Analisis Osilasi Monsun HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Osilasi Monsun

Monsun merupakan angin yang memiliki osilasi 6-12 bulanan yang bertiup sepanjang tahun dan berganti arah dua kali dalam setahun, monsun memiliki ciri adanya perbedaan yang tegas antara musim basah wet season dan musim kering dry season yang pada umumnya terjadi pada bulan Desember, Januari dan Februari DJF bertiup dari tekanan tinggi ke tekanan rendah di Australia yang disebut Monsun Barat dan Juni, Juli, dan Agustus JJA terdapat sel tekanan rendah di Asia dan sel tekanan tinggi di Australia yang menggerakkan Monsun Timur Visa J, dalam Tjasjono 1999. Berdasarkan data angin meridional yang dilakukan dengan menggunakan data EAR Equatorial Atmosphere Radar periode April 2002-April 2006 dapat terlihat dengan jelas perbedaan yang signifikan antara musim basah dan musim kering. Selain itu juga menunjukkan di Kototabang terlihat adanya propagasi atau penjalaran arah dan kecepatan angin meridional, lihat Gambar 10. Propagasi atau pola pengulangan angin meridional tersebut menunjukkan adanya Monsun. Dari Gambar 10, osilasi Monsun terjadi pada ketinggian 8-18 km dengan puncak ketinggian maksimum terjadi pada ketinggian 14.1 km. Warna merah pada Gambar 10 menunjukkan bahwa pada bulan tersebut bulan basah, sedangkan warna biru menunjukkan bahwa pada bulan tersebut bulan kering. Gambar 9 Diagram Alir Penelitian Gambar 10 Time Height Section Kontur Plot Angin Meridional di Kototabang dari Data EAR Equatorial Atmosphere Radar Periode April 2002-April 2006 Gambar 11 Time Height Section Profil Vertikal Angin Meridional di Kototabang dari Data EAR Equatorial Atmosphere RadarPeriode April 2002-April 2006 Fenomena baru yang diungkap bahwa ternyata monsun dengan menggunakan data radar kuat di lapisan troposfer yaitu pada ketinggian 14.1 km. Sedangkan pada ketinggian 2-7 km atau pada lapisan permukaan tidak terdapat tanda-tanda adanya osilasi Monsun lihat Gambar 10 dan Gambar 11. Sehingga dengan menggunakan data profil angin meridional dapat mendeteksi adanya gejala Monsun. Hal ini terkait dengan pergerakan semu matahari terhadap bumi. Angin meridional utara-selatan membawa massa uap air dari utara ke selatan. Berdasarkan Gambar 11, angin reversal atau pembelokan angin di Kototabang terjadi pada ketinggian 8 km dan 10.1 km. Angin yang dominan bergerak adalah angin dari arah selatan. Angin meridional tanda + menunjukkan bahwa angin berasal dari arah utara ke selatan, dan tanda - menunjukkan bahwa angin berasal dari selatan ke utara. Berdasarkan hasil analisis terlihat bahwa Monsun terjadi pada bulan basah dengan puncak tertingginya terjadi yaitu pada bulan Januari lihat Gambar 12 Analisis Monsun dengan angin meridional utara-selatan diperoleh osilasi sekitar 12 bulanan dengan puncak maksimum terjadi pada ketinggian 14.1 km lihat Gambar 12. Osilasi ini dapat diketahui dengan menggunakan analisis Fast Fourier Transform FFT yaitu dengan analisis Power Spectral Density PSD dan analisis Wavelet. Analisis spektral merupakan suatu metode untuk melakukan transformasi dari domain waktu ke domain frekuensi, sehingga kita dapat melihat pola periodiknya untuk kemudian dapat ditentukan jenis pola cuaca atau iklim yang terlibat didalamnya Juaeni, 2009. Analisis spektral angin meridional dapat dilihat pada Gambar 12. Setelah dilakukan analisis yang lebih mendalam, diperoleh puncak energi spektral yang menunjukkan adanya keberadaan pola osilasi dominan secara periodik yaitu Osilasi Tahunan Annual Oscillation, AO yang puncak energinya berada pada posisi sekitar 12 bulanan Hermawan, 2009. Energi spektral di daerah Kototabang memperlihatkan bahwa terdapat peak puncak yang sangat tajam pada periode 12 bulanan yang menunjukkan adanya keberadaan Monsun di daerah tersebut, sedangkan untuk periode lain tidak memperlihatkan adanya suatu puncak. Selain itu dapat dibuktikan bahwa pada ketinggian 2-7 km tidak terdapat adanya tanda-tanda Monsun. Analisis yang sama dengan menggunakan teknik wavelet menunjukkan periodesitas dari data angin meridional utara-selatan pada ketinggian 14.1 km adalah terjadi sekitar 12 bulanan lihat Gambar 13. Berdasarkan analisis wavelet power spektrum menunjukkan puncak angin terjadi sekitar bulan Januari 2004. Begitu juga dengan rata-rata time series yang menunjukkan puncak yang sama yaitu pada bulan Januari 2004. Selain itu, berdasarkan global wavelet spektrum menunjukkan periode puncak Monsun tertinggi yaitu sekitar 12 bulanan lihat Gambar 13. Gambar 12 Power Spectral Density Kecepatan Angin Meridional di Kototabang Periode April 2002-April 2006 Gambar 13 Wavelet kecepatan Angin Meridional pada Ketinggian 14.1 km Periode April 2002- April 2006 Secara umum curah hujan di wilayah Indonesia dipengaruhi oleh beberapa fenomena diantaranya adalah fenomena Monsun Visa, 2009. Kototabang 0.2 LS; 100.32 BT; 865 mdpl , Padangpanjang 0.5 LS; 100.41 BT; 700 mdpl dan Sicincin 0.6 LS; 100.22 BT; 500 mdpl Suryantoro et al, 2009, merupakan kota-kota yang terletak di daerah ekuator, dapat dilihat pada Gambar 14. Distribusi curah hujan bulanan periode April 2002-April 2006 yang ditunjukkan pada Gambar 15 dapat dilihat adanya perbedaan yang signifikan antara curah hujan Kototabang, Padangpanjang, dan Sicincin. Curah hujan maksimum dimiliki oleh daerah Sicincin sebesar 819 mm, Padangpanjang 627 mm, dan Kototabang 409.6 mm. Gambar 14 Lokasi daerah Kototabang, Padangpanjang, dan Sicincin Menurut Kadarsah 2007 daerah ekuator, umumnya memiliki pola curah hujan equatorial atau Semi Annual Oscillation SAO. Ciri khas pola curah hujan equatorial adalah memiliki dua puncak musim hujan. Berdasarkan data curah hujan periode April 2002-April 2006 yang ditunjukkan pada Gambar 15. Padangpanjang dan Kototabang memiliki pola curah hujan equatorial. Puncak musim hujan di Padangpanjang terjadi pada bulan April 2003 dan Januari 2004 sedangkan daerah Kototabang puncak hujannya terjadi pada Gambar 15 Distribusi Curah Hujan Bulanan Daerah Kototabang, Padangpanjang dan Sicincin Periode April 2002- April 2006 bulan Desember 2002 dan Desember 2004 lihat Gambar 15. Berbeda dengan daerah Sicincin yang memiliki pola curah hujan Monsoonal . Puncak musim hujan daerah Sicincin terjadi pada bulan Oktober 2005. Hasil ini berbeda dengan teori sebelumnya yang menyatakan bahwa di daerah Sumatera Barat tipe curah hujannya adalah equatorial atau Semi Annual Oscillation SAO Kadarsah, 2007. Tapi, dengan menggunakan data curah hujan daerah Kototabang, Padangpanjang, dan Sicincin dengan periode 3 tahun tidak semua daerah Sumatera Barat memiliki tipe curah hujan equatorial, karena berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh ternyata daerah Sicincin bertipe curah hujan Annual Oscillation AO. lihat Gambar 16. Hal ini disebabkan karena perbedaan periode data yang digunakan. Selain itu faktor lokal yang dominan juga mempengaruhi hasil analisis data. Gambar 16 PSD Power Spectral Density Curah Hujan Daerah Kototabang, Padangpanjang, dan Sicincin Periode April 2002-April 2006 Berdasarkan analisis dengan menggunakan teknik wavelet Kototabang memiliki dua puncak curah hujan dapat dilihat pada Gambar 17. Kadarsah 2007 mengemukakan dalam tipe hujan equatorial bentuk distribusi bulanan curah hujan menunjukkan maksima ganda double maxima. Dalam tipe hujan ekuatorial bentuk distribusi bulanan curah hujan menyerupai huruf “M”. Dengan periode dan teknik wavelet yang dianalisis curah hujan daerah Padangpanjang periode April 2002-April 2006 diperoleh hasil yang sama bahwa pada daerah Padangpanjang memiliki dua puncak curah hujan dapat dilihat pada Gambar 16 yaitu pada bulan April 2003 dan Januari 2004 lihat Gambar 15. Gambar 17 Wavelet Curah Hujan Daerah Kototabang Periode April 2002- April 2006 Gambar 18 Wavelet Curah Hujan Daerah Padangpanjang Periode April 2002- April 2006 Berbeda dengan daerah Sicincin yang memiliki pola curah hujan Monsun. Pola curah hujan Monsun atau Annual Oscillation AO dicirikan adanya perbedaan yang tegas antara musim basah Desember-Januari- Februari dan musim kering Juni-Juli- Agustus yaitu enam bulan musim hujan dan enam bulan musim kemarau. Puncak musim hujan daerah Sicincin terjadi pada bulan Oktober 2005lihat Gambar 15 sehingga diduga bulan kering terjadi pada bulan April. Pada saat bulan kering bukan berarti tidak ada hujan melainkan curah hujan yang terjadi rendah dibandingkan pada saat bulan basah Hasil analisis Power Spectral Density PSD curah hujan Sicincin dipertegas dengan adanya analisis wavelet, dengan teknik ini periode deret waktu khususnya dalam mengamati evolusi waktu yang tersebunyi sehingga dapat dilihat puncaknya, khususnya dalam mengamati periode, amplitudo, dan fase dari satu parameter Juaeni, 2009 lihat pada Gambar 19 yang mengahasilkan satu puncak curah hujan. Gambar 19 Wavelet Curah Hujan Daerah Sicincin Periode April 2002 – April 2006 Analisis yang sama dilakukan yaitu untuk menemukan pola Monsun terhadap daerah Kototabang, Padangpanjang, dan Sicincin pada periode April 2002-April 2006. Pada daerah Kototabang lihat Gambar 20 tidak ditemukan adanya pola yang sama dengan pola Monsun. Gambar 20 Pola Curah Hujan di Kototabang dan Angin Meridional Periode April 2002-April 2006 Menurut Juaeni 2009 banyak faktor yang menyebabkan perbedaan pola adapun faktor yang kemungkinan dapat mempengaruhi diantaranya pengaruh pegunungan Bukit Barisan, topografi dan geografik yang terkait dengan posisi stasiun, sehingga hal ini dapat menyebabkan curah hujan yang tinggi pada saat musim peralihan. Selain itu, dari hasil yang diperoleh bahwa Monsun tersebut kuat pada lapisan 14.1 km hal ini tentunya sangat berbeda sekali dengan curah hujan yang hanya berada pada lapisan permukaan. Banyak faktor yang mempengaruhi pola Monsun yang dengan osilasi 12 bulanan pada ketinggian 14.1 km tersebut. Sehingga tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh adanya pola curah hujan. Sama halnya dengan daerah padangpanjang tidak ditemukan adanya osilasi yang sama dengan adanya osilasi Monsun 12 bulanan dapat dilihat pada Gambar 21. Walaupun sebelumnya telah dibuktikan dengan analisis spektral, namun dengan menggunakan analisis yang berbeda hasil yang diperoleh tidak jauh berbeda. Beda halnya dengan daerah Sicincin lihat Gambar 22, pada daerah ini sangat nampak dengan jelas pola curah hujan pada daerah ini sama dengan pola terjadinya Monsun di ketinggian 14.1 km. Yaitu terlihat dengan jelas adanya osilasi 12 bulanan. Adapun faktor yang mempengaruhi diantaranya adalah topografi daerah Sicincin yang lebih flat dibandingkan daerah Kototabang dan Padangpanjang sehingga diperoleh pola antara curah hujan dan Monsun sama yaitu berkisar 12 bulanan. Gambar 21 Pola Curah Hujan Padangpanjang dan Angin Meridional Periode April 2002- April 2006 Gambar 22 Pola Curah Hujan Sicincin dan Angin Meridional Periode April 2002-April 2006

4.2 Analisis Statistika