Kajian Filologi Terhadap Naskah Batak No. INV.943/07124/2075 Koleksi Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara

(1)

SKRIPSI SARJANA

KAJIAN FILOLOGI TERHADAP NASKAH BATAK

NO.INV.943/07124/2075 KOLEKSI MUSEUM NEGERI PROVINSI

SUMATERA UTARA

DIKERJAKAN

O

L

E

H

NAMA

: DESY NATALIA PINEM

NIM

: 050703020

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

JURUSAN SASTRA DAERAH

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA BATAK

MEDAN


(2)

SKRIPSI SARJANA

KAJIAN FILOLOGI TERHADAP NASKAH BATAK

NO.INV.943/07124/2075 KOLEKSI MUSEUM NEGERI PROVINSI

SUMATERA UTARA

DIKERJAKAN

O

L

E

H

NAMA

: DESY NATALIA PINEM

NIM

: 050703020

Diketahui Oleh:

Pembimbing I

Pembimbing II

Drs.Warisman Sinaga, M.Hum

Drs. Jamorlan Siahaan

NIP.131789087

NIP.131659607

Disetujui Oleh:

Departemen Bahasa dan Sastra Daerah

Ketua

Drs. Baharuddin, M.Hum

NIP.131785647


(3)

KAJIAN FILOLOGI TERHADAP NASKAH BATAK

NO.INV.943/07124/2075 KOLEKSI MUSEUM NEGERI PROVINSI

SUMATERA UTARA

DIKERJAKAN

O

L

E

H

DESY NATALIA PINEM

NIM. 050703020

Disetujui Oleh:

Pembimbing I

Pembimbing II

Drs. Warisman Sinaga, M.Hum

Drs. Jamorlan Siahaan

NIP.131789087

NIP.131659607

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian SARJANA SASTRA dalam bidang Ilmu Bahasa dan Sastra Daerah.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN SASTRA DAERAH

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA BATAK

MEDAN


(4)

PENGESAHAN

Diterima Oleh

Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat ujian SARJANA SASTRA dalam bidang Ilmu Bahasa dan Sastra Daerah pada Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan.

Pada,

Tanggal :

Hari :

Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Dekan,

Drs. Syaifuddin, M.A.,Ph.D.

NIP.132098531

Panitia Ujian

No. Nama Tandatangan

1. ………. ……….

2. ………. ……….

3. ………. ……….

4. ………. ……….


(5)

Disetujui Oleh Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara Medan

Departemen Bahasa dan Sastra Daerah Ketua,

Drs. Baharuddin, M.Hum NIP. 131785647

Medan 2008


(6)

ABSTRAK

Dalam penelitian ini, penulis membahas “Kajian Filologi Terhadap Naskah Batak No.INV.943/07124/2075 Koleksi Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara”. Masalah penelitian dapat dideskripsikan melalui rumusan masalah yang didalamnya terdapat cara untuk transliterasi dan terjemahan naskah. Selain itu, permasalahan yang ada juga menyangkut fungsi dari naskah tersebut.

Penulis telah menganalisis naskah dengan menggunakan bantuan dari teori Baroroh untuk menyelesaikan bagian naskah. Penelitian ini belumlah sesempurna mungkin sehinga, perlu ditindaklanjuti untuk masa yang akan datang.


(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Terlebih dahulu penulis mengucapkan puji dan syukur ke hadirat Bapa di surga, atas kasih dan karunia-Nya yang dianugerahkan kepada penulis selama masa perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini.

Penulis juga menyadari bahwa penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, dengan rasa haru dan penuh kebahagiaan penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A.Ph.D. sebagai Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Baharuddin, M.Hum. sebagai Ketua Departemen Sastra Daerah dan Bapak Drs. Flansius Tampubolon, sebagai dosen wali penulis, juga seluruh staf pengajar yang telah bersusah payah mendidik dan megarahkan penulis selama menyelesaikan studi.

3. Bapak Drs. Warisman Sinaga, M.Hum. sebagai Sekretaris Departemen Sastra Daerah dan merangkap sebagai pembimbing I dan Bapak Drs.Jamorlan Siahaan sebagai pembimbing II yang telah banyak memberikan masukan dan bermurah hati meluangkan waktu untuk membimbing penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Keterbukaan dan ketidakjenuhan mereka terutama dalam hal penyusunan skripsi ini menjadi pendorong yang membesarkan hati dan merupakan pengabdian yang tak kenal pamrih.


(8)

dari penulis dan memberikan nasihat yang membangkitkan semangat di dalam perkuliahan. Doa mereka senantiasa mengiringi langkah dalam mewujudkan cit-cita penulis. Sungguh pengorbanan yang diberikan tak dapat penulis membalasnya. Sinar kasih sayang setiap saat terpancar dari sikap mereka benar-benar merupakan suluh dalam menerangi hati penulis dalam menempuh studi ini. Begitu juga kepada seluruh keluarga yang telah memberikan dukungan dan juga doa kepada penulis hingga dapat menyelesaikan perkuliahan ini, kiranya Bapa yang di surgalah nantinya yang akan membalasnya.

5. Begitu juga kepada seluruh informan yang tak dapat penulis sebutkan satu-per satu yang telah banyak memberikan informasi tentang isi skripsi ini. 6. Semua yang tergabung dalam anggota IMSAD dan juga teman sekampus

lainnya yang telah membantu penulis dalam studi, juga dalam penyusunan skripsi ini.

7. Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak baik di Medan maupun yang di luar kota Medan yang telah membantu penulis. Pada kesempatan ini penulis memohon kepada Tuhan kiranya pertolongan yang mereka berikan, dan tidak mungkin penulis balas, kiranya Tuhanlah yang akan membalasnya kepada mereka sebagaimana layaknya.


(9)

Akhirnya penulis mengucapkan semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.

Penulis

Desy Natalia Pinem NIM. 050703020


(10)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Bapa di surga, karena berkat dan kasih-Nya yang dilimpahkan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Adapun judul skripsi ini adalah

Kajian Filologi Terhadap Naskah Batak

Skripsi ini berisi uraian dari penelitian yang penulis lakukan terhadap naskah Batak. Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi syarat menempuh ujian sarjana dalam bidang sastra pada Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan.

Skripsi ini terdiri atas enam bab dan kemudian bab-bab tersebut dibagi lagi atas subbab agar uraiannya lebih terperinci dan tampak jelas.

Bab I merupakan pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, deskripsi naskah, dan metode dasar.

Bab II merupakan kajian pustaka yang mencakup kepustakaan yang relevan dan tinjauan pustaka.

Bab III merupakan metodologi penelitian yang mencakup metode analisis data, metode pengumpulan data, lokasi, sumber data, instrumen, dan metode dasar.

Bab IV mengetengahkan tentang teks dan terjemahan yang di dalamnya termasuk teks, terjadinya teks, sistem penyalinan, transliterasi, terjemahan, dan berisikan fungsi naskah yang tercakup di dalamnya yaitu fungsi dalam


(11)

kebudayaan dan fungsi dalam pendidikan, yang dibagi dalam beberapa bagian yaitu fungsi dalam ilmu sejarah, filsafat, linguistik, sastra, dan antropologi. Bab V berisikan kesimpulan dan saran.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, karena ilmu yang penulis miliki sangat minim. Tetapi dengan bimbingan bapak dan ibu dosen sekalian selama pendidikan atau semasa perkuliahan maka skripsi ini dapat penulis selesaikan sebagaimana mestinya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik yang membangun dari semua pihak untuk kesempurnaan skripsi ini.

Atas segala bantuan saya ucapkan terima kasih dan semoga skripsi ini berguna bagi pembacanya.

Medan, Desember 2008 Penulis ,

Desy Natalia Pinem 050703020


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

Abstrak ... i

Ucapan terima kasih ... ii

Kata pengantar ... v

Daftar Isi ... vii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar Belakang Masalah ... 1

1.2.Rumusan Masalah ... 8

1.3.Tujuan Penelitian ... 9

1.4.Manfaat Penelitian ... 9

1.5.Anggapan Dasar ... 10

1.6.Deskripsi Naskah ... 10

BAB II : KAJIAN PUSTAKA ... 12

2.1. Kepustakaan yang Relevan ... 12

2.2. Teori yang Digunakan ... 13

2.2.1. Suntingan Teks ... 13

2.2.2. Kedudukan dan Fungsi ... 16

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN ... 17

3.1 Metode Dasar ... 17

3.2 Lokasi, Sumber Data dan Instrumen Penelitian ... 17


(13)

3.4 Metode Analisis Data ... 18

BAB IV :PEMBAHASAN ... 20

4.1Fungsi Naskah dalam Masyarakat ... 20

4.1.1 Fungsi dalam Kebudayaan ... 20

4.1.2 Fungsi dalam Pendidikan ... 25

4.2 Edisi Teks ... 35

4.2.1 Teks... ... ... 32

4.2.2 Terjadinya Teks ... 34

4.2.3 Sistem Penyalinan ... 35

4.3 Suntingan Teks ... 38

4.3.1 Transliterasi ... 38

4.3.2 Terjemahan ... 39

4.3.3 Analisis ... 42

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 46

5.1. Kesimpulan ... 46

5.2. Saran ... 47

Daftar Pustaka ... 49

Lampiran Naskah ... 52

Transliterasi ... 52

Terjemahan ... 91

Glosarium ... 106


(14)

(15)

ABSTRAK

Dalam penelitian ini, penulis membahas “Kajian Filologi Terhadap Naskah Batak No.INV.943/07124/2075 Koleksi Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara”. Masalah penelitian dapat dideskripsikan melalui rumusan masalah yang didalamnya terdapat cara untuk transliterasi dan terjemahan naskah. Selain itu, permasalahan yang ada juga menyangkut fungsi dari naskah tersebut.

Penulis telah menganalisis naskah dengan menggunakan bantuan dari teori Baroroh untuk menyelesaikan bagian naskah. Penelitian ini belumlah sesempurna mungkin sehinga, perlu ditindaklanjuti untuk masa yang akan datang.


(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Terlebih dahulu harus diketahui apa itu sebenarnya Batak. Di zaman sekarang ini, istilah Batak sebenarnya sudah jarang sekali dipakai untuk merujuk kepada semua suku di Sumatera Utara. Suku Batak terdiri atas lima subsuku yaitu:

1. Batak Toba,

2. Batak Angkola-Mandailing, 3. Batak Simalungun,

4. Batak Karo, dan 5. Batak Pakpak/Dairi.

Defenisi awal tentang Batak adalah sebutan bagi semua suku yang tidak atau belum memeluk agama Islam (Kozok,1999:11), tetapi sekarang sudah berbeda. Sekarang, hanya suku Batak Toba saja yang menyebut dirinya sebagai Batak, sedangkan yang lainnya lebih suka disebut Karo, Pakpak/Dairi, Simalungun, dan Angkola-Mandailing. Sebabnya ialah karena suku yang lazim disebut “Toba” ini, sebenarnya terdiri dari sejumlah daerah. Diantaranya adalah daerah Toba (juga disebut Toba Holbung), tetapi ada juga daerah Uluan, Habinsaran, Samosir, dan Silindung yang sebenarnya tidak termasuk daerah Toba, tetapi karena kesamaan dari segi bahasa dan budaya


(17)

penduduknya lazim disebut etnis Toba oleh para ahli bahasa dan antropologi. Karena sampai sekarang, orang Samosir atau Silindung masih tetap merasa janggal bila menyebutkan diri sebagai orang Toba, maka mereka pergunakan istilah Batak saja.

Lama-kelamaan nama Batak ini sudah melekat begitu erat pada orang Batak Toba ini, sehingga suku-suku lain mencari identitas diri di luar label Batak yang maknanya sudah didominasi oleh Toba namun sesungguhnya kelima subetnis tersebut merupakan bagian dari Batak (Kozok, 1999:12).

Marga dan nama Batak diambil dari nama Si Raja Batak. Dari nama itulah berpangkal silsilah marga Batak. Menurut pengetahuan orang Batak, “semua orang yang menamakan dirinya Batak adalah keturunan Si Raja Batak” (W.Hutagalung dalam Adelina 1990:8,). Siapa ayah Siraja Batak tidak dapat diketahui dengan pasti, tetapi jelas bahwa dia lahir dan bertempat tinggal di Sianjurmula-mula Dolok Pusuk Buhit dan dari sinilah berpencar keturunannya ke seluruh pelosok Tapanuli dan sekitarnya (W. Hutagalung dalam Adelina ,1990:8).

Asal-usul suku Batak secara etnis dan sejarah telah dikemukakan oleh para ahli, di antaranya bahwa, “para leluhur suku Batak berasal dari Asia Selatan yang bermigrasi ke tanah Batak secara bergelombang(Marbun, 1978:28). Menurut mitos, “leluhur suku Batak adalah keturunan dewa-dewi dari Banua Atas yang turun ke puncak bukit Pusuk Buhit di bumi” (Marbun,1978:28).


(18)

Kemasyarakatan Batak didasarkan atas garis keturunan ayah, yang lebih dikenal dengan istilah Patrilineal. Kampung sebagai tempat tinggal pada masyarakat Batak Toba disebut huta atau bius, pada Batak Angkola-Mandailing disebut partahian serta pada Batak Simalungun, Batak Karo dan Batak Pakpak/Dairi disebut dengan urung. Dalam masyarakat Batak setiap orang tua mereka pasti selalu menanamkan akan kesadaran marga kepada anak mereka dan mengenai larangan akan incest, yaitu perkawinan sedarah (semarga) yang tabu menurut norma adat. Setiap orang Batak harus mengetahui kedudukannya terhadap sesama orang Batak terlebih dalam pergaulan adat.

Pengetahuan yang demikian disebut dengan martarombo atau martutur.

Setiap orang harus mengetahui dan selalu ingat akan pantun yang berbunyi:

“ jolo tinitip sanggar, asa binahen huru-huruan, Jolo sinungkun marga, Asa binoto partuturan”

Pantun tersebut berarti:

Pimping(seperti galah yang batangnya tidak berongga) dipotong rata, Dijadikan sebagai sangkar burung,

Ditanya dulu marga,


(19)

Dapat dikatakan bahwa, pantun ini mengingatkan orang untuk martutur, agar kita dapat menentukan sikap terhadap seseorang setelah status masing-masing diketahui. Pada masyarakat Batak berlaku sistem pembagian masyarakat atas tiga bagian yang disebut dengan sistem kekerabatan, yang mengatur tatakrama pergaulan dalam kehidupan sehari-hari, kekerabatan ini disebut dengan Dalihan Na Tolu (dalihan = tungku, na = yang, tolu = tiga). Ketiga dari golongan ini adalah:

1. Dongan Sabutuha, yaitu saudara semarga atau sanina pada Batak

Simalungun, kahanggi pada Batak Angkola-Mandailing, senina atau sembuyak pada Batak Karo, dan sabeltek pada Batak Pakpak/Dairi. 2. Boru, yaitu pihak laki-laki yang mengambil putri pihak pemberi, anak

boru pada Batak Simalungun dan Batak Angkola-Mandailing, anak beru pada Batak Karo dan Batak Pakpak/Dairi.

3. Hula-hula, yaitu pihak anak perempuan yang diambil dengan semua

teman semarga pihak mertua, disebut tondong pada Batak Simalungun dan mora pada Batak Angkola-Mandailing, kalimbubu pada Batak Karo dan Batak Pakpak/Dairi.

Dengan adanya dalihan na tolu ini, setiap hubungan antar golongan ataupun juga marga telah diatur sedemikian rupa sehingga terbentuklah suatu keseimbangan dan keserasian hidup dalam bermasyarakat. Seperti pepatah orang Batak: Manat mardongan tubu, elek marboru, somba marhula-hula, yang artinya adalah dalam semarga tidak ada perselisihan dan harus pandai


(20)

mengambil hati pihak boru, karena mereka ini dipercayai untuk memberi sumbangan tenaga dan materi, sedangkan hula-hula harus dihormati karena mereka inilah pemberi berkat yang dianggap sebagai wakil Tuhan yang nampak (Siahaan, 1964:48).

Sebagai masyarakat yang patrilineal, anak laki-laki sangat penting sekali, karena dialah yang dapat melanjutkan keturunannya atau sebagai penyambung silsilahnya. Bagi mereka yang tidak memiliki anak atau keturunan sangatlah hina di tengah masyarakat dan dianggap orang yang terkutuk. Orang yang tidak memiliki keturunan disebut pupur serta yang tidak mempunyai anak laki-laki(hanya anak perempuan saja) disebut punu dan garis silsilah orang seperti ini menjadi terputus (Siahaan, 1964:49). Akan tetapi, sekarang ini sudah terjadi perubahan, anak perempuan sudah disamakan haknya dengan anak laki-laki.

Suku Batak mendiami seluruh wilayah Tapanuli sebahagian besar di Sumatera Timur yang luasnya kira-kira 50.000 km atau sama dengan 1/9 luas Sumatera dan terletak di antara 0,5 - 3,5 derajat Lintang Utara(LU), dan 97,5 derajat – 100 derajat Bujur Timur(Siahaan, 1964:17).

Suku Batak terdiri dari lima subsuku yang mempunyai daerah dan bahasa sendiri. Tempat tinggal mereka berada di wilayah Sumatera Utara dan tersebar di daerah-daerah. Kabupaten Tapanuli Utara ditempati masyarakat Batak Toba, Kabupaten Simalungun bagi Batak Simalungun, Kabupaten Karo bagi Masyarakat Batak Karo, Kabupaten Tapanuli Selatan bagi masyarakat


(21)

Batak Angkola-Mandailing, serta daerah Lingga dan Tanah Pinem di Kabupaten Dairi.

Bahasa Batak di daerah Tapanuli Tengah merupakan bahasa peralihan antara bahasa Batak Toba dengan bahasa Batak Angkola-Mandailing. Yang artinya daerah sepanjang perbatasan Tapanuli Tengah dan Tapanuli Utara memakai bahasa Batak Toba, daerah sepanjang perbatasan Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan mempergunakan bahasa Batak Angkola-Mandailing.

Di Kotamadya Sibolga dan sekitarnya dipakai bahasa Batak yang disebut dialek Sibolga, merupakan campuran bahasa Batak Toba, Batak Angkola-Mandailing, dan bahasa Melayu Pesisir(diperoleh dari Kantor Gubernur Tk.I Provinsi Sumatera Utara, Bagian Statistik).

Salah satu bentuk peninggalan sejarah masa lalu Indonesia adalah naskah lama. Berbicara tentang naskah, maka akan merujuk kepada apa yang tersimpan di dalamnya (teks). Jika berbicara mengenai teks suatu naskah dari budaya tertentu, akan terurai berbagai ragam budaya yang di dalamnya ada sistem religi hingga sistem teknologi dan peralatan (Koentjaraninggrat, dalam tesis Adelina,1990:3). Hal ini disebabkan oleh budaya suatu masyarakat tertentu akan terekam dengan jelas dalam sebuah bukti tertulis (naskah) yang dihasilkan oleh masyarakat tersebut, di samping prasasti dan peninggalan purbakala lainnya yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita.

Peninggalan berupa naskah ini merupakan dokumen yang menarik untuk penelitian kebudayaan masa lampau. Naskah kuno ini pada hakikatnya


(22)

merupakan warisan nenek moyang bangsa kita yang sangat berharga, karena di dalamnya banyak terkandung nilai keagamaan, pendidikan, pengobatan, sejarah dan sebagainya. Di dalam naskah tersebut tertuang semua hasil buah pikiran, perasaan dan cita-cita nenek moyang kita. Dengan mempelajari naskah-naskah itu kita bisa memahami dan menghayati pikiran, perasaan, serta cita-cita mereka.

Dalam warisan tertulis dari zaman kuno, Indonesia bisa dikatakan beruntung, karena masih menyimpan naskah-naskah kuno dalam jumlah yang cukup banyak di tiap-tiap daerah. Namun ternyata naskah yang telah hilang pun cukup banyak. Contohnya ada beberapa naskah Batak yang dijual kepada wisatawan asing yang datang ke daerah mereka. Hal ini perlu kita sadari sepenuhnya, betapa pentingnya warisan budaya bangsa kita yang tersimpan dalam naskah-naskah kuno. Sebab naskah-naskah tersebut merupakan sumber pengetahuan yang dapat membantu kita dalam mempelajari, mengetahui, mengerti, dan kemudian menyajikan sejarah perkembangan kebudayaan bangsa kita.

Naskah tersebut masih banyak yang belum diteliti oleh para ahli, karena naskah-naskah tersebut belum banyak dimanfaatkan isinya. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain penelitian akan memakan waktu cukup lama. Dan yang paling pokok, peneliti harus menguasai tulisan dan bahasanya terlebih dahulu. Naskah-naskah Indonesia, khususnya ditulis kebanyakan dalam aksara Arab Melayu, dan aksara Batak. Bahan naskah juga


(23)

bermacam-macam jenisnya misalnya, naskah Batak ditulis pada bahan bambu, kulit kayu, dan rotan. Sedangkan naskah Melayu umumnya ditulis di atas kertas.

Mengingat hal tersebut, penulis tertarik untuk mengenal, menyelami, dan memahami salah satu warisan nenek moyang bangsa kita. Keinginan ini timbul karena adanya rasa cinta dan tanggung jawab atas kelestarian naskah-naskah tersebut. Salah satu naskah-naskah yang akan dikaji dalam hal ini adalah naskah Batak, yang menurut pengamatan penulis jarang diteliti oleh para ahli maupun yang lainnya.

Dilihat secara sepintas, naskah ini cukup menarik dan berharga, di dalamnya tersaji pengetahuan tentang kebudayaan masyarakat Batak, seperti kebiasaan dalam menentukan hari baik dan buruk, pembuataan ramuan obat tradisional, cara tolak bala, dan lain sebagainya. Semua ini disusun menjadi satu kesatuan yang disajikan dalam bahasa dan aksara Batak. Naskah ini dikenal masyarakat sebagai pustaha lak-lak.

Sangat disayangkan naskah ini banyak yang belum diterjemahkan dan ditindaklanjuti. Namun yang lebih disayangkan lagi ternyata sebahagian dari naskah ini sudah ada yang rusak atau tulisannya juga sudah ada yang hilang sehingga tidak dapat dibaca. Faktor-faktor tersebutlah yang menarik perhatian penulis untuk memilih naskah sebagai objek penelitian.

1.2Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan ini adalah: 1. Bagaimana cara menyunting sebuah teks atau naskah?


(24)

2. Bagaimana kedudukan dan fungsi naskah di tengah-tengah masyarakat Batak?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini dibagi dalam tujuan khusus dan tujuan umum.

Tujuan khusus penelitian ini yaitu:

1. Menyunting teks dan mengungkapkan isi dari suntingan teks tersebut. 2. Untuk mengetahui kedudukan dan fungsi naskah pada masyarakat Batak.

Tujuan umum penelitian ini yaitu:

1. Menggali nilai-nilai budaya yang masih terpendam, khususnya di dalam naskah yang diamati.

2. Agar dapat dijadikan sumber penelitian bagi ilmu-ilmu lainnya.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah

1. Menambah khasanah pengkajian terhadap karya yang berupa naskah. 2. Sebagai sumbangan ilmu yang diharapkan dapat mengembangkan

penelitian Sastra Daerah di Departemen Sastra Daerah Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.


(25)

3. Menyukseskan program pelestarian sastra daerah sebagai bagian dari kebudayaaan nasional.

1.5 Anggapan Dasar

Anggapan dasar adalah suatu hal yang diyakini kebenarannya oleh peneliti, yang harus dirumuskan secara jelas dengan tujuan untuk memperkuat permasalahan dan untuk membantu peneliti dalam memperjelas dan menetapkan objek penelitiannya, wilayah pengambilan data, dan instrumen pengumpulan data ( Arikunto, 1996:65).

Naskah merupakan bagian peninggalan kebudayaan lama, sehingga dengan bertambahnya umur naskah tersebut mengakibatkan adanya kerusakan pada naskah sehingga naskah tersebut susah untuk dibaca.

1.6Deskripsi Naskah

Tempat penyimpanan naskah :Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara

Nomor Koleksi : No.INV.943/07124/2075

Bahasa : Batak

Tarikh Penulisan : Tidak tersedia

Halaman Kosong : Tidak didapati

Halaman tertulisi : Keseluruhan tertulisi

Bahan Naskah : Kulit kayu alim

Tinta : Warna hitam terbuat dari getah

Kondisi naskah : Masih baik


(26)

Jenis Aksara : Batak

Sampul :

Jilidan :

Penomoran halaman : Tidak didapati

Penomoran bait :Tidak didapati


(27)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kepustakaan yang Relevan

Ada beberapa pendapat ataupun batasan tentang filologi yang dapat dipakai sebagai acuan pada penelitian ini.

Baried (1985:2) mengatakan, ”Filologi merupakan sebuah studi yang diperlukan untuk satu upaya yang dilakukan terhadap peninggalan masa lampau.”

August dalam Tadillah (2004:60) mengatakan, ”Filologi berarti ilmu pengetahuan tentang segala sesuatu yang pernah diketahui orang.”

Mario dalam Tadillah (2004:62) mengatakan, ”Filologi merupakan ilmu studi bahasa yang ilmiah seperti yang disandang oleh linguistik pada masa sekarang dan apabila studinya dikhususkan kepada teks, teks tua filologi memperoleh pengertian semacam ilmu linguistik historis.”

Robson (2004:3) mengatakan, ”Naskah merupakan perbendaharaan pikiran dan cita-cita para nenek moyang kita. Dengan mempelajari naskah-naskah itu kita bisa mendekati dan menghayati pikiran serta cita-cita yang dulu menjadi pedoman kehidupan mereka.”

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, filologi merupakan ilmu pengetahuan yang kajiannya dikhususkan kepada teks terhadap peninggalan masa lampau.


(28)

2.2 Teori yang Digunakan

Filologi berusaha mengungkapkan hasil budaya suatu bangsa melalui kajian bahasa pada peninggalan dalam bentuk tulisan. Hasil budaya yang diungkapkan oleh teks dapat dibaca dalam peninggalan-peninggalan yang berupa tulisan yang disebut dengan naskah.

2.2.1 Suntingan Teks

Dalam rangka penyuntingan teks yang ditulis dengan huruf daerah, perlu terlebih dahulu teks itu ditransliterasikan ke huruf Latin. Salah satu tujuan penyuntingan teks ialah agar teks dapat dibaca dengan mudah oleh kalangan yang lebih luas. Oleh sebab itu, diusahakan agar susunannya mudah dibaca dan dipahami, untuk memudahkan kita mengetahui isinya secara keseluruhan.

Naskah-naskah lama merupakan sumber data yang penting tentang bahasa. Oleh karena itu, penyuntingan teks lama atau kuno perlu dijaga kemurniannyasupaya ciri bahasa lama tidak hilang (Djamaris, 2002:2).

Transliterasi artinya penggantian jenis tulisan, huruf demi huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lainnya. Istilah ini dipakai bersama-sama dengan istilah transkripsi dengan pengertian yang sama pada penggantian jenis tulisan naskah. Transliterasi dapat diartikan juga sebagai salinan atau tulisan tanpa mengganti macam tulisan (huruf tetap). Baried, dkk,(1985:59) mengungkapkan bahwa transliterasi sangat penting untuk memperkenalkan


(29)

teks-teks lama yang ditulis dengan huruf daerah karena kebanyakan orang sudah tidak mengenal atau tidak akrab lagi dengan tulisan daerah.

Menurut Catford dalam makalah Haslinda (2005:103, “Menerjemahkan adalah mengganti teks dalam bahasa sumber dengan teks yang sepadan dalam bahasa sasaran”. Jadi dengan demikian dapat dikatakan bahwa menerjemahkan adalah pengalihan bahasa dengan tujuan pembaca dapat memahami isi naskah.

Hoed (1993:1) mengutip pendapat Nida dan Taber (1974:1) bahwa: correctness must be determined by the wxtent to which the average reader for which a translation is intended will be likely to understand it correcly.

Berdasarkan keterangan tersebut maka terdapat implikasi sebagai berikut: a) Sebelum mulai mengalih bahasakan sebuah teks, penerjemah harus

memahami pesan yang terkandung dalam teks tersebut.

b) Siapa pengirim pesan tersebut, ditujukan kepada siapa, dan siapa calon pembaca dalam bahasa sasaran.

c) Makin jelas (terbatas) calon pembaca hasil penerjemahan, makin mudah untuk memuat keputusan tentang pilihan bentuk bahasa dalam proses penerjemahan.

d) Benar tidaknya suatu terjemahan berkaitan dengan apakah pesan dalam bahasa sumber diterima secara sepadan dalam bahasa sasaran.

Djajasudarma (1988:1) mengemukakan bahwa penerjemahan merupakan (a) penggantian naskah bahasa sumber dengan naskah bahasa sasaran yang berpadanan dan (b) penciptaan di dalam bahasa sasaran dengan padanan yang


(30)

wajar dan paling mendekati pesan bahasa sumber. Berdasarkan pendapat tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa:

1. objek terjemahan adalah bahasa tulis

2. penerjemah harus dapat memindahkan pesan naskah asli semaksimal mungkin

3. bahasa terjemahan mestilah wajar (alamiah)

4. di dalam proses penerjemahan, harus dicari padanan yang dinamik, artinya padanan kontekstual, bukan padanan yang hanya berdasarkan makna leksikal di dalam tataran tertentu.

Selain itu, Pradotokusumo (1986:173) mengemukakan bahwa terjemahan secara harafiah mungkin masih dapat mengungkapkan pesan, jika teks yang diterjemahkan itu berbentuk prosa serta bahasa sumber dan bahasa sasaran termasuk satu rumpun bahasa, sehingga tidak banyak terjadi perubahan dalam bentuk gaya. Berkaitan dengan penerjemahan teks Ruhalliah (2006:33) memberikan suatu pertimbangan dalam menerjemahkan naskah, antara lain:

a. Teks ditulis menggunakan bahasa daerah dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Karena bahasa yang berbeda memiliki struktur dan makna yang berbeda, maka perbedaan ini harus dipertimbangkan agar makna terjemahannya sama atau mendekati.

b. Bahasa yang digunakan dalam naskah adalah bahasa daerah lama, sedangkan terjemahan dalam bahasa Indonesia kosa katanya umumnya


(31)

disesuaikan dengan bahasa Indonesia “modern”. Dengan demikian akan terjadi perubahan di dalam memahami teks tersebut.

2.2.2 Kedudukan dan Fungsi

Kedudukan adalah letak sesuatu status suatu keadaan atau tindakan sedangkan fungsi adalah kegunaan yang dapat dinikmati dan dapat diambil manfaatnya (KBBI, 2002:278).

Fungsi dan kedudukan naskah dalam masyarakat Batak dapat dibedakan menurut status dan kedudukan pemiliknya. Pada masa pemerintahan kerajaan, pemilik naskah adalah mereka yang berasal dari masyarakat keturunan dari bangsawan. Mereka itu memiliki status sebagai tokoh pemerintah (raja dan seluruh perangkatnya) tokoh masyarakat (para pemuka adat), dan tokoh datu.


(32)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Metode Dasar

Di dalam menyusun suatu karya tulis, lebih-lebih yang bersifat ilmiah sudah barang tentu harus digunakan suatu metode yang baik. Karena metode merupakan cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan ( Koentjaraninggrat, dalam tesis Adelina, 1990:10).

Metode dasar dalam penelitian ini adalah metode naskah tunggal edisi standar alasannya adalah karena naskah yang hendak dikaji bukan naskah ganda melainkan naskah tunggal.

3.2 Lokasi, Sumber Data, dan Instrumen

Lokasi sumber data adalah Museum Negeri Sumatera Utara yang berada di jalan H.M.Joni. Sumber data diperoleh dari sebuah naskah Batak. Naskahnya bertuliskan aksara Batak. Aksara tersebut bernama lak-lak yang ditulis di atas kulit kayu yang berukuran 9,5 x 6,5 cm, dengan No.INV.943/07124/2075. Lak-lak tersebut belum dialihaksarakan ke aksara Latin dan belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh penulis seperti buku catatan, daftar pertanyaan dan alat rekam, dalam arti lebih lengkap dan sistematis sehingga mudah untuk di olah. Untuk memperlncar


(33)

proses penelitian ini penulis menggunakan alat bantu seperti: alat tulis, kamera dan buku-buku acuan yang memperlancar proses penelitian ini.

3.3 Metode Pengumpulan Data

Tahap awal yang dilakukan adalah pengumpulan data yang berupa inventarisasi naskah. Metode pengumpulan data yang dilakukan yaitu dengan menggunakan metode pustaka. Metode pustaka yang dilakukan adalah membaca naskah yang asli dari bahan yang dipergunakan.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

1. Observasi, melakukan pengamatan meliputi pemusatan perhatian terhadap objek penelitian dalam mencari naskah.

2. Pencatatan, mencatat naskah untuk memudahkan dalam pentransliterasian.

3. Studi pustaka, untuk mencari bahan bacaan ejaan yang mendukung penelitian.

4. Pendokumentasian, pengambilan gambar naskah sebagai dokumentasi.

3.4 Metode Analisis Data

Adapun metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah metode naskah edisi standar (Baried, dkk, 1985:60). Metode standar adalah metode yang biasa digunakan dalam penyuntingan teks naskah tunggal, di mana yang dibahas adalah menerbitkan naskah dengan membenarkan kesalahan-kesalahan


(34)

kecil, sedangkan ejaannya disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku. Semua perubahan yang diadakan dicatat di tempat yang khusus agar selalu dapat diperiksa dan diperbandingkan dengan bacaan naskah sehingga masih memungkinkan penafsiran lain oleh pembaca.

Hal-hal yang perlu dilakukan dalam edisi standar antara lain: 1. Mentransliterasi teks.

2. Membetulkan kesalahan teks.

3. Membuat catatan perbaikan atau perubahan. 4. Membagi teks dalam beberapa bagian. 5. Membuat daftar kata sukar (glosarium).


(35)

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1. Fungsi Naskah dalam Masyarakat 4.1.1 Fungsi dalam Kebudayaan

Secara khusus fungsi yang terdapat pada naskah yang dijadikan sebagai objek penelitian dalam tulisan ini dalam bidang kebudayaan dapat di lihat dari berbagai sisi yang diantaranya yaitu:

• Dapat dijadikan sebagai salah satu peninggalan budaya Batak yang ternyata memiliki identitas dari suku tersebut.

• Isi dari naskah yang telah di terjemahkan memperkuat bahwa suku Batak Toba memiliki banyak pengetahuan yang didalamnya berupa ilmu perdatuan (dukun).

• Secara tidak langsung dari naskah yang ditemukan telah memberi warna bahwa suku Batak Toba memiliki ciri khas dari segi tulisan yang dimana, ada beberapa suku lain juga memilikinya. Tetapi, ada juga yang tidak memilikinya.

Dari beberapa hasil tersebut dapat terlihat bahwa suku Batak mampu untuk bersaing dalam bidang kebudayaan dengan suku yang lain. Hal ini dibuktikan dengan adanya ciri khas yang dimiliki dari bagian naskah tersebut yang dimulai dari adanya naskah beserta tulisannya, adanya pengetahuan yang didalamnya berbagai hal mengenai ilmu-ilmu yang berkembang pada jaman


(36)

dulu. Dimana secara mayoritas setiap suku di Indonesia memiliki bagia dari cirri khas tersebut.

Bangsa Indonesia boleh bangga karena memiliki beraneka ragam bahasa dan sastra daerah sebagai warisan nenek moyang yang tidak ternilai harganya. Sastra daerah yang beraneka ragam itu turut mewarnai khazanah sastra Nusantara dan merupakan alat penunjang untuk memperkaya kesastraan Indonesia pada umumnya. Dalam bab pertama dikatakan bahwa kebudayaan adalah kelompok adat istiadat kebiasaan, pikiran, kepercayaan, dan nilai yang turun-temurun dipakai oleh masyarakat pada waktu tertentu untuk menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap segala situasi yang sewaktu-waktu timbul, baik dalam kehidupan individu maupun dalam kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan.

Hasil budaya masa lampau yang terungkap dalam sastra lama dapat dibaca dalam peninggalan yang berupa tulisan yaitu naskah. Karya sastra Nusantara yang pada saat ini tersimpan dalam naskah lama merupakan peninggalan pikiran para leluhur (nenek moyang). Mempelajari sastra lama selalu dihadapkan pada kesukaran-kesukaran yang tidak sedikit karena tidak dijumpainya sumber hidup tempat berkonsultasi. Sastra lama itulah yang menjadi satu-satunya sumber informasi yang tidak terlepas dari kemungkinan berbagai macam tafsiran. Di satu pihak, interpretasi tersebut dapat benar, tetapi di lain pihak interpretasi tersebut dapat juga salah.


(37)

Kebudayaan merupakan pengetahuan manusia yang diyakini kebenarannya oleh yang bersangkutan dan yang diselimuti serta menyelimuti perasaan-perasaan dan emosi-emosi manusia serta menjadi sumber untuk menilai, yaitu penilaian baik dan buruk, berharga aatu tidak berharga, bersih atau kotor, dan sebagainya. Hal itu terjadi karena kebudayaan mengandung nilai-nilai normal yang bersumber pada pandangan hidup dan kode etik yang dimiliki oleh setiap manusia (Geetz dalam Baroroh,1985:86).

Kebudayaan lama yang sudah ada beberapa abad yang lampau dapat dikenal kembali dalam bermacam-macam bentuk, antara lain, dalam bentuk tulisan yang terdapat pada batu, candi-candi atau peninggalan purbakala yang lain, dan naskah-naskah. Selain itu, ada juga yang berbentuk lisan. Peninggalan suatu kebudayaanyang berupa naskah merupakan dokumen bangsa yang paling menarik bagi para peneliti kebudayaan lama karena memiliki kelebihan, yaitu dapat memeberi informasi yang luas dibandingkan peninggalan berbentuk puing bangunana besar seperti candi, istana raja, dan juga pemandian suci. Peninggalan yang berbentuk puing bangunan besar itu tidak dapat berbicara dengan sendirinya, tetapi harus ditafsirkan (Soebadio, 1975:1).

Manusia sebagai makhluk yang berkebudayaan memiliki aktivitas-aktivitas tertentu hasilnya dapat dirasakan oleh generasi kemudian. Manusia dapat berpedoman kepada nilai-nilai yang diwariskan oleh generasi sebelumnya atau dapat juga mengubahnya. Berkat warisan kebudayaan,


(38)

manusia dapat mengatasi keruwetan-keruwetan yang terjadi dalam hidupnya. Pewarisan kebudayaan itu terjadi lewat bahasa. Oleh karena ruang lingkup kebudayaan itu luas sekali maka pengertian bahasa tidak hanya meliputi bahasa dalam arti yang sempit, melainkan meliputu segala macam bentuk simbol dan lambang (tarian, gambar) yang dapat mencatat kebudayaan dari generasi yang satu kepada generasi yang lain (Van Peursen, 1976:143).

Pada umumnya, hasil budaya manusia makin hari makin sempurna. Dalam bidang kesenian, misalnya, manusia terus-menerus mencari bentuk-bentuk ekspresi baru. Jadi, pada dasarnya seluruh seluruh kebudayaan merupakan suatu proses belajar yang besar yang menghasilkan bentuk-bentuk baru dengan menimba pengetahuan dan kepandaian dari kebudayaan sebelumnya. Meskipun demikian, kebudayaan sebagai suatu proses belajar tidak menjamin kemajuan dan perbaikan sejati. Dengan berguru kepada kesalahan dan kekeliruannya manusia mungkin akan menjadi lebih bijaksana. Kekeliruan dan kesalahan ada manfaatnya, walaupun tidak selalu demikian.

Pada dasarnya, kebudayaan yang ada sekarang ini melalui tiga tahap, yaitu mistis, ontologis, dan fungsional. Tahap mistis adalah suatu tahap yang sikap manusianya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya. Tahap ontologis adalah tahap yang sudah melalui tahap mistis sehingga sikap manusianya sudah secara bebas ingin meneliti segala hal di luar dirinya, sedangkan tahap fungsional adalah tahap yang berada di atas sikap ontologis,


(39)

yaitu tahap yang sikap dan alam pikiran manusianya sudah nampak makin modern (Van Peursen, 1976:18).

Ahli filologi, selain akrab dengan bahasa dan sastra, juga mengamati jalannya kebudayaan suatu bangsa. Apabila ditinjau dari sudut kebudayaan pada umumnya, nilai-nilai yang terkandung dalam naskah-naskah lama itu sangat besar. Dengan mengkaji isi rekaman tersebut akan tergalilah kebudayaan suatu bangsa, tempat berpijaknya kebudayaan yang ada sekarang ini.

Pembangunan di bidang kebudayaan meliputi juga segala usaha pembinaan dan pengembangan sastra karena karya sastra adalah manifestasi kehidupan bangsa di masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang. Melalui sastra diperoleh nilai-nilai tata hidup sebagai sarana kebudayaan dan komunikasi antargenerasi masa lampau, generasi sekarang, dan generasi yang akan datang. Melalui sastra dan kemajuan teknologi modern merupakan hal yang harus isi-mengisi untuk mencapai keseimbangan dan keselarasan dalam pembangunan kebudayaan suatu bangsa.

Kedua hal itu dapat tercapai jika penelitian terhadap sastra lama digalakkan untuk menunjang pengembanagn kebudayaan dan melestarikan warisan nenek moyang. Dalam hal ini filologilah, sebagai ilmu pengetahuan yang berperan untuk menyelidiki kebudayaan berdasarkan bahasa dan kesusasteraannya dalam rangka penggalian dan pelestarian serta pengembangan kebudayaan tersebut.


(40)

4.1.2.Fungsi dalam Bidang Pendidikan

Dalam bidang pendidikan naskah ini telah membuka peluang untuk dipelajari oleh khalayak umum ataupun bagi mereka yang berkecimpung didalamnya yang bersangkutpaut dengan ilmu pernaskahan. Sehingga tidak menutup kemungkinan untuk dijadikan sebagai bahan perbandingan dalam ilmu pendidikan dan ilmu pernaskahan. Contohnya, apabila naskah tersebut bersangkutan dengan pengobatan maka dalam ilmu pendidikan boleh dilakukan suatu penelitian mengenai hal tersebut sehingga dapat dijadikan sebagai ilmu tambahan guna membantu ilmu pendidikan dari segi pengobatan.

Jika diperhatikan dalam bidang filologi ada beberapa ilmu yang erat hubungannya dengan objek penelitian filologi, dimana akan terlihat hubungan timbal-balik, saling membutuhkan. Untuk kepentingan tertentu, filologi memandang ilmu-ilmu yang lain sebagai ilmu bantunya. Di bawah ini dikemukakan ilmu yang dipandang sebagai ilmu bantu filologi dan ilmu-ilmu yang memandang filologi sebagai ilmu-ilmu bantunya.

Mempelajari bahasa naskah bukanlah tujuan filologi yang sesungguhnya. Meskipun demikian, karena kebanyakan bahasa naskah sudah berbeda dengan bahasa sehari-hari maka sebelum samapi kepada tujuan yang sebenarnya, seorang ahli filologi harus terlebih dahulu mengkajinya. Untuk pengkajian bahasa naskah inilah diperlukan bantuan linguistik.

Bantuan linguistik kepada filologi sudah terlihat sejak perkembangan awalnya. Pada awal perkembangannya, linguistik sangat mengutamakan


(41)

bahasa tulis, termasuk di dalamnya bahasa naskah, bahkan studi bahasa sampai pada abad ke-19 dikenal dengan nama filologi. Dalam perkembangannya yang kemudian, linguistik lebih mengutamakan bahasa lisan, bahasa yang dipakai sehari-hari. Meskipun demikian, diharapkan kemajuan metode-metodenya dapat diterapkan juga dalam pengkajian bahasa-bahasa naskah.

Ada beberapa cabang linguistik yang dipandang dapat membantu filologi, antara lain, yaitu etimologi, sosiolinguistik, dan stilistika. Etimologi, ilmu yang mempelajari asal-usul dan sejarah kata, telah lama menarik perhatian para ahli filologi. Hampir dapat dikatakan bahwa pada setiap pengkajian bahasa teks, selalu ada yang bersifat etimologis.

Hal ini mudah untuk dimengerti karena bahasa-bahasa naskah Nusantara banyak yang mengandung kata serapan dari bahasa asing, yang dalam perjalanan hidupnya mengalami perubahan bentuk dan kadang-kadang juga perubahan dalam arti. Itulah sebabnya maka kata-kata semacam itu, untuk pemahaman teks perlu dikaji sejarahnya.

Sosiolinguistik, sebagai cabang linguistik yang mempelajari hubungan dan saling mempengaruhi hubungan dan saling pengaruh antara perilaku bahasa dan perilaku masyarakatnya, sangat bermanfaat untuk menekuni bahasa teks, misalnya ada tidaknya ragam bahasa, alih kode yang erat kaitannya dengan konvensi masyarakat pemakai bahasa. Hasil kajian seperti ini diharapkan dapat membantu pengungkapan keadaan sosiobudaya yang terkandung dalam naskah.


(42)

Selanjutnya stilistika, yaitu cabang ilmu linguistik yang menyelidiki bahasa sastra, khusunya gaya bahasa, diharapkan dapat membantu filologi dalam pencarian teks asli atau mendekati aslinya dan dalam penentuan usia teks. Telah disinggung dalam pembicaraan tentang pengertian filologi bahwa naskah-naskah yang sampai kepada kita mencerminkan adanya tradisi penyalinan yang longgar, artinya penyalin dapat mengubah dan mengurangi naskah yang disalinnya apabila dirasa perlu.

Untuk penelitian linguistik diakronik, ahli linguistik memerlukan suntingan teks-teks lama hasil kerja filologi dan mungkin juga membutuhkan hasil kajian bahasa teks lama oleh ahli filologi. Pada umumnya ahli linguistik mempercayakan pembacaan teks-teks lama kepada para ahli filologi atau ahli epigrafi. Dari hasil kerja mereka inilah, ahli linguistik menggali dan menganalisis seluk-beluk bahasa tulis yang pada umumnya telah berbeda dengan bahasa sehari-hari. Hasil kajian linguistik ini kelak juga bermanfaat olh para penggarap naskah lama. Dengan demikian, terdapat hubungan timbal balik antara filologi dan linguistik, seperti telah disinggung pada awal bab.

Masalah naskah Nusantara yang mengandung teks sastra, yaitu teks yang berisi cerita rekaan (fiksi). Contoh teks yang demikian itu, antara lain teks-teks Melayu yang tergolong cerita pelipur lara, cerita jenaka, cerita berbingkai, teks-teks yang berisi cerita wayang, dan cerita pahlawan Islam. Untuk menangani teks sastra, filologi memerlukan metode-metode pendekatan yang sesuai dengan sifat objeknya ialah metode pendekatan ilmu sastra.


(43)

Ilmu sastra telah lama dipelajari sejak zaman Aristoteles, buku Poetika, hasil karya Aristoteles yang sangat terkenal, merupakan karya terbesar tentang teori sastra yang paling awal (Sutrisno,1981:6). Dalam memperlihatkan perkembangan ilmu sastra sepanjang masa, Abrams (1953) oleh Teew (1980) dinilai telah berhasil dengan baik dan tepat. Berdasarkan cara menerangkan dan menilai karya-karya sastra, Abrams (1981:36-37) membedakan tipe-tipe pendekatan (kritik) tradisional menjadi empat yaitu:

1. Pendekatan mimetik: menonjolkan aspek-aspek referensi, acuan karya sastra, dan kaitannya dengan dunia nyata.

2. Pendekatan pragmatik: menonjolkan pengaruh karya sastra terhadap pembaca atau pendengarnya.

3. Pendekatan ekspresif: menonjolkan penulis karya sastra sebagai penciptanya.

4. Pendekatan objektif: menonjolkan karya sebagai struktur otonom, lepas dari latar belakang sejarahnya dan dari diri serta niat penulisnya.

Ketiga pendekatan pertama di atas termasuk pendekatan yang oleh Wellek dan Waren dalam Teew (1980) disebut pendekatan ekstrinsik, yaitu pendekatan yang menerangkan karya sastra melalui latar belakangnya, keadaan sekitarnya, dan sebab-sebab luarnya: sedangkan pendekatan yang keempat, termasuk pendekatan yang disebut pendekatan intrinsik, yaitu pendekatan yang berusaha menafsirkan dan menganalisis karya sastra dengan teknik dan metode yang diarahkan kepada dan berasal dari karya sastra itu sendiri.


(44)

Karena banyaknya jumlah teks sastra dan besarnya kecenderungan untuk menanganinya maka dalam perjalanan sejarahnya, filologi pernah dipandang sebagai ilmu sastra. Sebaliknya, sekarang ini karena pesatnya kemajuan ilmu sastra maka filologi dipandang sebagai cabang ilmu sastra. Bantuan ilmu filologi kepada ilmu sastra terutama berupa penyediaan suntingan naskah lama dan hasil pembahasan teks yang mungkin dapat dimanfaatkan sebagai bahan penyusunan sejarah sastra ataupun teori sastra.

Ilmu sastra akan benar-benar bersifat umum hanya apabila data untuk penyusunan teori-teorinya didasarkan juga pada sastra lama, bukan hanya pada sastra baru. Konvensi sastra baru belum tentu sama dengan konvensi sastra lama. Dengan demikian, hasil-hasil kajian terhadap teks-teks sastra lama akan sangat berguna untuk penyusunan teori-teori ilmu sastra yang benar-benar bersifat umum.

Penggarapan naskah tidak dapat dilepaskan dari konteks masyarakat dan budaya masyarakat yang melahirkannya. Untuk keperluan ini, ahli filologi dapat memanfaatkan hasil kajian atau metode antropologi sebagai suatu ilmu yang berobjek penyelidikan manusia dipandang dari segi fisiknya, masyarakatnya, dan kebudayaannya. Masalah yang erat pautannya dengan antropologi, misalnya sikap masyarakat terhadap naskah yang sekarang masih hidup, terhadap naskah yang dimilikinya, apakah naskah itu dipandang sebagai benda keramat atau sebagai benda biasa.


(45)

Karya-karya pujangga keraton yang sekarang tersimpan di perpustakaan keraton Surakarta dan Yogyakarta tampak dikeramatkan seperti benda-benda pusaka. Tradisi caos dhahar “memberi sesaji” dan nyirami

“memandikan” yang biasanya dilakukan untuk benda-benda pusaka, dilakukan juga untuk naskah-naskah sastra. Tentu saja nyirami naskah tidak berarti memandikan naskah, tetapi mengangin-anginkannya. Selain itu, pengeramatan atau penghormatan terhadap naskah terlihat dari istilah yang dipakai untuk tindakan penyalinan naskah, yaitu “mutriani”.

Makna harfiah istilah ini “membuat putra”: diturunkan dari kata “putra” yang mengandung rasa hormat. Selanjutnya hasil “mutrani” ini disebut putran, yaitu naskah kopi (Sutjipto,1977). Ada juga naskah-naskah magis yang pendekatannya memerlukan informasi antropologis, misalnya naskah-naskah yang mengandung teks-teks mantera. Ada pula naskah yang oleh penyalinnya dikatakan dapat menghapuskan dosa pembacanya apabila dibacanya sampai tamat, misalnya teks Hikayat Nabi Bercukur.

Naskah-naskah nusantara yang oleh pendukungnya dipandang berisi teks sejarah jumlahnya cukup banyak, misalnya Hikayat Aceh, Hikayat Banjar (Melayu). Suntingan naskah-naskah jenis ini, terutama yang melalui proses pengkajian filologis, dapat dimanfaatkan sebagai sumber sejarah setelah diuji berdasarkan sumber-sumber lain (sumber asing, prasasti, dan sebagainya) atau setelah diketahui sifat-sifatnya.


(46)

Biasanya yang bersifat historis hanyalah bagian-bagian yang melukiskan peristiwa-peristiwa yang sezaman dengan penulisnya. Itupun banyak yang penyajiannya diperhalus, yaitu apabila peristiwanya dipandang dapat mengurangi nama baik raja yang sedang berkuasa. Meskipun demikian, teks-teks semacam itu sangat bermanfaat untuk melengkapi informasi sejarah yang terdapat dalam sumber-sumber lain, misalnya batu nisan, prasasti dan candi.

Ilmu sejarah juga memanfaatkan suntingan teks jenis lain, bukan jenis sastra sejarah, khususnya teks-teks lama yang dapat memberikan informasi lukisan kehidupan masyarakat yang jarang ditemukan dalam sumber-sumber sejarah di luar sastra.

Selain itu dalam naskah-naskah Nusantara banyak yang mengandung teks keagamaan. Dapat dikemukakan bahwa naskah-naskah Jawa Kuna dan Batak banyak diwarnai agama Hindu dan Budha, sedangkan naskah Melayu banyak dipengaruhi oleh agama Islam. Pengaruh sastra Islam dalam sastra Jawa Baru pada umumnya melalui sastra Melayu.

Suntingan naskah, terutama naskah yang mengandung teks keagamaan atau sstra kitab dan hasil pembahasaan kandungannya, akan menjadi bahan penulisan perkembangan agama yang sangat berguna. Dari teks-teks semacam itu akan diperoleh gambaran, antara lain, perwujudan penghayatan agama, percampuran agama Hindu, Budha dan Islam dengan kepercayaan yanghidup dalam masyarakat Nusantara, permasalahan aliran-aliran agama yang masuk


(47)

ke Nusantara. Gambaran itu merupakan permasalahan yang ditangani oleh ilmu sejarah perkembangan agama. Dengan demikian, penanganan naskah sastra kitab secara filologis akan sangat bermanfaat bagi ilmu sejarah perkembangan agama.

Banyak defenisi filsafat, tetapi inti sarinya adalah cara berfikir menurut logika dengan bebas sedalam-dalamnya hingga sampai ke dasar persoalan (Shadily,1980). Dilihat dari bidang objek pemikirannya, filsafat dapat dibagi menjadi beberapa cabang: metafisika (antologi), epistemologi, logika, etika, estetika, dan sebagainya (Runes dkk., 1963:234). Ada juga yang membaginya menjadi filsafat manusia, filsafat alam, dan filsafat ilmu pengetahuan (Shadily, 1980).

Renungan yang bersifat filsafat yang pernah terjadi pada masa lampau, antara lain dapat digali melalui warisan budaya lama yang berwujud naskah atau teks sastra. Kehidupan masyarakat tradisional Nusantara tampak dominan oleh nilai-nilai seni dan agama, bahkan menurut Al-Attas (1972:13) pandangan hidup asli “Melayu-Indonesia” adalah berdasarkan seni.

4.2 Edisi Teks 4.2.1 Teks

Teks artinya kandungan atau muatan naskah, sesuatu yang abstrak yang hanya dapat dibayangkan saja. Perbedaan antara naskah dengan teks menjadi jelas apabila terdapat naskah yang muda tetapi mengandung teks yang tua.


(48)

Teks terdiri atas isi, yaitu ide-ide atau amanat yang hendak disampaiakn pengarang kepada pembaca dan bentuk. Bentuk yaitu cerita dalam teks yang dapat dibaca dan dipelajari menurut berbagai pendekatan melalui alur, perwatakan, gaya bahasa, dan sebagainya.

Sedangkan ilmu yang mempelajari seluk-beluk teks disebut tekstologi, yang antara lain meneliti penurunan teks sebuah karya sastra, penafsiran, dan pemahamannya. Lichavest dalam Baroroh (1985:57) seorang ahli tekstologi mengungkapkan ada 10 prinsip yang harus diketahui dalam melakukan edisi teks, diantaranya yaitu

1. Tekstologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki sejarah teks suatu karya.

2. Edisi teks harus menggambarkan sejarahnya.

3. Penelitian teks harus didahulukan dari penyuntingan. 4. Tidak ada kenyataan tekstologi tanpa penjelasannya.

5. Secara metodis perubahan diadakan secara sadar dalam sebuah teks (perubahan ideologi, artistik, psikologis, dan lain-lain) harus didahulukan dari pada perubahan mekanis, misalnya kekeliruan tidak sadar oleh seorang penyalin.

6. Teks harus diteliti sebagai keseluruhan (prinsip kekompleksan pada penelitian teks).

7. Bahan-bahan yang mengiringi sebuah teks (dalam naskah) harus diikutsertakan dalam penelitian.


(49)

8. Perlu diteliti pemantulan sejarah teks sebuah karya dalam teks-teks dan monumen sastra lain.

9. Pekerjaan seorang penyalin harus diteliti secara menyeluruh.

10.Rekonstruksi teks tidak dapat menggantikan teks yang diturunkan dalam naskah-naskah.

4.2.2 Terjadinya Teks

Sangat jarang sekali ada teks yang bentuk aslinya atau bentuk sempurnanya sekaligus terlihat sangat jelas dan tersedia secara utuh dari keseluruhan teks tersebut. Menurut De Haan dalam Baroroh (1985:57) mengenai terjadinya teks ada beberapa kemungkinan:

1. Aslinya hanya ada dalam ingatan pengarang atau pengelola cerita. Turun-temurun terjadi secara terpisah yang satu dari yang lain melalui dikte apabila orang ingin memiliki teks itu sendiri. Tiap kali teks diturunkan dapat terjadi variasi. Perbedaan teks adalah bukti dari berbagai pelaksanaan penurunan dan perkembangan cerita sepanjang hidup pengarang.

2. Aslinya adalah teks tertulis, yang lebih kurang merupakan kerangka yang masih memungkinkan atau memerlukan kebebasan seni. Dalam hal ini, ada kemungkinan bahwa aslinya disalin begitu saja dengan tambahan seperlunya. Kemungkinan lain adalah aslinya disalin, dipinjam, diwarisi, atau dicuri. Terjadilah cabang tradisi kedua atau


(50)

ketiga di samping yang telah ada karena varian-varian pembawa cerita dimasukkan.

3. Aslinya merupakan teks yang tidak mengijinkan kebebasan dalam pembawaannya, karena pengarang telah menentukan pilihan kata, urut-urutan kata, dan komposisi untuk memenuhi maksud tertentu yang ketat dalam bentuk literer itu.

4.2.3 Sistem Penyalinan

Dalam penurunan yang dilewati oleh suatu teks yang turun-temurun disebut tradisi. Naskah diperbanyak karena orang ingin memiliki sendiri naskah tersebut, kemungkinan karena naskah asli sudah rusak dimakan zaman, atau karena kekhawatiran terjadi sesuatu terhadap naskah tersebut, misalnya hilang, terbakar, ketumpahan benda cair yang dapat membuat kerusakan. Mungkin pula naskah disalin denga tujuan magis, dengan menyalin suatu naskah tertentu orang merasa mendapat kekuatan magis dari yang disalinnya tersebut. Naskah yang dianggap penting disalin dengan berbagai tujuan, misalnya tujuan politik, agama, pendidikan, dan sebagainya.

Akibat dari penyalinan tersebut, terjadilah beberapa atau bahkan banyak naskah mengenai suatu cerita. Dalam penyalinan yang berkali-kali tersebut, tidak tertutup kemungkinan timbulnya berbagai kesalahan atau perubahan. Hal ini terjadi, anatara lain, karena mungkin si penyalin kurang memahami bahasa atau pokok persoalan naskah yang disalin tersebut, mungkin pula karena tulisan tidak terang, karena salah baca, atau karena


(51)

ketidaktelitian sehingga beberapa huruf hilang (haplografi), atau penyalinan yang maju dari perkataan yang sama, suatu kata suatu bagian dalam kalimat, beberapa baris, atau satu bait terlampaui, atau sebaliknya ditulis dua kali (ditografi).

Penggeseran dalam lafal dapat mengubah ejaan, ada kalanya huruf

yang terbalik atau dalam setiap barisnya tertukar, demik ian pula dapat terjadi peniruan bentuk kata karena pengaruh dari perkataan

yang lain yang baru saja disalin. Dalam proses salin-menyalin yang demikian, kerusakan terhadap bacaan tidak dapat terhindarkan lagi. Di samping dari perubahan yang terjadi karena unsur ketidaksengajaan, setiap penyalin bebas untuk dengan sengaja menambah, mengurangi, mengubah naskah, menurut seleranya masing-masing yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi zaman penyalin.

Sehubungan dengan itu, teks modern juga perlu diadakan penelitian secara filologi karena ada kemungkinan juga yang menyebabkan terjadinya beberapa bentuk penyajian tersebut adalah perubahan-perubahan yang dilakukan oleh penyusunnya sendiri dengan maksud menyempurnakan teks sesuai dengan pertimbangan atau pandangan yang dianggap baik. Di samping itu, unsur-unsur dari luar yang berhubungan dengan teks tersebut, antara lain sensor dari pemerintah, pengetik, pencetak, dan sebagainya dapat merupakan penyebab timbulnya perbedaan antara beberapa penyajian atau penerbitan karya yang sama.


(52)

Dengan demikian, naskah salinan belum tentu merupakan bagian yang sempurna dari naskah yang disalin. Ada kalanya perbedaan sangat kecil sekali, tetapi ada pula perbedaan yang besar sehingga timbul naskah-naskah yang berbeda versi atau berbeda bacaannya.

Oleh karena itu, terlihatlah bahwa tugas utama filologi adalah untuk memurnikan teks dengan mengadakan kritik terhadap teks. Tujuan dari hal ini yaitu menghasilkan sesuatu teks yang paling mendekati aslinya. Teks yang sudah dibersihkan dari kesalahan-kesalahan dan telah tersusun kembali seperti semula merupakan teks yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai sumber untuk kepentingan berbagai penelitian dalam bidang ilmu-ilmu lainnya.

Dalam penyalinan tersebut, naskah pada umumnya tidak menyebutkan waktu dari penulisannya. Oleh karena itu, umur naskah hanya dapat diketahui melalui keterangan dari dalam dan keterangan dari luar naskah itu sendiri. Namun, adakalanya penyalin memberi catatan pada akhir teks mengenai bilamana dan dimana teks tersebut selesai disalin (kolofon). Apabila kolofon tidak ada, kertas bahan naskah sering memperlihatkan tanda atau lambang yang dipergunakan.

Di samping itu, perlu diperhatikan catatan-catatan di sampul luar, sampul kertas depan dan belakang naskah, serta ciri-ciri lain yang dapat memberi keterangan tentang umur naskah. Demikian pula asal mula naskah menjadi milik berbagai perpustakaan dapat memberikan penanggalan. Yang


(53)

akhirnya, dapat juga memberi petunjuk dalam memperkirakan umur naskah ialah waktu atau peristiwa-peristiwa sejarah yang disebut-sebut dalam teks.

4.3 Suntingan Teks 4.3.1 Transliterasi

Dalam melakukan transliterasi perlu diikuti pedoman yang

berhubungan dengan pembagian kata, ejaan, dan pungtuasi. Sebagaimana diketahui, teks-teks lama ditulis tanpa memperhatikan unsur-unsur kata tulis yang merupakan kelengkapan wajib untuk memahami teks.

Transliterasi artinya penggantian jenis tulisan, huruf demi huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lainnya. Istilah ini dipakai bersama-sama dengan istilah transkripsi dengan pengertian yang sama pada penggantian jenis tulisan naskah. Transliterasi dapat diartikan juga sebagai salinan atau tulisan tanpa mengganti macam tulisan (huruf tetap). Baried, dkk, (1985:59) mengungkapkan bahwa transliterasi sangat penting untuk memperkenalkan teks-teks lama yang ditulis dengan huruf daerah karena kebanyakan orang sudah tidak mengenal atau tidak akrab lagi dengan tulisan daerah.

Lebih bermanfaat lagi bagi peminat dari daerah lain di Nusantara apabila teks yang sudah ditransliterasi tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kecuali teks berbahasa Melayu karena bahasa itu telah dipandang menyatu dengan bahasa Indonesia. Dalam menerjemahkan kiranya dapat dipakai metode harafiah apabila mungkin dan metode bebas apabila mutlak


(54)

perlu untuk menjaga kemurnian segala lapisan penciptaan teks dalam bahasa asalnya.

Salah satu contoh yang dapat dilakukan dalam transliterasi tersebut dapat dilihat dari penggalan naskah yang diambil dari penelitian ini yaitu:

Ini adalah penggalan naskah yang jenis tulisan, huruf demi huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lainnya belum mengalami pergantian.

Transliterasi dari penggalan naskah tersebut yaitu: . mani hasuhuton


(55)

tu soto moto asuhuton bea dibisara

nagodang asa imana tiding gurunta guru tandang ni aji bao aji bunga bunga anak na boru honsitan ni tiyan tano na buyar

Dari contoh tersebut terbukti cara melakukan transliterasi dari

penggalan naskah yang dilakukan dalam penelitian. Dimana terlebih dahulu harus mengetahui arti dari tulisan-tulisan yang ada dalam penggalan naskah tersebut agar lebih mempermudah melakukan transliterasi.

4.3.2 Terjemahan

Setelah melakukan transliterasi dalam naskah maka tugas selanjutnya yang harus dilakukan adalah melakukan terjemahan dimana terjemahan dapat diartikan sebagai usaha pemindahan suatu teks dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Bahasa sasaran yang dimaksudkan adalah ke bahasa mana kita terjemahkan hasil transliterasi tersebut, apakah ke bahasa Indonesia ataupun ke bahasa lain yang diinginkan oleh penerjemah.

Dari contoh yang diambil diketahui bahwa bahasa sumber adalah bahasa Batak Toba sementara bahasa sasaran yang dilakukan oleh penulis adalah bahasa Indonesia.


(56)

Contoh bahasa sumber dalam naskah

mani hasuhuton di mulani juhut mate tu soto moto asuhuton bea dibisara

nagodang asa imana tiding gurunta guru tandang ni aji bao aji bunga bunga anak na boru honsitan ni tiyan tano na buyar

Sementara untuk melakukan terjemahan atau memindahkannya ke bahasa sasaran harus dilakukan sesuai dengan kemampuan dan aturan dalam melakukan terjemahan. Hasil dari transliterasi yang dilakukan ke terjemahan adalah sebagai berikut. “untuk orang yang melakukan pesta di awal agar daging yang telah mati namun memiliki kekuatan yang banyak untuknya yang diberikan oleh guru kita, maka datanglah guru yang sudah tua,guru bunga-bunga tersebut sangat menyayangi anak perempuannya yang telah hampir kembali ke tanah “.

Untuk selanjutnya dapat dilihat dalam lampiran yang tertera dalam tulisan ini, karena ini hanya penggalan dari beberapa naskah yang diambil sebagai contoh dalam pembahasan mengenai transliterasi dan terjemahan.


(57)

4.3.3 Analisis

Sebagai analisis dari hasil transliterasi, peneliti memberikan analisis berdasarkan yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, yaitu:

1. Halaman 1 : meninggal saat mengandung.

2. Halaman 2 : menghilangkan kesialan dengan bantuan singa.

3. Halaman 3-4: melakukan pesta untuk anak perempuannya yang hampir ke tanah dan memberi nasehat oleh Guru Hamuntal.

4. Halaman 5-7: guru yang bermimpi akan mendapat berkah, apa yang diinginkan semuanya tercapai.

5. Halaman 8-10: meminta teman untuk pergi meninggalkan kampung karena kedatangannya membawa masalah.

6. Halaman 11-14: ada pesta pernikahan yang menyedihkan karena mengalami banyak kerugian mulai dari kebakaran, pembunuhan dan lainnya.

7. Halaman 15-19: melakukan ritual dengan menggunakan rempah-rempah, bulu ayam, daun sirih, ikan mas, pandan, padi, asam dan garam. Semua ini adalah bahan untuk melakukan ritual buang sial. 8. Halaman 20-21: bermantra untuk mengembalikan niat jahat orang

kepada diri kita, dan orang itu akan meninggal nantinya.

9. Halaman 22-28: hasil dari mantra terlihat dalam waktu tiga hari berikutnya, mantra ini juga dilengkapi dengan beberapa ramuan, semua


(58)

diperantarakan melalui kalajengking kecil yang akan mengantarkannya ke tempat musuh.

10.Halaman 29-41: untuk mengembalikan mantra dipergunakan daun sirih, agar musuh habis meninggal, lalu semua yang menjadi syarat harus dipenuhi kata Guru Banggu Asinapati Siatipal.

11.Halaman 42-47: yang menang saat melawan musuh, kehidupannya aman dan nyaman.

12.Halaman 48-51: orang yang meninggal di rumah kalau dikuburkan harus menyediakan sesajen.

13.Halaman 52-55: bapak dan ibu panglima memanggil hantu lalu menyuruh untuk membunuh orang.

14.Halaman 56-58: membuat ramuan-ramuan untuk membunuh orang yang diinginkan.

15.Halaman 59-65: melihat nasib baik atau buruk dari arah penjuru mata angin.

16.Halaman 66-68: mengingatkan agar jangan mencuri bila tak ingin mati dibunuh orang kampung.

17.Halaman 69-73: mencari tahu hari atau waktu yang baik dan yang buruk untuk berhutang kepada banyak orang.

18.Halaman 74-76: membayar hutang lalu berpestadengan memilih waktu yang baik untuk melakukan acara tersebut.


(59)

19.Halaman 77-78: menyelesaikan masalah dilakukan pada waktu sipaha sembilan, siapapun yang berhutang akan membayar hutangnya dengan cepat.

20.Halaman 79-81: kemenangan untuk melawan musuh, membayar hutang, lalu perjuangan untuk kaya raya.

Pada masyarakat Batak, mengenal pembagian hari-hari, waktu dan letak mata angin (Panggorda Desa Na Walu) dipercayai untuk menentukan hari yang baik dan buruk diantaranya yaitu:

a. nama-nama hari

• Artia (hari pertama)

• Suma (hari kedua)

• Anggara (hari ketiga)

• Muda (hari keempat)

• Boraspati (hari kelima)

• Sikora (hari keenam)

• Samisara (hari ketujuh) b. waktu (pormamis na lima)

• Sogot = mamis (pagi hari kira-kira jam 6-9)

• Pangului = hala (naik matahari kira-kira jam 9-12)

• Hos = sori (tengah hari kira-kira jam 12-14)


(60)

• Bot = wisnu (sore hari kira-kira jam 17=18) c. letak mata angin

• Purba (timur)

• Anggoni (tenggara)

• Dangsina (selatan)

• Nariti (barat daya)

• Pastima (barat)

• Manabiya (barat laut)

• Otara (utara)

• Irisan (timur laut)

Dari keterangan yang telah diuraikan, maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat di tanah Batak sebelum mengenal agama meyakini adanya kekuatan di luar kemampuan manusia. Masyarakat yakin bahwa guru atau datu dengan kekuatan mantranya beserta ramuan-ramuannya dapat meramal keadaan masyarakat dimasa depan. Dan untuk melaksanakan suatu acara, kegiatan (membuat obat, berperang, dan membunuh musuh), dukun meramal hari dan waktu yang baik untuk melaksanakannya agar tujuan tersebut tercapai dengan baik, kekuatan mantranya beserta ramuannya dapat meramalkan kehidupan di masa yang datang, misalnya meramal hari yang baik dan buruk untuk melakukan pekerjaan dan lain sebagainya.


(61)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Atas dasar pembahasan bab-bab sebelumnya, pada akhir tulisan ini disajikan kesimpulan sebagai hasil studi naskah Batak Toba.

Penelitian ini telah berhasil mentransliterasi dan mencoba untuk menterjemahkan walaupun hasilnya belum cukup sempurna. Naskah yang menjadi bahan penelitian ini diambil dari koleksi Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara dengan no. inventaris: 943/07124/2075, merupakan salah satu naskah kuno yang memiliki ukuran sedang, dimana panjang : 9,5 cm, lebar : 6,5 cm, terdiri dari 82 halaman, jumlah baris setiap halaman berbeda-beda ada yang 8, 9, dan 11 baris, ukurannya juga tidak sama pada setiap halaman serta jarak antara baris tidak menentu.

Hal yang dilakukan dalam naskah yaitu melakukan transliterasi dan juga terjemahan, sehingga hasil dari naskah tersebut dapat diketahui apa isinya.

Dalam naskah ini memuat tentang upacara buang sial, upacara agar orang tersebut sehat, mendapat kekayaan dan lain sebagainya. Dimana kegiatan tersebut diundanglah para datu atau dukun dari daerah lain untuk meramalkan suatu keberadaan yang terjadi pada masa yang akan datang.


(62)

Seandainya dari ramalan seseorang dukun adanya suatu tanda-tanda bahaya yang serius maka dibuatlah penangkal dengan porsili (buang sial).

Demikian juga dalam penentuan waktu yang baik apakah (subuh, saat matahari terbit, matahari mulai turun, sore hari atau malam hari), dan juga menentukan kapan berhutang saat ingin mencapai kejayaan.

Adapun kesimpulan-kesimpulan khusus yang dapat ditarik dari naskah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pustaka Laklak menguraikan suatu cara untuk mencapai kejayaan, membunuh musuh dari jarak jauh, menentukan hari baik dalam melakukan setiap pekerjaan, selain itu ada juga upacara buang sial (porsili).

2. Kegiatan di dalam teks ini tidak hanya dilakukan dengan menggunakan obat-obatan berupa ramuan-ramuan, tetapi juga mantera-mantera dimana tata pelaksanaannya dilakukan oleh para datu atau dukun. Fungsi naskah dalam masyarakat dibagi menjadi dua bagian yaitu:

1. fungsi kebudayaan 2. fungsi pendidikan.

5.2 Saran

Sebelum penulis mengakhiri pembahasan dalam skripsi ini maka penulis ingin memberikan sedikit saran-saran dari penulis yang berupa himbauan.


(63)

1. Untuk menjaga agar lestarinya naskah kuno terutama naskah Batak disarankan agar pemerintah daerah memuat suatu kebijaksanaan tentang pengajaran naskah Batak di sekolah lanjutan yang ada di daerah yang banyak masyarakatnya bersuku Batak Toba. Dengan adanya pelajaran tersebut memaksa dengan cara yang halus agar murid memahami bahasa dan peninggalan budaya daerahnya sendiri.

2. Terutama kepada penutur bahasa Batak Toba, perlu himbauan supaya kita sebagai penutur bahasa tersebut mengetahui sekaligus memperdalam ilmu kita tentang pernaskahan Batak Toba. Dengan cara ini maka sudah barang tentu kita turut memelihara dan mengembangkan cakrawala pengetahuan mengenai naskah tersebut dan sekaligus juga mempertahankan kebudayaan Batak toba tersebut


(64)

DAFTAR PUSTAKA

Abrams, M.H. 1953. The Mirror And The Lamp: Romantic Theory and The Critical Tradition Oxford:University Press.

_______,1981. A Glosarry of Literary Terms. New York, Chicago San Francisco, Dallas, Rinehart and Winston. Four Edition.

Adelina, 1990. Tesis: Sistem Penanggalan (Parhalaan) Batak Toba sebuah

Kajian Filologis. Bandung: Fakultas Pascasarjana, Universitas

Padjajaran.

Al-Attas, Syed, M.N. 1972. Islam Dalam Sejarah Dan Kebudayaan Melayu. Kuala Lumpur: University Kebangsaan.

Atja dan Aajatrohaedi. 1985. Nagarakretabhumi: Karya Kerja Kelompok di Bawah Tanggung Jawab Pangeran Wangsakerta Panembahan Cirebon. Bandung. Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (sundanologi).

Baroroh, Baried, 1985. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta : Fakultas Sastra, Universitas Gajah Mada.

Berling,R.F. 1966. Filsafat Dewasa Ini. Jakarta.PN. Balai Pustaka. Cetakan IV (Tejemahan oleh Hasan Amin).

Djamaris, Edward, 2002. Metode Penelitian Filologi, Jakarta: CV. Manasco. Djajasudarma,T.Fatimah. 1988. Teknik Penerjemahan dan Interpretasi.


(65)

Haryono, Rudy, 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Indonesia.

Haslinda, 2005, Makalah: Filologi Pengobatan Tradisional Orang Bugis

Dalam Lontaraq Fabbura. Disampaikan pada Seminar Simposium

Filologi Jawa Barat.

Hoed, B.H. 1993. Penerjemahan di Bidang Sains dan Teknologi, dimuat dalam Lembaran Sastra Universitas Indonesia.

Koentjaraninggrat, 1979. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Kozok,Uli. 1999. Warisan Leluhur Sastra Lama dan Aksara Batak. Bogor.

Grafika Mardi Yuana.

Marbun, M.A. 1978. Pengantar Budaya Batak. Jakarta. Balai Pustaka. Peursen,van. C.A. 1976. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Pradotokusuma, Partini Sardjono. 1986. Kakawin Gajah Mada. Suntingan

Naskah serta Telaah Struktur, Tokoh, dan Hubungan Antarteks.

Bandung. Bina Cipta.

Ruhalliah. 2006. Transliterasi Aksara Sunda Kuno, Cacarakan, dan Pegon,

serta Penyusunan Edisi Teks dan Terjemahan. Jurusan Pendidikan

Bahasa Daerah Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.

Runes, D. 1963. Dictionary of Philosophy Ancient. New Jersey.

Robson, 1994. Prinsip-prinsip Filologi Indonesia Terjemahan Kentjarawati Gunawan dan Universitas Leiden Belanda.


(66)

Shadily, Hassan. 1980. Ensiklopedi Indonesia. Jakarta: Buku Ikhtiar Baru. Van Hoeve.

Siahaan, N. 1964. Sejarah Kebudayaan Batak. Medan. Napitupulu-sons.

Subagio, Sastrowardoyo. 1983. Moralitas dalam Kesusasteraan. Kompas 27 September.

Soemantri, Emuch, 1986. Identitas Naskah. Bandung: Fakultas Pascasarjana, Universitas Padjajaran.

Sutrisno, Sulastin. 1981. Hikayat Hang Tuah: Analisis Struktur dan Fungsi: Yogyakarta.

Syukur, La Ode, 2005. Makalah: Pengenalan Diri Suntingan Teks Disertai

Kedudukan Dan fungsi. Disampaikan pada Seminar Simposium

Filologi. Jawa Barat

Tadillah, Yusriwal, Zuriati. 2004. Dinamika Bahasa, Filologi, Sastra, dan Budaya Padang; Andalas Universitas Press.

Tambunan, Anggur P. 1977. Kamus Bahasa Batak Toba-Indonesia Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta.


(67)

Lampiran Naskah Transliterasi

1. Partama anglahang lu

Anghang hu maqhang tahang humpa Hapali bana hing

Ho pangalaho ni bagahi Sande bona ma

Tean marharoan 2. Mamunu marsili Ia rotama diporta Nga di mesa simanjoloi Singa dapotan

Matarama maluha Uruk manjadi Borno borno Manjadi uruk ima Palaho ni porta

3. Mani hasuhuton Di mulani juhut mate Tu soto / moto asuhuton Bea dibisara


(68)

Nagodang asa imana Tiding gurunta guru Tandang ni aji bao Aji bunga bunga anak Na boru honsitan ni Tiyan tano na buyar

4. Tano na hornop Tano soharan Tano lobu so……..

Homitan ni dianak ni sihombing Asa ho podahon madi

Ho pinaranak rang ma Ni aji as aroma di ho

Ale amang hela guru humuntal

5. Ni aji asa

Ro ma diho pinaranak Guru nipian ni

Aji amang jaha ro Hata ni halak di mamis Ni bojana di tumpak


(69)

Pah desana uli gala Na uli ibana ia hamuna Di hata go on naso Ma hita ia magong

6. Hata hot mago matutu Jaha di hasuhuton Ia monang di hatahon Monang ma huta ale Jaha di hasuhuton Ia monang di hatahon Monang ma huta ale Jaha roha ta ni Hala jadi mamis Longit hu mata tano Hatana mismis do I unang be hita

7. Porsea disi anggo I mago Ma na humatahon

Hata nai di rohanta na Ma I mamulana mago


(70)

Jaha rohata

Ni halak di bisnu be Ahu mata hana do Hobinghas namate ma Dongan na monang laho Binghas si mat ape

8. Adong unang be hita laho Ia hu mata hon na mago Do ibana inda

Hutana mago be ala ho Mangoli unang be hita Laho bea laho

Tandang jaoat ma pubea Umbean pagar ta tar

Sunggul begu ulang be hita Laho disi beya

9. Mangolo ilu mangaho ni Ompuna mago do i Palupalu on ni


(71)

Ruming hangma mapangulubalang Disi ja rohata ni halak di sori Tano di humpa

Desa ibana jala na uli ibana Ia humatahon ma

10. Monang do ibana monang Ma tutu beya ro togu togu Tu hita laho

Mahita beya laho binghas Mamunu mahita beya Laho tandang beya laho Ma doli bajik ma mora Mahita umbean pagar Pe bajik beya

11. Mangoli sumangot Di ompuna mamora ma i Pasupasuon ni ompu Na I . jaha rohata Ni halak hona di halabe A huma hatona


(72)

Laho binghas beya

Laho mangoli unang beya Ta laho beya halak

Humatahon na hinagabe

12. Na inda tutuna gabe Beya humatahon Hina mago na

Inda tutuna mago beya di Horja si hasita tu marama Matutung ma opu ni Ni horjai beya tu

Dalanan beya por hauma Majaoat ma I beyya

13. Dihasuhuton tara Buhar mahalak disi Ia mapangalaho ni Iborgot di sunde Bona uruk manajdi Bornoborno man


(73)

Di bunu halak marang har Bunu jadi puruni na

Pung mamora jadi marnapang

14. Mago jadi mamora disi. Ia ro hata ni

Halak di borma ia hu Satahon

Na laho banghas Do ibana beya ta dalan Unang be hita laho beya Laho mangoli beya pangopa Hau ruma beya mandabu Ji unang be dapa hulak disi Ale hugane sobe lupa

15. losing mai

mabana mamusu bumata Mesa mai singan sahara. Ia parsili ni mamis Asa dabuat ma


(74)

Boning mabarita….lomuk

16. Nasira pitu Asom pitu ngiris. Ia parsili ni bisnu

Imbulu ni manuk na bontar Bunga bunga iya pangalumuk Na tabu na

Maropuk obuk na Runduk di tapianta

17. Padomu dohot

Porsili ni pormesa ia halak tumaram Marara rupana na birong

Pe marum matinghong Tahina. Ia porsili ni sori Tobusala napuran natangtang Di bonana ia pangalomuk Ni bahul bahul nidok


(75)

Tumaram matinghong Ohini sisihon pamatang Ni rupana tua tua rupana.

Ia porsili ni halatunghot songhang Songhang bulung barang

Si iya pangalomuk ni juhut Denghe dabahen

19. Iya halak mate marsanghal Parhatahatani

Matunghing pardalan ni

Iya panahut ni api dapadomu dohot Porsili nipor eme. Iya

Porsili ni borma huning manuk Hulabu haul bahul

Nidakdanak

20. Bulung ni silantum Bunga bunga inon

Iya halak matingho bohini Hini. Iya porsili


(76)

Di rumah ni pormamis Iya pangalomuk ni unte Sira iya pangatahut ni

21. Tumate ma bisnu

Di bunu pormamis dapadomu do Pangata hit dohot porsili ni Pormesa iya tabas ni

Ama ni gunang gunang leban Lombing ni parangantong Ninta mortabas ni

Guringan pe

22. Boti imja patujo ni

Parangan tat u paro parangan. Di suma ni

Poltak di ruma ni si0

Dayang bisnu iya pangalomuk Ni pangaritan

Suhut iya tabas na Baung buham buham


(77)

23. Si anu dipanahut Pe boti do dihon . Iya dianggara ni Poltak sumantohon Di rumah ni sori iya Pangathut di bunga bunga Ia pangalomuk nida gana Andulpak dohot

Manoduk dabursik

24. Dohot napuran

Pitu halia sada manggurhon Pitu bulu ta ni

Mulai ale . iya tabas ni Angbuham buham hala On andang runang sori Umbunu musunta inin Portabas. Iya dimuda ni Poltak tongtong


(78)

Ia pangatahut ni hali Pamangsi pusipu panjita Ia pangalomuk ni tinaru Ni manuk juhut

Asa madanggukhon tu Huta ni musunta I ale.

Iya tabas ni ungbuham buham Ma manoha lahat

26. Hala ondang hala nipas Morsua asahon tu huta Ni musunta iya di Rabat porsu asahon Tu huta ni musuntai Di guringan pe songoni. Iya di boras pati

Di rumana raja uju di Rumani borma huning iya

27. Pangalomuk di ansimun Dohot tompi


(79)

Tuhu ni musunta i Iya tabas ni gung

Saimpang tunu rambu ni Musunta buham buham Marangga anggahon musunta I tiada marasap

28. Tiada marmuni di

Pangatahut pe songoni do . . iya hita juma dihon Dorma ni pormesa na Sampulu dua

Asa dabuat ma napuran Pitu ansimun

Pitu ngiris gundur Unte ingolingol

29. Pitu ngiris be sira dahanon Pitu be bulu ni inggir Inggir bulung ni Ampi pira pitu be Pusuk ni gaol si


(80)

Tabar piton lampias Dasaput dapa domu dohot Pangatahut dohot

Pangalomuk asa

30. Datanomta parmusuan Iya tabas na iya

Humpa iya humpa iya uhum Goroda morsua

Sahon musunta inin Tamortabas doppak Tu huta ni musunta Iya dophasundu tana

31. Pe ma uli asa da ombus Ma api di anjang Ni ajintai iya

Soban ni ijuk sinoro ni Porhas tingting

Arirang ni pangulubalang Asa julu dasulangi


(81)

Sihi di napuran pi

32. Pitu hali asa dasu bu Iya tuhita tu siamun Halu ma hita hapa dua Hali dape I ningon Tu jolo tu siambirang Asa hita monang ale. Iya dorma ni

Juhut manuk langhang Indalu napuran dahanon

33. Pitu be miyak baja Asa da hanom ma di Bonani duri. Iya

Basir na pung ma munu Anggo ultop ridon Salige asa da tanom ma Dompak purba

Di bonani duri asa


(82)

Do ajinta ima

Lida ombus do apira Asa hata do da ida Mangolu luhut monang Mahita asada tinghir Muse ma marsogoti do Simada ida ombun

Barang rara barang birong barang

35. Bontar barang gorsing Disima da boto musuna Mate masitiha man musu Iya dinghan musu

Mandating da ida ale Dage iya tabas ni mahua Mahua mahota on Buhu maho bulan ari Luhut uja ijaran

36. Ni musu na di sora Na sapso marmuni.


(83)

Iya dorma ni

Muhara basir napung munuh Parguntingan dahanon Na gorsing adop Dangsina datanom di Ombu buni dolok Datanom hamatean

37. Ni mahara iya tabas Ni ungsim simpang tu Ale omsoma dalang di

Ta panghang himpung marhara Si raja ma I ombu ni

Musun tai ohean Guransang naguringing Ombun laho di

Hamu miyak najadi

38. Hamu napuran di hamu Odop dangsina hita Mananom si ambu buni Dolok hita


(84)

Tanom sana tahak Surut do hita gangti. Di artia di antian ni aek ]di tula antian

Ni angga di

39. Hurung nang nianggari mali Unang marulaon barang aha Ulon dipintu unang da. Satingting suma unang pas Purboru di sopo

Barang ngaha ula on dala sopo. Satingting barang ngaha ula On di alaman unang

Majomur dakdanak

40. satingting mudana Saha pamarulaon di

Nading pintu. Satingting sang hot Hang marulahon di

Soding huduk huduk ale Satingting samisara naso


(85)

Tu pamarulaon Di jolo suhata Ale datu nami Banggu asinapat Siatipal

41. bosi

sibonggu….. aniba…. Ni

42. Do ni diapus malu di

Imalungun ale gong gane gu Ni apean ni

Da on dot dot ma I ale gong ganenin natung ga Ne nin hatunggane muda ti

43. Diyab on has ni…………. Anak ni huta toman Natian tano

Silindung otik pena Ida tunggane mada hois


(86)

Mo disi aek

Mahansit ma ate aek ta Dibaen namora disi Dabuh dabuh si alum ni

44. Ate somba ni ro hoi Nian datunggane

Pinahana mulak gaia ridi Rohan ya . a sada buat Ma miak ni dulang baju Ra lumi ni hat ro na Malamun aek ni lang Hat ni bira ting ting na Nogon luhut luhut

45. Namangoli\upi mu be papor Baye ni sor bubung

Por baye ni sisiring Luhut na pusuk..sanggo Lom be luhut pusuk ni Pangulubalang pusuk ni Nilang bajora na \so ta


(87)

Ding be pitu batu ni

46. Hapas sinabok batu Ni hapas asada saor Datutu lumat asa da

Bahen panihat na begu asa da tombur di Da roni manuk mirah

Na bunghe bunghe on asa Da sapohon madungdungi Ale tunggane na amaluhut

47. Manolon da uji hon Ma matupungga ia Horbo imbulu

Na mata buat barang bo Si barang golang golang ma i Da garut na garut na majobo Ia ulos haen sa

Lirambu na bi nuan


(88)

Ta ia sada buat si Noro ni porhas Panimpul ia aultop Ponon…….. Hodong ni si noro Ni porhas mian Nanghak tadaishon Ma debata tiang ni

49. Ruma na ia umbaen Mate ma ninghot do di Roha tian tali

Pusor ma dabean naga Rian bubu tano

Do alo iya ru dano ma da Tanom. Iya tuna

Mangolu do pangalus tan a Pa na pusidal dalan

50. Datutu mapusuk ni


(89)

Da mamtang na so dohot Pitu bema soak luhut Si rurus dahois Si noro ni porhas Sinalit ni gi

Pul daoros ma miyak Ni pulang bajora da

51. Tombur ma did a ro

Ni manuk na binghe binghe On di aek ni panu

Baran na labu da oros Pini uni halisungsung Dasaor dibongot di Batang latong nasa bo Tohor sorbangon an

52. Ni asa datutung Manuk hon ale siri Ba domosok asa Tindihon ma disi


(90)

Ang nihase iya asa lang Hopi da ra huti ma Dian dor baliang suang Pangarahut nina mate sada ri

53. Asa da tanom ma tu Tano rurus iya dung do Pitu borngin dung ma tusuk Asa da daposson

Datu hebalang ni barang nasa Ngolu ale da papangan ton Madebata asa da sapuna ma Ruma na da hosak ujung nu bulu

54. Disi mata sapuhon De ba ima libas libas. Ia min toni lu

Ru ma ho batara pangulu

Baling pangulubalang hung pangu Lubalang ni gurung hung pangu Lubalang ni panapu sidaldal Ama ni paturun begu


(91)

55. I nani paturun begu ba Tara sipaturun begu

Surung paturun ma begu hu Hosa sianu ama

Ni porhas manoro Surung porhas manoro Maho di bagas ni si Anu amani putus ho

56. Sahurang mamutus maho Di hosa ni si anu

Amani malantuk

Hosa surung lantuk lala Maho ma ni sianu lala Ma si namot na lala ma Ni ulu la nayan dur Lele patagas in ma Pogar suasahon GAMBAR Dani pormamis Na lima nipe huna


(1)

pada hari ketujuh, keatas langitlah, seluruhnya diutarakan apa yang diinginkan,

78.di langit yang tinggi pada daun ini, buah jeruk yang baik,(3baris berikutnya kosong), dipinggiran jalan yang akan terulang, di sepuluh penjuru juga, bersatu menjadi satu namun hilang di bawa, pencuri yang berhutang kepada pengutang, yang hilang maka bersiaplah untuk berpesta, hutang menjadi satu,

79.kita dapat melihat, kebahagiaan saat membunuh seluruh musuh pada hari ke tujuh, terlihat semua saat di bunuh, langit yang menjadi tempat untuk penyembahan, ditempatkan dalam ruang, maka dikorbankan ayam jantan, jika langit telah pergi dari rasa sayang, semua mantra perkasih dari setiap perlakuan,

80.seperti pemukul yang di bawah, besi ini yang berwarna merah, memiliki tempat hari yang bertanduk, kerbau dibuat bekerja, kulit harimau dimakan, hari yang di depan, menerima kita saat berkumpul di pintu, duduk di depan yang di hormati, masih di jalan utang dulu,

81.meminta utang pada seseorang, kehilangan bersama saat berpesta, utang yang tidak tau, munculnya pada hari yang ke tujuh, mati bulan yang tidak bisa dipergunakan, membunuh malam, malam yang telah hilang, maka penyembahan dibuat, biasanya raja itu disitu lalu bulan yang kurang permintaan sama dengan persembahan,


(2)

hutang, kaya karena mencuri, itu semua karena kelebihan yang dihormati, keletihan kepada mertua.


(3)

GLOSARIUM

artia : hari pertama anggara : hari kedua anggoni : sebelah utara bisnu : sore hari bona : asal

borma : turun matahari bontar : putih

bugang :luka dangsina : selatan dolok : gunung

dorma : pengkasih atau pelet

gala : ukuran matahari ketika mau terbenam gaol : pisang

godang : panjang gora : panggil guring : belum bisa hala : naik matahari habonaran : kebenaran hodong : pelepah kelapa hornop : datar


(4)

lohit : lubang luhut : semua

mamis : pagi-pagi hari manabiya : barat laut mapas : anggap enteng mora : kaya

marpangir : berlangir nariti : barat daya otara : utara parsimbaroan : jimat parange : kelakuan pastima : barat pira : telur poda : nasehat purba : timur punsu : ujung samisara : hari ketujuh sande : tersandar sihamun : sebelah kanan sihambirang : sebelah kiri sikora : hari keenam


(5)

sori : tengah hari suma : hari kedua suhut : tuan rumah tingting : pemberitahuan tondi : roh

tubu : lahir


(6)