BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Terlebih dahulu harus diketahui apa itu sebenarnya Batak. Di zaman sekarang ini, istilah Batak sebenarnya sudah jarang sekali dipakai untuk
merujuk kepada semua suku di Sumatera Utara. Suku Batak terdiri atas lima subsuku yaitu:
1. Batak Toba,
2. Batak Angkola-Mandailing,
3. Batak Simalungun,
4. Batak Karo, dan
5. Batak PakpakDairi.
Defenisi awal tentang Batak adalah sebutan bagi semua suku yang tidak atau belum memeluk agama Islam Kozok,1999:11, tetapi sekarang
sudah berbeda. Sekarang, hanya suku Batak Toba saja yang menyebut dirinya sebagai Batak, sedangkan yang lainnya lebih suka disebut Karo, PakpakDairi,
Simalungun, dan Angkola-Mandailing. Sebabnya ialah karena suku yang lazim disebut “Toba” ini, sebenarnya terdiri dari sejumlah daerah. Diantaranya
adalah daerah Toba juga disebut Toba Holbung, tetapi ada juga daerah Uluan, Habinsaran, Samosir, dan Silindung yang sebenarnya tidak termasuk
daerah Toba, tetapi karena kesamaan dari segi bahasa dan budaya
Universitas Sumatera Utara
penduduknya lazim disebut etnis Toba oleh para ahli bahasa dan antropologi. Karena sampai sekarang, orang Samosir atau Silindung masih tetap merasa
janggal bila menyebutkan diri sebagai orang Toba, maka mereka pergunakan istilah Batak saja.
Lama-kelamaan nama Batak ini sudah melekat begitu erat pada orang Batak Toba ini, sehingga suku-suku lain mencari identitas diri di luar label
Batak yang maknanya sudah didominasi oleh Toba namun sesungguhnya kelima subetnis tersebut merupakan bagian dari Batak Kozok, 1999:12.
Marga dan nama Batak diambil dari nama Si Raja Batak. Dari nama itulah berpangkal silsilah marga Batak. Menurut pengetahuan orang Batak, “semua
orang yang menamakan dirinya Batak adalah keturunan Si Raja Batak” W.Hutagalung dalam Adelina 1990:8,. Siapa ayah Siraja Batak tidak dapat
diketahui dengan pasti, tetapi jelas bahwa dia lahir dan bertempat tinggal di Sianjurmula-mula Dolok Pusuk Buhit dan dari sinilah berpencar keturunannya
ke seluruh pelosok Tapanuli dan sekitarnya W. Hutagalung dalam Adelina ,1990:8.
Asal-usul suku Batak secara etnis dan sejarah telah dikemukakan oleh para ahli, di antaranya bahwa, “para leluhur suku Batak berasal dari Asia Selatan
yang bermigrasi ke tanah Batak secara bergelombangMarbun, 1978:28. Menurut mitos, “leluhur suku Batak adalah keturunan dewa-dewi dari Banua
Atas yang turun ke puncak bukit Pusuk Buhit di bumi” Marbun,1978:28.
Universitas Sumatera Utara
Kemasyarakatan Batak didasarkan atas garis keturunan ayah, yang lebih dikenal dengan istilah Patrilineal. Kampung sebagai tempat tinggal pada
masyarakat Batak Toba disebut huta atau bius, pada Batak Angkola- Mandailing disebut partahian serta pada Batak Simalungun, Batak Karo dan
Batak PakpakDairi disebut dengan urung. Dalam masyarakat Batak setiap orang tua mereka pasti selalu menanamkan akan kesadaran marga kepada anak
mereka dan mengenai larangan akan incest, yaitu perkawinan sedarah semarga yang tabu menurut norma adat. Setiap orang Batak harus
mengetahui kedudukannya terhadap sesama orang Batak terlebih dalam pergaulan adat.
Pengetahuan yang demikian disebut dengan martarombo atau martutur. Setiap orang harus mengetahui dan selalu ingat akan pantun yang berbunyi:
“ jolo tinitip sanggar, asa binahen huru-huruan,
Jolo sinungkun marga, Asa binoto partuturan”
Pantun tersebut berarti: Pimpingseperti galah yang batangnya tidak berongga dipotong rata,
Dijadikan sebagai sangkar burung, Ditanya dulu marga,
Agar diketahui kekerabatan.
Universitas Sumatera Utara
Dapat dikatakan bahwa, pantun ini mengingatkan orang untuk martutur, agar kita dapat menentukan sikap terhadap seseorang setelah status masing-
masing diketahui. Pada masyarakat Batak berlaku sistem pembagian masyarakat atas tiga bagian yang disebut dengan sistem kekerabatan, yang
mengatur tatakrama pergaulan dalam kehidupan sehari-hari, kekerabatan ini disebut dengan Dalihan Na Tolu dalihan = tungku, na = yang, tolu = tiga.
Ketiga dari golongan ini adalah: 1.
Dongan Sabutuha, yaitu saudara semarga atau sanina pada Batak Simalungun, kahanggi pada Batak Angkola-Mandailing, senina atau
sembuyak pada Batak Karo, dan sabeltek pada Batak PakpakDairi. 2.
Boru, yaitu pihak laki-laki yang mengambil putri pihak pemberi, anak boru pada Batak Simalungun dan Batak Angkola-Mandailing, anak
beru pada Batak Karo dan Batak PakpakDairi. 3.
Hula-hula, yaitu pihak anak perempuan yang diambil dengan semua teman semarga pihak mertua, disebut tondong pada Batak Simalungun
dan mora pada Batak Angkola-Mandailing, kalimbubu pada Batak Karo dan Batak PakpakDairi.
Dengan adanya dalihan na tolu ini, setiap hubungan antar golongan ataupun juga marga telah diatur sedemikian rupa sehingga terbentuklah suatu
keseimbangan dan keserasian hidup dalam bermasyarakat. Seperti pepatah orang Batak: Manat mardongan tubu, elek marboru, somba marhula-hula,
yang artinya adalah dalam semarga tidak ada perselisihan dan harus pandai
Universitas Sumatera Utara
mengambil hati pihak boru, karena mereka ini dipercayai untuk memberi sumbangan tenaga dan materi, sedangkan hula-hula harus dihormati karena
mereka inilah pemberi berkat yang dianggap sebagai wakil Tuhan yang nampak Siahaan, 1964:48.
Sebagai masyarakat yang patrilineal, anak laki-laki sangat penting sekali, karena dialah yang dapat melanjutkan keturunannya atau sebagai penyambung
silsilahnya. Bagi mereka yang tidak memiliki anak atau keturunan sangatlah hina di tengah masyarakat dan dianggap orang yang terkutuk. Orang yang
tidak memiliki keturunan disebut pupur serta yang tidak mempunyai anak laki- lakihanya anak perempuan saja disebut punu dan garis silsilah orang seperti
ini menjadi terputus Siahaan, 1964:49. Akan tetapi, sekarang ini sudah terjadi perubahan, anak perempuan sudah disamakan haknya dengan anak laki-laki.
Suku Batak mendiami seluruh wilayah Tapanuli sebahagian besar di Sumatera Timur yang luasnya kira-kira 50.000 km atau sama dengan 19 luas
Sumatera dan terletak di antara 0,5 - 3,5 derajat Lintang UtaraLU, dan 97,5 derajat – 100 derajat Bujur TimurSiahaan, 1964:17.
Suku Batak terdiri dari lima subsuku yang mempunyai daerah dan bahasa sendiri. Tempat tinggal mereka berada di wilayah Sumatera Utara dan
tersebar di daerah-daerah. Kabupaten Tapanuli Utara ditempati masyarakat Batak Toba, Kabupaten Simalungun bagi Batak Simalungun, Kabupaten Karo
bagi Masyarakat Batak Karo, Kabupaten Tapanuli Selatan bagi masyarakat
Universitas Sumatera Utara
Batak Angkola-Mandailing, serta daerah Lingga dan Tanah Pinem di Kabupaten Dairi.
Bahasa Batak di daerah Tapanuli Tengah merupakan bahasa peralihan antara bahasa Batak Toba dengan bahasa Batak Angkola-Mandailing. Yang
artinya daerah sepanjang perbatasan Tapanuli Tengah dan Tapanuli Utara memakai bahasa Batak Toba, daerah sepanjang perbatasan Tapanuli Tengah
dan Tapanuli Selatan mempergunakan bahasa Batak Angkola-Mandailing. Di Kotamadya Sibolga dan sekitarnya dipakai bahasa Batak yang
disebut dialek Sibolga, merupakan campuran bahasa Batak Toba, Batak Angkola-Mandailing, dan bahasa Melayu Pesisirdiperoleh dari Kantor
Gubernur Tk.I Provinsi Sumatera Utara, Bagian Statistik. Salah satu bentuk peninggalan sejarah masa lalu Indonesia adalah
naskah lama. Berbicara tentang naskah, maka akan merujuk kepada apa yang tersimpan di dalamnya teks. Jika berbicara mengenai teks suatu naskah dari
budaya tertentu, akan terurai berbagai ragam budaya yang di dalamnya ada sistem religi hingga sistem teknologi dan peralatan Koentjaraninggrat, dalam
tesis Adelina,1990:3. Hal ini disebabkan oleh budaya suatu masyarakat tertentu akan terekam dengan jelas dalam sebuah bukti tertulis naskah yang
dihasilkan oleh masyarakat tersebut, di samping prasasti dan peninggalan purbakala lainnya yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita.
Peninggalan berupa naskah ini merupakan dokumen yang menarik untuk penelitian kebudayaan masa lampau. Naskah kuno ini pada hakikatnya
Universitas Sumatera Utara
merupakan warisan nenek moyang bangsa kita yang sangat berharga, karena di dalamnya banyak terkandung nilai keagamaan, pendidikan, pengobatan,
sejarah dan sebagainya. Di dalam naskah tersebut tertuang semua hasil buah pikiran, perasaan dan cita-cita nenek moyang kita. Dengan mempelajari
naskah-naskah itu kita bisa memahami dan menghayati pikiran, perasaan, serta cita-cita mereka.
Dalam warisan tertulis dari zaman kuno, Indonesia bisa dikatakan beruntung, karena masih menyimpan naskah-naskah kuno dalam jumlah yang
cukup banyak di tiap-tiap daerah. Namun ternyata naskah yang telah hilang pun cukup banyak. Contohnya ada beberapa naskah Batak yang dijual kepada
wisatawan asing yang datang ke daerah mereka. Hal ini perlu kita sadari sepenuhnya, betapa pentingnya warisan budaya bangsa kita yang tersimpan
dalam naskah-naskah kuno. Sebab naskah-naskah tersebut merupakan sumber pengetahuan yang dapat membantu kita dalam mempelajari, mengetahui,
mengerti, dan kemudian menyajikan sejarah perkembangan kebudayaan bangsa kita.
Naskah tersebut masih banyak yang belum diteliti oleh para ahli, karena naskah-naskah tersebut belum banyak dimanfaatkan isinya. Hal itu disebabkan
oleh beberapa faktor, antara lain penelitian akan memakan waktu cukup lama. Dan yang paling pokok, peneliti harus menguasai tulisan dan bahasanya
terlebih dahulu. Naskah-naskah Indonesia, khususnya ditulis kebanyakan dalam aksara Arab Melayu, dan aksara Batak. Bahan naskah juga bermacam-
Universitas Sumatera Utara
macam jenisnya misalnya, naskah Batak ditulis pada bahan bambu, kulit kayu, dan rotan. Sedangkan naskah Melayu umumnya ditulis di atas kertas.
Mengingat hal tersebut, penulis tertarik untuk mengenal, menyelami, dan memahami salah satu warisan nenek moyang bangsa kita. Keinginan ini
timbul karena adanya rasa cinta dan tanggung jawab atas kelestarian naskah- naskah tersebut. Salah satu naskah yang akan dikaji dalam hal ini adalah
naskah Batak, yang menurut pengamatan penulis jarang diteliti oleh para ahli maupun yang lainnya.
Dilihat secara sepintas, naskah ini cukup menarik dan berharga, di dalamnya tersaji pengetahuan tentang kebudayaan masyarakat Batak, seperti
kebiasaan dalam menentukan hari baik dan buruk, pembuataan ramuan obat tradisional, cara tolak bala, dan lain sebagainya. Semua ini disusun menjadi
satu kesatuan yang disajikan dalam bahasa dan aksara Batak. Naskah ini dikenal masyarakat sebagai pustaha lak-lak.
Sangat disayangkan naskah ini banyak yang belum diterjemahkan dan ditindaklanjuti. Namun yang lebih disayangkan lagi ternyata sebahagian dari
naskah ini sudah ada yang rusak atau tulisannya juga sudah ada yang hilang sehingga tidak dapat dibaca. Faktor-faktor tersebutlah yang menarik perhatian
penulis untuk memilih naskah sebagai objek penelitian.
1.2 Rumusan Masalah