1998. Akan tetapi, pola rata-rata varians AUSMI dan WNPMI yang hampir menyamai pola

pergerakan rata-rata varians Nino 3.4 pada periode 1976-2000. Tahun 1997-1998 merupakan tahun El Niño kuat (1997) dan langsung disambut tahun La Nina (1998). Oleh karena itu, pada pembahasan selanjutnya mengenai pemodelan untuk memprediksi curah hujan monsunal wilayah kajian maka dapat menggunakan variabel AUSMI, WNPMI dan Nino 3.4.


(26)

4.4 Analisis Statistik Data Curah Hujan dan Data Iklim Global

Berdasarkan ketiga monsun (ISMI, WNPMI dan AUSMI) yang akan dianalisis lebih lanjut dan dilihat pengaruhnya apabila digabungkan dengan Nino 3.4 adalah AUSMI dan WNPMI. Kedua monsun ini merupakan monsun yang memiliki pengaruh yang besar terhadap wilayah Indonesia dimana ketika dalam kondisi basah monsun ASIA yang

berperan dan salah satunya WNPMI, sedangkan ketika Indonesia dalam keadaan kering monsun AUSTRALIA yang akan berberan secara langsung. Ketika monsun menguat dan Nino 3.4 melemah, di Indonesia akan mengalami kondisi yang basah. Sebaliknya apabila monsun melemah dan Nino 3.4 menguat maka sebagian besar wilayah Indonesia akan mengalami kondisi yang cenderung kering.


(27)

Gambar 18 menjelaskan kondisi pada tahun 1996–1999 baik dari segi interkoneksinya maupun dari curah hujan. Pada gambar terlihat, secara keseluruhan curah hujan mengalami kondisi ekstrim akibat terjadi interkoneksi antara monsun dan El Niño. Pada gambar dapat dilihat bahwa pola curah hujan seluruh wilayah kajian mengikuti pola interaksi antara monsun dan Nino 3.4. Akibat dari interkoneksi kedua fenomena tersebut ditunjukkan oleh curah hujan yang ekstrim kering pada tahun 1997 dilanjutkan dengan curah hujan yang ekstrim basah pada tahun 1998.

4.5 Analisis Korelasi Silang

Asumsi mendasar interaksi antara monsun dan Nino 3.4 ialah curah hujan yang terjadi atau turun di suatu wilayah dipengaruhi oleh iklim global, maka curah hujan yang akan turun di suatu wilayah merupakan fungsi dari fenomena global diatas yang disederhanakan menjadi : CH = f (AUSMI, WNPMI, Nino3.4) (Hermawan 2010). Dari asumsi tersebut didapatkan sebuah persamaan

multivariate (tabel 3) dari masing-masing wilayah.

Persamaan Multivariate menjelaskan peranan masing-masing fenomena iklim dalam mempengaruhi curah hujan wilayah kajian. Persamaan multivariate (tabel 3) digunakan untuk membuat curah hujan model yang akan dipakai untuk membuat model prediksi. Keeratan antara curah hujan model dengan curah hujan pengamatan dijelaskan melalui nilai koefisien korelasi (r). Korelasi merupakan teknik analisis yang termasuk dalam salah satu teknik pengukuran hubungan mengenai ada atau tidaknya hubungan antara dua fenomena atau lebih (Hasan 2003). Wilayah Banjarbaru memiliki nilai korelasi (r) yang lebih besar dibandingkan dengan wilayah kajian lainnya. Hal ini menunjukkan

bahwa wilayah Banjarbaru menunjukkan respon yang lebih besar pada telekoneksi yang menurunkan curah hujan di daerah tersebut.

Analisis Cross Correlation Fungtion

(CCF) digunakan untuk mengetahui waktu tunda atau lag time antara fenomena interaksi (AUSMI dan El Niño) terhadap curah hujan. Tanda positif (+) dan negatif (-) pada nilai CCF menunjukkan arah hubungan terhadap dua variabel. Jika nilai CCF memiliki tanda (+) berarti kedua variabel memiliki hubungan yang berbanding lurus dan sebaliknya, apabila nilai CCF memiliki nilai negatif (-) maka kedua variabel memiliki hubungan yang berbanding terbalik.

Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa seluruh wilayah kajian (Lampung, Sumbawa Besar, Indramayu, Banjarbaru dan Pandeglang) memiliki nilai CCF yang positif (+), hal ini menunjukkan bahwa fenomena interaksi antara monsun dan El Niño terhadap curah hujan memiliki hubungan yang berbanding lurus. Artinnya apabila fenomena interaksi menguat maka curah hujan di wilayah kajian akan meningkat, begitu juga sebaliknya semakin melemahnya fenomena interaksi maka curah hujan di wilayah kajian akan semakin menurun.

Selain mengetahui nilai CCF, pada tabel 3 dapat dilihat juga seberapa lama lag time

atau waktu tunda di beberapa wilayah kajian.

Lag time atau waktu tunda ini merupakan waktu yang dibutuhkan oleh fenomena interaksi monsun dan El Niño untuk dapat mempengaruhi curah hujan di wilayah kajian. Pada tabel dapat dilihat bahwa seluruh wilayah kajian (Lampung, Sumbawa Besar, Indramayu, Banjarbaru, dan Pandeglang) memiliki lag time 0 bulan. Artinya antara kejadian interaksi monsun dan El Niño tidak memiliki waktu tunda untuk mempengaruhi curah hujan di wilayah tersebut.

Tabel 3 Kaitan Interaksi antara dua Fenomena (AUSMI – WNPMI – Nino3.4) dengan Curah Hujan Bulanan Periode 1976 – 2000.

KOTA CCF Lag time

(bulan) Error r

2 Persamaan Multivariant

Sumbawa Besar 0.692 0 78.23313 0.532 Y = 16.267X1 - 3.940X2 - 6.790X3 + 6.819

Indramayu 0.642 0 124.86441 0.445 Y = 20.549X1 - 5.976X2 - 15.042X3 + 10.883

Banjarbaru 0.76 0 84.99061 0.591 Y = 8.195X1 - 12.388X2 - 25.964X3 + 7.408

Pandeglang 0.695 0 74.67462 0.535 Y = 15.923X1 - 3.445X2 - 5.264X3 + 6.509

Lampung 0.694 0 75.64186 0.486 Y = 9.954X1 - 6.721X2 - 2.913X3 + 6.593

Keterangan: Y menunjukkan Curah Hujan X1 menunjukkan nilai AUSMI

X2 menunjukkan nilai WNPMI


(28)

Gambar 19 merupakan validasi dari data curah hujan model multivariate dengan data asli. Pada gambar dapat dilihat bahwa kelima wilyah kajian memiliki nilai korelasi yang besar. Hal ini menunjukkan bahwa model tersebut baik dan dapat digunakan untuk menjelaskan kejadian hujan di wilayah kajian yang telah terpengaruh oleh interaksi antara monsun dengan Nino 3.4. Hasil validasi menjelaskan, curah hujan di seluruh wilayah kajian mendapat pengaruh yang berbeda-beda dari interaksi monsun dan nino 3.4. Ini dikarenakan adanya pengaruh geografis masing-masing wilyah kajian.

12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 200 150 100 50 0 -50 -100 WAKTU (BULAN) D a ta CH asli CH model Variable Time Series Plot of CH asli, CH model SUMBAWA BESAR

Korelasi 0.943 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 500 400 300 200 100 0 -100 -200 Waktu (bulan) D a ta CH asli CH model Variable Time Series Plot of CH asli dan CH model INDRAMAYU

Korelasi 0.683 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 300 200 100 0 -100 -200 Waktu (bulan) D a t a CH asli CH model Variable Time Series Plot of CH asli dan CH model BANJARBARU

Korelasi 0.846 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 400 300 200 100 0 -100 Waktu (bulan) D a ta CH asli CH model Variable Time Series Plot of CH asli dan CH Model PANDEGLANG

Korelasi 0.810 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 150 100 50 0 -50 -100 waktu (bulan) D a t a CH asli CH model Variable Time Series Plot of CH asli dan CH model LAMPUNG

Korelasi 0.951

Gambar 19 Validasi curah hujan model

multivariate periode Januari 2000 – Desember 2000

4.6 Prediksi ARIMA

Sebelum melakukan pemodelan data curah hujan, maka dilakukan uji stasioneritas data. Hal itu dilakukan karena merupakan syarat pemodelan data deret waktu, karena data yang tidak stasioner sulit untuk diprediksi sehingga model yang dihasilkan tidak maksimal. Perlu diperhatikan bahwa kebanyakan data deret waktu bersifat nonstasioner dan bahwa aspek-aspek AR dan MA dari model ARIMA hanya berkenan dengan data deret waktu yang bersifat stasioner. Data stasioner berarti tidak terdapat pertumbuhan atau penurunan pada data. Data secara kasarnya harus horizontal sepanjang sumbu waktu. Dengan kata lain, fluktuasi data berada di sekitar suatu nilai rata-rata yang konstan, tidak tergantung pada waktu dan varians dan fluktuasi tersebut pada pokoknya tetap konstan setiap waktu.

Untuk memeriksa stasioneritas dapat dilihat melalui fungsi autokorelasi, fungsi autokorelasi parsial, dan plot deret waktu dari data yang akan diperiksa stasioneritasnya. Suatu data yang tidak stasioner harus diubah menjadi data yang stasioner dengan melakukan differencing. Yang dimaksud dengan differencing adalah menghitung


(29)

perubahan atau selisih nilai observasi. Nilai selisih yang diperoleh dicek ulang apakah data tersebut sudah stasioner atau tidak. Apabila data tersebut belum stasioner maka dilakukan

differencing lagi. Jika varians tidak stasioner, maka dilakukan transformasi logaritma.

Gambar 20 menunjukkan pemeriksaan terhadap data untuk stasioneritas. Hasil dari pemeriksaan menunjukkan bahwa data yang digunakan tidak stasioner. Oleh karena itu data tersebut diolah kembali dengan teknik

differencing, cukup satu kali differencing. Setelah dilakukan differencing terlihat bahwa data menjadi lebih stasioner dan dapat diperkirakan daripada sebelum dilakukan

differencing. ACF dan PACF pada seluruh wilayah kajian memiliki pola musiman sehingga data curah hujan merupakan data seasonal pada lag 1.

Melalui proses identifikasi, penaksiran dan pengujian, diperoleh model sementara dari plot data iklim global adalah model ARIMA (1,0,1)12, ARIMA (0,1,1)12, ARIMA (1,1,1)12, dan ARIMA (2,0,2)12. Dari semua model sementara diperoleh model yang cocok untuk data iklim global yaitu model ARIMA (1,0,1)12 untuk AUSMI, ARIMA (1,1,1)12 untuk WNMPI, dan ARIMA (2,0,2) untuk Nino 3.4. Dari model arima didapatkan sebuah persamaan pada masing-masing iklim global (tabel 4) dimana Zt merupakan data

pada bulan ke-t dan at merupakan galat pada bulan ke-t. Persamaan tersebut kemudian divalidasi dengan data observasi.

Validasi dilakukan dengan membandingkan hasil perhitungan model dengan data observasi, periode waktu yang digunakan untuk memvalidasi model adalah Januari 2000 – Desember 2000 (gambar 21). Plot data untuk model ARIMA seluruh data ikim global memiliki nilai korelasi yang besar yaitu diatas 0.9. Hal ini menunjukkan bahwa model ARIMA sangat baik dan dapat digunakan untuk menjelaskan kejadian monsun dengan Nino 3.4.

Berdasarkan persamaan model ARIMA di dapatkan data deret waktu iklim global prediksi bulan Januari 2013 – Desember 2013 (gambar 21). Data tersebut kemudian dikembangkan kembali dengan persamaan multivariate, sehingga didapatkan curah hujan prediksi untuk bulan Januari 2013 – Desember 2013. Model ARIMA yang baik akan membantu untuk memperkirakan curah hujan ketika kejadian interaksi berlangsung sehingga dapat diantisipasi dengan tepat. Hal ini sangat penting karena kelima wilayah tersebut merupakan kawasan sentra produksi pangan terutama Indramayu yang menjadi lumbung padi Indonesia. Sehingga, fluktuasi curah hujan pada kelima wilayah tersebut harus diawasi dengan baik.

Tabel 4 Persamaan ARIMA

KOTA PERSAMAAN ARIMA Korelasi

AUSMI (1,0,1)12 Zt = 0.9989Zt-12 - 0.9338at-12 + at 0.944

WNPMI (1,1,1)12 Zt = -0.0674Zt-12 + Zt-12 – Zt-24 - 0.9347at-12+ at 0.94


(30)

Gambar 20 Plot data, Plot data differencing, ACF, PACF iklim global periode Januari 1976 – Desember 1999.

AUSMI WNPMI NINO 3.4

261 232 203 174 145 116 87 58 29 1 10 5 0 -5 -10

WA KTU (bulan)

au sm i 60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 1 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 Lag A u to co rr e la ti o n

Autocorrelation Function for C16

(with 5% significance limits for the autocorrelations)

60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 1 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 Lag Pa rt ia l A ut oc or re la ti on

Partial Autocorrelation Function for C16

(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)

261 232 203 174 145 116 87 58 29 1 15 10 5 0 -5 -10 Waktu (bulan) w np m i 60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 1 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 Lag A ut oc or re la ti on

Autocorrelation Function for C16

(with 5% significance limits for the autocorrelations)

60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 1 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 Lag Pa rt ia l A ut oc or re la tio n

Partial Autocorrelation Function for C16

(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)

261 232 203 174 145 116 87 58 29 1 3 2 1 0 -1 -2 -3 waktu (bulan) ni no 70 65 60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 1 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 Lag A ut oc or re la ti on

Autocorrelation Function for ANOM

(with 5% significance limits for the autocorrelations)

70 65 60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 1 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 Lag Pa rt ia l A ut oc or re la ti on

Partial Autocorrelation Function for ANOM


(31)

Iklim Global

Validasi (Jan 2000 – Des 2000)

Prediksi (Jan 2013

Des 2013)

AUSMI

ARIMA (1,0,1)

12

12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 5.0 2.5 0.0 -2.5 -5.0 -7.5 waktu (bulan) In de ks data asli forecast Variable

Time Series Plot of data asli dan forecast AUSMI

12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 5.0 2.5 0.0 -2.5 -5.0 -7.5

WA KTU (bulan)

au

sm

i

Time Series Plot of ausmi

WNPMI

ARIMA (1,1,1)

12

12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 5 0 -5 -10 waktu (bulan) in de ks data asli forecast Variable

Time Series Plot of data asli dan forecast WNPMI

12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 5 0 -5 -10 waktu (bulan) w np m i

Time Series Plot of wnpmi

NINO 3.4

ARIMA

(2,2)

12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 1 0 -1 -2 Index Da ta C 36 C 37 Variable

Time Series Plot of C36, C37

12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 -14 -15 -16 -17 -18 -19 -20 -21 -22 -23 waktu (bulan) ni no

Time Series Plot of nino 3.4


(1)

PANDEGLANG

Cross Correlations

Series Pair:Pandeglang with INTERAKSI Lag Cross

Correlation Std. Error

a

-5 -0.578 0.058

-4 -0.435 0.058

-3 -0.143 0.058

-2 0.182 0.058

-1 0.476 0.058

0

0.695

0.058

1 0.665 0.058

2 0.418 0.058

3 0.102 0.058

4 -0.189 0.058

5 -0.416 0.058

LAMPUNG

Cross Correlations

Series Pair:Lampung with INTERAKSI Lag Cross

Correlation Std. Error

a

-5 -0.594 0.058

-4 -0.407 0.058

-3 -0.098 0.058

-2 0.254 0.058

-1 0.567 0.058

0 0.694 0.058

1 0.641 0.058

2 0.391 0.058

3 0.1 0.058

4 -0.254 0.058


(2)

Lampiran 6 Output SPSS 16 untuk regresi multivariate wilayah kajian

SUMBAWABESAR

Variables Entered/Removedb

Model Variables Entered

Variables

Removed Method

1 NINO34,

WNPMI, AUSMIa . Enter

a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: sumbawabesar

Model Summary

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .729a .532 .527 78.23313

a. Predictors: (Constant), NINO34, WNPMI, AUSMI

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 2055732.245 3 685244.082 111.960 .000a

Residual 1811645.210 296 6120.423

Total 3867377.455 299

a. Predictors: (Constant), NINO34, WNPMI, AUSMI b. Dependent Variable: sumbawabesar

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) 33.259 6.819 4.877 .000

WNPMI -3.940 1.006 -.208 -3.915 .000

AUSMI 16.267 1.502 .577 10.833 .000

NINO34 6.790 4.854 .057 1.399 .163


(3)

INDRAMAYU

Variables Entered/Removedb

Model

Variables Entered

Variables

Removed Method

1 NINO34,

WNPMI, AUSMIa

. Enter

a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: indramayu

Model Summary

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .667a .445 .439 124.86441

a. Predictors: (Constant), NINO34, WNPMI, AUSMI

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 3698135.840 3 1232711.947 79.065 .000a Residual 4614972.147 296 15591.122

Total 8313107.987 299

a. Predictors: (Constant), NINO34, WNPMI, AUSMI b. Dependent Variable: indramayu

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) 40.297 10.883 3.703 .000

WNPMI -5.976 1.606 -.215 -3.721 .000

AUSMI 20.549 2.397 .497 8.574 .000

NINO34 -15.042 7.748 -.086 -1.941 .053


(4)

BANJARBARU

Variables Entered/Removedb

Model

Variables Entered

Variables

Removed Method

1 NINO34,

WNPMI, AUSMIa

. Enter

a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: banjarbaru

Model Summary

Model R R Square Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .769a .591 .586 84.99061

a. Predictors: (Constant), NINO34, WNPMI, AUSMI

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 3084395.628 3 1028131.876 142.333 .000a

Residual 2138127.758 296 7223.405

Total 5222523.387 299

a. Predictors: (Constant), NINO34, WNPMI, AUSMI b. Dependent Variable: banjarbaru

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) -1.887 7.408 -.255 .799

WNPMI -12.388 1.093 -.563 -11.331 .000

AUSMI 8.195 1.631 .250 5.023 .000

NINO34 -25.964 5.273 -.187 -4.924 .000


(5)

PANDEGLANG

Variables Entered/Removedb

Model

Variables Entered

Variables

Removed Method

1 NINO34,

WNPMI, AUSMIa

. Enter

a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: pandeglang

Model Summary

Model R

R

Square Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .731a .535 .530 74.67462

a. Predictors: (Constant), NINO34, WNPMI, AUSMI

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 1898505.386 3 632835.129 113.487 .000a Residual 1650584.544 296 5576.299

Total 3549089.930 299

a. Predictors: (Constant), NINO34, WNPMI, AUSMI b. Dependent Variable: pandeglang

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant) 33.340 6.509 5.123 .000

WNPMI -3.445 .961 -.190 -3.587 .000

AUSMI 15.923 1.433 .589 11.110 .000

NINO34 -5.264 4.633 -.046 -1.136 .257


(6)

LAMPUNG

Variables Entered/Removedb

Model

Variables Entered

Variables Removed

Metho d

1 NINO34,

WNPMI, AUSMIa

. Enter

a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: lampung

Model Summary

Model R R Square Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .697a .486 .481 75.64186

a. Predictors: (Constant), NINO34, WNPMI, AUSMI

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 1604411.809 3 534803.936 93.470 .000a Residual 1693620.376 296 5721.690

Total 3298032.184 299 a. Predictors: (Constant), NINO34, WNPMI, AUSMI b. Dependent Variable: lampung

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant) 12.600 6.593 1.911 .057

WNPMI -6.724 .973 -.385 -6.911 .000

AUSMI 9.952 1.452 .382 6.855 .000

NINO34 -2.925 4.693 -.026 -.623 .534