21
2.6. Peranan Sektor Pertanian
Hakikat pertumbuhan bagi negara-negara berkembang dewasa ini, dalam berbagai aspek sangat berlainan dengan pengalaman negara-negara maju pada
awal masa pertumbuhan ekonomi modern. Pertumbuhan ekonomi yang pesat selalu diikuti dengan ketimpangan pendapatan terutama pada awal proses
pembangunan ekonomi Adelman dan Morris, 1973. Beban utama pembangunan dan penciptaan lapangan kerja pada akhirnya akan ditanggung oleh sektor
perekonomian yang bertumpu pada kegiatan-kegiatan pertanian, yakni sektor pertanian Francis Blanchard.
Secara tradisional, peranan pertanian dalam pembangunan ekonomi hanya dipandang pasif dan bahkan hanya dianggap sebagai unsur penunjang semata.
Berdasarkan sejarah yang dijalani oleh negara-negara Barat, apa yang disebut sebagai pembangunan ekonomi diidentikkan dengan transformasi struktural
terhadap perekonomian cepat, yakni dari perekonomian yang bertumpu pada kegiatan pertanian menjadi perekonomian industri modern dan jasa-jasa yang
serba lebih kompleks. Dengan demikian peranan utama pertanian dianggap hanya sebatas sebagai sumber tenaga kerja dan bahan-bahan pangan yang murah demi
berkembangnya sektor-sektor industri yang dinobatkan sebagai sektor unggulan dinamis dalam strategi pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Lewis 1954
dalam dual sector economy pembangunan yang menitikberatkan upaya pengembangan sektor industri secara cepat, di mana sektor pertanian hanya
dipandang sebagai pelengkap atau penunjang dalam kedudukannya selaku sumber tenaga kerja dan bahan-bahan pangan yang murah.
2.7. Kemiskinan
Banyak definisi tentang kemiskinan telah diungkapkan dan menjadi bahan perdebatan. Kemiskinan telah didefinisikan berbeda-beda dan merefleksikan suatu
spektrum orientasi idiologi. Bahkan pendekatan kuantitatif untuk mendefinisikan kemiskinan telah diperdebatkan secara luas oleh beberapa peneliti yang
mempunyai minat dalam masalah ini. Kemiskinan adalah suatu situasi atau kondisi yang dialami oleh seseorang atau kelompok orang yang tidak mampu
menyelenggarakan hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi Parwoto, 2001. Kondisi tersebut menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan
22 dasar atau asasi manusia seperti sandang, pangan, papan, afeksi, keamanan,
identitas kultural, proteksi, kreasi, kebebasan, partisipasi, dan waktu luang Fernandez, 2000.
Lebih jauh lagi, kemiskinan dipandang tidak hanya menyangkut standar pendapatan atau konsumsi yang rendah melainkan juga rendahnya kebebasan
berpolitik dan pengaruhnya terhadap pengambilan keputusan yang menyangkut pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Hal tersebut berkaitan pula dengan
keterbatasan fasilitas umum, pilihan, kesempatan serta partisipasi dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi Indra, 2001.
Suparlan 2000 mendefinisikan bahwa kemiskinan adalah keadaan serba kekurangan harta dan benda berharga yang diderita oleh seseorang atau
sekelompok orang yang hidup dalam lingkungan serba miskin atau kekurangan modal, baik dalam pengertian uang, pengetahuan, kekuatan sosial, politik, hukum,
maupun akses terhadap fasilitas pelayanan umum, kesempatan berusaha dan bekerja. Lebih jauh lagi, kemiskinan berarti suatu kondisi di mana orang atau
kelompok orang tidak mempunyai kemampuan, kebebasan, aset dan aksesibilitas untuk kebutuhan mereka di waktu yang akan datang, serta sangat rentan
vulnerable terhadap resiko dan tekanan yang disebabkan oleh penyakit dan
peningkatan secara tiba-tiba atas harga-harga bahan makanan dan uang sekolah UNCHS, 1996 dan Indra, 2001.
Ditinjau dari sisi kelompok sasaran, terdapat beberapa tipe kemiskinan. Penggolongan tipe kemiskinan ini dimaksudkan agar tujuan program
pembangunan memiliki sasaran dan target yang jelas. Hal ini dibuktikan dari beberapa program pengentasan kemiskinan yang telah dilaksanakan oleh
pemerintah ternyata kurang mampu mengatasi kemiskinan secara menyeluruh Supriatna, 1997. Berbagai program pembangunan yang telah dilaksanakan lebih
berorientasi pada pemenuhan target group pembangunan dan tidak memperhatikan kelanjutan program. Oleh karena itu, Sumodiningrat 1999
membagi kemiskinan menjadi tiga kategori, yaitu 1 kemiskinan absolut, yaitu pendapatan di bawah garis kemiskinan dan tidak dapat memenuhi kebutuhan
dasarnya, 2 kemiskinan relatif, yaitu situasi kemiskinan di atas garis kemiskinan berdasarkan pada jarak antara miskin dan non-miskin dalam suatu komunitas, dan
23 3 kemiskinan struktural kemiskinan ini terjadi saat orang atau kelompok
masyarakat enggan untuk memperbaiki kondisi kehidupannya sampai ada bantuan untuk mendorong mereka keluar dari kondisi tersebut.
Secara umum, SEMERU 2000 dalam Wiraswara mendefinisikan kemiskinan mencakup berbagai dimensi, antara lain :
1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar pangan, sandang dan
papan. 2.
Tidak ada akses dalam memenuhi kebutuhan hidup dasar lainnya kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi.
3. Tidak ada jaminan masa depan karena tidak adanya investasi untuk
pendidikan dan keluarga. 4.
Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun masal. 5.
Rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan keterbatasan sumberdaya alam. 6.
Tidak dilibatkannya dalam kegiatan sosial masyarakat. 7.
Tidak ada akses terhadap lapangan kerja dan matapencahrian yang berkesinambungan.
8. Ketidakmampuan dalam berusaha karena cacat fisik maupun mental.
9. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial anak terlantar, wanita
korban tindak kekerasan rumahtangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil.
Sementara garis kemiskinan yang ditetapkan Badan Pusat Statistik BPS, 2004 adalah besarnya nilai pengeluaran Rupiah untuk memenuhi kebutuhan
dasar minimum makanan dan non makanan. Nilai garis kemiskinan yang digunakan mengacu pada kebutuhan minimum 2.100 kkal per kapita per hari
ditambah dengan kebutuhan minimum non makanan. Kebutuhan minimum non pangan merupakan kebutuhan dasar seseorang yang meliputi kebutuhan untuk
papan, sandang, sekolah, transportasi serta kebutuhan rumahtangga dan individu mendasar lainnya.
2.7.1. Karakteristik Rumahtangga Miskin
Karakteristik utama kemiskinan berkaitan dengan kondisi dan potensi wilayah miskin, yang banyak dalam hal berkaitan erat dengan penyebab utama
kemskinan. Penyebab utama kemiskinan berkaitan dengan faktor-faktor yang
24 yang menjadi penyebab kemiskinan, baik yang berkaitan dengan sumberdaya
alam, rendahnya kualitas sumberdaya manusia maupun hal-hal yang berhubungan dengan kegagalan kelembagaan dalam upaya meningkatkan tingkat kesejahteraan
masyarakat. Menurut Qubriah 1991 dalam Dabukke 1995 menggambarkan
karakteristik rumahtangga miskin ke dalam lima klasifikasi, antara lain : 1.
Karakteristik geografis Secara geografis, peluang terjadinya kemiskinan lebih besar di pedesaan
daripada di perkotaan terlepas dari kriteria atau metode pengukuran kemiskinan. Kemiskinan tersebut ditandai dengan variabel-variabel rendahnya
pendapatan dan konsumsi, kekurangan pangan, buta huruf, kematian bayi yang cukup tinggi, kondisi tempat tinggal kurang memenuhi persyaratan
kesehatan. 2.
Karakteristik demografi Diantara berbagai variabel demografi, kemiskinan berkorelasi positif langsung
dengan jumlah anggota rumahtangga dan berkorelasi negatif dengan jumlah anggota rumahtangga yang menghasilkan pendapatan. Rumahtangga miskin
cenderung memiliki anggota keluarga yang sangat besar dengan beberapa orang anak dan anggota rumahtangga lain yang tergantung secara ekonomi.
Tetapi sebaliknya, rumahtangga miskin hanya terdiri dari sedikit orang yang bekerja dan diupah. Kemiskinan lebih tinggi peluangnya terjadi pada
rumahtangga yang dikepalai oleh wanita daripada pria. 3.
Karakteristik penguasaan aset Pendapatan individu tergantung pada penguasaan aset individu termasuk
sumberdaya manusia dan keuntungan daripada penguasaan aset. Penduduk miskin adalah mereka yang penguasaan asetnya rendah. Di negara agraris, aset
yang paling penting adalah lahan dan kemiskinan berkorelasi positif dengan rendahmya penguasaan lahan. Rumahtangga miskin seringkali dirugikan
karena rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Mereka umumnya memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Penguasaan aset mempengaruhi langsung
sumber potensial pendapatan. Tanpa lahan yang memadai, rumahtangga miskin hanya menyewakan tenaga dan waktu kerja. Tanpa sumberdaya tenaga
25 kerja yang berkualitas, akan dipaksa bekerja pada pekerjaan kasar yang
dihargai dengan upah yang rendah. Tanpa penguasaan aset yang cukup, rumahtangga miskin terbatas aksesnya kepada modal lain dan kekurangan
kesempatan kerja mandiri. 4.
Karakteristik sumber pendapatan Sektor pertanian dan kegiatan lain yang berhubungan langsung dengan
pertanian merupakan sumber pendapatan utama bagi rumahtangga miskin. Kegiatan di sektor pertanian ditandai oleh produktifitas yang rendah,
ketrampilankeahlian rendah, modal rendah dan upah rendah. 5.
Karakteristik lain Faktor spesifik masing-masing negara menyebabkan adanya karakteristik
tambahan. Faktor-faktor spesifik itu misalnya keragaan etnik, struktur kelas soaial, dinamika kemiskinan dan fenomena kemiskinan.
Berdasarkan karakteristik-karakteristik di atas, rumahtangga miskin dicirikan sebagai berikut : tinggal di pedesaan, total pendapatan yang rendah, total
konsumsi yang rendah, tingkat konsumsi pangan yang rendah, tingkat pendidikan yang rendah dan buta huruf, tingkat kematian bayi yang tinggi, kondisi tempat
tinggal yang kurang sehat, jumlah anggota rumahtangga yang besar, jumlah anggota rumahtanga yang berpenghasilan sedikit, pemilikan dan penguasaan
lahan pertanian yang sempit, dan bermata pencahrian utama sebagai petani.
2.7.2. Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan
Kemiskinan disebabkan oleh terbatasnya sumberdaya yang dimiliki atau dapat dimanfaatkan oleh keluarga untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
Keterbatasan itu berkaitan erat dengan rendahnya tingkat pendidikan. Dalam kondisi serba terbatas itu, sangat sulit bagi anak-anak keluarga miskin untuk
menempuh pendidikan, disamping itu tidak mampu menyediakan makanan bergizi bagi seluruh anggota keluarga.
Menurut Suryadiningrat 2003, kemiskinan pada hakekatnya disebabkan oleh kurangnya komitmen manusia terhadap norma dan nilai-nilai kebenaran
ajaran agama, kejujuran dan keadilan. Hal ini mengakibatkan terjadinya penganiayaan manusia terhadap diri sendiri dan orang lain. Penganiayaan pada
diri sendiri tercermin pada : 1 keengganan bekerja dan berusaha, 2 kebodohan,
26 3 motivasi renda, tidak memiliki rencana jangka panjang, 5 budaya kemiskinan
dan 6 pemahaman keliru terhadap kemiskinan.
2.7.3. Pembangunan Masyarakat Pedesaan dalam Mengatasi Kemiskinan
Pembangunan masyarakat dan pembangunan manusia merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan karena manusia secara kodrati mempunyai
kecenderungan untuk hidup bermasyarakat. Masyarakat dalam konteks pembangunan adalah masyarakat dalam arti komunitas, yaitu yang memiliki
sistem budaya, sistem sosial, dan sejarah tertentu Supriatna, 1997. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa karakteristik masyarakat bisa ditinjau dari
berbagai segi, yaitu bentuk organisasi, interaksi, stratifikasi, kekuasaan, komunikasi, kerjasama, maupun cara pencapaian tujuan. Oleh karena itu, hal
yang sangat penting dalam membangun masyarakat ialah memperhatikan karakteristik komunitas dan masyarakat umum, informasi yang bersifat global,
pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, dan sumber daya manusia karena faktor-faktor tersebut menjadi faktor utama bagi perubahan sosial dan
kemajuan masyarakat. Pembangunan masyarakat desa merupakan bagian dari pembangunan
masyarakat atau sosial, pembangunan desa, dan pembangunan desa terpadu yang diarahkan kepada kelembagaan dan partisipasi masyarakat miskin dalam
meningkatkan kesejahteraan pada satuan wilayah pedesaan. Masyarakat desa dapat dicirikan dengan taraf pendidikannya yang sangat rendah, kebanyakan
buta huruf, dan buta pengetahuan dasar yang menjadi permasalahan global Botkin, 1984 dalam Supriatna, 1997.
Konsep pembangunan pedesaan telah menjadi pusat perhatian negara- negara berkembang sejak tahun 1950-an sampai sekarang dalam pembangunan
nasionalnya. Hal ini terkait dengan strategi pembangunannya untuk memecahkan masalah-masalah laju pertumbuhan penduduk yang cepat,
kemiskinan, urbanisasi, dan pengangguran. Oleh karena itu, para pengambil kebijakan telah mengangkat masalah tersebut dalam haluan program serta
kegiatan pembangunan pedesaan secara menyeluruh yang menyangkut sektor ekonomi, pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja, sosial, budaya, agama, dan
sebagainya.
27
2.8. Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang pengembangan sektor pertanian dan strategi penanggulangan kemiskinan di Indonesia telah banyak diteliti, namun secara
khusus yang berlokasi di Kabupaten Halmahera Barat yang terkait dengan analisis pengembangan sub-sektor tanaman pangan dan hortikultura dalam penaggulangan
kemiskinan belum pernah dilaksanakan sebelumnya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sajogyo 2002 diacu dalam Yustika
2004, mengungkapkan bahwa petani yang memiliki lahan yang cukup luas berpeluang mempunyai pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan petani yang
mempunyai lahan yang lebih kecil. Diungkapkan pula bahwa terjadi penurunan penguasaan luas lahan pertanian 0,5 – 1 Ha dari tahun 1975 sampai 1993 dari 12
menjadi 6,2 . Dengan demikian lahan merupakan modal utama bagi petani dalam mengelola usaha pertaniannya. Semakin luas lahan yang mereka garap,
semakin luas kesempatan mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi. Berbagai permasalahan yang terjadi di masyarakat pedesaan dapat
dijadikan tolok ukur dari mana pembangunan masyarakat desa harus dimulai. Haeruman 2007, mengungkapkan beberapa fakta yang terjadi di wilayah
pedesaan, yaitu : a
Kemiskinan Perkembangan jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan
selama kurun waktu 1976 hingga tahun 2004, persentasenya lebih besar dibandingkan dengan penduduk perkotaan. Hal ini bisa dimungkinkan karena
sebagian besar
penduduk Indonesia
berdomisili di
pedesaan yang
bermatapencarian di sektor pertanian. Sedangkan dilihat dari profilnya, rumahtangga miskin di Indonesia rata-rata mempunyai 5,6 anggota per
rumahtangga sedangkan di daerah pedesaan mempunyai 6,1 anggota per rumahtangga. Dari angka tersebut diketahui bahwa beban rumahtangga miskin di
daerah pedesaan lebih besar dibandingkan di daerah perkotaan. Sebanyak 15,8 juta penduduk Indonesia tergolong fakir miskin pada
tahun 2003. jumlah tesebut sekitar 42,4 dari seluruh populasi penduduk miskin 37,3 juta jiwa tahun 2003. Persentase tersebut menunjukan secara rata-
rata dari setiap 100 orang penduduk miskin 42 orang diantaranya masih
28 tergolong fakir miskin. Fakir miskin adalah mereka yang pendapatannya masih
dibawah normal, yaitu kurang dari US 1 per hari. Sedangkan, pendapatan antara US 1 sampai US 2 per hari tergolong sebagai penduduk miskin.
Sedangkan dikatakan sejahtera, bila mereka sudah berpenghasilan diatas US 2 tiap harinya BPS, 2003
Ciri lain yang melekat pada rumahtangga miskin adalah tingkat pendidikan yang rendah. Data Biro Pusat Statistik tahun 1993 memperlihatkan
bahwa 72,01 dari rumahtangga miskin di pedesaan dipimpin oleh kepala rumahtangga yang tidak tamat SD dan 24,32 dipimpin oleh kepala
rumahtangga yang berpendidikan SD. Ciri rumahtangga miskin lain yang erat kaitannya dengan tingkat pendidikan dan sebaran lokasi rumahtangga adalah
sumber penghasilan. Sekitar 62 dari rumahtangga miskin penghasilan utamanya bersumber dari sektor pertanian, 10,4 dari sektor perdagangan, 7,4
dari sektor industri, 6,5 dari sektor jasa-jasa dan selebihnya dari sektor bangunan, pengangkutan dan lainnya. Apabila dibedakan menurut daerah,
sebagian besar atau sekitar 79,5 rumahtangga miskin di pedesaan mengandalkan pada sumber penghasilan di sektor pertanian. Ini konsisten
dengan corak rumahtangga pedesaan yang sebagian besar adalah rumahtangga petani.
b Keseinjangan
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 1993 dapat dicatat bahwa pembagian pendapatan antar golongan penduduk dalam kurun waktu 1978-1993
menunjukan kecenderungan membaik. Perbaikan dalam pembagian pendapatan antar kelompok penduduk ditunjukan oleh menurunnya indeks ketidakmerataan
Gini dari 0,38 pada tahun 1978 menjadi 0,32 pada tahun 1990. Meski jumlah penduduk miskin menurun, namun indeks Gini meningkat menjadi 0,34 pada
tahun 1993. ini berarti terjadi keseinjangan antar golongan cenderung meningkat. Akan tetapi pada tahun 1996 dan 1999, ketidakmerataan yang terjadi di pedesaan
cenderung menurun dimana indeks Gini pada tahun 1996 adalah sebesar 0,274 dan pada tahun 1999 menjadi 0,244 Bappenas 2002. Ini menunjukan bahwa
daerah pedesaan relatif mempunyai kemampuan untuk bertahan pada kondisi krisis.
29 c
Struktur Tenaga Kerja Keterlibatan penduduk dalam kegiatan ekonomi diukur dengan porsi
penduduk yang masuk dalam pasar tenaga kerja bekerja atau mencari kerja, disebut sebagai tingkat partisipasi angkatan kerja. Kesempatan kerja memberikan
gambaran besarnya tingkat penyerapan tenaga kerja, sehingga angkatan kerja yang tidak terserap merupakan masalah karena mereka terpaksa menganggur.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2000, angka pengangguran di daerah pedesaan lebih rendah bila dibandingkan dengan perkotaan. Dimana pada
tahun 1998 dan 2000, angka pengangguran di pedesaan masing-masing 3,3 dan 4,1 , sedangkan di perkotaan masing-masing 9,3 dan 9,2. Proporsi pekerja
menurut lapangan usaha merupakan salah satu ukuran untuk melihat potensi sektor perekonomian dalam menyerap tenaga kerja. Di pedesaan, sektor pertanian
tetap menjadi sektor yang mampu menyerap tenaga kerja yang besar dan cenderung terjadi peningkatan dari 62,9 pada tahun 1998 menjadi 66,1 pada
tahun 2000. kecenderungan tersebut dimungkinkan karena saat krisis ekonomi sektor industri dan jasa mengalami keterpurukan sehingga banyak yang
mengalihkan pekerjaannya pada sektor pertanian. d
Perubahan Struktur Lahan Perkembangan lain yang terjadi di daerah pedesaan adalah terjadi
perubahan pada aset penguasaan lahan. Luas lahan yang dimiliki oleh rumahtangga pertanian menurun sebesar 4,8 dari 26,6 juta hektar pada tahun
1983 menjadi 16,0 juta hektar pada tahun 1993 BPS, 1994. Sementara luas lahan yang dikuasai menurun sekitar 3,8 dari 18,3 juta hektar menjadi 17,7
juta hektar. Penurunann luas lahan dikuasai oleh rumahtangga pertanian terutama terjadi di Jawa yang menurun sebesar 14,5. Implikasinya adalah menurunnya
luas lahan yang dikuasai dan meningkatnya jumlah rumahtangga petani gurem yang menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar. Jumlah petani gurem ini meningkat
dari 9,5 juta rumahtangga pada tahun 1983 menjadi 10,9 juta rumahtangga petani pada tahun 1993. bertambahnya jumlah petani gurem ditunjukan oleh menurunnya
penguasaan lahan pertanian di Jawa dari 0,6 hektar pada tahun 1983 menjadi 0,5 hektar pada tahun 1993, sedangkan diluar Jawa menurun dari 1,6 hektar menjadi
30 1,3 hektar. Keterbatasan lahan yang dikuasai oleh petani akan mempersempit
peluang bagi masyarakat desa untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan. e
Kelembagaan Kelembagaan dapat diartikan sebagai aturan yang dianut oleh masyarakat
atau organisasi yang dijadikan pegangan oleh seluruh anggota masyarakat atau anggota organisasi dalam mengadakan transaksi satu sama lainnya yang meliputi
pasar, hak kepemilikan, pelestarian sumberdaya dan sistim pertukaran yang ditentukan berdasarkan norma-norma sosial atau kontrak.
Kelembagaan itu sendiri sebagian besar muncul akibat dari kehidupan bersama dan tidak direncanakan. Para warga masyarakat pada awalnya mencari
cara-cara yang dapat digunakan sebagai wadah memenuhi kebutuhan hidup, kemudian mereka menemukan beberapa pola yang dapat digunakan untuk
memenuhi kebutuhan hidup dan dalam proses selanjutnya diperkuat melalui pengaturan bersama yang dibakukan. Kelembagaan memberikan ketentuan
terhadap anggota masyarakatnya mengenai hak-hak, kewajiban dan tanggung jawabnya. Disamping itu, tiap anggota mendapat suatu jaminan hak dan
perlindungan dari masyarakat. Kelembagaan memberikan suatu kondisi bahwa tiap-tiap anggota menerima sesuatu yang menjadi ketentuan dan tiap anggota
merasa aman, merasa sewajarnya. Arti ekonomi utama dari kelembagaan adalah memberikan kepastian tentang siapa memperoleh apa dan berapa banyaknya.
Dengan kata lain kelembagaan menurunkan derajat ketidakpastian dari aliran manfaat atau ongkos yang akan diterima oleh partisipan dalam suatu sistim
ekonomi. Kelembagaan dapat diartikan sebagai atau aturan main. Kelembagaan sebagai organisasi biasanya menunjuk pada lembaga-lembaga formal seperti
Departemen Pertanian dan Perkebunan, Pemerintah Daerah, Koperasi Unit Desa, Kelompok tani, Bank dan sejenisnya.
Kelembagaan masyarakat desa mencakup dua pola hubungan, yaitu hubungan sosial dan hubungan ekonomi. Di berbagai daerah, peran dari lembaga
adat masi cukup dominan terutama di daerah dengan ikatan sosial antar anggota masyarakat masih kuat social relation yang pada akhirnya menciptakan aturan,
kesepakatan, dan kewajiban sosial sosial obligation. Akan tetapi kondisi tersebut secara gradual mengalami pergeseran hubungan yang semula didasarkan
31 pada aspek sosial bergeser menjadi hubungan mempertimbangkan aspek imbalan
ekonomi economic relation Anwar, 2005. Selain itu penelitian-penelitian lainnya yang menyangkut dengan masalah
kemiskinan, diantaranya menurut Rahmawati 2006, faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap peluang suatu rumahtangga berada dalam kemiskinan
antara lain ; jumlah anggota rumahtangga yang termasuk tenaga kerja, umur, pendidikan, jenis kelamin dan pendapatan. Berdasarkan analisis tersebut, jika
kepala rumahtangga berjenis kelamin wanita maka peluang rumahtangga menjadi miskin.
Selanjutnya menurut McDowell 1995 menunjukan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan adalah faktor umur, pendidikan, ras, tipe kepala
keluarga, ukuran keluarga, pendapatan, lama bekerja, struktur industri dan interaksi. Model penelitian tentang kemiskinan ini menggunakan model regresi
logistik dan semua variabel bebas signifikan terhadap taraf nyata satu persen. Widianti 2001 dari hasil penelitiannya tentang telaah terhadap
partisipasi, pendapatan dan tingkat kemiskinan peserta program perhutanan sosial dapat disusun faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan pesanggem
orang yang menggarap lahan. Adapun faktor-faktor tersebut adalah jenis mata pencaharian pesanggem, luas penguasaan lahan pesanggem, pola usaha tani dan
pendapatan rumahtangga. Lebih dari itu Penelitian Wiraswara 2005 menunjukan pertumbuhan
ekonomi tidak berpengaruh terhadap angka kemiskinan di Indonesia. Dari hasil penelitian ini, terdapat variabel-variabel lain yang berpengaruh terhadap
kemiskinan diantaranya : angka melek huruf, keterjangkauan rumahtangga terhadap listrik dan dummy kabupatenkota di Jawa. Ketiga variabel ini menurut
data tahun 2002 memiliki kemampuan untuk mengurangi angka kemiskinan. Angka kemiskinannya lebih tinggi dari kabupatenkota di luar Jawa dan
persentase penduduk melek huruf kabupatenkota di Jawa lebih rendah daripada di luar Jawa dan kabupatenkota di Jawa lebih unggul dalam persentase rumahtangga
yang terjangkau listrik.
32
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran
Amanah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, pada Pasal 14 ayat 2 yang mengisaratkan bahwa urusan pemerintahan
KabupatenKota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai
dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Sementara itu didalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan
Keuangan antara pemerintahan pusat dan daerah serta mengatur tentang alokasi anggaran dan pendapatan daerah.
Pendapatan Asli Daerah adalah bagian dari pendapatan daerah, terdiri dari pajak daerah dan retribusi daerah diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, untuk meningkatkan dan pemerataan bagi kesejahteraan masyarakat. Lebih lanjut Undang-undang Nomor 34
Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menetapkan ketentuan- ketentuan pokok yang memberikan pedoman kebijakan dan arahan bagi daerah dalam
pelaksanaan pemungutan pajak dan retribusi, sekaligus menetapkan pengaturan untuk menjamin penerapan prosedur umum perpajakan daerah dan retribusi daerah.
Tujuan dari penetapan sejumlah regulasi tersebut adalah untuk mengatur dan menggali potensi keuangan melalui berbagai sektor dan biasanya sektor-sektor
tersebut dijabarkan lagi menjadi sub-sub sektor, yang kemudian dikelolah sekaligus dialokasikan untuk belanja pembangunan dan belanja aparatur dalam bentuk
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD. Dengan alokasi anggaran ini diharapkan dapat menyentuh langsung pada kebutuhan masyarakat, terutama
masyarakat yang berdomisili di pedesaan dengan latar belakang usaha adalah sektor pertanian yang sebagian besar berada dibawah garis kemiskinan.
Pendekatan sektoral dalam perencanaan selalu dimulai dengan pertanyaan yang menyangkut sektor apa yang perlu dikembangkan untuk
mencapai tujuan pembangunan. Aziz 1994 menyatakan bahwa perencanaan pembangunan mengikuti suatu hirarki. Hirarki pertama menunjukkan tujuan
pembangunan, hirarki ke dua menunjukan sektor-sektor mana yang terpilih,