Varietas Kelapa Sawit. Tanaman Kelapa Sawit

Hifa tumbuh menjorok keluar dan berfungsi sebagai alat yang efektif dalam menyerap unsur hara serta air. Pada akar terdapat jaringan Hartig yaitu hifa yang mengitari epidermis atau sel koteks. 2. Ektendomikoriza, merupakan bentuk antara intermediat dengan ektomikoriza dan endomikoriza. Karakteristik fungi mikoriza ini adalah terdapatnya hartig net di dalam jaringan korteks serta terdapat mantel yang menyelubungi akar. Hifa dapat menginfeksi sel korteks dan dinding sel korteks. Penyebarannya terbatas didalam tanah-tanah hutan. 3. Endomikoriza, karakteristik fungi mikoriza ini antara lain yaitu akar yang terkena infeksi tidak membesar, lapisan hifa pada permukaan akar tipis, hifa menginfeksi sel jaringan korteks, adanya bentukan khusus yang berbentuk oval yang disebut vesikular dan sistem percabangan hifa yang dikotomi disebut arbuskular. Arbuskular merupakan tempat pertukaran metabolit antara fungi dan tanaman inang Brundrett et al., 1996.

2.2.2 Klasifikasi FMA

Menurut Invam 2012 FMA dapat dikelompokan berdasarkan cara terbentuknya spora pada setiap genus, berikut dijelaskan terbentuknya spora yang dapat menjadi penciri genus pada FMA: 1. Glomus Spora glomus merupakan hasil dari perkembangan hifa. Ujung dari hifa akan mengalami pembengkakan hingga terbentuknya spora. Perkembangan spora ini berasal dari hifa yang disebut chlamidospora. Pada Glomus juga dikenal struktur yang dinamakan sporocarp. Sporocarp merupakan hifa yang bentuknya bercabang sehingga membentuk chlamidospora. 2. Paraglomus Proses pembentukan spora paraglomus hampir sama dengan proses pembentukan spora pada glomus. Spora tersebut berasal dari ekspansi blastic dari ujung hifa. Untuk dapat membedakan spora glomus dan paraglomus harus dilakukan uji pewarnaan melzer’s reagent. Paraglomus tidak bereaksi dalam reagent Melzer 3. Acalulospora Spora yang terbentuk ditanah dengan bentuk globose, subglobose, ellipsoid maupun fusiformis. Awal proses pembentukan spora seperti dimulai dari ujung hifa, karena pada ujung hifa tersebut akan terjadi pembengkakan hifa yang strukturnya menyerupai spora atau disebut saccule. Kemudian dengan berkembangnya saccule tersebut akan disertai dengan munculnya bulatan kecil yang terbentuk diantara hifa terminus dan subtending hifa. Bulatan kecil itu akan berkembang disamping hifa terminus menjadi spora. Pada spora yang telah masak terdapat satu lubang yang dinamakan ciatric. 4. Entrophospora Proses pembentukan spora Enterophospora hampir sama dengan proses pembentukan spora pada Acaulospora. Perbedaan keduanya terdapat pada proses perkembangan azygospora berada dalam blastik atau ditengah hifa terminus, sehingga akan terbentuk dua lubang yang simetris pada spora yang telah matang. 5. Archaespora Perkembangan spora pada genus archaespora merupakan perpaduan antara perkembangan spora genus glomus dan enterophospora atau acoulospora. Pada awalnya, diujung hifa akan terbentuk Sporiferous saccule. Selanjutnya, pada leher saccule atau subtending hifa akan berkembang pedicel atau percabangan hifa dari leher saccule. Pada ujung pedicel tersebut akan berkembang spora seperti halnya perkembangan spora pada glomus. 6. Gigaspora Struktur spora yang terbentuk berupa globose dan subglobose, berbentuk ovoid, pyriformis atau irregular. Spora pada genus gigaspora berasal dari ujung hifa subtending hifa yang membulat disebut suspensor. Kemudian diatas bulbose suspensor tersebut terbentuk spora, lalu spora tersebut terbentuk dari suspensor yang dinamakan azygospora. 7. Scutellospora Struktur spora yang terbentuk biasanya globose atau subglobose tetapi lebih sering berbentuk ovoid, obovoid, pyriformis, atau irregular. Proses terbentuknya spora pada scutellospora sama dengan pembentukan spora pada genus gigaspora. Pembeda genus gigaspora dengan scutellospora adalah pada scutellospora terdapat germination shield, dan pada saat berkecambah hifa akan keluar dari germanation shield tersebut.

Dokumen yang terkait

Respons Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Terhadap Pemberian Kompos Sampah Pasar dan Pupuk NPKMg (15:15:6:4) di Pre Nursery

6 79 69

Respon Morfologi dan Fisiologi Pada Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Terhadap Aplikasi Pupuk Magnesium Dan Nitrogen

3 97 84

Uji Kompatibilitas Mikoriza Vesikular Arbuskular Pada Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guimensis Jacq) di Pembibitan Pada Media Tanam Histosol dan Ultisol

0 26 82

Pengaruh Pemberian Limbah Kalapa sawit (Sludge) dan Pupuk Majemuk NPK Terhadap Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guinsensis Jacq) di Pembibitan Awal

0 25 95

Respon Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis jacq) Terhadap Pupuk Cair Super Bionik Pada Berbagai Jenis Media Tanam di Pembibitan Utama

0 30 78

Respons Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Pada Konsentrasi dan Interval Pemberian Pupuk Daun Gandasil D Pada Tanah Salin Yang Diameliorasi Dengan Pupuk Kandang

1 28 184

Respon Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) di Main Nursery Terhadap Komposisi Media Tanam dan Pemberian Pupuk Posfat

6 92 114

Pertumbuhan Mucuna Bracteata L. Dan Kadar Hara Kelapa Sawit (Elais guinensis Jacq.) Dengan Pemberian Pupuk Hayati

3 63 66

RESPON PERTUMBUHAN BIBIT KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) TERHADAP PEMBERIAN LIMA ISOLAT FUNGI MIKORIZA ARBUSKULAR DAN DUA TARAF DOSIS PUPUK NPK

1 20 69

PENGARUH INOKULASI FUNGI MIKORIZA ARBUSKULAR DAN DOSIS PUPUK FOSFAT PADA PERTUMBUHAN BIBIT KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) DAN JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DI PEMBIBITAN

1 11 77